Suasana kamar hotel terasa sejuk, lampu kecil di sudut ruangan memancarkan cahaya yang lembut. Lana duduk santai di sofa empuk sambil menonton acara TV yang berlangsung begitu monoton. Dia mencoba menekan perasaan kesepian yang menghantuinya. Sementara itu, Rudi, suaminya, tenggelam dalam dunianya sendiri, sibuk memperhatikan panggilan bisnis yang tampaknya tak pernah berakhir.
Lana merasa tidak puas. Dia ingin perhatian Rudi, ingin merasakan sentuhan dan kehangatan suaminya. Setelah memutuskan bahwa cukup sudah berdiam diri, dia mengambil langkah nekat. Dengan gerakan lincah, dia mendekati Rudi, menggugurkan kain tipis yang melilit tubuhnya dengan penuh ketegasan.
Lana memandang Rudi dengan mata berkilauan, mencoba untuk memancing perhatian suaminya yang tampak sangat sibuk dengan ponselnya. Lana merebut ponsel Rudi dengan tiba-tiba, membuat pria itu menoleh dengan kening berkerut.
"Kapan kamu bangun, Sayang?" tanyanya dengan suara lembut.
Rudi mencoba meraih ponselnya yang direbut Lana, tetapi wanita itu sudah melingkarkan lengannya di pinggangnya, membuatnya kesulitan.
Lana menariknya lebih dekat. "Aku bosan cuma berdiam diri di sini, Rud," kata Lana dengan nada yang mengejutkan, merangkul pria itu dengan erat.
Rudi menangkup wajah Lana dengan satu tangannya, mencoba untuk meredakan kemarahannya. "Maaf, sayang. Aku masih harus menyelesaikan beberapa panggilan bisnis."
Lana merasa kekecewaan yang semakin mendalam. Dia telah berharap bahwa kedatangan Rudi akan mengubah suasana hatinya, tetapi pria itu masih sepenuhnya terkubur dalam pekerjaannya.
Mengabaikan penjelasan Rudi, Lana mengatakan, "Aku lapar."
Rudi mengangguk, berencana untuk memesan makanan untuk Lana, tetapi Lana merasa kesal karena Rudi tampaknya tidak memahami kode-kode yang dia berikan.
Tanpa banyak bicara, Lana mulai menyentuh Rudi dengan kelembutan dan gairah. Dengan cermat, dia mengarahkan bibirnya ke bibir Rudi dan melingkarkan tangannya di sekitar leher pria itu. Ciuman itu mendalam dan penuh gairah, seolah-olah Lana berusaha mengkomunikasikan keinginannya yang terpendam.
Namun, Rudi hanya meresponsnya dengan tatapan kosong dan gerakan yang tidak antusias. Setelah beberapa saat yang seharusnya penuh gairah berubah menjadi kekecewaan, Lana mengakhiri ciuman dengan nada yang penuh kekecewaan.
"Apa karena aku belum mandi? Apa aku udah nggak menarik lagi?" tanya Lana dengan tatapan kecewa.
Rudi menggelengkan kepala dengan cepat, mencoba menjelaskan, "Bukan, sayang, bukan itu masalahnya. Aku masih lelah karena perjalanan panjang kemarin."
Lana menghela napas dalam-dalam, merasa semakin frustrasi. Dia merasa marah karena Rudi tampaknya lebih antusias ketika membahas pekerjaannya daripada meresponsnya.
Tanpa menunggu lebih lama, Lana hendak meninggalkan Rudi dan kembali ke kamar. Namun, pria itu segera menahan tangannya dengan lembut.
Rudi menoleh dengan tatapan lembut, mencoba meredakan kemarahannya. "Sayang, maafin aku. Aku janji, malam ini kita akan menghabiskan waktu bersama dan aku akan memberikan perhatian yang kamu butuhkan."
Lana menatap Rudi dengan pandangan ragu, tetapi akhirnya ia menyerah dan tersenyum kecil. "Oke, Rud. Aku akan menunggu."
Rudi mengangguk dengan senyum dan mencium bibir Lana sekali lagi sebelum dia pergi untuk memesan makan. Lana duduk di sana dengan perasaan yang rumit. Dia berharap bahwa Rudi akan memenuhi janjinya dan bahwa malam ini akan menjadi titik balik bagi hubungan mereka yang terasa semakin jauh.
***
Raka memasuki ruangan mewah di salah satu sudut hotel bergengsi di Paris. Kehadirannya seketika mencuri perhatian, bukan hanya karena penampilannya yang menawan, tetapi juga karena pesona alamiah yang selalu mengikuti pria itu. Tampaknya Raka tahu bahwa ia adalah tipe pria yang selalu bisa memikat perhatian siapa pun di sekitarnya.
