Share

Bab 6 TERPAKSA TINGGAL BERSAMA MERTUA KEJAM

"Maksud kamu aneh gimana Ke?" tanya Bu Minah penasaran.

Tapi, Keke menyudahi segera pertanyaan sang bunda, " Sudahlah, Bu. Nanti aku ceritakan di rumah saja, kalau Kak Dio dan Kak Marisa mendengar bisa bahaya."

***

Sampai juga dirumah Dio dan Marisa yang kumuh dan jelek serta ruangan yang sempit. Kalau di pandang dari halaman, terlihat seperti gubuk derita. Keke memperhatikan secara seksama sambil bergidik geli. Lantaran rumah yang sudah tua seperti akan ambruk, juga bilik bambu yang sudah berlubang. Membuat Keke semakin risih.

"Bu, yakin kita tinggal disini?" tanya Keke pada sang bunda. Dahinya mengernyit sambil membayangkan apakah ia bisa betah tinggal di rumah kecil dan sempit, sudah pasti banyak tikus dan kecoa.

"Terpaksa Ke. Kalau tidak disini, mau di mana lagi," ungkap Bu Minah pasrah.

Marisa tersentak ketika membuka daun pintu ruang utama, melihat tas besar yang gendut entah apa isinya. Sudah pasti itu tas yang dibawa sang bunda dan adik bungsunya.

"I-ibu, bawa tas sebesar ini?" tunjuk Marisa pada tas yang masih tersimpan di atas meja.

"Iya, sengaja Mar. Lantaran ibu sudah tidak punya tempat tinggal lagi, kalau tidak disini mau di mana lagi," ujar Bu Minah dengan wajah melasnya.

Pantas saja Bu Minah dan Keke mencari anak cikalnya, mungkin ini tujuan mereka, mereka hanya membutuhkan tempat tinggal. Mereka hanya ingin menumpang.

"Terus, dikemanakan uangnya, Bu? tanya Marisa antusias menatap mata sang bunda.

Namun, Bu Minah berbalik menatap wajah putri tunggalnya dengan tatapan sendu dan air mata yang menetes di pipi, ia begitu pintar dalam bersandiwara.

"Ibu menjual rumah karena Ibu ingin pindah bersamamu, tadinya Ibu ingin memberikan semua uang hasil menjual rumah. Tapi, ibu malah kena tipu Mar." Alasan Bu Minah begitu kuat seraya mengelap air mata dengan tangan.

Tangisnya begitu histeris membuat hati Marisa merasa iba dan simpati pada sang ibu.

Entah benar ataupun dusta yang jelas Dio tidak menemukan kebenaran di sanah bisa saja mertuanya mengarang cerita lantaran hanya membutuhkan tempat tinggal.

"Ibu, tinggal saja disini bersamaku," ucap Marisa.

Sungguh, Dio tak percaya sedikitpun dengan ucapan sang istri, sedangkan rumah ini sangat sempit, apalagi Bu Minah dan Keke mulutnya teramat kejam. Bagaimana Dio akan betah di rumah kalau ada mereka.

"Bolehkan, Mas. Kalau ibu dan Keke tinggal di sini?" tanya Marisa begitu sendu.

"Bo-boleh," jawab Dio gugup, dalam hatinya sangat berat untuk mengiyakan.

Andai Dio kuasa untuk memihak. Betapa tak menginginkan hal ini terjadi. Mertuanya yang begitu membenci dan selalu saja mencaci kini harus tinggal satu atap bersamanya. Tapi, mau gimana lagi kalau sang istri sudah memohon, mana mungkin Dio tidak memenuhi keinginannya wanita yang sangat dicintainya itu.

Andai Marisa tahu betapa Bu Minah sangat jahat sangat Sadis. Betapa ia ingin memisahkan keluarga kecil anaknya yang utuh ini. Walaupun Dio hanyalah tukang cendol, setidaknya Dio manusia juga. Punya hati punya perasaan tak selayaknya dicemooh dan diperlakukan dengan tidak senonoh.

"Mas, kok kamu malah melamun sih, bukannya bantuin aku." Lamunan Dio terbayarkan.

"Ba-baik Mar." Dio memapah Marisa yang baru mendingan masuk kedalam kamar. Betapa Marisa bahagia melihat suaminya yang begitu perhatian dan penyayang. Dio memang lemah lembut.

"Mas, ada yang mau aku tanyakan padamu?"

