Pagi itu sang pangeran memacu kuda hitamnya menuju ke batas ibu kota Wisteria dengan negara Drakenville yaitu Birchleaf town. Sejak dulu antara Wisteria Kingdom dan Drakenville memiliki beberapa kerjasama mutualisme terkait perdagangan, pendidikan, dan bantuan perang. Dua negara bertetangga itu selalu dalam kondisi damai satu sama lain sementara negara tetangga lainnya sering berkonflik baik besar maupun kecil.
Maka dari itu, William tertarik untuk mencoba melihat-lihat ke daerah perbatasan. Dia melihat dari atas punggung kudanya sebuah kedai 24 jam dengan papan nama "Bronson", dia menduga itu nama keluarga pemilik kedai tersebut. Kemudian William memacu kudanya mendekat ke tempat yang sepertinya cukup ramai pengunjung itu. Ada beberapa kereta kuda dengan inisial keluarga bangsawan serta kuda-kuda tunggang berpelana di area depan kedai.
Seorang anak remaja laki-laki belasan tahun dengan bintik-bintik kecoklatan di wajahnya menghampiri William sembari berkata, "Sir, apa Anda ingin mampir ke kedai kami? Aku bisa mengurus kuda Anda dengan cukup setengah keping Lira saja!"
"Tentu, kalau begitu setengah Lira untukmu, Boy!" sahut William merogoh saku dada jasnya mencari receh lalu melemparkan itu ke bocah laki-laki di samping kudanya yang dengan gesit menangkap koin emas milik sang pangeran. Kemudian pemuda itu turun dari pelana, meninggalkan kudanya diurus si bocah.
Dengan langkah santai yang tetap tegap karena tubuhnya memang biasa terlatih secara fisik, William memasuki kedai yang cukup ramai pagi jelang siang itu. Dia mengedarkan pandangannya sembari menggantung mantel bepergiannya di kayu gantungan yang tersedia untuk pengunjung.
Ada sekumpulan gadis-gadis cantik yang riuh berbincang di meja sofa panjang di sudut kedai itu. Semuanya berparas rupawan dan menampakkan aura elegan keturunan bangsawan yang terpelajar. William mulai bersemangat, dia berpikir mungkin salah satu dari gadis dalam kumpulan itu adalah jodohnya, calon ratu Wisteria Kingdom.
William menghentikan langkahnya di dekat meja konter pemesanan menu. 'Tunggu dulu ... kalau aku mengatakan kalau diriku adalah seorang pangeran maka mereka akan menyukaiku karena latar belakangku, bukan?' batin William penuh antisipasi dalam hatinya. Dia pun menoleh ke arah dalam dapur kedai dan mendapat ide cemerlang.
Kebetulan pakaiannya hari ini adalah pakaian biasa ala rakyat jelata bukan pakaian bangsawan yang mewah. Itu hanya kemeja lengan panjang bertali di bagian dada hingga leher dan celana panjang kain warna cokelat. Dia mendekati seorang wanita berperawakan gemuk yang sedang sangat sibuk menuang minuman limun segar ke beberapa gelas dengan es batu. Memang cuaca sedikit panas setelah semalaman hujan berpetir.
"Ma'am, apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Will berpura-pura seolah dia karyawan baru kedai itu.
Wanita itu menoleh dan menjawab dengan sedikit gusar, "Hah! Siang sekali kau datang—pelayan baru yang melamar kerja kemarin 'kan?! Siapa namamu, Nak?"
Mulailah sang pangeran berakting, "Emm—Willy, namaku Willy, Ma'am. Maafkan karena aku terlambat—"
"Sudahlah, jangan banyak mulut. Di kedai ini tangan dan kakimu lebih diperlukan, oke? Dan sekarang—antarkan isi nampan ini ke meja nomor 5. Nona-nona muda itu pasti sudah kehausan sejak tadi! Cepat ... cepat ... cepat ... goyangkan bokong teposmu itu ke sana!" cerocos nyonya gemuk pemilik kedai Bronson itu kepada William sambil menunjuk nampan di atas meja yang berisi 8 gelas minuman es limun segar.
William memutar bola matanya dengan sedikit tersinggung dan berpikir ragu apakah bokongnya setepos itu. Namun, dia tetap melakukan perintah sang nyonya pemilik kedai Bronson dengan membawa nampan berat itu.
'Ohh ... damn! Ini bukan jenis pekerjaan yang pernah kulakukan seumur hidupku. Geez!' batin William sembari melangkah menuju ke meja sofa panjang yang penuh berisi gadis-gadis cantik yang tadi dia incar.
Bel penanda tamu baru masuk ke kedai terdengar berdenting. Seorang gadis berambut pirang sedikit ikal bergelombang yang mengenakan baju seragam Drakenville Senior High School masuk dan berjalan menuju ke meja nomor 5 juga.