Max, kakak laki-laki Raka, memandang kehadiran adiknya dengan tatapan tajam yang seakan menembus hati Raka. Selama ini, Max selalu tampil sebagai sosok yang bertanggung jawab dalam keluarga mereka. Tujuh tahun lebih tua daripada Raka, Max sudah lama menjalani peran sebagai pengurus perusahaan keluarga, MJ Group. Sementara Raka lebih suka berfoya-foya dan menjalani hidupnya sesuka hati.
Raka dan Max berdiri di salah satu sudut ruang perjamuan hotel mewah di Paris. Raka tidak suka peran yang selalu melekat pada dirinya sebagai pewaris perusahaan. Bisnis dan urusan perusahaan selalu terasa membosankan baginya. Raka selalu ingin hidup bebas tanpa harus terkekang oleh tanggung jawab besar itu. Dia adalah sosok yang suka bersenang-senang dan menikmati hidupnya tanpa beban.
Tanpa basa-basi, Raka menghampiri Max yang tampaknya sudah menunggu kedatangannya. Dengan tatapan serius, Raka langsung bertanya kepada Max dalam bahasa Inggris yang kental, "Jadi, Max, apa yang kau inginkan dariku?"
Max tidak menjawab langsung. Sebaliknya, ia mengeluarkan beberapa foto dari saku jasnya dan menunjukkannya kepada Raka. Foto-foto itu adalah potret Raka bersama wanita-wanita cantik yang tersebar di berbagai acara mewah. Raka menatap foto-foto tersebut, wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun.
Mata Raka memandang setiap foto dengan acuh tak acuh, lalu dengan gerakan ringan, dia melemparkannya ke tempat sampah dengan sikap nonchalant. "Apa ini? Mengapa kau menunjukkan foto-foto ini padaku?" ujarnya dengan nada dingin.
Max mempertahankan ekspresi seriusnya. "Aku melihat perilakumu belakangan ini, Raka. Kau harus sadar akan tanggung jawabmu sebagai pewaris perusahaan. Papa sangat memperhatikan tindakanmu. Ini bukan saatnya bersenang-senang dan menggoda wanita. Kau harus fokus pada bisnis keluarga kita."
Raka mendongak, tatapannya tajam menusuk. "Aku tidak peduli dengan bisnis keluarga itu, Max. Aku tidak akan pernah tunduk pada perintah papa, dan kau juga tahu itu. Jadi, hentikan usahamu menjadi anjing pemburunya, yang selalu mengawasi setiap langkahku."
Max tidak tergoyahkan oleh kata-kata tajam Raka. Dia mendekati Raka dan menempatkan tangannya di pundak pria itu dengan lembut. "Papa sangat menyayangimu, Raka. Dia ingin yang terbaik untukmu. Kau harus menghormati keinginannya dan berhenti melawan. Itu yang terbaik untuk kita semua."
Raka hanya mendengarkan dengan diam, meskipun dalam hatinya dia melawan kata-kata Max. Pandangannya tiba-tiba teralihkan ke arah pintu, di mana dia melihat seorang wanita masuk. Lana, mempesona dalam balutan gaun malam yang membuatnya terlihat seperti bidadari dari kisah dongeng. Mata Raka tidak bisa berhenti memandanginya, seolah-olah terpesona oleh kecantikan wanita itu.
Max menyadari arah pandangan Raka segera dan memberikan pria itu teguran yang keras. "Dengar, Raka. Aku tidak sedang bercanda. Kau harus mendengar dan mengikuti apa yang papa inginkan. Jangan membuatnya marah dan merugikan dirimu sendiri."
Raka mengangguk singkat, tetapi pandangannya masih tetap terpaku pada Lana, yang tampaknya tidak menyadari perhatian Raka padanya. Max melihat pandangan Raka yang kosong dan menggertakkan gigi. "Dengarkan apa yang kukatakan, Raka. Papa tidak akan mentolerir sikapmu yang seperti ini lebih lama lagi."
Raka hanya mengangguk sekali lagi, tetapi dalam benaknya, dia hanya memiliki satu pemikiran: Lana. Hati dan pikirannya terbelah antara kewajiban keluarga dan hasrat yang tak terkendali.
