Saat satu minggu berlalu setelah acara resepsi pernikahan kerabat Rudi, kehidupan Lana dan Rudi berjalan seperti biasa, atau mungkin bahkan lebih hambar dari sebelumnya. Mereka hidup dalam rutinitas yang monoton, masing-masing sibuk dengan pekerjaan dan kehidupan sehari-hari mereka. Rudi masih terlalu terikat pada pekerjaannya, seringkali pulang larut malam atau bahkan menginap di kantor untuk menyelesaikan tugas-tugasnya yang tak ada habisnya. Sedangkan Lana, dia terus mencoba memberikan yang terbaik dalam perannya sebagai istri, meskipun hatinya semakin hampa.
Pagi itu, Lana bangun lebih awal dari biasanya, memutuskan untuk membuat sarapan khusus untuk Rudi. Selama beberapa minggu terakhir, ia telah memperhatikan bahwa Rudi sering melewatkan sarapan yang telah ia siapkan. Kali ini, ia memilih untuk membuat bekal agar suaminya bisa menikmatinya di perjalanan menuju kantor.
Saat Rudi keluar dari kamar tidur dengan setelan jasnya yang rapi, Lana mendekatinya. Dengan lembut, ia membantu Rudi memasangkan dasi di leher suaminya, mencoba memberikan sentuhan kehangatan dalam hubungan mereka yang semakin dingin. Kemudian, Lana meraih kotak sarapan yang telah ia siapkan, tersenyum lembut, dan berkata, "Sayang, aku udah siapin sarapan untuk kamu. Kamu bisa makan ini di mobil."
Rudi mengangguk dengan senyum tipis, lalu mencium bibir Lana dalam sebuah kecupan singkat. "Terima kasih, Na," ucapnya dengan nada yang datar.
Beberapa saat kemudian, Rudi mengambil kotak sarapan itu dan bersiap-siap untuk pergi. Namun, sebelum ia melangkah keluar, ia mengingatkan Lana, "Hari ini jadwal kerja aku cukup padat. Jadi, kamu nggak perlu menyiapkan makan malam.”
Lana mengangguk pelan, merasa kecewa meskipun ia mencoba menyembunyikan perasaannya. Dia mencoba untuk memahami Rudi, bahwa pekerjaannya memang sangat sibuk. Namun, dalam hatinya, ia berharap ada sedikit perhatian dari suaminya.
"Oh, ya, aku hampir lupa, aku harus ke pertemuan penting sore ini. Aku akan pulang agak malam, jadi kamu nggak perlu menunggu aku,” lanjut Rudi.
Lana hanya mengangguk, seakan sudah terbiasa dengan kata-kata itu. Rudi kemudian beranjak pergi, dengan bekal sarapan Lana di tangannya. Sebelum ia benar-benar melangkah keluar pintu, Lana meraih lengannya. "Rudi," panggilnya dengan lembut.
Pria itu berbalik, matanya menatap Lana. "Ada apa?"
Lana mencoba menekan perasaannya yang campur aduk. "Aku sudah mengambil cuti kerja mulai hari ini.”
Rudi menoleh, ekspresinya bingung. "Cuti? Kenapa?"
Lana merasa semakin kecewa. Ia menatap suaminya dengan mata yang penuh kekecewaan. “Kamu lupa rencana kita ke Paris. Aku bahkan sudah menyelesaikan semua pekerjaan aku lebih cepat untuk ini. Tapi kayaknya kamu lupa."
Rudi tampak terkejut. Ia merenung sejenak, berusaha mengingat rencana tersebut. “Maaf, Lana. Aku benar-benar lupa. Aku sangat sibuk dengan pekerjaan belakangan ini."
Lana mendesah pelan, mencoba menahan kekecewaannya. “Oke, kalau gitu aku akan membatalkan semuanya.”
"Jangan, Na," ucap Rudi dengan tulus.
"Aku akan mempercepat pekerjaanku dan kita akan pergi bersama. Kita juga udah lama nggak menghabiskan waktu bersama."
Lana tersenyum, merasa lega mendengar janji Rudi. Ia memeluk tubuh suaminya dengan erat. "Terima kasih, sayang.”