"Hai, Amelia. Kau terlambat sekali menyusul ke mari!" rajuk salah satu gadis berambut cokelat mahoni lurus sepunggung di meja nomor 5.
"Profesor August menahanku dengan diskusi yang membuat kepalaku berkunang-kunang, Abigail. Jadi jangan omeli aku lagi, oke?" jawab Amelia sembari duduk di sofa paling ujung dekat lorong antar meja kedai.
Dan William pun sekilas menatap wajah gadis yang dipanggil Amelia itu, sedikit terpesona dengan sepasang mata ungu langka yang dimiliki oleh gadis yang datang terlambat barusan. Sudah 6 gelas limun dingin yang berhasil sampai ke tangan pemesannya hingga gelas 7 yang sialnya tergelincir dari tangannya karena licin. Itu bukan salahnya karena sabun di pegangan gelas kaca besar tersebut masih belum terbilas sempurna.
"BYURR!"
Sungguh naas, minuman limun dingin itu membasahi baju seragam Amelia. Mereka berdua pun bertukar pandang, sepasang mata cokelat dan sepasang mata ungu itu dengan mulut sama-sama terperangah penuh keterkejutan.
"Ma–maafkan aku, Nona!" William terbata-bata mengambil tissue di meja untuk membersihkan baju Amelia yang basah tanpa sadar bahwa dia menyentuh bagian yang seharusnya tidak ia sentuh, untuk kebaikan dirinya sendiri.
Amelia syok dan malu hingga tak mampu bereaksi saat pelayan laki-laki di hadapannya mengelap bagian dada bajunya yang basah. Kawan-kawannya ber–ahh dan ohh terkejut juga dengan kelancangan pemuda pelayan kedai itu. Tiba-tiba ...
"PLAAKKK!" Suara nyaring tamparan keras yang mendarat di pipi William terdengar menyisakan rasa pedih dan panas bagi pemuda itu.
Tangan gadis yang dipanggil Abigail tadi yang menampar William. Matanya melotot penuh amarah seraya berseru, "DASAR BODOH! Kau lancang sekali pada puteri—"
"Stop, Aby!" potong Amelia, dia tak ingin latar belakang keluarganya yang tidak biasa dibawa-bawa dalam peristiwa yang tidak disengaja barusan. "Aku baik-baik saja, nanti juga kering dan aku pun membawa baju ganti di kereta karena ingin berkunjung ke "Madam Tania's Orphanage", hari ini jadwal kerja sosialku di sana!"
Sedikit terkejut dengan reaksi Amelia, tetapi William merasa bahwa gadis itu berbeda dari yang lainnya. Dia lalu berkata, "Nona, aku yang bersalah. Tolong maafkan aku, mungkin Anda ingin memesan kue atau menu lainnya. Biarkan aku yang membayarnya nanti untuk menebus kesalahanku. Tadi murni ketidaksengajaan—"
Senyum terbit di wajah oval berbentuk hati itu, Amelia menjawab, "Aku tahu. Permintaan maaf diterima. Namun, kau tak perlu menghabiskan gaji seharimu di kedai hanya untuk mentraktirku, oke?"
Ternyata senyuman itu menular dan William pun ikut menarik sudut-sudut bibirnya lebar-lebar hingga menampakkan sederet gigi putih rapinya. Mereka berdua saling bertatapan beberapa detik hingga terdengar suara gadis lain berbicara, "Amelia, dia hanya pelayan kedai. Jangan terlalu dekat, dia hanya akan menyusahkanmu nantinya!"
William melirik tajam dan menahan lidahnya. 'Hah! Pelayan kedai? Kau belum pernah dipenjara mungkin karena menghina pangeran, Nona!' batinnya dongkol.
Lalu Abigail pun menimpali, "Dia bukan kelas kita, Amelia. Lebih baiķ kau berteman dekat dengan Pangeran Ares dari Drakenville saja, mungkin ayahmu akan merestui hubungan kalian!"
'Whattt?! Ares Kincaid? Kenapa dia—apa gadis bernama Amelia ini kekasihnya? Tidak ... kuharap ini tidak benar!' batin William galau di dalam hatinya. Dia tidak boleh berebut wanita dengan pangeran dari Drakenville, itu buruk untuk hubungan kedua negara yang telah bersahabat selama ratusan tahun lintas dinasti.
"Willy! Antar makanan ini ke meja 3, kau lelet sekali sih seperti perawan saja!" teriak nyonya pemilik kedai bertolak pinggang dengan wajah menyeramkan dari balik meja konter pemesanan menu.
Pemuda itu menoleh ke arah lengkingan suara yang memanggilnya. "Ohh ... what the hell!" rutuk William spontan yang membuat Amelia terkikik geli meliriknya dan berkata, "Bekerjalah yang rajin, Willy!"
