Suasana di hotel itu gemerlap dengan lampu-lampu kristal yang memantulkan cahaya ke seluruh ruangan. Gaun malam Lana yang elegan menyapu lantai dengan anggun setiap kali ia melangkah. Setiap mata memandanginya, tetapi Lana hanya fokus pada lengan Rudi yang ia genggam erat. Sebuah senyuman dipaksakan terpasang di wajahnya, tetapi matanya menyiratkan kekecewaan yang sulit disembunyikan.
Seiring langkah mereka mendekati meja perjamuan bisnis yang penuh dengan orang-orang berjas dan wanita-wanita berdandan mewah, Lana merasakan kekecewaan membeku di dalam dirinya. Apa yang seharusnya menjadi malam yang menyenangkan berdua dengan suaminya berubah menjadi malam yang membosankan dan formal.
Ketika Rudi berhenti sejenak untuk berbicara dengan salah satu rekan bisnisnya, Lana melihat peluang untuk melepaskan diri. Dia mengelus pergelangan tangannya yang mulai terasa kaku karena genggaman Rudi yang terlalu kuat. "Maaf, aku harus ke kamar mandi sebentar," ucapnya, berusaha tersenyum lebar.
Tanpa menunggu jawaban Rudi, Lana bergegas menjauhi meja perjamuan itu. Lana memasuki lorong menuju kamar mandi dan kemudian keluar melalui pintu samping menuju balkon. Udara segar malam di Paris membuatnya merasa lebih baik. Ia membutuhkan sedikit ketenangan dan jauh dari keramaian dalam ruangan.
Namun, keheningan di balkon itu hanya berlangsung sebentar. Lana tiba-tiba merasa tangan yang kuat meraih lengannya, dan dia hampir saja teriak histeris, tetapi Raka segera menutup mulutnya dengan tangan besar yang kokoh. Pria itu memandangnya dengan penuh keinginan yang sulit diabaikan.
"Sst, jangan teriak," bisik Raka pelan saat melepaskan tangannya dari mulut Lana.
Lana yang masih terengah-engah memandang Raka dengan bingung. "Kenapa kamu—"
"Kita harus berbicara," potong Raka dengan serius.
Lana menoleh ke arah Raka dengan pandangan bertanya. "Tentang apa?"
Raka merengkuh pinggang Lana, dan dalam satu gerakan yang mantap, ia menariknya ke sudut balkon yang lebih tersembunyi. Mereka berdua kini berdiri berdekatan, dan meskipun tubuh mereka sangat dekat, ada jarak emosional yang terasa begitu besar.
"Apa yang kamu lakukan di sini, Raka?" tanya Lana dengan suara yang masih diisi dengan kebingungan.
Raka menatap tajam ke mata Lana, lalu ia mendekap Lana, memeluknya begitu erat seakan memungkinkan dirinya melepaskan rindu yang telah lama ia pendam. "Aku mau melihat kamu," ucapnya dengan suara yang rendah.
Lana merasa dadanya naik turun dengan cepat, dan dengan lembut ia mencoba melepaskan diri dari pelukan Raka. "Raka, ini bukan tempat yang tepat untuk—"
Raka menyentuh bibir Lana dengan jarinya yang lembut, membuat kata-kata Lana terhenti. “Sebentar saja, aku mau kamu bertahan sebentar.”
Lana pasrah, tahu bahwa tidak ada yang bisa dia lakukan dalam situasi ini. Dia bisa merasakan detak jantung Raka yang cepat, dan aroma maskulinnya mulai mengisi hidungnya. Meskipun dia tahu ini salah, bagian dalam dirinya merindukan pelukan itu.
Mereka berdua berdiri di sudut ruangan yang gelap, Raka memeluknya dengan erat, sementara di luar, acara perjamuan bisnis berlanjut dengan riuhnya. Lana tidak tahu berapa lama mereka berdua akan berada di sana, tetapi dia merasa campur aduk antara keinginan dan keharusan yang tak terelakkan.
***
Suara langkah mereka bergema di dalam ruangan yang dipenuhi oleh aroma anggur yang kuno. Rak-rak kayu besar dipenuhi oleh botol-botol anggur yang terkenal, setiap botolnya memiliki cerita dan sejarahnya sendiri. Lana memandang sekeliling dengan rasa ingin tahu yang mendalam. Dia merasa seakan masuk ke dalam dunia rahasia yang tersembunyi di dalam hotel mewah itu.
Lana berdiri di dalam ruangan penyimpanan anggur yang gelap, di bawah sinar samar-samar dari lampu gantung yang bergantung di atas kepala mereka. Bau anggur yang kuat mengisi udara, menciptakan atmosfer yang begitu berbeda dari keramaian perjamuan bisnis yang mereka tinggalkan di luar sana.
