Share

bab 2. Saling Panas-panasan

Klik.

Video itu sudah terkirim. Aku segera turun dari kursi lalu dengan gerakan perlahan, aku mengembalikan kursi itu.

Aku menghela nafas dan menguat-nguatkan hati masuk ke dalam kamar dan melihat ponselku.

"Masih centang satu. Kenapa hp tuan Andi tidak aktif?" gumamku bingung.

Mendadak suara dan bayangan mas Damar dan nyonya Larasati terputar lagi di memori, membuat air mata menetes kembali. Gegas kuusap kasar air mataku, lalu aku mulai menyemangati diri sendiri.

"Awas saja kalian. Sekarang kalian memang bisa puas-puasin diri. Tapi tunggu saja saat Tuan Andi sudah pulang ke rumah ini," gumamku penuh dendam.

Aku membuka F******k dan mulai mengubah pengaturannya menjadi privasi. Lalu mengirim video mas Damar ke akun facebookku.

"Oke. Untuk sementara aku akan menyimpan video ini di akun f******k untuk berjaga-jaga kalau mas Damar menemukan dan menghapus video ini.

Perasaanku menjadi harap-harap cemas saat melihat pesan w******p yang hanya centang satu. Ini jelas sudah terkirim, tapi ponsel Tuan Andi yang tidak aktif.

Baiklah, kalau begitu kuberi password saja hp ku agar mas Damar tidak bisa membuka hpku.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari saat terdengar langkah kaki mendekat ke arah kamar.

Aku pura-pura memejamkan mata. Terdengar gemerisik tempat tidur di sampingku. Lalu hening. Sepertinya mas Damar langsung tidur.

Sementara aku sampai subuh tetap tidak bisa memejakan mata. Dan keesokan harinya sudah bisa kutebak saat melihat mas Damar mandi keramas lagi.

"Mandi lagi, Mas?" tanyaku pura-pura mengucek mata.

"Kok kamu sudah bangun?"

"Udah dong. Emang kenapa sih kalau aku sudah bangun?" sahut sambil berlalu dari tempat tidur.

"Lho, kamu enggak minta jatah?" tanyanya heran. "Biasanya kamu manja dan peluk-peluk kalau aku habis mandi? Ayo, kita lakukan, Mut!"

Mas Damar mendekat dan memelukku dari belakang. Sungguh, antara hati dan pikiranku bertolak belakang. Pikiranku mengatakan untuk menolaknya karena mas Damar telah menyentuh perempuan lain.

Sedangkan hatiku mendorongku untuk menerima pelukannya dan melakukan hal itu.

Aku menghela nafas kasar. 'Ogah. Kamu kan sudah k*lon dengan Nyonya Laras kok, jangan harap kamu bisa menyentuhku lagi, Mas,' batinku.

"Enggak mood. Lagi mens," sahutku sekenanya dan segera menuju ke kamar mandi.

"Mut, kok ponsel kamu sekarang pakai password?" tanya mas Damar setelah aku kembali dari buang air kecil.

Terlihat dia mengotak-atik ponselku. Aku mendelik dan mendekat ke arahnya.

"Kamu tanya kenapa hp ku sekarang pakai password, Mas? Coba ngaca! Dari beberapa hari yang lalu hp kamu pakai password juga kan? Saat aku protes, kamu bilang ponsel itu barang pribadi."

Aku mengambil ponselku dan memasukkan nya ke dalam saku daster.

"Jawabanku sama denganmu, Mas. Hp ini barang pribadiku. Jadi aku pakai password," tukasku dan keluar meninggalkan kamar menuju dapur.

*

Aku menatap nyonya Larasati yang sedang berenang di kolam tengah rumahnya. Baju renangnya merah cerah, kontrak dengan kulitnya yang putih.

Memang wajahnya cantik, rambutnya panjang, kulitnya mulus dan badannya bagus. Aku mendesah membandingkan nya dengan diriku yang biasa saja.

Apalagi di sudut taman, tampak mas Damar yang sedang memotong rumput dan membersihkan daun-daun yang berserakan.

Tampak jelas dari pintu dapur, Mas Damar dan Nyonya Larasati saling bertukar pandang dan senyum.

Aku meremas pisau dapur dengan erat. 'Sabar Mutia, Sabar. Aku tidak mau ditangkap polisi karena melakukan tindakan konyol.

Lagipula aku masih butuh kerja untuk mengirimkan gaji ke ibu yang ada di kampung. Kalau aku harus berpisah dari mas Damar, paling tidak aku sudah harus menemukan pekerjaan pengganti lebih dulu,' bisikku.

Akhirnya mau tidak mau aku melanjutkan pekerjaan memasak makanan untuk sarapan pagi nyonya Larasati.

Seraya tak lupa aku mengecek video yang telah kukirimkan pada tuan Andi.

"Kamu sedang lihat apa, Mut? Serius amat," sapa Nyonya Larasati yang mendadak ke dapur. Wajah nya segar setelah berenang. Walaupun dia mengenakan kimono handuk, tapi hal itu justru membuat kemolekan tubuhnya tercetak.

Ah, irinya bisa menjadi orang kaya. Eh, istri orang kaya. Bisa memanjakan dan merawat diri.

Dengan tenang aku tersenyum dan memasukkan ponsel ke saku daster. "Cuma lihat-lihat resep kok nyonya," sahutku tenang.

Mendadak terdengar suara mobil memasuki halaman rumah besar ini, membuat nyonya Larasati menoleh ke arah depan.

Next?

Yuk yang mau baca lebih cepat, bisa mampir ke KBM app. Otewe bab 11 ya.

