Bunyi bel pintu terdengar dan Larasati memandang Mutia. Perempuan berkimono handuk itu mengarahkan dagunya ke arah depan.
Mutia mengangguk dan bergegas meletakan sendok sayur lalu meninggalkan ruang makan menuju ke arah ruang tamu. Dia tercengang saat melihat tuan Andi berdiri di depan pintu rumah."Tuan sudah pulang?" tanya Mutia tidak percaya dengan sosok tinggi besar yang berdiri di hadapannya.Lelaki berusia lima puluh tahun itu masih tampak gagah. Bahkan meskipun uban menutupi kepalanya, penampakan lelaki itu masih terlihat tegap dan kuat di umurnya yang sudah memasuki 52 tahun. Kemeja, dasi, dan jas mahal membuat penampilan nya semakin berharga. Dilonggarkan nya dasi warna marun dari leher nya lalu menatap Mutia dengan ramah seperti biasanya.Tanpa ucapan apapun, tuan Andi masuk ke dalam rumahnya melewati Mutia. Sebuah koper berwarna hitam beroda diseret lelaki itu.Mutia mengerjap-ngerjapkan mata dan berjingkat mengikuti lelaki tua itu. Tidak ada perubahan sikap dari lelaki itu.'Perasaan tadi videonya belum centang biru, apa memang belum dilihat oleh Tuan Andi?' batin Mutia."Hai Mas, kok mendadak datang?" tanya Larasati yang sedang duduk di kursi ruang makan. Perempuan cantik itu terlihat terkejut dan segera berdiri menyambut kedatangan sang suami."Kamu kok kaget gitu, Sayang? Seperti tidak suka kalau aku datang?" tanya Andi, berdiri sesaat di depan istrinya duduk lalu melanjutkan langkahnya menyeret koper ke kamar.Larasati segera berdiri dan membuntuti suaminya. Ditutupnya pintu kamar dan perempuan itu berdiri di hadapan sang suami. Larasati menatap sang suami dengan sedikit mengigil bibirnya."Bukan begitu. Aku hanya terkejut dan belum melakukan persiapan untuk menyambut kedatanganmu, Mas. Belum ratus dan spa tubuh juga," sahut Larasati sambil mengalungkan lengannya ke leher Andi.Andi pun memeluk istri keduanya dengan mesra. "Aku lelah dengan istri pertamaku. Semalam Mawar, menemukan ponselku yang khusus untuk komunikasi kita. Untung saja semua chat sudah kuhapus.Tapi ponsel ku sudah rusak direndam di kuah soto. Dan akhirnya aku bilang saja aku ada meeting di luar kota. Untung Mawar tidak curiga, karena aku benar-benar ke bandara tadi sebelum ke sini," keluh Andi membuat Larasati tertawa."Ah, Mas Andi ini. Aku rasa beli hp baru sekalian kartunya kan bukan hal sulit. Pasti seperti beli keripik singkong dong buat mas Andi.""Iya dong, Cantik. Kalau begitu, aku ingin mandi dulu sama kamu ya."Andi dengan genit menjawil dagu Larasati lalu menggendong nya ke kamar mandi yang berada di dalam kamar itu. Larasati dengan tertawa-tawa hanya bisa pasrah Slam gendongan suaminya."Wah, nggak bener ini. Kenapa video mas Damar dan nyonya Larasati belum dilihat oleh Tuan Andi?" gumam Mutia lalu memasukkan ponselnya ke saku daster kembali dan akhirnya memilih menata sarapan yang telah dimasaknya.Baru saja Mutia selesai menyiapkan aneka makanan, pintu kamar Larasati terbuka. Larasati dan Andi dengan tertawa bahagia berjalan menuju ke arah ruang makan. Larasati telah berganti dress selutut dan lengan pendek warna merah senada dengan kaus yang dipakai oleh suaminya. Rambut keduanya basah."Sarapan sudah siap, Tuan, Nyonya," ujar Mutia tersenyum.Andi mengangguk-anggukkan kepalanya lalu duduk di meja makan. Sementara Larasati mulai mengambilkan makanan untuk