Suasana di hotel itu gemerlap dengan lampu-lampu kristal yang memantulkan cahaya ke seluruh ruangan. Gaun malam Lana yang elegan menyapu lantai dengan anggun setiap kali ia melangkah. Setiap mata memandanginya, tetapi Lana hanya fokus pada lengan Rudi yang ia genggam erat. Sebuah senyuman dipaksakan terpasang di wajahnya, tetapi matanya menyiratkan kekecewaan yang sulit disembunyikan.Seiring langkah mereka mendekati meja perjamuan bisnis yang penuh dengan orang-orang berjas dan wanita-wanita berdandan mewah, Lana merasakan kekecewaan membeku di dalam dirinya. Apa yang seharusnya menjadi malam yang menyenangkan berdua dengan suaminya berubah menjadi malam yang membosankan dan formal.Ketika Rudi berhenti sejenak untuk berbicara dengan salah satu rekan bisnisnya, Lana melihat peluang untuk melepaskan diri. Dia mengelus pergelangan tangannya yang mulai terasa kaku karena genggaman Rudi yang terlalu kuat. "Maaf, aku harus ke kamar mandi sebentar," ucapnya, berusaha tersenyum lebar.Tanpa
Lana memasuki ruang rapat dengan langkah tegas, mengenakan setelan bisnis yang sempurna dan tatapan mata yang penuh otoritas. Sebagai wakil direktur utama dalam perusahaan besar ini, dia telah menghabiskan banyak waktunya di ruangan seperti ini. Semua karyawan tampak sangat menghormati Lana karena pembawaan wanita itu dengan kemampuan dan kecerdasannya yang membuatnya layak menjabat sebagai wakil direktur utama. Mata-mata para karyawan melirik saat Lana melintasi koridor menuju ruangannya, tetapi dia tidak memberikan perhatian lebih dan hanya memberikan senyuman ramah sebagai sambutan.Hari ini adalah hari pertama Lana kembali bekerja setelah liburan singkat yang ia lakukan beberapa waktu lalu. Meskipun dia sempat merasa terganggu dengan perasaan bercampur aduk yang melibatkan Rudi dan Raka, Lana sekarang bertekad untuk kembali fokus pada pekerjaannya. Dia tidak ingin menyia-nyiakan lagi waktunya untuk memikirkan berbagai perasaan dan masalah pribadi yang menghampirinya. Lana ingin m
Lana telah menciptakan suasana yang sempurna untuk malam itu, memilih gaun yang memancarkan keanggunan dan kepribadian yang kuat. Setiap detailnya diperhatikan, rambutnya diatur dengan indah, riasan wajahnya menyempurnakan penampilannya. Dia ingin menampilkan diri terbaiknya dalam pertemuan ini.Ketika tiba saatnya, Lana melangkah keluar dari kamarnya dan melihat sebuah mobil mewah yang sudah menunggunya. Pengemudi dengan santainya membuka pintu untuknya."Selamat malam, Nyonya," kata pengemudi dengan ramah saat Lana masuk ke dalam mobil.Lana tersenyum dan membalas salam. Selama perjalanan ke restoran, Lana merenung tentang Rudi. Dia tidak pernah membayangkan bahwa pria itu akan mengatur malam yang begitu istimewa baginya. Lana yang telah mengenal Rudi selama hampir lima belas tahun belum pernah melihat sisi romantisnya seperti ini sebelumnya.Angin sepoi-sepoi menyibak rambut halus Lana saat dia turun dari mobil mewah itu. Sentuhan dinginnya membuatnya merinding meskipun gaun malamn
Dalam gemuruh malam yang sunyi, Lana melangkah gontai menuju kamarnya, langkahnya tidak lagi seindah ketika dia tiba di restoran tadi. Rasa hangat dari alkohol yang merasuki tubuhnya mulai memudar, digantikan oleh kekosongan hatinya yang dalam. Begitu pintu kamar terbuka, sinar tipis lampu di ruangan itu menyilaukan matanya yang lelah. Rudi telah tidur, lengkap dengan tatanan rambut cokelatnya yang kusut dan wajahnya yang damai saat dia tertidur.Sayangnya, damai bukanlah kata yang bisa digunakan untuk menggambarkan perasaan Lana saat ini. Dia merasa terjebak dalam labirin emosionalnya sendiri, dan malam ini alkohol telah menjadi penyelamat sementara dari kenyataan yang sulit dia terima. Lana melihat bingkai foto pernikahan mereka yang selalu berada di meja nakasnya. Tatapan mereka dalam foto itu terlihat bahagia, ceria, dan penuh cinta. Pandangannya terpaku pada foto itu ketika senyuman mereka yang dulu begitu riang kini terasa seperti kenangan yang jauh.Dalam ledakan emosi, Lana me
