"Pa, Ibu demam," ucap Tasya anak Dio yang berusia 5 tahun, terlihat raut wajahnya yang begitu was-was karena melihat ibu sambungnya yang masih terbaring lemah di ranjang dengan badan yang terasa panas.
Dio tersentak ketika mendengar ucapan anak semata wayangnya. Dio pikir Marisa, istrinya hanya tidur kesiangan seperti biasa, makanya sampai saat ini dia belum bangun juga.Terpaksa Dio menghentikan pekerjaannya membereskan adonan cendol untuk nanti siang jualan keliling. Setelah itu ia menghampiri sang istri yang masih berada di dalam kamar.Tatkala Dio membuka daun pintu kamar, terlihat wajah Marisa yang pucat pasi, badannya menggigil kedinginan, hanya dibaluti helaian selimut yang tipis, bibirnya gemetar. Dio menyentuh dahi Marisa dengan punggung tangan, dan ternyata memang panas, suhu tubuhnya sangatlah tinggi."Sayang, kamu demam tinggi seperti ini sejak kapan? perasaan semalam kamu baik-baik saja," tanya Dio sambil membangunkan Marisa yang masih terpejam."Pa, ibu kenapa?" Tasya sangat khawatir melihat keadaan ibunya.Dio tak menghiraukan pertanyaan putri kecilnya. Hal itu karena pikirannya yang dipenuhi kecemasan. Dengan cepat Dio mengambil lap kecil dan air dingin untuk mengompres Marisa. Ia berharap semoga saja dengan cara itu demamnya bisa turun."Mass .…" Akhirnya Marisa terbangun ketika Dio meletakkan lap kecil basah di dahinya."Ada apa, Mar? Apa kau mau sesuatu?" tanya Dio was-was."Kenapa gak bawa saja ke dokter, Pa? Kasian Ibu," ujar Tasya si gadis kecil mungil.Dio hanya menundukkan kepala. Jangankan untuk memeriksa Marisa ke dokter, bahkan untuk makan sehari-hari keluarga Dio sudah kesusahan. Apalagi sekarang musim hujan, hanya mengandalkan jualan cendol keliling kampung saja, rasanya sudah kepayahan karena jarang habis."Mas, kamu tidak berdagang hari ini?" tanya Marisa dengan suara seraknya.Marisa mengerti betul kalau saja hari ini suaminya tidak berjualan keliling, bagaimana nanti sore keluarganya bisa makan? Sedangkan adonan sudah siap. Tidak mungkin kalau Dio membiarkannya begitu saja. Tentu akan merugikan."Keadaan kamu gimana? Mas gak tega, kalau harus ninggalin kamu di sini dengan Tasya.""Aku baik-baik saja, Mas. Nanti Tasya belikan obat di warung. Pasti akan mendingan nanti," ujar Marisa sambil berusaha bangkit dari tidurnya."Iya, semoga saja kamu sembuh," kata Dio berusaha membuang kecemasannya itu. Dia lalu bangkit dari duduknya untuk segera mempersiapkan cendol dan akan segera berangkat berkeliling.Rasanya berat sekali untuk melangkah dengan kondisi istri yang terbaring lemah. Tak ada pilihan lain, Dio mulai mengayunkan kaki yang terasa berat ini menuju arah dapur. Ia lalu mempersiapkan cendol di gerobak, menatanya dengan rapi. Namun, santan ketinggalan, entah tersimpan di mana, Dio lupa. Karena tadi Tasya datang tiba-tiba.Setelah 3 menit Dio mencari, ternyata ketemu di bawah wastafel. Dengan segera tangan Dio meraihnya. Akan tetapi, tak sengaja matanya melirik pada wadah persegi empat yang biasa di isi beras. Wadah itu nampak kosong, hanya ada beberapa butir beras yang tersisa. Lelaki itu mengambil dan memperhatikan wadah tersebut dengan gamang.Nanti bagaimana Marisa dan Tasya akan makan, sedangkan beras sudah habis? Pikirnya. Pagi ini Dio hanya sarapan nasi goreng yang tinggal satu piring. Itu pun Dio sisakan untuk Marisa dan Tasya."Astaghfirullah."Dio bingung, apa yang harus dilakukannya. Ternyata menjalani hidup jauh dari orang tua tidaklah mudah. Sedangkan mertuanya sendiri Bu Minah sangat membenci Dio, karena dia orang tidak punya, dan profesinya hanya tukang cendol keliling yang uangnya tak seberapa.Dio pun menghembuskan napas kasar. 'Mengapa menjalani hidup sepahit ini? Hidup begitu melarat, kasihan sekali anak dan istriku, mereka tersiksa karena aku menjadi suami yang tidak becus memberi mereka kebahagiaan. Jangankan kebahagiaan, mencukupi makan sehari-harinya saja aku sangat kesusahan,' batinnya menyesali diri.Dio mengusap wajah dengan air mata yang menetes membasahi pipi. Pria itu segera mengayunkan kaki dengan rasa cemas merasuki isi kepala sebab istri yang sakit. Akan tetapi, apa boleh buat, mencari uang untuk membeli beras itu lebih penting saat ini.Dio kembali ke kamar untuk melihat kondisi istrinya sekaligus berpamitan sebelum dia berangkat berjualan."Mar, Mas berangkat jualan dulu. Semoga siang kamu sudah sembuh." Dio menatap wajah Marisa dengan sorot yang begitu sendu."Jangan khawatir, Pa. 