Andi."Mutia, nanti saya dan Bapak mau ke konter hp lalu ke hotel. Jadi jaga rumah baik-baik.""Iya, Nyonya. Siap," sahut Mutia sambil mengerutkan keningnya."Emangnya ke konter mau beli hp untuk siapa, Nyonya?" tanya Mutia memberanikan diri.Mendadak Larasati menghentikan makannya. "Ish, kepo aja kamu!"Mutia tertawa. "Saya kira mau beli hp untuk saya," sahut Mutia nyengir, membuat Andi tertawa."Empat bulan kerja di sini betah nggak? Tetangganya baik nggak sama di sini?""Baik kok Tuan. Saya dan mas Damar kerasan bekerja di sini.""Oh, syukur lah kalau begitu. Saya akan ke hotel seharian ini setelah beli hp untuk saya, Mut. Kalau kamu mau keluar rumah juga jangan lupa dikunci ya. Oh, ya. Sekali lagi saya ingatkan, kalau manggil saya dan Larasati, pak dan Bu saja. Aneh kalau dipanggil nyonya dan tuan. Apa kamu mengerti?"Mutia mengangguk, saat dia akan merespon ucapan Andi, mendadak terdengar suara benda jatuh.Prang!Semua mata menatap ke asal suara. Tampak Damar salah tingkah sedang memunguti sekop dan gunting taman yang berukuran besar."Ma-maaf pak Andi. Tangan saya licin sehingga gunting dan sekop taman jatuh," sahut Damar menundukkan kepalanya.Mutia tersenyum dalam hati. 'Hahaha. Kamu pasti tidak menyangka kalau pak Andi kesini kan, Mas? Apa kamu cemburu dengan pak Andi dan Bu Larasati? Kalau kamu memang cemburu pada Bu Larasati, lalu aku ini kamu anggap apa, Mas?' tanya Mutia dalam hati."Ya sudah, Mut, Damar. Kami berangkat dulu ya. Hati-hati di rumah. Mungkin kami pergi tiga hari."Mutia mengikuti langkah Andi dan Larasati menuju pintu depan. Sementara itu Damar suaminya menuju kamar mandi."Wah, rencana merekam video perselingkuhan mas Damar dan Bu Larasati gatot. Tapi aku tidak akan tinggal diam dengan perbuatan kalian.Aku akan mencari tahu tentang istri pertama pak Andi. Dan memberi pelajaran pada Bu Larasati lewat istri pertama pak Andi saja. Dan setelah itu, aku akan memberi pelajaran pada Mas Damar," gumam Mutia setelah mengunci pintu depan.Next?Mutia berjalan perlahan ke arah ruang tengah, dia lalu mengeluarkan ponselnya. "Tunggu, kalau aku melaporkan pak Andi dan Bu Laras ke Bu Mawar, jangan-jangan nanti malah ada keributan. Bisa-bisa aku enggak kerja di sini lagi. Padahal aku kan masih butuh duit. Duh. Tapi kalau aku diem'in aja tentang perselingkuhan Bu Laras dan mas Damar, ck, enak aja. Nggak sudi dong. Apa aku melipir saja pada Bu Mawar. Siapa tahu bisa kerja di tempat Bu Mawar kalau aku memberikan informasi tentang istri kedua suaminya.Nggak salah dong ya kalau aku berusaha membalas kecurangan yang telah mereka lakukan padaku? Emangnya hanya orang kaya yang bisa sakit hati? Aku juga punya hati lah! Enak aja menyakiti Mutia!"Mutia pun lalu mengambil ponsel. "Aku harus tahu alamat rumah atau paling tidak akun media sosial Bu Mawar alias istri pertama pak Andi."Mutia lalu mencari akun Facebook dengan nama Mawar. "Ck, kenapa banyak banget nama mawar di sini?"Mutia lalu menggulir layar ponsel nya dengan perlahan. "M
