“Hah, obat?” Desya mengamati satu per satu produk obat yang ada di tangannya. Tampak selembar kertas bertuliskan resep. Terlihat dari tulisannya seperti tulisan dokter. Desya tersenyum, membaca secarik kertas dengan inisial R dia langsung mencari ponselnya dan menelpon Pak Rehan. “Apakah ini semua untukku?” “Kebetulan Bapak punya kenalan Dokter hebat, jadi bisa kirimkan kamu resep itu. Semoga lekas membaik dan segera bangkit dari masalahmu Desya,”“Terima kasih banyak Pak Rehan, Desya tidak tahu lagi harus berkata seperti apa. Intinya Desya bersyukur bisa mengenal Bapak yang begitu baik dengan saya.”“Dont mention It, saya sudah anggap kamu seperti anak perempuan saya sendiri,”Desya nampak semangat kali ini, dia tidak sendiri. Dia merasa ada dukungan penuh dari pengacaranya. Telepon tertutup, Desya membaca resep dokternya dan meminum obat-obat itu.Disembunyikannya obat-obatan itu di bawah kolong tempat tidur agar tidak ada yang mengetahuinya.“Desyaaaa!”Teriak seseorang yang bera
“Desya apa yang kamu lakukan!” Rangga melotot ke arah Desya yang tak sengaja membuat kursi itu jatuh sebelum Irma mendudukinya. Desya hanya ingin bangkit dan berpegangan pada kursi namun nahas, Irma yang hendak mendudukinya justru terjatuh.“Maaf Irma aku tak sengaja,”“Mas Rangga perutku sakit sekali.”“Iya Irma, ayo aku bawa kamu ke dokter.”Rangga membopong Irma menuju mobil, meninggalkan Desya dengan rasa bersalahnya meskipun tak sengaja. Ibu mertuanya yang baru saja pulang dari Mall langsung panik.“Irma kenapa Rangga?”“Jatuh dari kursi bu, Desya yang menyebabkan ini,”“Kurang ajar wanita itu, apakah dia sudah tahu soal kehamilan Irma?”“Sepertinya tidak bu, kelihatannya Desya tak sengaja. Sudah bu Rangga mau bawa Irma ke dokter,”“Ibu harus ikut, ibu mau pastikan cucu ibu baik-baik saja.”Mereka pun pergi mengantar Irma ke dokter, Desya menyaksikan kecemasan antara suami dan mertuanya terhadap wanita yang seharusnya bukan bagian dari keluarga ini. Desya meraih meja makan dan ke
“Maksud kamu apa Mas, kamu mengejekku?” “Lalu kenapa kamu bisa sampai di kamar ini tanpa kursi roda?” Desya bergumam dalam hati : “Sial, aku lupa membawa kursi roda itu kesini. Bagaimana ini kalau sampai Mas Rangga tahu,” “Kenapa kamu diam!” cecar Rangga. “Aku tidak bisa meraih meja untuk duduk di kursi roda, kau tahu sendiri kan, aku tidak bisa berpegangan dengan kursi, tadi pagi saja Irma sampai terjatuh gara-gara aku pegangan kursi itu. Lalu aku merangkak kesini,” Rangga mengamati wajah Desya, sepertinya Rangga percaya dengan penjelasan Istrinya itu. Rangga pun segera pergi dan menemui Irma lagi. ***** “Aku semakin terancam, apalagi kalau suatu saat Mas Rangga tahu brankas sudah kosong. Pasti mereka tak segan-segan mencelakaiku. Bagaimana ini Tuhan, bantu aku menyelesaikan semua ini,” gumam Desya lirih. Pikirannya saat ini kacau, dia harus melanjutkan rencananya untuk keluar dari zona ini. Sesekali dia mengintip dari balik jendela nya ke arah luar untuk memastikan tak ada
“Ohhh, saya ingat. Pak Rehan Wijaya, pengacara menantu saya kan?” seru Ibu Rangga. “Betul sekali Bu,” “Ada keperluan apa ya Pak?” “Saya ingin menjenguk Desya, saya baru dengar dari rekan saya kalau dia sedang sakit,” Ibu Rangga tampak ragu untuk mempersilahkan Pak Rehan masuk karena kondisi Desya sangat memprihatinkan. Dia tak mau Pak Rehan tahu yang sebenarnya dan justru akan melaporkan mereka ke polisi. “Bu Ratih?” tanya Pak Rehan melihat Ibu Rangga yang melamun. “Eh, iya Pak,” “Bolehkah saya masuk?” Ibu Rangga terdiam berfikir mencari alasan namun nampaknya dia tak menemukan pilihan lain selain mempersilahkan Pak Rehan untuk masuk. Rangga yang mendengar bahwa ada Pak Rehan di luar langsung menyuruh Irma untuk mengerudungi kepala Desya dengan jilbab muslimah. “Bagus Irma, sekarang beri dia riasan wajah sebelum dia menemui Pak Rehan, dan kamu Desya kamu dilarang mengadu semuanya dengan Pak Rehan atau kamu akan lebih menderita dari ini!” ungkap Rangga. Desya menghentikan tan