"Kenapa kamu membawa saya ke sini?" tanya Lana, suaranya bergema di antara dinding-dinding kayu yang tebal.
Raka tersenyum, matanya berkilat di bawah cahaya temaram ruangan. “Karena aku nggak mau ada yang mengganggu momen kita.”
Lana mengernyitkan dahinya. "Ini tempat yang aneh untuk membawa seseorang, Raka. Apa sebenarnya yang kamu mau?"
Raka tersenyum dengan ramah. "Apa yang kamu tahu tentang rasa anggur kuno?" tanyanya sambil menatap Lana.
Lana menatap beberapa botol yang ada di belakang Raka. "Anggur? Apa kamu membawa saya ke sini hanya untuk minum anggur?"
"Tidak hanya untuk itu. Ini adalah anggur yang sangat spesial. Rasanya akan mengubah cara kamu melihat dunia."
Sementara Lana menatapnya dengan heran. Ada keberanian di mata pria itu, seolah-olah dia tahu persis apa yang dia inginkan dan bagaimana mendapatkannya. Sebuah rasa penasaran mencuat di dalam hati Lana, meskipun dia mencoba untuk menahannya.
Raka melangkah ke arah sebuah rak kayu yang terlihat lebih tua dari yang lainnya. Dia mengeluarkan sebuah botol anggur merah tua yang terlihat sangat mahal. Dengan hati-hati, dia membuka segel botol itu dan menuangkan anggur merah ke dalam dua gelas kristal yang telah disiapkan di atas meja kayu tua di tengah ruangan.
"Anggur ini adalah Château Margaux 1787," kata Raka sambil tersenyum, seolah-olah dia membaca keheranan di mata Lana. "Sangat langka dan sangat mahal. Tapi aku pikir momen spesial seperti ini memang membutuhkan anggur yang spesial juga."
Lana merasa tercengang. Dia bukanlah penikmat anggur, tapi bahkan dia tahu bahwa Château Margaux 1787 adalah salah satu anggur terbaik di dunia. Rasa hormat yang tumbuh di dalam dirinya untuk Raka, meskipun dia masih merasa bingung dengan semua ini.
"Sekarang, ayo kita rayakan momen ini," ucap Raka, mengangkat gelasnya.
Lana merasa ragu, tapi akhirnya dia menaikkan gelasnya juga. Mereka bersentuhan dalam semacam penghormatan, dan Lana mencicipi anggur itu. Rasanya begitu kompleks, dengan lapisan-lapisan rasa yang menggoda lidahnya. Lana menelan dengan hati-hati, mencoba merasakan setiap nuansa yang ditawarkan oleh anggur itu.
Rasa anggur itu langsung mengisi mulutnya dengan kaya dan hangat, dengan sentuhan manis yang memeluk lidahnya. Dia merasa seolah terbawa ke zaman yang lebih lambat dan tenang, di bawah sinar matahari yang lembut dan di antara ladang-ladang anggur yang tak berujung. Ini adalah pengalaman yang jauh berbeda dari segala sesuatu yang pernah ia rasakan sebelumnya.
Raka memperhatikan Lana saat dia menikmati setiap teguk anggur itu. Setelah Lana selesai, dia bertanya, "Bagaimana rasanya?"
Lana menatap Raka dengan tatapan takjub. "Ini berbeda. Saya belum pernah merasakan anggur sebaik ini sebelumnya."
Raka tersenyum dengan bangga, dan tanpa aba-aba, dia melangkah mendekat ke arah Lana. Wajah mereka semakin mendekat satu sama lain, dan sebelum Lana menyadari apa yang terjadi, bibir Raka menyentuh bibirnya dalam sebuah ciuman yang hangat dan mendalam. Mata Lana membulat dan tak percaya saat bibir mereka bertemu, tetapi setelah beberapa saat, dia membiarkan dirinya terbawa oleh keintiman yang tumbuh di antara mereka.
Ketika ciuman itu berakhir, Raka tersenyum sambil menyeka sisa-sisa anggur yang ada di bibir Lana. "Anggur ini begitu manis, sama seperti rasa bibirmu."
"Nggak," bisiknya, meskipun suaranya serak oleh keinginan yang belum selesai. "Ini salah, Raka. Kita nggak boleh melanjutkan ini."
Lana menutup mata sejenak, mencoba mengatasi rasa campur aduk dalam dirinya. Ini adalah kesalahan besar, ia tahu itu. Raka adalah seseorang yang seharusnya tidak ia libatkan dalam hidupnya. "Kita harus berhenti, Raka. Ini nggak benar."
Tetapi Raka terlalu kuat, terlalu berbahaya, dan terlalu menarik. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Lana dan mengatakan dengan suara serak, "Apa kamu yakin itu yang hati kamu mau?”