Dalam hatinya, Lana berharap bahwa perjalanan ke Paris akan menjadi titik balik dalam hubungan mereka yang semakin hambar. Ia ingin percaya bahwa Rudi benar-benar peduli padanya dan bahwa mereka bisa menemukan kembali kedekatan yang telah lama hilang.
***
Beberapa hari kemudian, Lana tiba di Paris dengan perasaan campur aduk. Hari pertama di Paris, Lana merasa seperti waktu berjalan begitu lambat. Ia terbaring di tempat tidur hotel dengan pemandangan jendela yang menampilkan pemandangan indah kota ini. Namun, kehampaan di hatinya tidak bisa dihindari. Rencana mereka untuk bersama-sama di Paris seharusnya menjadi momen indah dalam pernikahan mereka, tetapi kenyataannya, ia berada di sini seorang diri. Rencana untuk menghabiskan waktu bersama Rudi terasa semakin jauh dari kenyataan.
Mereka berjanji akan bertemu di Paris setelah Rudi menyelesaikan pekerjaannya di Singapura. Lana berangkat lebih awal dengan harapan bahwa Rudi akan menyusulnya dalam waktu singkat. Namun, seiring berjalannya waktu, kehampaan menggantikan antusiasme. Rudi tidak datang, dan pesan-pesan ponsel yang hanya memberikan alasan-alasan tentang pekerjaan semakin menumpuk.
Keesokan harinya, Lana merasa kesepian di kota yang seharusnya dipenuhi dengan cinta. Ia memutuskan untuk menjelajahi Paris seorang diri. Hari itu, ia berkeliling kota, menikmati pesona Eiffel Tower yang megah, menyusuri sungai Seine yang memukau, dan mencicipi kue-kue lezat di salah satu kafe kecil di Montmartre. Namun, di balik keindahan Paris yang menakjubkan, ada kekosongan dalam hati Lana yang sulit diisi.
Beberapa hari berlalu tanpa kabar dari Rudi. Ia masih berada di Singapore, sibuk dengan pekerjaannya, dan janji untuk segera menyusul Lana ke Paris tampaknya semakin jauh dari kenyataan. Lana merasa semakin kesepian dan kecewa, dan itulah alasan mengapa ia memutuskan untuk pergi ke salah satu bar di malam itu.
Di bar yang ramai itu, Lana duduk sendirian di sudut. Ia memesan minuman favoritnya dan berusaha merenungkan segala hal yang telah terjadi selama beberapa hari terakhir. Namun, ketenangannya tidak bertahan lama.
Tiba-tiba, seorang pria muda duduk di sampingnya. Tatapan pria itu tajam dan penuh ketertarikan.
Pria itu tersenyum ke arah Lana lalu bertanya, "Comment ça va, ma belle?" (Bagaimana kabarmu, sayang?)
Tanpa menoleh ke arah pria itu Lana menjawab, "Je veux boire seule, s'il vous plaît." (Saya hanya ingin minum sendirian, tolong).
Pria itu tampaknya tidak terganggu oleh penolakan Lana. Ia malah memesan minuman yang sama dengan yang dimiliki Lana dan tetap duduk di sana, pandangannya tetap menatapnya. Kehadirannya terasa mengganggu bagi Lana, dan ia akhirnya menoleh ke arah pria itu. Namun, saat mata mereka bertemu, Lana merasa terkejut.
Wajah pria itu sangat familiar, seolah-olah ia telah melihatnya sebelumnya. Lama-lama, ingatannya kembali ke pesta pernikahan kerabat Rudi beberapa waktu lalu. Pria itu adalah Raka.
“Sepertinya Anda masih mengingat saya,” ucap Raka dengan penuh percaya diri.
Lana merasa semakin tidak nyaman. Ia mencoba untuk mengabaikan kehadiran Raka, membiarkan matanya terus menatap ke depan.
“Lakukan apapun yang kamu inginkan, tapi tolong jangan ganggu saya dan berhenti melihat saya seperti itu!”
“Seperti apa?” tanya Raka dengan senyuman menggoda.
Lana merasa semakin tidak nyaman, dan ia berusaha untuk menghindar. Dengan gerakan singkat, ia berdiri dan mengambil minumannya. Ia berniat untuk pergi, mengabaikan pria itu sama sekali. Tetapi ketika ia hendak beranjak dari tempatnya, Raka tiba-tiba menahan tangannya.