'Kan ada aku," timpal putri kecilnya sambil tersenyum manis menambahkan semangat Dio."Jagain Ibu ya, Sayang. Papa jualan dulu." Dio mencium pipi Tasya dengan penuh kasih sayang."Iya, Mas. Semoga jualan hari ini laris manis," ucap Marissa yang masih bersandar di kepala ranjang, bibirnya tampak kering dengan wajah pucat.Bagaimana Dio tidak menyayangi Marisa yang sudah menemaninya selama satu tahun lebih. Ia dan Marissa menikah tanpa restu orang tua, karena Bu Minah—ibu dari Marisa—tak merestui sama sekali. Alasannya karena Dio adalah duda beranak satu dan hanya bekerja sebagai tukang cendol keliling.Namun, Marisa dan Dio sudah tidak bisa dipisahkan. Marissa mencintai Dio. Wanita muda itu tak memperdulikan ibunya yang mati-matian melarang hubungannya itu. Hingga akhirnya Marisa memilih minggat dari rumah dan kawin lari bersama Dio. Oleh karena itu, sampai saat ini Marisa pun tidak tahu bagaimana kabar sang bunda.Dio melangkah pelan sambil mendorong gerobak cendolnya berkeliling.Ting! Ting! Ting!Suara itu berasal dari botol yang dipukul dengan sendok, untuk menarik pelanggan. "Cendol, dol, dol, dol!""Dio, sini!" Lambaian tangan Bu Esroh tampak dari kejauhan.Bibir Dio seketika melengkung membentuk senyuman lantaran merasa senang ada yang memanggilnya. Mungkin ini adalah rezekinya yang pertama."Iya, Bu. Mau berapa kantong?" tanya Dio antusias."Berapa kantong apanya! Saya bukan mau beli!" sentak Bu Esroh, tukang warung langganan.Dio tercengang dengan perkataan Bu Esroh yang tiba-tiba ngegas tanpa sebab. Senyuman Dio menghilang begitu saja. "Terus, Bu?""Si Marisa, kemarin dia ngutang! Minggu lalu ngutang, terus kamu kapan bayarnya? Kalau gini caranya, saya bisa bangkrut!" cerca Bu Esroh menjelaskan.Dio tertegun sejenak. "Memangnya hutang istri saya berapa, Bu?" tanya lelaki itu."Tiga ratus! Saya gak mau tahu! Besok kamu mesti bayar walaupun separoh. Apalagi kamu juga tahu, kalau saya punya cicilan Bank Emok!" tegas Bu Esroh sambil mendelikkan mata.Dio hanya bisa mengelus dada saat mendengar ucapan Ibu Esroh yang begitu ketusnya. Pagi-pagi sudah disambut dengan omelan Bu Esroh yang menagih hutangnya. Namun, wajar Bu Esroh berbuat seperti itu, sebab ia pun sama membutuhkan.Tadinya Dio pun berniat hari ini akan ngutang lagi untuk beras dan telur, karena rencananya uang hasil jualan hari ini untuk memeriksa istrinya ke dokter. Akan tetapi, kalau Bu Esroh sudah marah begini Dio pun tak berani.Dada Dio semakin sesak, jantungnya berdegup kencang. Betapa pikiran dia benar-benar frustrasi, mengapa ia bisa menjadi kepala keluarga yang gagal dan pecundang begini.Langkahnya semakin berat, lututnya teramat lemas rasanya. Dengan terpaksa Dio harus terus melangkah untuk melanjutkan berjualan cendol. Dengan sekuat tenaga Dio mencoba melupakan masalah dan beban di dada. Ia harus fokus demi sesuap nasi di hari ini."Cendol! Dol, dol, dol.""Bang, beli," panggil Bu Vani sambil melambaikan tangannya. Semoga saja pelanggan yang satu ini benar-benar membeli."Mau beli cendol?" tanya Dio kepada pelanggan setia yang sudah sejak tadi menunggu kedatangan Dio."Ya, iya lah. Beli cendol! masa mau beli pizza. Kan gak mungkin," ketus Bu Vani dengan mendelikkan matanya."Ah. Ibu, bisa aja," balas Dio senyum manis sambil meracik cendol dalam cup."Dio dulu kamu tampan, tapi sekarang kamu dekil. Udah dekil miskin lagi," celetuk Bu Aida yang sedang menunggu Dio meracik cendol untuknya.Entah apa maksud omongan Bu Aida, apa pantas hinaan keji seperti itu dijadikan candaan. Hujatan dan hinaan sudah terbiasa jadi lalapan untuk Dio setiap hari. Tak apalah kalau memang mereka merasa bahagia, Dio rela di jadikan bahan tertawaan. "Iya, benar! Sekarang kamu hitam dan juga dekil Dio," timpal Bu Vani mencermati wajah Dio sambil tertawa renyah."Mau gak hitam gimana bu wajah saya, toh saya tiap hari panas-panasan," Jawab