Lana memasuki ruang rapat dengan langkah tegas, mengenakan setelan bisnis yang sempurna dan tatapan mata yang penuh otoritas. Sebagai wakil direktur utama dalam perusahaan besar ini, dia telah menghabiskan banyak waktunya di ruangan seperti ini. Semua karyawan tampak sangat menghormati Lana karena pembawaan wanita itu dengan kemampuan dan kecerdasannya yang membuatnya layak menjabat sebagai wakil direktur utama. Mata-mata para karyawan melirik saat Lana melintasi koridor menuju ruangannya, tetapi dia tidak memberikan perhatian lebih dan hanya memberikan senyuman ramah sebagai sambutan.Hari ini adalah hari pertama Lana kembali bekerja setelah liburan singkat yang ia lakukan beberapa waktu lalu. Meskipun dia sempat merasa terganggu dengan perasaan bercampur aduk yang melibatkan Rudi dan Raka, Lana sekarang bertekad untuk kembali fokus pada pekerjaannya. Dia tidak ingin menyia-nyiakan lagi waktunya untuk memikirkan berbagai perasaan dan masalah pribadi yang menghampirinya. Lana ingin m
Lana telah menciptakan suasana yang sempurna untuk malam itu, memilih gaun yang memancarkan keanggunan dan kepribadian yang kuat. Setiap detailnya diperhatikan, rambutnya diatur dengan indah, riasan wajahnya menyempurnakan penampilannya. Dia ingin menampilkan diri terbaiknya dalam pertemuan ini.Ketika tiba saatnya, Lana melangkah keluar dari kamarnya dan melihat sebuah mobil mewah yang sudah menunggunya. Pengemudi dengan santainya membuka pintu untuknya."Selamat malam, Nyonya," kata pengemudi dengan ramah saat Lana masuk ke dalam mobil.Lana tersenyum dan membalas salam. Selama perjalanan ke restoran, Lana merenung tentang Rudi. Dia tidak pernah membayangkan bahwa pria itu akan mengatur malam yang begitu istimewa baginya. Lana yang telah mengenal Rudi selama hampir lima belas tahun belum pernah melihat sisi romantisnya seperti ini sebelumnya.Angin sepoi-sepoi menyibak rambut halus Lana saat dia turun dari mobil mewah itu. Sentuhan dinginnya membuatnya merinding meskipun gaun malamn
Dalam gemuruh malam yang sunyi, Lana melangkah gontai menuju kamarnya, langkahnya tidak lagi seindah ketika dia tiba di restoran tadi. Rasa hangat dari alkohol yang merasuki tubuhnya mulai memudar, digantikan oleh kekosongan hatinya yang dalam. Begitu pintu kamar terbuka, sinar tipis lampu di ruangan itu menyilaukan matanya yang lelah. Rudi telah tidur, lengkap dengan tatanan rambut cokelatnya yang kusut dan wajahnya yang damai saat dia tertidur.Sayangnya, damai bukanlah kata yang bisa digunakan untuk menggambarkan perasaan Lana saat ini. Dia merasa terjebak dalam labirin emosionalnya sendiri, dan malam ini alkohol telah menjadi penyelamat sementara dari kenyataan yang sulit dia terima. Lana melihat bingkai foto pernikahan mereka yang selalu berada di meja nakasnya. Tatapan mereka dalam foto itu terlihat bahagia, ceria, dan penuh cinta. Pandangannya terpaku pada foto itu ketika senyuman mereka yang dulu begitu riang kini terasa seperti kenangan yang jauh.Dalam ledakan emosi, Lana me
Lana melangkah dengan penuh percaya diri menuju kantornya. Setelah seminggu berlalu sejak malam yang penuh gairah dan kasih sayang, kehidupan pernikahan Lana dan Rudi semakin membaik. Suasana hatinya jauh lebih cerah daripada sebelumnya, dan dia merasa seperti hubungan mereka akhirnya bisa dipulihkan.Ketika Lana tiba di kantor, ia merasa seperti ada atmosfer yang berbeda. Sejumlah wajah baru tampak sibuk di sekitarnya, dan beberapa karyawan baru tampak bersemangat menyambutnya. Lana tersenyum dan membalas sapaan beberapa karyawan yang menyapanya, merasa senang dengan semangat dan antusiasme mereka. Ia merasa bahwa semuanya berjalan dengan baik, hingga pandangannya tertuju pada seorang pria di tengah kerumunan, yang tampaknya menjadi pusat perhatian.Pria itu adalah Raka. Ia berdiri di tengah kumpulan karyawan baru, tersenyum cerah, dan terlihat sangat percaya diri. Pria itu tersenyum hangat ketika melihat Lana memasuki ruangan. Lana terdiam, dan hatinya berdegup lebih cepat. Lana te