Lana melangkah dengan penuh percaya diri menuju kantornya. Setelah seminggu berlalu sejak malam yang penuh gairah dan kasih sayang, kehidupan pernikahan Lana dan Rudi semakin membaik. Suasana hatinya jauh lebih cerah daripada sebelumnya, dan dia merasa seperti hubungan mereka akhirnya bisa dipulihkan.Ketika Lana tiba di kantor, ia merasa seperti ada atmosfer yang berbeda. Sejumlah wajah baru tampak sibuk di sekitarnya, dan beberapa karyawan baru tampak bersemangat menyambutnya. Lana tersenyum dan membalas sapaan beberapa karyawan yang menyapanya, merasa senang dengan semangat dan antusiasme mereka. Ia merasa bahwa semuanya berjalan dengan baik, hingga pandangannya tertuju pada seorang pria di tengah kerumunan, yang tampaknya menjadi pusat perhatian.Pria itu adalah Raka. Ia berdiri di tengah kumpulan karyawan baru, tersenyum cerah, dan terlihat sangat percaya diri. Pria itu tersenyum hangat ketika melihat Lana memasuki ruangan. Lana terdiam, dan hatinya berdegup lebih cepat. Lana te
Raka membuka matanya perlahan, merasakan tubuhnya yang lelah. Beberapa hari terakhir, ia telah bekerja keras, mengerjakan tugas-tugas yang sebelumnya tak pernah terbayangkan akan ia lakukan. Ia telah mengorbankan segala energinya untuk membuktikan diri kepada Lana, wanita yang memenuhi pikiran dan hatinya dengan kerumitan yang tak terbayangkan sebelumnya. Perasaan tergila-gila pada sosok wanita yang lebih dewasa, tegas, dan independen seperti Lana adalah hal baru bagi Raka. Ia lebih terbiasa dengan para wanita yang mendekatinya terlebih dahulu, bukannya sebaliknya.Wajah cantik Lana muncul di depan matanya, bahkan dalam keadaan separuh sadar seperti ini. Aroma harum parfum dari tubuh wanita itu menyelinap ke hidungnya, membuatnya semakin terhanyut dalam pesona Lana. Tanpa sadar, bibirnya membisikkan nama wanita itu dengan lemah."Lana..."Suara lembut Lana memecah keheningan. "Di luar hujan," katanya dengan nada penuh perhatian. "Kamu harus segera pulang dan beristirahat, Raka."Raka
Untuk sesaat Lana membiarkan Raka memeluknya, merasakan dekapan erat yang membuat hatinya berdebar kencang. Tubuhnya bergetar saat Raka melepaskan pelukan itu. "Lana," desah Raka, matanya masih memandang penuh hasrat.Lana berbalik, menatapnya dengan pandangan yang penuh kebingungan dan keragu-raguan. Raka merengkuh Lana lagi, mencium bibirnya dengan penuh gairah, tanpa memberi kesempatan pada Lana untuk berkata apa-apa. Lana mencoba mendorongnya lagi, tetapi Raka terlalu kuat dan tak terkendali. Bibir mereka bersatu dalam ciuman yang mendalam dan membara.Sesaat, Lana merasa terhanyut dalam pesona Raka yang tiba-tiba menguasai seluruh dirinya. Panas dan dingin bergulir di tubuhnya, menciptakan sensasi yang tak terlupakan. Ia merasa lemah, tetapi di saat yang bersamaan, gairah meletup di dalam dirinya.Ciuman Raka sangat membara, bahkan lebih bergairah daripada ciumannya saat mereka berada di Paris. Sekejap kenangannya melayang pada saat-saat indah yang pernah mereka habiskan bersama
Raka merasa kehangatan tangan Lana yang lembut seakan-akan memberinya sedikit ketenangan di tengah-tengah kekacauan emosinya. Matanya yang tadinya penuh dengan kebingungan dan keputusasaan, kini mencoba mencari pengertian dalam sorot mata hangat Lana. Dia bisa merasakan denyut nadi yang berdetak cepat di telapak tangan wanita itu, seolah-olah merasakan getaran emosi yang sama di dalam hatinya.Lana duduk di samping tempat tidur, tetapi matanya masih terlihat ragu dan penuh pertanyaan. Dia membiarkan Raka menggenggam tangannya, tidak menghindar atau menariknya.Raka duduk dengan perlahan, mencoba mengusir rasa pusing yang masih mengganggunya. Dia melepaskan tangannya dari Lana dan memandang wajah wanita itu dengan ekspresi yang tampak bersalah."Maaf, Lana," katanya dengan suara lembut, penuh penyesalan. "Aku tidak seharusnya melampiaskan amarahku seperti tadi. Itu tidak adil untuk kamu. Aku... aku kehilangan kendali diri. Tapi aku tidak bermaksud menyakiti kamu."Raka menatapnya denga