Share

Simpanan Tampan Wanita Mapan
Simpanan Tampan Wanita Mapan
Author: Biru_kuning

Pertanyaan dan Pertemuan yang Tak Terduga"

“Sudah delapan tahun kamu dan Rudi menikah. Apa kalian masih menunda memiliki anak?” tanya Liza dengan nada yang penuh penasaran.

Lana meremas ujung gaunnya dengan erat, mencoba untuk tetap tenang meskipun dalam hatinya ia merasa terluka. Pertanyaan seperti ini adalah hal yang sudah ia antisipasi, tetapi setiap kali hal itu terjadi, luka lamanya kembali terasa. Namun, dia tidak ingin membuat keributan di depan orang banyak, terutama di resepsi pernikahan kerabat suaminya.

Sorot mata Lana tergelincir sejenak ke arah Rudi, yang terlihat sibuk dengan hidangan yang sedang dinikmatinya. Rudi, suaminya, adalah seorang pria yang sangat tampan dengan rambut hitam pekat dan mata tajam yang selalu tampak dingin. Tetapi sekarang, tatapannya tampaknya tidak lebih dari sekadar ketidaktertarikan pada percakapan ini.

Dengan suara tenang dan senyum tipis, Lana mencoba menjawab pertanyaan Tante Rudi. "Kami sudah berusaha, Tante. Tapi sepertinya Tuhan belum memberikan kami anugerah itu."

Liza mendengus seolah tidak puas dengan jawaban itu. "Tante dengar kamu masih banyak bekerja, Lana. Mungkin kamu harus mengurangi pekerjaanmu dan fokus pada program kehamilan."

"Lana," lanjut Liza dengan nada penuh ketidaksabaran, "Kamu tahu, anak-anak adalah berkah besar dalam hidup kita. Bagaimana bisa keluarga kita berkembang tanpa mereka?"

Maya, ibu mertua Lana, duduk di sebelah Liza, mengangguk setuju. "Itu benar, Lana. Apalagi sekarang Mama dan Papa sudah berumur. Kami juga mau menimang cucu. Mungkin kamu bisa mencari saran dari dokter atau melakukan berbagai perawatan yang bisa membantu."

"Kamu tahu, Lana, usiamu tidak muda lagi. Mungkin kamu harus lebih serius tentang ini," lanjut Maya dengan tegas. 

Lana menghela napas dalam-dalam untuk menahan perasaan yang mendidih dalam dirinya. Pandangannya meluncur ke arah Rudi, yang masih asyik dengan makanannya tanpa satu pun ekspresi emosi yang terlihat di wajahnya. Pria itu seolah-olah tidak peduli dengan semua kesulitan dan penderitaan yang telah Lana alami di tangan keluarga pria itu. Itulah yang paling menyakitkan - perasaan diabaikan oleh suaminya sendiri.

Dengan usaha keras, Lana mencoba menjawab ibu mertuanya tanpa mengungkapkan emosinya yang sebenarnya. "Lana akan mempertimbangkan itu, Ma," ucapnya dengan suara gemetar.

Lana mencoba menahan perasaannya yang semakin campur aduk. Ia bangkit dari tempat duduknya dan dengan halus mengucapkan permintaan maaf kepada tamu-tamu yang hadir. Lalu, dengan langkah panjang dan hati yang berat, ia berjalan pergi menuju kamar mandi.

Di dalam kamar mandi yang sepi, Lana mencoba untuk meredakan emosinya. Air mata yang sudah lama tertahan mulai mengalir di pipinya. Ia mencuci wajahnya, mencoba menyingkirkan semua tekanan dan kekecewaan yang ia rasakan. Tetapi tidak peduli seberapa keras ia mencoba, pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya.

***

Lana keluar dari kamar mandi dengan perasaan yang masih bercampur aduk. Ia merasa terjebak dalam perangkap pernikahan yang tak bahagia dan bertanya-tanya apakah ia akan pernah menemukan kebahagiaan yang ia cari dalam hidupnya. Mencari udara segar, ia memutuskan untuk berkeliling sejenak di sekitar tempat pernikahan itu. 