Karena kedai Bronson begitu ramai pengunjung, William harus puas hanya bisa curi-curi pandang ke arah meja nomor 5 dimana gadis bernama Amelia yang telah membuatnya tertarik dengan sangat kuat sedang berbincang seru bersama teman-temannya yang barbar itu.Sementara dia yang menyamar menjadi pelayan kedai harus pontang panting mengantarkan pesanan para pengunjung kedai. Belum lagi nyonya gemuk pemilik kedai bernama Susan itu begitu galak kepadanya bila dia berlama-lama mengambil makanan dan minuman yang telah disiapkan di konter pemesanan menu.Hampir tengah hari rombongan gadis pelajar bangsawan itu membubarkan diri untuk pulang, begitu juga Amelia yang telah berganti baju biasa tadi setelah baju seragamnya ditumpahi air limun oleh William. Satu per satu mereka membayar orderan menu masing-masing di kasir yang dilayani oleh Nyonya Susan Bronson sendiri. Amelia selalu mengalah kepada teman-temannya dan dia yang terakhir membayar serta meninggalkan tempat itu. Saat ia hendak melangkah
Saat sedang berada dalam perjalanan pulang dengan kereta kuda menuju ke Georgiatown, ibu kota Wisteria Kingdom, Lady Amelia Stormside membuka jendela depan kereta yang ada di balik punggung kusir. Dia mengobrol dengan Jeffrey Ross, sobat sekaligus kusirnya."Kasihan sekali anak-anak di panti asuhan itu, Jeff. Sayang sekali aku tak punya banyak uang untuk disumbangkan," ujar Amelia dengan tatapan sayu memandangi jalanan di depan kereta kuda dari jendela itu.Jeffrey pun menyahut, "Miss Amy, apa Anda sudah mendengar mengenai turnamen ketangkasan 5 tahunan yang diadakan kerajaan Wisteria dan Drakenville sebentar lagi? Hadiahnya total 1 juta Lira, kurasa juara harapan pun akan mendapat uang yang lumayan besar nilainya!"Seolah mendapat kabar suka cita dari malaikat, wajah Amelia berbinar-binar. Dia pun berkata, "Apa pesertanya harus mendaftar terlebih dahulu, Jeff? Antarkan aku sekarang untuk mendaftar kalau iya!"Kusir kereta kuda itu tertawa kencang terbawa oleh angin yang berhembus mel
Separuh wajah Lady Amelia Stormside tertutupi oleh topeng perak dengan hiasan bulu-bulu angsa lembut berwarna putih. Dia menuruni undakan kereta kuda milik keluarga Stormside setelah Lady Zemira turun terlebih dahulu.Ayah Lady Amelia yaitu tuan perdana mentri Alexei Stormside sudah berangkat terlebih dahulu ke istana sejak sore sebelum puterinya pulang ke rumah. Sekalipun ia tahu tujuan diadakan pesta dansa malam ini tak lain untuk mencarikan jodoh penerus raja Wisteria Kingdom. Namun, Alexei tak ingin menggunakan kedudukannya untuk menyodorkan puterinya sebagai calon istri sang pangeran. Dia kuatir Amelia tak cocok dengan apa yang didambakan oleh Pangeran William Lancester. Kriteria calon istri pangeran sangat tidak jelas karena pemuda itu bersikeras ingin mencari sendiri gadis yang akan dipilihnya."Ayo kita masuk, Amy. Kurasa teman-teman sepermainanmu pun sudah ada di dalam aula istana. Bertingkahlah sopan dan anggun, jangan buat Mama papa kecewa!" pesan Lady Zemira menggandeng l
"Ohh ... sial, cepat sekali gadis itu berlari! Kemana dia?!" rutuk sang pangeran bertolak pinggang di ambang pintu keluar aula sambil celingukan mengamati beberapa kereta kuda yang bergerak meninggalkan halaman depan istana.Dari arah belakangnya seorang pria bertubuh tinggi tegap berlari-lari mendekati William. "Ada apa, Your Grace? Apakah ada yang tidak beres?" tanya pria itu saat sang pangeran membalik badannya."Begitulah, Sebastian ... nampaknya merpatiku lepas dan terbang menghilang!" ujar sang pangeran mengibaratkan anak dara yang dia sukai pergi meninggalkannya begitu saja.Namun, sang jenderal Wisteria Kingdom mengerutkan dahinya sembari melihat ke arah langit mencari bayangan burung merpati yang dimaksud oleh sang pangeran. "Kenapa malam-malam begini mencari merpati, Your Grace? Apa ingin berkirim surat kepada seseorang?" tanya Jenderal Sebastian Dalio penasaran.Mengetahui sang jenderal muda salah paham, William pun tertawa. "Ahh ... lupakan saja, Sebastian. Mungkin kami be