Dio menghentikan aktivitasnya yang sedang membuka baju sebab belum mandi dari sepulang jualan.

"Iya, kamu mau tanya apa?"

"Kamu, dari mana dapat uang untuk membayar pengobatan aku, Mas? Sedangkan kamu gak pake uang ibu."

Dio menghembuskan nafas lembutnya, "Aku pinjam dari wahyu Mar."

"Wahyu!" Marisa tercengang mendengarnya, betapa jawaban Dio tidak bisa di percaya sedikitpun.

"Iya, Wahyu. Memangnya kenapa?"

"Bukannya kamu bilang Wahyu itu sama seperti kita, jangankan punya uang yang banyak. Apalagi istrinya sakit-sakitan, Mas," ungkap Marisa.

Marisa memperhatikan wajah suaminya. Mulutnya Dio tampak membisu lidahnya sangat kelu untuk menjawab.

"Mar, badanku bau sekali, bolehkan aku pergi untuk mandi," pintanya.

Tak ada pilihan lain, walaupun pertanyaan Marisa belum terjawab. Marisa pun membiarkan suaminya mandi terlebih dulu. Biarkan perasaan penasaran di benaknya ia tunda.

***

"Aduh, Bu. Aku gak mau tinggal di kamar yang REOT dan pengap ini. Mana panas gak ada AC lagi. Aku mau ngontrak aja," gerutu Keke pada sang bunda, dengan memasang wajah cemberut.

"Sudahlah, Ke. Kamu bisa diam gak tuh mulut! Kalau masih nyerocos ibu masukin cabe merah! Memangnya Ibu mau apa tinggal di gubuk yang mau ambruk? Ya ogah lah! Tapi kalau gak tinggal disini, Mau di mana lagi. Uang penjualan sudah habis kita pakai untuk menyewa apartemen tinggal sisa 3 juta lagi buat uang jajan kita," cerca Bu Minah pada si Bungsu.

Memang Bu Minah dan Keke walaupun sebelumnya tinggal di rumah sederhana, tapi gayanya selangit tidak ada bandingan. Keke, sudah terbiasa dimanja dan selalu diajarkan glamor oleh Bu Minah. Biarpun uang tidak memadai dan ekonomi hampir melarat Bu Minah tidak mau kalah gaya dengan tetangganya. Apapun akan dilakukan supaya tidak ada yang menyaingi termasuk tetangga dan kerabat. Sehingga Bu Minah menjual rumah peninggalan suaminya Bapak- Marisa dan Keke- untuk bisa ditinggal, walaupun menyewa apartemen yang mewah sekalipun.

Rencananya kali ini selain untuk menumpang tinggal dengan Marisa dan Dio. Rencana Bu Minah sangat buruk, ia sangat ingin Marisa berpisah karena masih tak terima dengan profesi menantunya yang hanya pedagang cendol keliling.

Apalagi hutangnya dengan Bang Ringgo yang sudah menggunung. Mana mungkin Bu Minah bisa membayarnya, selain memisahkan Marisa dari pelukan Dio dan memasrahkan Marisa kepada Bang Ringgo.

Hanya Marisa yang Bang Ringgo mau. Kalau saja keinginannya tidak terlaksana ia akan ngamuk bahkan berani mengancamnya akan membunuh. Membuat Bu Minah dan Keke ketar-ketir kebingungan.

Sedangkan Marisa serta Dio sangat susah untuk dipisahkan.

"Eh, Ke. Katanya ada yang aneh dengan tukang cendol itu. Emang aneh gimana sih? tanya Bu Minah kepada si Bungsu.

Keke pun menceritakan kejadian saat mengintip Dio secara saksama tidak ada yang terlewat dengan perkataannya. Si Bungsu itu menceritakan dari A sampai Z benar-benar detail.

Bu Minah tercengang bukan kepalang, "Yang benar kamu, Ke." Sambil mengipasi badannya dengan kipas angin tradisional (hihid).

"Iya, Bu. Dan nanti sore katanya akan ketemuan dengan yang dipanggil Paman itu," ungkap Keke sambil menggoyangkan jari jemarinya mengetik sesuatu di layar ponsel.

"Wah pokoknya kamu jangan sampe ketinggalan, kamu harus cari tahu siapa Dio dan keluarganya. Bisa saja mereka penjahat atau pembunuh, nanti kita masukan Dio ke dalam penjara kalau terbukti benar," ungkap Bu Minah sangat semangat.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status