"Maaf kalau saya membuat Anda merasa tidak nyaman. Saya tidak berniat untuk mengganggu." ujar Raka dengan nada sopan.
Dengan pandangan yang tajam, Lana menggerakkan tangannya untuk melepaskan genggaman Raka. Tak lama, ponselnya berdering menandakan pesan masuk dari Rudi. Lana merasa sangat kecewa ketika membaca pesan dari Rudi di layar ponselnya. Rasa kesal dan kekecewaannya begitu mendalam. Ia menggenggam ponselnya dengan erat lalu meremas ponselnya dengan kesal.
"Pekerjaannya masih belum selesai... tiga hari lagi," gumam Lana sambil membaca pesan Rudi dalam bahasa Inggris.
Tanpa memedulikan tatapan Raka, Lana kembali duduk di tempatnya. Dengan cepat, ia memesan beberapa minuman lagi, mencoba meredakan kegelisahannya. Ia memerlukan sesuatu yang bisa meredakan perasaannya, sesuatu yang bisa membantu melupakan kesedihannya. Lana meminum satu gelas setelah yang lain, hingga dia merasa kepalanya berputar dan perasaannya memudar.
Raka masih duduk di sampingnya, tetapi kali ini dia tidak mencoba memulai percakapan. Ia hanya duduk di sana, menatap Lana dengan ekspresi campuran antara perhatian dan keprihatinan.
"Dengar," kata Lana dengan suara yang terhuyung-huyung, "aku hanya ingin melupakan semuanya. Semua masalahku dengan Rudi. Semua kekecewaanku. Aku ingin lupa."
Raka mendengarkan semua celotehan Lana dengan seksama tidak pernah mengganggu atau mengkritik, menurutnya wanita itu sangat menggemaskan ketika mabuk.
Lama kelamaan, Lana merasa efek alkohol mulai merasuk ke dalam dirinya. Ia tersenyum pada Raka, merasa bahwa pertemuan ini adalah salah satu momen langka di mana ia bisa melupakan semua masalahnya.
Tanpa peringatan, Lana tiba-tiba mencium Raka. Ia merasa hasrat dan kemarahan yang terpendam, serta kekecewaannya pada Rudi, meledak dalam satu momen impulsif. Raka, awalnya terkejut, kemudian merespons dengan ciuman yang berapi-api. Mereka berdua tenggelam dalam momen itu, melupakan segala masalah yang ada.
Namun, seperti semua hal dalam hidup, momen itu pun berlalu. Setelah beberapa saat, mereka berdua sadar akan tindakan mereka. Lana mencengkeram lengan Raka dengan keras, menatapnya dengan mata penuh penyesalan dan kebingungan.
"Nggak seharusnya kita melakukan ini," gumam Lana, suaranya gemetar.
Raka hanya tersenyum dengan tenang. "Mungkin. Tapi terkadang melakukan hal-hal yang tidak seharusnya kita lakukan itu lebih menyenangkan."
