Sentuhan Haram Suamiku
"Kamu tidak tau, betapa kesepiannya aku setiap hari sendirian di rumah. Apalagi kalau anak-anak sudah tidur. Sementara kamu juga belum pulang. Harus sama siapa aku bercerita, Mas? Coba lihat kembali ponselmu, apa kamu sering mengirimkan pesan untukku? Jarang bukan? Kalau bukan aku duluan yang mengirimkan pesan, sekedar untuk bertanya, apa Mas sudah makan siang atau belum." Aku berbicara dengan nada lumayan tinggi, meluapkan emosi yang selama ini terpendam.
Air mata terus saja berjatuhan. Membasahi pipi yang tadi sempat dipoles bedak.
Mas Fajar memegang kedua bahuku, merengkuh tubuhku dalam pelukannya.
"Maafkan aku, ya, Dek. Semua ini memang salahku. Aku belum bisa membahagiakanmu. Hanya luka dan air mata yang selalu aku berikan padamu. Maafkan aku, jika perhatianku padamu berkurang akhir-akhir ini," ucap Mas Fajar dengan suara parau. Tubuhnya masih memeluk tubuhku. Kurasakan guncangan dari tubuhnya. Ternyata dia ikut m
Sentuhan Haram SuamikuAroma kayu putih samar terendus penciumanku. Perlahan aku membuka mata. Kepala masih sedikit terasa pusing."Yu, kamu kenapa?" Ibu terlihat cemas. Tangan beliau terus saja menggosok kakiku.Pertanyaan ibu membuatku mengingat telepon yang baru saja aku terima."Mas Fajar, Bu." Aku menangis meraung-raung."Fajar, kenapa?" tanya ibu panik."Mas Fajar kecelakaan."Aku terus saja menangis, tak mempedulikan adanya anak-anak yang memperhatikan dengan mimik tak mengerti."Astaghfirullah, Yu. Terus sekarang gimana? Di mana?" tanya ibu lagi."Tadi polisi bilang, Mas Fajar sudah dibawa ke RS Mitra Husada.""Kamu tenang. Tarik napas dalam-dalam, istighfar. Kamu harus ke sana sekarang. Tapi kami harus tenangkan diri dulu," ujar Ibu.Aku pun menurut. Aku mengucap istighfar berkali-kali. Menghirup napas dalam-dalam kemudian mengembuskan perlahan."Ini sudah malam, Bu
Sentuhan Haram SuamikuSelalu ada harapan ketika kita masih mengingat Alloh. Aku selalu yakin, Rob-ku akan selalu memberikan jalan yang terbaik untuk hamba-Nya.Aku dan Neni terus menjaga Mas Fajar bergantian. Neni sempat pulang dulu tadi siang untuk membawa baju ganti untuknya sekaligus untukku. Juga keperluan lainnya selama kami berada di RS. Sesekali aku melakukan video call dengan ibu dan anak-anak. Melepaskan kerinduan yang menggelayut dalam dada.Tak lupa aku selalu berbisik tepat di telinga Mas Fajar yang sedang melawan maut, untuk berjuang agar bisa kembali bersama di tengah-tengah keluarga kecil kami. Selalu kubisikkan kata-kata penyemangat untuknya. Berharap meskipun dia belum sadar, tapi mampu mendengar apa yang kukatakan.Setiap selesai salat 5 waktu di masjid RS yang letaknya tak begitu jauh dari ruang ICU, tak henti-hentinya aku mengiba, tak hentinya aku merayu pada sa
Sentuhan Haram SuamikuExtra part"Bagaimana para saksi? Sah?""Sah."Riuh terdengar kata 'sah' dari semua orang yang berada di ruangan besar bercat nuansa putih tersebut.Di depan sana, Mas Fajar terlihat masih gagah dan tampan dengan balutan jas hitam senada dengan celana yang dikenakan. Tangannya terlihat berkali-kali mengusap sudut matanya yang mulai basah. Ketegangan yang tadi begitu tergambar jelas dari wajahnya, kini berangsur hilang berganti kelegaan dan keharuan.Gadis 20 tahun yang duduk di sampingku, meremas pelan tanganku, lalu menggenggamnya erat. Aku menoleh, dia tersenyum simpul sambil mengusap jejak air mata yang tadi sempat jatuh di pipi.Ya, gadis itu bernama Fitri. Anak ketiga dariku dan Mas Fajar. Dua bulan setelah liburan berdua bersama Mas Fajar, aku dinyatakan hamil. Sungguh anugrah yang luar biasa. Menambah keharmonisan keluarga kami yang sebelumnya memang telah kembali harmonis.Di sisi yang lain,