Sebelum tertidur Lady Amelia berbaring di ranjangnya sambil memikirkan hari yang penuh petualangan sedari dia pulang sekolah tadi. Pelayan baru Kedai Bronson yang bernama Willy itu entah mengapa agak mencurigakan. Pemuda tadi tidak begitu cocok sebagai seorang yang bekerja sebagai pelayan kedai, ada aura keturunan bangsawan yang terpancar kuat dari caranya menatap dan bagaimana pemuda itu berbicara. Pekerja kasar dari rakyat jelata tidak seharusnya sesopan dan berkelas seperti Willy. Belum juga pikirannya usai menganalisa Willy si pelayan aneh, sosok Lord William Blackwood turut mengisi benaknya. Pria muda berdarah biru itu begitu romantis dan menyenangkan. Cara pria tadi menciumnya meninggalkan kesan yang mendalam. Lady Amelia tersenyum sendiri sembari menyentuh bibirnya dengan jemari tangannya teringat kelembutan bibir pria bangsawan tadi.Sayang sekali, ide menikah dengan segala kerumitannya membuat Amelia lebih memilih untuk kabur dari hadapan Lord William Blackwood. Lagi pula t
Sebuah medali emas dengan grafir logo Drakenville digenggam oleh Lady Amelia sambil dia amat-amati saat duduk di dalam kereta kuda yang melaju kencang meninggalkan halaman belakang sekolahnya menuju ke Kedai Bronson. Setiap usai sekolah, gadis itu dan teman-teman dekatnya memang menghabiskan waktu senggang di sana."Apa yang harus kulakukan dengan medali emas ini? Kalau hanya menyimpannya sepertinya tidak akan berguna, bukan? Ahh ... dijual saja, uangnya bisa kudonasikan untuk anak-anak panti asuhan milik Madam Tania!" ujar Lady Amelia kepada dirinya sendiri sembari melihat kilau keemasan medali tebal bulat itu tertimpa sinar matahari yang menembus kaca jendela kereta kudanya.Setelah 20 menit berlalu, perjalanan kereta kuda pun usai. Jeffrey Ross mengetok bagian depan kereta seraya berseru, "Miss Amy, kita sudah sampai!" "Terima kasih, Jeff. Aku akan turun," jawabnya dari dalam kereta kuda lalu Lady Amelia membuka pintu. Dia meninggalkan koper sekolahnya di bangku kereta dan hanya m
"Bravo, Miss Amy!" teriak Jeffrey Ross dengan tercengang saat dia melihat nona mudanya melambaikan tangan di atas benteng setinggi 50 meter setelah gadis itu memanjatnya dengan bantuan tali tambang.Setelah mencopot tali tambang yang tadi dia lemparkan hingga melingkari batu dinding benteng, Lady Amelia menggulung tali tambang itu dengan rapi lalu mengikatnya sebelum melemparkannya ke bawah dimana kusir kereta kudanya berada. Dia lalu berjalan santai menuruni tangga menuju ke pintu keluar samping benteng yang minim penjagaan itu. Wisteria Kingdom sudah lama memang tidak pernah terlibat perang dengan negara tetangga. Prajurit yang masih tersisa lebih banyak yang berusia di atas 30 tahun dibanding yang masih remaja. Setelah menemui Jeffrey Ross, nona muda keluarga Stormside itu pun berkata, "Tubuhku ringan, itulah sebabnya tak ada kesulitan untuk memanjat dengan tali, Jeff. Lagi pula kakiku menapak di tembok pastinya itu teknik yang bagus untuk menambah kecepatanku naik ke atas.""Wow
Tidak mencukur wajah selama beberapa hari membuat wajah sang pangeran dari Wisteria Kingdom tersamarkan seperti buruh kalangan rakyat jelata. Pangeran William sengaja mengenakan pakaian dari bahan kain longgar yang warnanya sudah memudar. Hari ini adalah hari pertama turnamen ketangkasan 5 tahunan yang diadakan Wisteria Kingdom dan Drakenville Kingdom. Dia sengaja menyamar sebagai pemuda biasa untuk sekadar berkompetisi secara sportif dengan peserta lainnya. Ketika Pangeran William melewati taman istana menuju ke dinding depan benteng istana, dia berpapasan dengan Jenderal Sebastian Dalio. Sedikit menyembunyikan rasa gelinya, sang jenderal menyapa sang pangeran, "Selamat pagi, Your Grace. Hari yang cerah untuk berkompetisi!" "Pagi yang segar, Jenderal! Oya, jangan panggil aku dengan gelarku, cukup Willy saja, oke?" balas Pangeran William sambil berjalan cepat menuju ke lokasi turnamen babak pertama."Apa tidak masalah seperti itu, Pangeran? Ehh—Willy?" ujar Jenderal Sebastian ragu