Share

AKU YANG MASIH

“Jika masih ada pertanyaan tentang bagaimana aku kekita mengenal hujan, maka jawabanku hanya satu. Aku masih ingin menikmati rintiknya”

__

@JunaJunanda

Part 3

AKU YANG MASIH

               Dalam riuh dan sesaknya aktivitas perkuliahan hari itu, aku tetap berusaha mengambil tempat sebagai pengaggummu paling bungkam. 

               Hari itu, aku datang paling pagi, menaiki tangga harapan yang melambung tinggi dan menginjaknya dengan penuh perasaan, ruang fakultas kita di lantai dua, dan tidak jauh dari itu di depanya terletak Fakultas Dakwah dan Komunikasi.

               Aku tiba di ruang kita, namun tak ada kutemui senyuman yang setiap malam berhasil menganggu tidur nyenyakku. Tak ada kutemukan sapaan hangat darimu tentang ucapan selamat pagi yang sering kau beri, walau sapaan itu bukan dikhususkan untukku. Namun aku begitu merindukan hal-hal semacam itu. Kau begitu ramah dan lembut hati, senyum manismu  selalu menjadi penjeyuk bagi kegundahanku. Dan tentu keramahan itu selalu kau sebar pada teman-teman sekitar. Tapi pagi itu, Aku hanya bisa memperhatikan bangkumu yang masih kosong dan menancapkan beribu pertanyaan serta harapan. Kemana hadirmu pagi ini, apakah masih sedang dalam perjalanan menuju kemari atau apakah sedang mengambil cuti. Hal-hal semacam itu terus saja menggerogoti benakku. Aku masih saja terpaku di depan pintu ruangan hingga berdiri menghadang jalan masuk teman-teman lain, tak jarang pula sesekali tubuhku didorong karena dianggap sangat meresahkan dan menghadang jalan . Aku heran dengan perasaanku saat itu, entah mengapa tiba-tiba saja aku merasakan seperti ada sesuatu yang hilang dari mataku, entah apa. Tapi rasanya sesuatu itu begitu melemahkan semangatku yang beberapa hari ini sedang marak-marak berada di puncaknya. Aku terus saja mencari dan terus mencari berharap menemukan sesuatu itu yang kurasakan telah hilang. Lama aku terdiam dan mematung sambil memandang bangkumu yang masih kosong hingga membuat mata teman-teman selokal kita sedikit heran lalu memperhatikan pandanganku yang tajam menatap dudukmu. 

               Beberapa menit setelah itu, aku masih saja menunggumu dalam keresahanku. Saat itu aku baru sadar bahwa sesuatu yang sedang hilang adalah tentang dirimu. Percayalah ketika itu aku sudah seperti hujan panas yang turun tak merata. Perasaanku resah dibalut risau yang menderau. Entah kenapa aku bisa dilanda perasaan sekosong itu ketika tak mendapatkan sapaan hangat darimu. Tapi setelah lama menunggu akhirnya dari jarak senyap dapat kuperhatikan wajahmu mengenakan masker abu-abu menuju ruang kelas yang sudah dari tadi menunggu kedatanganmu. Hari itu kau terlihat begitu mempesona dengan mengenakan tas berwarna merah yang kau pakai dengan anggun. Mataku tak berhenti melirik kemana langkahmu menuju, rasanya ingin sekali kupercepat jalan itu agar segera pula aku dapat melihatmu dari jarak yang lebih dekat. Saat itu kau beriringan bersama satu temanmu yang tampaknya kalian berdua sudah begitu dekat  dengan apa yang kulihat.

               Saat itu akhirnya kita kembali mempersilahkan rindu datang bertamu setelah lelah beristirahat dari beberapa hari yang lalu. Aku menatapmu dari bawah, senyummu merekah bak sekuntum bunga yang sedang mekar di taman-taman surga. Kau lantas memeluk sebuah buku yang tampak kau dekap erat,  seolah-olah buku itu adalah seseorang yang sedang kau cintai dalam hidupmu. Tapi aku masih berharap bahwa semoga tidak ada maksud apa-apa dari sikapmu pada buku itu.

               Perasaanku semakin bertabrakan dengan segala macam bentuk, perasaan-perasaan seperti ini terus saja mengelabuhi fokusku. Lalu saat kau mulai melintasi berdiriku di depan pintu kelas, saat itu aku seperti merasakan denyutan paling mematikan yang menyerang syaraf-syaraf kerja otakku. Harum tubuhmu masih meninggalkan bekas di sepanjang jalanmu hingga mengharuskanku untuk pandai-pandai menyimpan aroma-aroma itu. Namun sayangnya kau sedikit pun tak menyapaku, dan aku pun hanya melirikmu sewajar yang kumampu.         

               Di sini aku masih memperhatikanmu dalam pandangan yang sengaja kucuri tanpa sepengetahuanmu, aku tak berani menatap dan memandangmu dengan unsur kesengajaan. Bukan apa-apa, sebab aku ini baru saja dalam tahap pemulihan setelah beberapa hari yang lalu kau meracuniku dengan senyuman paling mematikan.               

               Lantas, dalam waktu yang tersudut itu aku hanya bisa menikmati keindahanmu yang duduk di antara barisan kursi pertama. Aku mengambil posisi duduk di samping belakangmu dengan jarak yang beberapa barisan.Aku tak bisa berhenti mencuri lirikan itu hanya agar terus dapat melihatmu dan melepas candu keinginanku. Pikiran dan hayalanku pun melambung lalu menjangkau pada tingkat tertinggi tentang keinginan ingin memiliki. 

               Sudah beberapa hari ini aku tak pernah bisa serius ketika mendengar penjelasan yang dipaparkan dosen saat menjelaskan materi, tanganku terus saja mencatat tentang apa-apa saja yang dapat ditangkap oleh pendengaranku. Kadang memang mataku tertuju pada itu, tapi hati dan pikiranku melayang memikirkanmu. Percaya atau tidak, kau masih saja bergelantungan dalam beribu-ribu keinginanku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status