Share

Bab 3

"Bangun, Nak." Bu Minah mencoba membangunkan Marisa yang masih belum siuman juga.

"Keke! Keke!" teriak Bu Minah sekencang mungkin.

Sementara Keke tidak peduli. Ia sibuk dengan hp di tangan disertai earphone yang menutupi kedua daun telinganya.

"Panggil Keke! Cepat!" perintah Bu Minah kepada Tasya.

"Ba-baik, Bu." Gegas gadis kecil itu berjalan cepat menuju ruang tamu.

Namun, Tasya terdiam di hadapan Keke yang sedang asik menikmati lantunan musik favoritnya sambil mengangguk-nganggukan kepalanya.

"Apaan si lo?! Jangan diam di hadapan gue! Minggir!" Keke mendorong tubuh Tasya hingga hampir saja terjengkang.

"Keke!" teriak Bu Minah.

"Apaan sih, Bu! Ganggu aja," gerutu Keke. Ia terpaksa menghampiri sang ibu.

"Inalillahi, Kakak!" seru Keke ketika melihat apa yang tengah terjadi.

"Ke, kita bawa ke rumah sakit terdekat," ujar Bu Minah panik.

Bu Minah dan Keke pun memapah Marisa menuju ke rumah sakit untuk segera diberi perawatan intensif.

***

Sore harinya.

Dio pulang sambil mendorong gerobaknya dengan semangat. Entah apa yang di dapat, wajahnya begitu sumringah. Bahkan dia tak berhenti mengukir senyum di bibirnya.

Dio membuka laci gerobaknya dan mengambil kantong plastik hitam yang berisikan beberapa kilo beras dan beberapa butir telur. Pintu rumah tampak terbuka lebar. Tak sedikit pun ada rasa curiga di benak lelaki itu. Ia pun melangkah masuk.

"Mungkin Tasya, yang lupa tutup pintu, atau Marisa yang sudah mendingan lalu keluar rumah, hingga ia lupa menutup pintu," gumam Dio seraya terus berjalan masuk ke dalam rumah.

Rumahnya terlihat lengang.

"Assalamualaikum." Walaupun terlihat sepi, Dio tak lupa dengan salamnya ketika akan memasuki rumah.

Namun, pandangan matanya mendarat pada tas gendong besar di meja ruang tamu.

"Kok ada tas? Tas siapa?" Dio memperhatikan tas tersebut dengan sorot bertanya-tanya .

Dio heran, jelas di sini ada tas dan rumah tampak sedikit berantakan, tapi di mana para penghuni rumah.

"Tasya! Papa pulang!" seru Dio.

Di pikiran Dio mungkin Tasya sedang bermain di luar dengan Marisa seperti biasanya. Pria itu pun memilih memasak untuk menyiapkan makan. Walaupun hati merasa tak begitu tenang.

Dio melangkah ke dapur, betapa dia terperanjat kaget saat melihat noda berwarna merah di keramik rumahnya.

Dio menghampiri dan memastikan dengan secermat mungkin noda merah itu, "Darah?" gumamnya.

Deg!

Jantungnya berdebar-debar tak keruan. Dio pun dengan tergesa menuju kamar yang jelas-jelas daun pintunya sudah terbuka lebar.

Dilihat gadis kecil kesayangannya sedang duduk di lantai sambil memeluk lututnya yang kecil dan kurus, dengan kepala menunduk. Dio begitu heran melihat hal itu.

Pria itu lalu menghampiri gadisnya yang terlihat ketakutan. Pria itu memeluk tubuh mungil itu dengan penuh kasih sayang. Air mata pun menitik karena melihat Tasya ketakutan seperti ini.

"Kamu kenapa, Nak? Ibu ke mana?" tanya Dio pada gadis yang membalas memeluknya dengan erat.

"Pa, Ibu dibawa. Ada nenek tua dan kakak cantik. Tapi mereka jahat," ujar Tasya menjelaskan.

Dio terkejut. "Siapa mereka?" lirihnya bertanya.

"Nenek tua!" Dio yakin sekali yang di maksud nenek tua itu adalah Bu Minah mertuanya, "Apa terdapat tompel di pipi sebelah kanannya?" tanya Dio antusias pada sang putri yang masih menangis histeris di pelukannya.

"Iya, Pa, Tasya takut," lirihnya.

"Kamu tak usah takut Nak, sekarang ada Papa."