"Bangun, Nak." Bu Minah mencoba membangunkan Marisa yang masih belum siuman juga."Keke! Keke!" teriak Bu Minah sekencang mungkin. Sementara Keke tidak peduli. Ia sibuk dengan hp di tangan disertai earphone yang menutupi kedua daun telinganya."Panggil Keke! Cepat!" perintah Bu Minah kepada Tasya."Ba-baik, Bu." Gegas gadis kecil itu berjalan cepat menuju ruang tamu.Namun, Tasya terdiam di hadapan Keke yang sedang asik menikmati lantunan musik favoritnya sambil mengangguk-nganggukan kepalanya."Apaan si lo?! Jangan diam di hadapan gue! Minggir!" Keke mendorong tubuh Tasya hingga hampir saja terjengkang."Keke!" teriak Bu Minah."Apaan sih, Bu! Ganggu aja," gerutu Keke. Ia terpaksa menghampiri sang ibu."Inalillahi, Kakak!" seru Keke ketika melihat apa yang tengah terjadi."Ke, kita bawa ke rumah sakit terdekat," ujar Bu Minah panik.Bu Minah dan Keke pun memapah Marisa menuju ke rumah sakit untuk segera diberi perawatan intensif.***Sore harinya.Dio pulang sambil mendorong gerobakn
"Sudah bisa, Bu. Kebetulan pasien sudah siuman dan memangil-manggil nama Dio," tutur Dokter. "Baik, Pak. Terimakasih."Dio tergesa ingin segera melihat keadaan sang istri. Namun, Bu Minah dengan cepat menerobos masuk kedalam ruangan dan secepat mungkin menutup pintu agar Dio tidak bisa masuk. Dio pun beringsut mundur."Birkan saya dulu yang masuk! Kamu tunggu di sini!," perintahnya.Dio mengangguk lemah dengan emosi yang hampir saja akan meledak. Ia tahan sekuat tenaga, karena bagaimana pun Bu Minah adalah mertuanya sekaligus ibunya."Pa, kenapa kita gak masuk? Aku mau lihat ibu," rengek Tasya yang tak sabar ingin segera bertemu ibu sambungnya.Walaupun Tasya hanya anak sambung Marisa. Tapi Tasya begitu menyayangi ibu sambungnya itu. Bahkan sebaliknya, Marisa pun menjaga Tasya dan mengurusnya di bumbui rasa kasih sayang yang begitu dalam, sudah seperti anak kandung Marisa sendiri. Itulah yang membuat Dio kagum pada istrinya."Kita tunggu disini dulu ya, biar Nenek duluan," kata Dio m
Melihat reaksi Dio, Bu Minah paham sekali bahwa Dio sedang gelagapan membutuhkan uang, jangankan untuk membayar biaya rumah sakit, untuk makan sehari-hari pun pasti mereka berjuang setengah mati. Mumpung Dio sedang kesusahan Bu Minah pun muncul untuk menjadi pahlawan."Kamu pasti bingung kan Dio?" seru Bu Minah tiba-tiba menghampiri menantunya.Bu Minah duduk di sebelah Dio, betapa Dio terperanjat saat melihat Mertuanya yang sangat membencinya bisa duduk bersanding."Iya, Bu. Aku sedang bingung dengan biaya pengobatan Marisa.""Makannya kamu jangan miskin!" ledeknya."Bu, siapa sih yang ingin miskin, semua orang pun ingin berkecukupan," lirih Dio menumpahkan isi hatinya."Sudahlah! Kok kamu jadi curhat sih! emangnya saya mamah dedeh apa." Bu Minah mengambil amplop berwarna coklat dari dalam tasnya, amplop itu begitu tebal sepertinya memang isinya uang yang banyak, "Kamu tahu ini apa?""Uangkan bu," jawab Dio."Iya, betul sekali. Kamu bisa pake uang ini asalkan …""Beneran, Bu." "Asa
"Maksud kamu aneh gimana Ke?" tanya Bu Minah penasaran.Tapi, Keke menyudahi segera pertanyaan sang bunda, " Sudahlah, Bu. Nanti aku ceritakan di rumah saja, kalau Kak Dio dan Kak Marisa mendengar bisa bahaya."***Sampai juga dirumah Dio dan Marisa yang kumuh dan jelek serta ruangan yang sempit. Kalau di pandang dari halaman, terlihat seperti gubuk derita. Keke memperhatikan secara seksama sambil bergidik geli. Lantaran rumah yang sudah tua seperti akan ambruk, juga bilik bambu yang sudah berlubang. Membuat Keke semakin risih."Bu, yakin kita tinggal disini?" tanya Keke pada sang bunda. Dahinya mengernyit sambil membayangkan apakah ia bisa betah tinggal di rumah kecil dan sempit, sudah pasti banyak tikus dan kecoa. "Terpaksa Ke. Kalau tidak disini, mau di mana lagi," ungkap Bu Minah pasrah.Marisa tersentak ketika membuka daun pintu ruang utama, melihat tas besar yang gendut entah apa isinya. Sudah pasti itu tas yang dibawa sang bunda dan adik bungsunya."I-ibu, bawa tas sebesar ini?