Langkah-langkahnya membawanya ke taman yang indah yang didekorasi dengan cahaya-cahaya gemerlap. Taman itu menjadi tempat yang tenang di tengah keriuhan pesta. Lana berjalan sendirian, tersesat dalam pikirannya yang kacau, ketika tiba-tiba ia mendengar suara teriakan dari sudut taman yang lebih gelap. 

“Jadi apa alasannya, Raka? Kenapa kamu tiba-tiba putusin aku kayak gini? Apa salah aku, Raka?” tanya gadis itu dengan menggebu-gebu.

“Aku nggak mau kita putus, Raka. Aku mohon… kita bahkan baru pacaran tiga bulan,” ujar gadis itu dengan lirih. 

“Aku nggak peduli, Sa. Hubungan ini udah cukup buat aku,” jawab pria itu dengan tatapan dingin.

“Dasar brengsek!”  teriak gadis itu, tangannya gemetar saat ia memegang gelas wine di tangannya.

Tiba-tiba, dengan gerakan cepat yang tak terduga, gadis itu melemparkan seluruh isi gelas wine ke tubuh pria yang berdiri di depannya. Wine merah itu menyiraminya, membasahi kemeja putihnya yang telah berubah warna.  

Lana merasa terhanyut dalam adegan itu, ia menyaksikan semuanya dari kejauhan, perasaannya menjadi semakin rumit. Dia merasa empati terhadap gadis itu, yang tampaknya merasakan keputusasaan yang sama seperti yang dirasakannya dalam pernikahannya sendiri.

Tiba-tiba pikiran Lana melayang entah kemana. Saat Lana melihat kembali ke sudut taman, ia tidak lagi melihat gadis itu. Matanya tanpa sadar berpindah ke pria yang tadi menjadi sasaran amarah gadis itu. Pria itu berdiri di tempatnya yang juga melihat ke arahnya. Sekilas, Lana melihat senyuman tipis di wajah pria itu, yang sedang berjalan mendekatinya.

Lana bisa merasakan kehadiran pria itu semakin mendekat, dan ia tak bisa menghindar dari tatapan lembut pria itu yang terarah padanya.

"Apakah Anda menikmati pertunjukan tadi?" tanya pria itu dengan senyum penuh pesona dan nada santai. 

Lana tetap diam, matanya memandang tajam, dan wajahnya yang tadinya lembut kini terlihat dingin. 

Pria yang tampak jauh lebih muda dari Lana itu tampak tidak terganggu oleh ketidaktertarikan Lana. Ia menjulurkan tangannya dengan ramah, mencoba memperkenalkan diri. “Saya Raka. Kalau boleh tahu siapa nama Anda?” 

Lana masih tetap diam, hanya menatap tangan yang diulurkan Raka tanpa memberikan respons. Ia merasa muak dengan keberanian pria ini yang mendekatinya begitu saja setelah mencampakan seorang gadis yang tadi ia lihat.

Lana memandangnya dengan ketidakpercayaan. Ia mengangkat tangan kanannya dan memperlihatkan cincin pernikahannya dengan jelas. 

“Saya sudah menikah dan saya tidak tertarik dengan basa-basi ini, jadi Anda bisa berhenti sekarang," ucap Lana dengan dingin. 

Raka terkekeh pelan, seolah tak terpengaruh oleh cincin pernikahan itu. "Ah, jadi seperti itu. Tapi, sayang sekali. Tadinya saya pikir mungkin kita bisa berteman."

Beberapa saat kemudian, Rudi muncul di antara mereka. Matanya melempar pandangan tajam pada Raka sebelum berbalik ke Lana. "Ada apa? Kenapa kamu tidak kembali, Lana? Aku mencari kamu sejak tadi.”

Lana tidak menjawab pertanyaan Rudi. Sebaliknya, ia bertanya dengan nada datar, "Sudah selesai acaranya?"

Rudi mengangguk pelan, lalu meletakkan tangannya di pinggang Lana. “Ayo pergi.”

Lana mengangguk lalu mengikuti langkah Rudi. Tetapi sebelum Lana meninggalkan tempat itu, ia masih melihat Raka dari kejauhan, pria itu masih tersenyum padanya dengan penuh ketertarikan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status