Raka membuka matanya perlahan, merasakan tubuhnya yang lelah. Beberapa hari terakhir, ia telah bekerja keras, mengerjakan tugas-tugas yang sebelumnya tak pernah terbayangkan akan ia lakukan. Ia telah mengorbankan segala energinya untuk membuktikan diri kepada Lana, wanita yang memenuhi pikiran dan hatinya dengan kerumitan yang tak terbayangkan sebelumnya. Perasaan tergila-gila pada sosok wanita yang lebih dewasa, tegas, dan independen seperti Lana adalah hal baru bagi Raka. Ia lebih terbiasa dengan para wanita yang mendekatinya terlebih dahulu, bukannya sebaliknya.Wajah cantik Lana muncul di depan matanya, bahkan dalam keadaan separuh sadar seperti ini. Aroma harum parfum dari tubuh wanita itu menyelinap ke hidungnya, membuatnya semakin terhanyut dalam pesona Lana. Tanpa sadar, bibirnya membisikkan nama wanita itu dengan lemah."Lana..."Suara lembut Lana memecah keheningan. "Di luar hujan," katanya dengan nada penuh perhatian. "Kamu harus segera pulang dan beristirahat, Raka."Raka
Untuk sesaat Lana membiarkan Raka memeluknya, merasakan dekapan erat yang membuat hatinya berdebar kencang. Tubuhnya bergetar saat Raka melepaskan pelukan itu. "Lana," desah Raka, matanya masih memandang penuh hasrat.Lana berbalik, menatapnya dengan pandangan yang penuh kebingungan dan keragu-raguan. Raka merengkuh Lana lagi, mencium bibirnya dengan penuh gairah, tanpa memberi kesempatan pada Lana untuk berkata apa-apa. Lana mencoba mendorongnya lagi, tetapi Raka terlalu kuat dan tak terkendali. Bibir mereka bersatu dalam ciuman yang mendalam dan membara.Sesaat, Lana merasa terhanyut dalam pesona Raka yang tiba-tiba menguasai seluruh dirinya. Panas dan dingin bergulir di tubuhnya, menciptakan sensasi yang tak terlupakan. Ia merasa lemah, tetapi di saat yang bersamaan, gairah meletup di dalam dirinya.Ciuman Raka sangat membara, bahkan lebih bergairah daripada ciumannya saat mereka berada di Paris. Sekejap kenangannya melayang pada saat-saat indah yang pernah mereka habiskan bersama
Raka merasa kehangatan tangan Lana yang lembut seakan-akan memberinya sedikit ketenangan di tengah-tengah kekacauan emosinya. Matanya yang tadinya penuh dengan kebingungan dan keputusasaan, kini mencoba mencari pengertian dalam sorot mata hangat Lana. Dia bisa merasakan denyut nadi yang berdetak cepat di telapak tangan wanita itu, seolah-olah merasakan getaran emosi yang sama di dalam hatinya.Lana duduk di samping tempat tidur, tetapi matanya masih terlihat ragu dan penuh pertanyaan. Dia membiarkan Raka menggenggam tangannya, tidak menghindar atau menariknya.Raka duduk dengan perlahan, mencoba mengusir rasa pusing yang masih mengganggunya. Dia melepaskan tangannya dari Lana dan memandang wajah wanita itu dengan ekspresi yang tampak bersalah."Maaf, Lana," katanya dengan suara lembut, penuh penyesalan. "Aku tidak seharusnya melampiaskan amarahku seperti tadi. Itu tidak adil untuk kamu. Aku... aku kehilangan kendali diri. Tapi aku tidak bermaksud menyakiti kamu."Raka menatapnya denga
Lana melangkah keluar dari bangunan proyek hotel yang sedang dibangun, merasa puas dengan perkembangan yang telah dicapai. Proyek ini adalah salah satu yang cukup penting bagi perusahaannya, dan melihat perkembangannya membuatnya merasa yakin bahwa semuanya akan berjalan dengan lancar.Lana melangkah keluar dari bangunan proyek dan menuju tempat mobilnya terparkir. Sinar matahari menyinari wajahnya, dan angin sejuk membuatnya merasa lebih baik. Lana membuka pintu mobil dan duduk di dalam, bersiap untuk kembali ke kantor. Namun, ketika dia menyalakan mesin mobilnya dan berbalik untuk meninggalkan tempat itu, pandangannya tertangkap oleh sesuatu yang sangat tak terduga.Rudi baru saja keluar dari salah satu toko perhiasan yang terletak tidak jauh dari tempat ia berada. Dia tidak sendirian; di belakangnya terlihat Sandra, sekretarisnya yang cantik, yang mengikuti langkahnya. Mata Lana melebar dalam ketidakpercayaan saat dia memandang pemandangan itu. Lana tahu bahwa Rudi sedang melakukan