'Siapa lelaki ini? Kenapa dia kenal dengan pak Andi? Apa dia detektif yang disewa Bu Mawar seperti di tivi-tivi?' batin Mutia sebelum akhirnya dia menjawab, "memangnya siapa bapak itu, Mas? Apa bapak yang ada di foto itu adalah orang hilang?" tanya Mutia dengan wajah polos. Tampak pemuda itu agak terkejut mendengar jawaban dari Mutia. "Jadi mbak nggak pernah melihat papa saya di sini?" tanya lelaki itu lagi memastikan. Mutia mendelik mendengarkan ucapan lelaki muda itu. 'Astaga, pak Andi punya anak laki-laki seganteng ini? Berarti laki-laki ini anaknya Bu Mawar? Tapi bagaimana laki-laki ini tahu alamat rumah ini? Wah, sepertinya hal ini akan lebih menarik,' batin Mutia. "Nggak pernah, Mas. Saya tidak pernah melihat bapak ini di sini. Tapi saya bisa memberikan informasi kalau seandainya ada bapak-bapak yang mirip dengan papanya mas di sini."Pemuda itu tampak berpikir keras. Dahinya berkerut-kerut. "Apa mbaknya bisa dipercaya?" "Wah, sepertinya urusan tentang papanya Mas, serius
Mutia menyingkir dari ruang tengah. Dan berjalan melewati pintu kaca menuju ke taman tengah yang ada kolam renang nya. Suasana malam yang sepi dengan diterangi lampu taman dan sinar bulan membuat hati Mutia sedikit menjadi sentimentil. Dia masih ingat saat dia berbahagia dengan Damar sebelum memergoki suaminya selingkuh. Ponsel Mutia masih berdering saat dia melangkah menjauh dari pintu ruang tengah. Mutia memilih duduk di pinggir kolam yang berhadapan dengan pintu masuk ruang tengah. Jadi kalau Damar muncul dari ruang tengah, Mutia bisa langsung mengetahui nya. "Halo." Akhirnya Mutia menerima panggilan dari Aksara. "Hhhh, mbak Mutia. Ada yang ingin saya tanyakan. Hhh."Mutia mengerut kan dahinya keheranan saat mendengar suara Aksara yang terengah-engah dari seberang telepon. Pikiran Mutia langsung mengelana jauh dan perempuan itu hanya bisa tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Maaf pak Aksa, kalau sedang bersama istrinya, jangan telepon saya sekarang. Besok saja sepe
Mutia meremas alat pengaman pria itu dengan gemas di tangan kanannya. "Hm, lebih baik aku coba tanya saja untuk apa dia menyimpan benda ini. Aku cuma penasaran apa kira-kira jawaban dari mas Damar," gumam Mutia sambil keluar dari kamarnya. Mutia mendekati Damar yang masih rajin menyapu taman tengah, mengumpulkan daun pohon mangga yang berguguran dan memotong daun-daun tanaman Kamboja favorit Larasati. Mutia menggeleng-gelengkan kepalanya saat mengamati beberapa tanaman bunga Kamboja yang ditanam secara bonsai di dalam pot. 'Kok bisa sih Bu Laras menanam bunga kuburan ini di taman tengah. Pantas saja kelakuannya seperti demit. Bunga kesukaan nya saja banyak tumbuh di kuburan,' batin Mutia. Mutia mendekat ke arah suaminya itu. Tangannya yang memegang alat pengaman pria itu bersembunyi di balik punggung nya. "Mas Damar."Mutia tersenyum manis membuat Damar mengehentikan kegiatan nya menyapu. Lelaki itu membersihkan keningnya yang berkeringat. "Ada apa, Mut?" tanya Damar seraya mene
*Jangan membuat perempuan yang kamu cintai menangis, karena akan sangat menyakitkan bila ada lelaki lain yang membantu mengusap air matanya. **Aksara menatap Mutia tak percaya. "Lalu apa jawaban dari dua pertanyaan lainnya semalam?"Mutia menghela nafas. "Satu, kenapa saya tidak jujur saat pak Aksa bertanya kemarin pagi kan?"Aksara mengangguk. "Saya memang tidak menjawab dengan jujur kemarin karena di sekitar rumah Bu Larasati banyak sekali asisten rumah tangga julid. Yang saya takutkan adalah diantara mereka ada mata-mata atau mulut yang tukang ngadu kalau saya jawab dengan jawaban yang jujur. Karena itu saya berbohong, dengan harapan pak Aksa cepat pergi dari kompleks perumahan itu untuk menghindari adanya kemungkinan mata-mata."Aksara tersenyum mendengar jawaban Mutia. "Kamu kayaknya terlalu banyak baca buku atau nonton film mafia deh, Mbak."Senyum Mutia terkembang. "Betul! Saya memang suka sekali nonton film dan tivi, termasuk novel karya Bu Mawar atau Aksara Novela," sahut