Lana merasa dunia seakan berputar saat dia membuka matanya. Kepalanya terasa sangat berat, dan dorongan pusing akibat efek alkohol yang dia minum semalam masih membayangi dirinya. Dia meremas kepalanya yang sakit, mencoba mengingat apa yang telah terjadi semalam. Lana memejamkan mata sejenak, berusaha untuk mengingat lebih banyak tentang malam yang ia lalui.Saat Lana mulai memperhatikan sekitarnya, ia merasa lega karena menyadari dirinya berada di kamar hotelnya bukan di tempat asing yang tidak dikenal. Sekali lagi, Lana memalingkan pandangan ke sekeliling kamar, mencari-cari tanda-tanda apa yang sebenarnya telah terjadi semalam. Kemudian, ia memperhatikan bahwa pakaiannya sudah berganti dari yang ia kenakan semalam.Ingatan akan momen-momen mabuk semalam mulai kembali kepadanya. Tapi tiba-tiba, bayangan dirinya yang mencium Raka dengan penuh gairah tiba-tiba melintas dalam benaknya, dan itu membuatnya merasa cemas. Lana meremas selimut dengan kuat, mencoba menyingkirkan bayangan itu
Keesokan harinya, Raka tampak bersemangat. Dia ingin menghabiskan waktu lebih banyak bersama Lana, dan kali ini dia memiliki rencana yang jelas. Ketika dia mengajak Lana untuk mengelilingi Paris, dia tahu itu adalah kesempatan bagus untuk mendekati wanita itu.Lana awalnya menolak, tetapi Raka tidak begitu saja menyerah. Dia memahami bahwa Lana masih merasa tidak nyaman dengan situasi ini, tetapi dia bertekad untuk mengubah pendapatnya. Dia ingin Lana melihatnya sebagai seseorang yang bisa memberinya pengalaman baru dan mungkin mengubah pandangan Lana tentang hubungan mereka.“Sampai kapan kamu akan tetap di sini?” tanya Lana dengan kesal.“Sampai kamu setuju untuk pergi sama saya,” balas Raka.“Oke, tapi setelah ini jangan ganggu saya dan anggap kita nggak kenal,” ketus Lana dengan tatapan tajamnya.“Kita lihat nanti, karena bisa jadi kamu yang akan berubah pikiran,” ujar Raka sambil tersenyum. “Itu nggak akan terjadi,” gumam Lana dengan sinis.Akhirnya setelah Raka berhasil membuju
Lana merasa tubuhnya lelah setelah seharian menghabiskan waktu dengan Raka. Setelah sampai di kamar hotelnya, dia segera bergegas ke kamar mandi untuk menyegarkan diri dan berganti pakaian. Air hangat yang mengalir di pancuran terasa begitu menyenangkan, hampir seperti pelukan lembut yang meredakan tegangnya.Namun, meskipun tubuhnya merasa lelah, pikirannya tetap aktif. Perkataan-perkataan Raka masih berputar-putar dalam benaknya seperti lagu yang terus berputar tanpa henti.Dalam kegelapan ruangan yang hanya diterangi oleh cahaya redup dari lampu tidurnya, Lana berusaha keras untuk mengalihkan pikirannya dari Raka. Dia tahu bahwa dia harus melupakan pria itu dan fokus pada pernikahannya yang semakin hambar dengan Rudi.Ketika Lana sedang sibuk dengan pikirannya yang kacau, tiba-tiba terdengar suara ketukan lembut di pintu kamarnya. Lana, yang begitu terkejut dengan suara itu, langsung berjalan ke arah pintu dengan hati yang berdebar kencang. Dia membuka pintu dengan perasaan yang be
Suasana kamar hotel terasa sejuk, lampu kecil di sudut ruangan memancarkan cahaya yang lembut. Lana duduk santai di sofa empuk sambil menonton acara TV yang berlangsung begitu monoton. Dia mencoba menekan perasaan kesepian yang menghantuinya. Sementara itu, Rudi, suaminya, tenggelam dalam dunianya sendiri, sibuk memperhatikan panggilan bisnis yang tampaknya tak pernah berakhir.Lana merasa tidak puas. Dia ingin perhatian Rudi, ingin merasakan sentuhan dan kehangatan suaminya. Setelah memutuskan bahwa cukup sudah berdiam diri, dia mengambil langkah nekat. Dengan gerakan lincah, dia mendekati Rudi, menggugurkan kain tipis yang melilit tubuhnya dengan penuh ketegasan.Lana memandang Rudi dengan mata berkilauan, mencoba untuk memancing perhatian suaminya yang tampak sangat sibuk dengan ponselnya. Lana merebut ponsel Rudi dengan tiba-tiba, membuat pria itu menoleh dengan kening berkerut. "Kapan kamu bangun, Sayang?" tanyanya dengan suara lembut.Rudi mencoba meraih ponselnya yang direbut
