Share

Bab 02. Firasat

Malam itu udara terasa begitu dingin, wajar saja musim hujan telah tiba. Desya termenung dalam dinginnya malam. Dia yang sehari-harinya hanya terbaring si tempat tidur membuatnya jenuh. Dirinya putus asa, tak bisa melayani suaminya dengan baik seperti sebelum kejadian kecelakaan itu.

"Mas …” panggil Desya pada Rangga yang sedang berada di sebelahnya bermain ponsel. Pria itu sudah kembali dari bawah. 

"Iya, Sayang?" Pria itu kembali berkata lembut. Desya sedikit senang karena sepertinya suaminya itu tidak terlalu berubah.

"Apa kamu masih mencintaiku dalam keadaan seperti ini?" tanya Desya. 

Rangga tiba-tiba terdiam dan duduk di sebelah Desya. Dia mengingat semua yang sudah dia lakukan dengan Irma di belakang Desya, sedangkan Desya dalam keadaan sakit dan terpuruk. Rangga menatap Desya melihat keadaan seorang wanita yang sejak dulu berada disampingnya, susah maupun sedih. 

"Mas kenapa kamu diam?" 

"Iya Sayang, jangan ragukan soal itu." 

"Berarti kamu janji tidak akan berbuat curang di pernikahan kita?”

"Iya aku janji.”

Suasana seketika hening, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamar memanggil Rangga. Rangga membuka pintu dan melihat Irma ada di depannya. 

"Sedang apa kamu mas, lama sekali?" tanya Irma. 

"Ngapain kamu ke sini?! Tunggu di bawah!" pekik Rangga dengan nada yang sangat kecil takut Istrinya mendengar percakapan mereka. 

Desya memperhatikan Rangga dan Irma dari tempat tidurnya. Dia masih susah berdiri apalagi berjalan. 

"Siapa Mas?" tanya Desya dari kejauhan.

"Irma Sya, dia tidak tahu minimarket di sebelah mana. Mungkin, aku akan mengantarnya sebentar ya, kasihan dia kan orang baru disini.”

Rangga menutup pintu dan menarik tangan Irma turun menuju ruang tamu. 

Desya terdiam lagi, sebenarnya Desya adalah wanita yang overthinking terlalu banyak berpikir tentang sesuatu yang belum pasti. Namun, firasatnya memang sering benar.

Oke, lupakan itu dulu. Desya  berusaha selalu berpikir positif. Dia sempat drop berminggu-minggu hanya karena memikirkan siapa pencuri di kantornya. Jadi, lebih baik dia tenang dulu.

***** 

Rangga masuk ke kamar Irma yang berada di lantai bawah rumahnya. Dulunya, itu adalah kamar tamu namun sekarang berhubung Irma sudah tinggal disini, kamar itu menjadi kamar Irma.

“Jangan pernah memanggilku di depan Desya!” pekik Rangga.

"Mas Rangga, tapi aku tidak mau tidur sendirian disini aku takut."

“Bagaimana nanti kalau Desya tau?”

“Biarkan saja! Dia tidak akan bisa mencarimu kesini kan, ayolah Mas malam ini saja. Aku takut petirnya” ucap Irma dengan nada manja.

Rangga menjadi bimbang, di satu sisi dia menyayangi Desya. Tapi, di sisi lain Irma yang mampu memberikan pelayanan untuk kebutuhannya. 

Petir memekik memecah keheningan malam. Deru angin bergemuruh saling bersahutan.

Irma yang takut akan kegaduhan alam itu memeluk Rangga dan menarik suami sahabatnya itu masuk ke kamar.

Dibantingnya tubuh Rangga bersamanya ke ranjang. Membuat udara yang semula dingin menjadi panas, semakin panas hingga membuat gairah keduanya meledak.

Sementara itu, Desya mulai gelisah, Rangga tak kunjung kembali ke kamarnya. Dia mencoba menggerakkan kakinya namun hanya rasa sakit yang ia rasakan. Kaku dan sangat sakit. Lalu Desya mengambil ponsel dan menelpon Irma, tak ada jawaban. Mencoba berpikir positif, Desya memejamkan matanya mencoba mendamaikan logika dan perasaanya yang tak karuan.

Permainan terlarang itu dimulai lagi. Tampak keduanya sangat menikmatinya, tak peduli ada seorang wanita yang menderita di kamarnya. Wanita yang selalu merasa sesak dadanya jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. 