“Desya! Rambut kamu?” Pak Rehan melihat ada sesuatu yang beda dari Desya saat Desya membuka sedikit kerudungnya. “Ini ulah Irma,” “Irma yang kau sebut sahabatmu itu?” “Dia bukan lagi sahabatku Pak, dia adalah racun rumahtanggaku.” “Tidak bisa dibiarkan! Bapak harus laporkan ini ke polisi, sudah kriminal namanya,” “Jangan Pak, Irma sedang hamil anak Mas Rangga. Kasihan kalau dia dipenjara.” “Kasihan kamu bilang? Apakah mereka kasihan denganmu?” Desya terdiam sambil memandangi wajahnya yang kusam tak terawat itu di kaca yang terletak di dasbor mobil Pak Rehan. “Mungkin untuk saat ini Desya fokus untuk peralihan aset saja Pak, rasanya sudah ingin lepas dari Mas Rangga.” “Baiklah kalau begitu Desya, untuk sementara knj kamu harus tinggal di rumah Bapak.” Desya mengangguk dan tersenyum. ***** “Ini Desya?” Bu Ratna yang terlihat baik-baik saja, erat dan bugar memeluk Desya dan menatap wajah Desya prihatin. “Iya Bu Ratna, bagaimana kabarnya Bu?” Desya meraih tangan Bu Ratna da
“Bu Ratna kenapa?” Desya bingung dengan Bu Ratna yang tiba-tiba syok dan terbelalak saat melihatnya.“Cantik! Kamu cantik sekali Desya, ini benar kamu?” ungkap Bu Ratna heran, yang melihat Desya seperti bidadari.“Iya bu ini Desya,”“Kamu begitu cantik, tapi kenapa suamimu menyiakanmu,”“Mungkin dia tidak mencintai Desya lagi,” ucap Desya dengan nada yang lirih.“Betul sekali, makanya Ibu dukung kamu cerai dengan Rangga dan jika kamu ingin menikah nanti menikahlah dengan lelaki yang lebih baik.”“Terima kasih doanya yah bu,”“Ya sudah, kita pulang sekarang ya,”Desya mengangguk dan mengikuti Bu Ratna menuju ke mobil. Namun setelah beberapa menit perjalanan, Bu Ratna berhenti di sebuah restoran.“Kita berhenti disini dulu ya,”“Bu Ratna mau makan lagi?”“Bukan, ibu mau beli makanan kesukaan Didi.”“Didi siapa bu?”“Ah sudah nanti ibu ceritakan, kamu mau ikut atau tunggu di mobil saja?”“Desya tunggu disini saja Bu,”Bu Ratna masuk ke restoran dan Desya memilih untuk tinggal. Dalam hati
“Ibu sangat merindukanmu nak,”“Bapak juga, bagaimana kabarmu ?”“Baik saja, ini siapa Pak, Bu?”“Ini klien Bapak, tapi sudah Bapak dan ibu anggap seperti anak kami, kasihan dia sedang ada masalah berat dalam hidupnya. Kamu juga bisa anggap dia sebagai adikmu juga Didi.”“Kenapa dia ada disini dan kenapa dia pingsan?” tanya lelaki itu yang tak lain adalah Dilan atau nama panggilan orang tuanya Didi. “Nanti Bapak ceritakan, nah Didi, kamu ini kan Dokter kamu bisa tolong Desya?”“Bapak, panggil saja Dilan, Didi kan panggilan Dilan waktu kecil. Sebentar tolong Ibu baringkan Desya ya ? benar Desya namanya kan?”Pak Rehan tertawa dan mengangguk. Bu Ratna ikut mengangguk dan membaringkan Desya di sofa ruang tv. Dilan mengeluarkan peralatan pemeriksaan di koper yang masih tersegel dari Bandara. Sesekali melihat wajah wanita yang sedang pingsan itu, dalam hati Dilan wanita itu sangat cantik, namun Dilan harus profesional dalam bekerja. Mengarahkan stetoskop di dada Desya untuk mendengarkan d
“Lihat mata saya, tenanglah kamu akan baik-baik saja,”Desya menatap mata Dilan, dahinya berkeringat dingin, tangannya terus bergetar. Kemudian Dilan memeluk wanita itu erat untuk menenangkannya.Desya merasa hatinya semakin tenang, dekapan hangat Dilan membuatnya merasa aman. Suhu tubuh Desya semakin stabil dan gemetaran pun sudah hilang. Desya sadar bahwa dirinya sedang dalam pelukan lelaki lain. Dengan segera Desya melepas pelukan itu dan salah tingkah. “Dilan, kenapa?” tanya Pak Rehan cemas.“Lebih baik Desya makan dulu ya,” Bu Ratna ikut memperhatikan Desya.Desya makan dengan lahap. Tak henti-hentinya Dilan melihat ke arah Desya. Kedua orangtua Dilan saling melempar tatapan. “Desya, apakah kamu sering telat makan dan sering stres?” tanya Dilan setelah makan malam itu selesai.“Iya Mas,” “Ceritakan saja apa yang kamu rasakan,”Desya menatap Dilan seolah merasa apakah harus menceritakan semua aib keluarganya pada Dilan juga?“Tak apa Desya, beritahu semuanya pada Dilan. Kalau k