Bu Minah dan kedua anak perempuannya -Marisa dan Keke- serta cucu sambungnya sedang berbincang seru. Tawanya begitu renyah terdengar di telinga. Sesekali Bu Minah menggoda gadis kecil mungil itu dengan begitu akrab.Memang Bu Minah dan Keke kembaran dari buaya betina. Di depan Marisa mereka memperlakukan baik seolah menyayangi anak sambung Marisa. Sedangkan di belakang Marisa mereka berubah menjadi nenek lampir yang galak dan kejam."Kak, aku boleh tanya sesuatu?" tanya Keke pada Kakaknya."Boleh. Mau tanya apa?""Ibu kandung Tasya kemana?" Pertanyaan Keke membuat Kakaknya terkejut bukan kepayang.Marisa tertegun. Entah dari mana ia harus menjelaskan, " ibu Tasya sudah lama meninggal," ungkapnya."Oh, gitu ya. Kasihan sekali gadis cantik ini," ujar Bu Minah sambil mengelus kepala Tasya.Gadis kecil itu tersenyum manis betapa ia merasakan kehangatan dengan keluarga yang lengkap. Apalagi sudah lama Tasya menginginkan seorang nenek. Bahkan Tasya sering iri dengan anak-anak tetangganya yan
Marisa menelan salivanya. Dahinya begitu mengernyit memperhatikan gamang wadah beras yang tinggal tersisa 1 liter di dalamnya.'Bagaimana ini, sedangkan sekarang bertambah sang bunda dan Keke yang makan,' batinnya begitu bimbang.Ya, bagaimana Marisa tidak bimbang Dio -suaminya kerja banting tulang seorang diri berjualan cendol sekeliling bersusah payah. Sedangkan yang Dio perjuangkan bukan hanya Marisa dan Tasya lagi bertambah sang mertua dan adik iparnya.Untuk makan berdua saja Dio kesusahan setengah mati, apalagi sekarang."Bu, kenapa diam. Ayo kita ke sungai untuk mencuci baju dan beras," kata Tasya. Kebetulan di rumah kami air sedang kering lantaran musim panas yang begitu terik sudah hampir seminggu ini berlalu. Jangankan untuk mencuci baju, untuk minum saja sekarang butuh perjuangan yang amat melelahkan harus menimba di sumur Emak Karsih tetangganya yang rumahnya juga jauh dari rumah Marisa. Terlebih Marisa harus mengarungi jalan kecil ke pesawahan yang begitu lumayan jauh.Ma
Pagi ini Marisa merasa bosan kalau harus berbaring di atas ranjang terus menerus, lantaran semua pekerjaan sudah diselesaikan oleh suaminya. Walaupun badannya belum membaik total. Namun karena melihat kamarnya yang begitu berantakan. Ia pun berinisiatif membereskan barang yang berserakan di sembarang tempat. Baju dalam lemari pun sudah acak-acakan. Marisa memulai melipat dan menyetrika baju serapi mungkin, agar enak dipandang walaupun sudah nampak lusuh. Tatkala menata baju dengan rapi ke dalam lemari matanya tak sengaja melirik tas kecil yang sudah tidak enak dipandang lantaran sudah kumal.Ia pun meraih tas kecil itu, begitu kotor berdebu sepertinya sudah lama tersimpan disitu dan hari ini ia baru melihatnya. Ketika wanita muda itu melemparkannya ke lantai lantaran maksud hati akan dibuang. Tiba-tiba benda persegi empat, kecil, tipis, keluar dari dalamnya."Apa itu," gumamnya sambil menatap benda tersebut.Tangan Marisa segera meraih dan mencermati benda tersebut. Ternyata hanya ka