 

Di kala dua orang pasangan terlarang sedang becumbu di kamar tamu, ada seorang istri sah yang menderita menahan sakit dan sesak di dada. Tubuhnya memberi sinyal bahwa lelaki yang menjadi bagian hidupnya sedang berbuat zalim pada istrinya sendiri meskipun Desya tak mengerti. 

"Kenapa kamu selalu membuatku sebahagia ini Irma?" pekik Rangga yang sangat menikmati permainan itu. 

Irma hanya bisa tersenyum dan terus menggoda suami sahabatnya itu.

"Aku sangat ingin memiliki anak, bolehkah Irma jika…" 

Di tengah-tengah permainan mereka, Rangga sempat berbicara ingin memiliki seorang anak dan mungkin saja itu dari rahim Irma. Namun, ucapannya berhenti ketika sesuatu yang sangat menyenangkan dan membuat seluruh tubuh bergetar hebat, membuat Rangga mendekap erat Irma dan memberikan sesuatu yang mungkin bisa saja tumbuh. 

"MAS RANGGA!" seru Irma tiba-tiba. Dia mulai menangis mengingat mereka tidak menggunakan pengaman.

"Sial! Kenapa kamu lakukan itu bodoh?!" Rangga seketika menyadari perbuatannya setelah mendengar teriakan Irma. Dia langsung lemas dan seketika teringat Desya. 

"Irma tolong berhenti menangis. Aku harus menemui Desya. Tolong, jangan bilang siapa-siapa aku pasti tanggung jawab!" 

Rangga lalu merapikan bajunya dan berlari menaiki tangga, menuju ke kamarnya. 

Melihat itu, Irma seketika berhenti menangis dan mulai berpikir: jika dia bisa memberikan Rangga seorang anak, mungkin saja nyonya di rumah ini bukan lagi Desya. Irma pun tersenyum dan mencoba mencari cara agar rencananya berjalan lancar. 

*****

Desya yang lama menahan sesak di dada dan menangis tanpa penyebab terkulai lemas di tempat tidurnya. 

Rangga yang melihatnya langsung membangunkan Istrinya itu dan memeluknya.

"Kamu kenapa, Sayang?" 

"Mas kamu dari mana saja?" tanya Desya serius. 

"Mengantar Irma ke Minimarket." 

"Lama sekali?" cecar Desya yang mulai melihat keanehan dari ucapan Rangga. 

"Tadi aku makan bakso di bawah, ada tukang bakso lewat terus beli bakso." 

"Bakso? Aku tidak mendengar apapun disini, biasanya kalau ada pedagang lewat aku dengar Mas," 

"Itu ... Tadi, bapaknya tidak membunyikan loncengnya karena aku larang biar tidak berisikin kamu yang lagi istirahat," ucap Rangga dengan cepat. 

Desya terdiam. Dia mencoba menerima alasan Rangga, tetapi pikirannya justru menolak dan berpikir: adakah yang Rangga sembunyikan? 

"Oh ya, kamu belum jawab pertanyaanku. Kenapa kamu menangis?" tanya Rangga. 

"Beberapa hari ini dadaku sering sesak Mas, aku menangis sendiri tanpa ada sebab yang aku ketahui, bawaannya ingin menangis saja. Aku akan terus sesak jika belum menangis" 

"Bisa begitu ya, Sya? Mungkin, ini efek obat dari rumah sakit," 

"Tidak tahu Mas." 

Rangga masih merasa bersalah atas perbuatannya. Kenapa bisa seceroboh itu, bagaimana jika nanti Irma hamil? Desya yang melihat ketidaktenangan Rangga mencoba mengetahui apa yang sedang dipikirkan suaminya. Namun, karena kelihatannya Rangga sangat stres Desya mengurungkan niatnya. 

Tiba-tiba ponsel Rangga berbunyi, Rangga menyudahi lamunannya dan menerima panggilan itu. 

"Halo Bu." 

"Rangga bagaimana kabarmu?" tanya seorang wanita yang Rangga sebut Ibu. 

"Baik Bu, ada apa?" 

"Ibu mau datang besok, kamu jemput di bandara ya?" 

Rangga terkejut dan terlihat gugup. Namun, tak ada waktu baginya, tak ada kata lain selain mengiyakan permintaan Ibunya. 

"Siapa Mas?" tanya Desya.

"Ini Sya, Ibu besok mau datang minta dijemput di Bandara." 

"Wah bagus dong Mas! Aku juga sudah merindukan Ibu mertuaku yang sangat baik." Desya mulai kembali tersenyum. 

Dalam hati Rangga bingung, bagaimana nanti jika ibunya mengetahui ada Irma disini lalu mengetahui hubungan Rangga dan Irma? 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status