Suasana di hotel itu gemerlap dengan lampu-lampu kristal yang memantulkan cahaya ke seluruh ruangan. Gaun malam Lana yang elegan menyapu lantai dengan anggun setiap kali ia melangkah. Setiap mata memandanginya, tetapi Lana hanya fokus pada lengan Rudi yang ia genggam erat. Sebuah senyuman dipaksakan terpasang di wajahnya, tetapi matanya menyiratkan kekecewaan yang sulit disembunyikan.Seiring langkah mereka mendekati meja perjamuan bisnis yang penuh dengan orang-orang berjas dan wanita-wanita berdandan mewah, Lana merasakan kekecewaan membeku di dalam dirinya. Apa yang seharusnya menjadi malam yang menyenangkan berdua dengan suaminya berubah menjadi malam yang membosankan dan formal.Ketika Rudi berhenti sejenak untuk berbicara dengan salah satu rekan bisnisnya, Lana melihat peluang untuk melepaskan diri. Dia mengelus pergelangan tangannya yang mulai terasa kaku karena genggaman Rudi yang terlalu kuat. "Maaf, aku harus ke kamar mandi sebentar," ucapnya, berusaha tersenyum lebar.Tanpa
Lana memasuki ruang rapat dengan langkah tegas, mengenakan setelan bisnis yang sempurna dan tatapan mata yang penuh otoritas. Sebagai wakil direktur utama dalam perusahaan besar ini, dia telah menghabiskan banyak waktunya di ruangan seperti ini. Semua karyawan tampak sangat menghormati Lana karena pembawaan wanita itu dengan kemampuan dan kecerdasannya yang membuatnya layak menjabat sebagai wakil direktur utama. Mata-mata para karyawan melirik saat Lana melintasi koridor menuju ruangannya, tetapi dia tidak memberikan perhatian lebih dan hanya memberikan senyuman ramah sebagai sambutan.Hari ini adalah hari pertama Lana kembali bekerja setelah liburan singkat yang ia lakukan beberapa waktu lalu. Meskipun dia sempat merasa terganggu dengan perasaan bercampur aduk yang melibatkan Rudi dan Raka, Lana sekarang bertekad untuk kembali fokus pada pekerjaannya. Dia tidak ingin menyia-nyiakan lagi waktunya untuk memikirkan berbagai perasaan dan masalah pribadi yang menghampirinya. Lana ingin m
Lana telah menciptakan suasana yang sempurna untuk malam itu, memilih gaun yang memancarkan keanggunan dan kepribadian yang kuat. Setiap detailnya diperhatikan, rambutnya diatur dengan indah, riasan wajahnya menyempurnakan penampilannya. Dia ingin menampilkan diri terbaiknya dalam pertemuan ini.Ketika tiba saatnya, Lana melangkah keluar dari kamarnya dan melihat sebuah mobil mewah yang sudah menunggunya. Pengemudi dengan santainya membuka pintu untuknya."Selamat malam, Nyonya," kata pengemudi dengan ramah saat Lana masuk ke dalam mobil.Lana tersenyum dan membalas salam. Selama perjalanan ke restoran, Lana merenung tentang Rudi. Dia tidak pernah membayangkan bahwa pria itu akan mengatur malam yang begitu istimewa baginya. Lana yang telah mengenal Rudi selama hampir lima belas tahun belum pernah melihat sisi romantisnya seperti ini sebelumnya.Angin sepoi-sepoi menyibak rambut halus Lana saat dia turun dari mobil mewah itu. Sentuhan dinginnya membuatnya merinding meskipun gaun malamn
Dalam gemuruh malam yang sunyi, Lana melangkah gontai menuju kamarnya, langkahnya tidak lagi seindah ketika dia tiba di restoran tadi. Rasa hangat dari alkohol yang merasuki tubuhnya mulai memudar, digantikan oleh kekosongan hatinya yang dalam. Begitu pintu kamar terbuka, sinar tipis lampu di ruangan itu menyilaukan matanya yang lelah. Rudi telah tidur, lengkap dengan tatanan rambut cokelatnya yang kusut dan wajahnya yang damai saat dia tertidur.Sayangnya, damai bukanlah kata yang bisa digunakan untuk menggambarkan perasaan Lana saat ini. Dia merasa terjebak dalam labirin emosionalnya sendiri, dan malam ini alkohol telah menjadi penyelamat sementara dari kenyataan yang sulit dia terima. Lana melihat bingkai foto pernikahan mereka yang selalu berada di meja nakasnya. Tatapan mereka dalam foto itu terlihat bahagia, ceria, dan penuh cinta. Pandangannya terpaku pada foto itu ketika senyuman mereka yang dulu begitu riang kini terasa seperti kenangan yang jauh.Dalam ledakan emosi, Lana me