Hari ini adalah hari Minggu. Hari di mana aku akan menghabiskan waktuku bersama keluarga, karena hanya hari Minggu lah suamiku libur bekerja. Aku bernama Ayu, sementara suamiku bernama Fajar. Delapan tahun pernikahan, kami baru dikaruniai seorang anak laki-laki yang bernama Putra yang berusia 6 tahun.Kami biasanya menghabiskan waktu liburan dengan jalan-jalan, belanja kebutuhan ke Mall, kadang berenang ke Waterboom, atau terkadang juga di rumah tanpa pergi kemanapun. Ya, seperti hari ini, kami memutuskan untuk tidak kemana-mana karena hari ini adalah hari kedua di bulan Ramadhan. Bulan yang selalu ditunggu-tunggu oleh semua umat Islam."Masak apa, Sayang?" tanya suamiku sambil memelukku dari belakang."Masak sayur sop campur tetelan, Mas," jawabku sambil terus mengiris bawang merah."Waahh, enak dong. Kalau sudah selesai kita salat berjamaah yah, Mas ambil wudu dulu," ucapnya sambil berjalan ke kamar mandi.Tidak ada yang
Hujan di luar terdengar semakin deras. Sesekali diikuti kilatan petir menggelegar. Seolah alam ikut merasakan kepedihanku. Kepedihan seorang istri yang didzolimi, dan tercerai-berai hatinya."Dua kali."Dua kata yang telah diucapkan pelan oleh suamiku, bak tamparan keras yang menghujam ulu hati. Perih, sakit tak terkira. Bagaikan ribuan jarum yang menancap bersamaan tepat dihatiku."Astaghfirullahal adzim," lirihku.Aku hanya bisa terus beristighfar untuk sedikit meredakan hati yang kini remuk redam.Ingin rasanya memukul, menendang, tapi apalah daya. Justru aku luruh, lemas lunglai tak berdaya. Seluruh tubuhku bergetar hebat seolah tidak sanggup menerima dahsyatnya rasa sakit yang kini harus ku rasakan."Maafkan, Mas, Sayang. Maafkan. Mas khilaf, Dek." Mas Fajar pun ikut menangis tergugu. Dia bahkan bersujud tepat di kakiku. Hingga kurasakan tetes demi
Pov FajarDengan gontai aku mencoba bangkit, berjalan pelan menuju pembaringan. Naik ke atasnya kemudian meringkuk sendirian. Merutuki kebodohan yang telah aku lakukan.Di kamar ini, di atas kasur ini. Biasanya setiap malam aku habiskan waktuku berdua bersama Ayu, istriku. Kami berbagi cerita, tertawa bersama, atau sekedar menonton film di laptop bersama.Sambil bercerita, aku duduk bersandar di kepala ranjang, sementara Ayu lebih senang berbaring sambil meletakkan kepalanya di pangkuanku. Aku usap-usap rambutnya pelan hingga kadang membuatnya tertidur. Dia juga paling suka tiduran sambil dipijat kakinya perlahan. Setelah dia tertidur, tidak lupa ku selimuti tubuhnya, baru aku akan ikut berbaring di sampingnya.Ya, dia semanja itu. Dan aku sangat senang jika bisa memanjakannya.Bahkan sebelum tidur, tak jarang aku ucapkan kata i love you di telinganya, lalu kukecup keningnya.
PovFajarBerduaan dengan yang bukan mahram itu ternyata memang benar sangat besar bahayanya. Pantas saja agama sudah mewanti-wanti agar jangan pernah mendekati zina. Mendekatinya saja sudah dilarang. Apalagi sampai melakukannya. Karena terkadang tanpa niat pun, kejahatan itu bisa terjadi hanya karena ada kesempatan.Ya, seperti yang aku alami saat ini. Sedikitpun aku tidak berniat untuk berbuat sejauh itu dengan Rina. Tapi karena kesempatan dan keadaan yang begitu mendukung, membuatku terperosok ke dalam jurang kenistaan. Aku khilaf, aku kalap.Aku telah merampas yang bukan hakku. Bahkan dia masih berstatus istri Doni, yang juga temanku.Setelah h*sratku tertunaikan, aku terkulai lemas. Napas Rina pun terdengar masih terengah-engah. Wanita berkulit sawo matang itu terlihat segera merapikan bajunya dan mulai mengancingkannya satu demi satu. Juga merapikan kembali jilbab yang bahkan
Pov FajarMenyembunyikan sebuah dosa besar itu ternyata tidak mudah. Perasaan cemas dan bersalah terus saja menghantuiku."Mas, solat dulu sana. Habis itu baru kita makan," ucap Ayu sambil berjalan hendak keluar kamar setelah melihat aku selesai berpakaian.Waktu sekarang sudah menunjukkan pukul tujuh lebih tiga puluh menit.Gegas aku hamparkan sajadahku. Berdiri tegak untuk melakukan kewajibanku kepada Rob-ku. Solatku kali ini terasa benar-benar tidak khusuk. Pikiranku kacau. Bayangan perbuatan kotorku terus berkelebat. Dalam hati kecilku aku menduga-duga, apakah solat orang kotor sepertiku akan diterima. Sementara beberapa saat sebelumnya aku telah berbuat dosa yang sangat besar.Meski dengan perasaan tak menentu, aku tetap menyelesaikan solatku. Kuangkat kedua tangan, menengadahkan wajahku menghadap Rob-ku. Memohon ampunan sebesar-besarnya atas dosa besar y