Dio menatap sendu putri kecilnya. Entah mengapa Dio begitu kesal dengan kedatangan mertuanya, dia datang kesini memang baik menolong Marisa. Tapi, setidaknya mereka jangan meninggalkan anak kecil dalam rumah sendirian, bagaimana kalau terjadi apa-apa, untung saja Dio pulang masih sore, kalau saja pulang malam, entah bagaimana nasib Tasya.

"Apa kau sudah makan, Nak?" tanya Dio menatap sang buah hati.

Tasya hanya menggelengkan kepala, itu tandanya Tasya dari pagi memang masih belum makan.

"Belum."

Betapa hati Dio merintih sakit saat mendengar anaknya yang belum makan dari pagi. Dio benar-benar merasa bersalah.

"Kamu tunggu disini, Papa masak buat kamu."

Entah apa yang terjadi jika Bu Minah dan Keke, adik kandung Marisa berhasil memboyong Marisa dari rumah ini. Jelas, Tasya dan Dio sangat membutuhkan Marisa, untuk 1 hari saja tidak ada Marisa di rumah. Rasanya Dio kepayahan. Tidak ada yang menjaga putri semata wayangnya.

Setelah selesai menyuapi Tasya Dio pun segera pergi kerumah sakit terdekat beserta membawa rantang yang berisikan nasi dan sayur sop buatan Dio barusan, sudah yakin sekali bahwa Marisa pasti belum makan dari pagi.

Setengah jam perjalanan akhirnya sampai dimana tempat ini sangat Dio benci yaitu Rumah sakit, selain untuk orang yang sakit disini banyak orang berduka cita depenuhi kesedihan, makannya Dio benci sekali.

"Sus, saya mau tanya, kalau untuk pasien bernama Marisa Diana Putri di ruangan mana ya, Sus," tanya Dio. Saking cemasnya dengan keadaan sang istri hingga Dio lupa mandi dan masih mengenakan baju lusuh, terkesan dekil.

"Mba Marisa ya, di ruang rawat sebelah sana, Bapak tinggal belok saja," tunjuk Suster.

"Baiklah, terimakasih." Dio segera melangkah untuk menemui sang istri betapa raut wajahnya sangat panik dan cemas.

Dio menemukan ruangan Marisa. Nampak ibu mertua dan adik iparnya sedang duduk di kursi tunggu.

Dio segera menghampiri sambil mengendong Tasya, "Bu, gimana kedaan Marisa," tanya Dio sambil mengulurkan tangan memberi salam pada sang Mertua.

Bu Minah terperanjat ketika Dio datang, sorot matanya begitu tajam menatap Dio, "Bodoh! Dasar suami tidak berguna! Jagain istri satu saja kamu tidak becus! Ketika istrimu sakit, kamu kemana?!" cerca Bu Minah dengan emosi yang meluap-luap.

Dio menarik uluran tangannya yang di tolak mentah-mentah oleh mertuanya. Sungguh, hatinya sangat sakit, karena sampai saat ini belum bisa menjadi menantu yang di inginkan. Dio hanya bergeming seraya menundukan kepala, lelaki bertubuh kekar itu hanya memasang wajah melas.

"Sa-saya jualan cendol, Bu," jawab Dio gugup.

"Makannya kamu itu cari kerja yang elit dikit dong, biar bisa bahagiakan keluarga, dan membanggakan mertua. Nah, ini. Bukannya membahagiakan, sudah pasti, bikin melarat!" hardik Keke tidak habisnya mencela Dio tanpa memikirkan perasaan suami kakaknya.

"Asal kamu tahu Dio! andai saja saya datang telat, entah apa dan bagaimana yang terjadi dengan kondisi Marisa anakku? Bisa saja dia sudah tidak ada," gerutu Bu Minah.

Tiba-tiba pria paruh baya berbaju serba putih keluar dari ruangan Marisa.

Dio terperanjat, dengan tergesa ia segera bertanya mengenai kondisi sang istri, "Dok, istri saya bagaimana?"

"Kondisinya sudah membaik, Bu Marisa hanya kelelahan di tambah asam lambungnya sedang naik, Pak. Kalau bisa dia jangan kebanyakan gerak dulu ya, Pak, Bu," beber Dokter.

Betapa hati Dio merasa lebih lega saat mendengar pembeberan Dokter barusan, "Alhamdulillah."

"Apa saya bisa melihat anak saya, Dok?" serobot Bu Minah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status