Judul : Suamiku di Ranjang Sang Nyonya

Nama pena: Ananda Zhia

lik.

Video itu sudah terkirim. Aku segera turun dari kursi lalu dengan gerakan perlahan, aku mengembalikan kursi itu.

Aku menghela nafas dan menguat-nguatkan hati masuk ke dalam kamar dan melihat ponselku.

"Masih centang satu. Kenapa hp tuan Andi tidak aktif?" gumamku bingung.

Mendadak suara dan bayangan mas Damar dan nyonya Larasati terputar lagi di memori, membuat air mata menetes kembali. Gegas kuusap kasar air mataku, lalu aku mulai menyemangati diri sendiri.

"Awas saja kalian. Sekarang kalian memang bisa puas-puasin diri. Tapi tunggu saja saat Tuan Andi sudah pulang ke rumah ini," gumamku penuh dendam.

Aku membuka F******k dan mulai mengubah pengaturannya menjadi privasi. Lalu mengirim video mas Damar ke akun facebookku.

"Oke. Untuk sementara aku akan menyimpan video ini di akun f******k untuk berjaga-jaga kalau mas Damar menemukan dan menghapus video ini.

Perasaanku menjadi harap-harap cemas saat melihat pesan w******p yang hanya centang satu. Ini jelas sudah terkirim, tapi ponsel Tuan Andi yang tidak aktif.

Baiklah, kalau begitu kuberi password saja hp ku agar mas Damar tidak bisa membuka hpku.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari saat terdengar langkah kaki mendekat ke arah kamar.

Aku pura-pura memejamkan mata. Terdengar gemerisik tempat tidur di sampingku. Lalu hening. Sepertinya mas Damar langsung tidur.

Sementara aku sampai subuh tetap tidak bisa memejakan mata. Dan keesokan harinya sudah bisa kutebak saat melihat mas Damar mandi keramas lagi.

"Mandi lagi, Mas?" tanyaku pura-pura mengucek mata.

"Kok kamu sudah bangun?"

"Udah dong. Emang kenapa sih kalau aku sudah bangun?" sahut sambil berlalu dari tempat tidur.

"Lho, kamu enggak minta jatah?" tanyanya heran. "Biasanya kamu manja dan peluk-peluk kalau aku habis mandi? Ayo, kita lakukan, Mut!"

Mas Damar mendekat dan memelukku dari belakang. Sungguh, antara hati dan pikiranku bertolak belakang. Pikiranku mengatakan untuk menolaknya karena mas Damar telah menyentuh perempuan lain.

Sedangkan hatiku mendorongku untuk menerima pelukannya dan melakukan hal itu.

Aku menghela nafas kasar. 'Ogah. Kamu kan sudah k*lon dengan Nyonya Laras kok, jangan harap kamu bisa menyentuhku lagi, Mas,' batinku.

"Enggak mood. Lagi mens," sahutku sekenanya dan segera menuju ke kamar mandi.

"Mut, kok ponsel kamu sekarang pakai password?" tanya mas Damar setelah aku kembali dari buang air kecil.

Terlihat dia mengotak-atik ponselku. Aku mendelik dan mendekat ke arahnya.

"Kamu tanya kenapa hp ku sekarang pakai password, Mas? Coba ngaca! Dari beberapa hari yang lalu hp kamu pakai password juga kan? Saat aku protes, kamu bilang ponsel itu barang pribadi."

Aku mengambil ponselku dan memasukkan nya ke dalam saku daster.

"Jawabanku sama denganmu, Mas. Hp ini barang pribadiku. Jadi aku pakai password," tukasku dan keluar meninggalkan kamar menuju dapur.

*

Aku menatap nyonya Larasati yang sedang berenang di kolam tengah rumahnya. Baju renangnya merah cerah, kontrak dengan kulitnya yang putih.

Memang wajahnya cantik, rambutnya panjang, kulitnya mulus dan badannya bagus. Aku mendesah membandingkan nya dengan diriku yang biasa saja.

Apalagi di sudut taman, tampak mas Damar yang sedang memotong rumput dan membersihkan daun-daun yang berserakan.

Tampak jelas dari pintu dapur, Mas Damar dan Nyonya Larasati saling bertukar pandang dan senyum.

Aku meremas pisau dapur dengan erat. 'Sabar Mutia, Sabar. Aku tidak mau ditangkap polisi karena melakukan tindakan konyol.

Lagipula aku masih butuh kerja untuk mengirimkan gaji ke ibu yang ada di kampung. Kalau aku harus berpisah dari mas Damar, paling tidak aku sudah harus menemukan pekerjaan pengganti lebih dulu,' bisikku.

Akhirnya mau tidak mau aku melanjutkan pekerjaan memasak makanan untuk sarapan pagi nyonya Larasati.

Seraya tak lupa aku mengecek video yang telah kukirimkan pada tuan Andi.

"Kamu sedang lihat apa, Mut? Serius amat," sapa Nyonya Larasati yang mendadak ke dapur. Wajah nya segar setelah berenang. Walaupun dia mengenakan kimono handuk, tapi hal itu justru membuat kemolekan tubuhnya tercetak.

Ah, irinya bisa menjadi orang kaya. Eh, istri orang kaya. Bisa memanjakan dan merawat diri.

Dengan tenang aku tersenyum dan memasukkan ponsel ke saku daster. "Cuma lihat-lihat resep kok nyonya," sahutku tenang.

Mendadak terdengar suara mobil memasuki halaman rumah besar ini, membuat nyonya Larasati menoleh ke arah depan.

Next?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status