"Halo, Pak Alex. Saya terima tawaran dari bapak."Mutia dan kedua anak Mawar hanya bisa menatap Mawar yang sedang menelepon. Mereka tidak bisa ikut mendengarkan pembicaraan selengkapnya karena Mawar tidak mengaktifkan loud speaker nya. "Untuk instruksi lebih detailnya, lebih baik bapak ke rumah saya saja."Jeda sejenak. Mawar terlihat sedang serius mendengarkan suara dari seberang telepon."Iya. Kira-kira seperti itu. Baiklah. Saya tunggu segera."Mawar pun mengakhiri panggilan teleponnya. "Siapa itu, Ma?" tanya Aksara penuh rasa ingin tahu."Pak Alex."Mata kedua anaknya membeliak. "Pak Alex teman sekolah mama yang jadi detektif swasta itu?" tanya Novela. Mawar mengangguk. Sementara Mutia masih berusaha mencerna pembicaraan keluarga di hadapannya. "Wah, mbak Mutia penasaran rupanya. Baiklah. Saya akan menjelaskan secara garis besar. Jadi setelah saya mulai mencium perselingkuhan suami, saya dan anak-anak mulai melakukan penyelidikan diam-diam tanpa ingin melibatkan orang luar ter
"Mbak Mut? Siapa yang telepon? Kok wajah kamu jadi berubah muram seperti itu?" tanya Aksara saat melihat ekspresi wajah Mutia yang sukar dilukiskan. Mutia menatap ke wajah Aksara dan layar ponselnya bergantian. "Suami saya menelepon," sahut Mutia lirih. "Ya sudah, Mbak Mut terima saja panggilan telepon nya.""Tapi sepertinya saya tahu kenapa dia menelepon saya," sahut Mutia seraya menghela nafas. "Emang kenapa suami mbak Mutia telepon?" "Mungkin dia kesal karena saya belum membuat sarapan untuknya dan saya menyembunyikan rokoknya," sahut Mutia tertawa. Aksara tercengang. "Mbak Mutia ini ada-ada saja."Mutia tersenyum. "Sekali-kali laki-laki yang berkhianat dan tidak menghargainya wanita nya perlu diberi pelajaran lah, Pak. Agar mereka tahu dan sadar diri. Belum bisa menafkahi istri dengan layak bahkan istri sudah membantu cari uang kok sok-sokan selingkuh. Kan lebih baik dikarungin terus diberikan ke pegadaian?" tanya Mutia tertawa. Aksara hanya menggeleng-gelengkan kepalanya
"Mama, tidak apa-apa?" tanya Novela saat Mawar terhuyung setelah menutup telepon dari Alex. Mawar memegang pangkal hidungnya. Kepalanya berdenyut nyeri dan pandangan matanya mendadak kabur. Aksara dengan sigap menyangga tubuh Mawar dan memapahnya nya ke ranjang. "Nov, buatin mama teh hangat dan gorengkan nugget ayam. Nggak usah bangunin mbok Sumi, kelamaan. Aku mau ngambil tensimeter dulu dan CGM* dulu.""Oke." Novela membalikkan tubuhnya dan melangkah keluar dari kamar sang Mama. Sementara itu Aksara menatap sang mama yang masih memegangi kening. "Mama, tunggu di sini dulu. Aksa periksa kondisi mama, baru kita berangkat. Mama tenang ya. Tidak perlu terburu-buru. Aksa dan Nova selalu ada untuk mama."Mawar terdiam dan Aksapun melesat keluar dari kamarnya untuk menuju ruang tengah. Aksara memang menyimpan tensimeter, termometer, dan beberapa alat kesehatan serta obat pertama dasar yang dibutuhkan saat sakit di kotak P3K ruang tengah. Diambilnya tensimeter dan CGM lalu segera menuj