"Dua kali."
Dua kata yang telah diucapkan pelan oleh suamiku, bak tamparan keras yang menghujam ulu hati. Perih, sakit tak terkira. Bagaikan ribuan jarum yang menancap bersamaan tepat dihatiku.
"Astaghfirullahal adzim," lirihku.
Aku hanya bisa terus beristighfar untuk sedikit meredakan hati yang kini remuk redam.
Ingin rasanya memukul, menendang, tapi apalah daya. Justru aku luruh, lemas lunglai tak berdaya. Seluruh tubuhku bergetar hebat seolah tidak sanggup menerima dahsyatnya rasa sakit yang kini harus ku rasakan.
"Maafkan, Mas, Sayang. Maafkan. Mas khilaf, Dek." Mas Fajar pun ikut menangis tergugu. Dia bahkan bersujud tepat di kakiku. Hingga kurasakan tetes demi tetes air matanya membasahi kakiku.
"Kenapa, Mas bisa setega dan sekejam ini padaku, Mas, kenapa? Kenapa semua ini bisa terjadi? Kenapa harus aku yang kamu sakiti Mas?" Aku terus meracau begitu lirih.
"Mas benar-benar tidak ada niat untuk berbuat zina, Dek, tapi ternyata mas kalah oleh hawa nafsu. Mas terlalu terbawa perasaan. Mas tidak bisa mengendalikan diri. Ternyata memang benar, kejahatan itu terjadi bukan hanya karena ada niat, tapi karena ada kesempatan. Mas menyesal. Hari itu, ketika mas mau mengantar Rina pulang, entah kenapa pintu mobil depan sebelah kiri macet dan tidak bisa dibuka. Hingga mas menyuruh Rina untuk duduk di belakang saja. Ketika mas sedang fokus menyetir, samar-samar mas mendengar isakan. Ternyata di belakang Rina sedang menangis sambil menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Mas merasa iba. Akhirnya mas menepikan mobil ke pinggir dan mas pindah ke belakang untuk menenangkannya. Mas mencoba memberikan air minum agar tangisnya segera reda. Mas bertanya kenapa dia menangis? Dan ternyata dia sedang ada dalam masalah rumah tangga. Dia kembali menangis. Mas mengusap kepalanya pelan. Tapi tak disangka dia memeluk mas. Dia menumpahkan tangisnya di dada mas. Mas tidak sanggup menghindar. Hingga beberapa saat tangisnya mulai kembali mereda. Dia sedikit menarik diri dari pelukan mas. Susana yang sepi karena lebatnya hujan yang turun, seolah menguatkan keadaan kami yang terbuai bisikan setan. Saat itulah kami tergoda rayuan setan. Kami khilaf. Kami terbuai oleh keadaan, sampai akhirnya berbuat nista," beber Mas Fajar panjang lebar.
"Kamu bilang khilaf, Mas? Khilaf itu satu kali. Kalau dua itu kali itu doyan. Kalian benar-benar mur*han. Kamu baj*ingan, m
Mas. Aku jijik sama kamu. Aku ga mau lihat wajah kamu lagi, Mas!" Emosiku kembali meledak bersamaan dengan tenagaku yang mulai kembali sedikit demi sedikit."Maafkan, Mas, Dek. Kamu boleh memaki Mas. Kamu boleh pukul Mas sesuka hatimu. Ayo pukul, Dek, ayo tampar Mas sekuat tenaga!" lanjutnya lagi sambil memegang tanganku dan memukul-mukulkannya ke pipinya.
"Percuma, Mas. Semua itu tak kan bisa mengobati hatiku. Hatiku hancur. Kepercayaanku hancur. Pernikahan ini hancur. Kamu menghancurkan semuanya, Mas." Aku terus berkata dengan deraian air mata yang tak kunjung mengering.
"Apa salahku padamu, Mas? Apa kekuranganku? Delapan tahun aku setia menemanimu dalam susah ataupun senang. Aku selalu menuruti keinginanmu bahkan saat kamu menyuruhku untuk berhenti kerja, dan fokus mengurus Putra. Padahal saat itu keuangan kita sedang sulit. Gajimu pun sangat minim, sehingga aku harus benar-benar hidup sederhana bahkan terkadang kekurangan. Tapi aku tetap menurutimu demi baktiku padamu, Mas. Tapi ini balasanmu? Kamu benar-benar kejam."
"Mas tau Mas salah dek. Mas tau Mas sudah benar-benar melukai perasaanmu. Kamu boleh melakukan apapun pada Mas. Tapi, Mas mohon ampuni Mas," ucapnya tergugu sambil bersujud kembali di kakiku.
"Kamu bahkan sedikit pun tidak mengingat anak kita, Putra saat melakukan perbuatan terkutuk itu, Mas."
"Maafkan, Mas, Dek. Mas telah mengecewakanmu dan juga anak kita. Mas gagal jadi suami dan ayah yang baik. Mas janji akan memperbaiki semuanya. Mas janji akan membahagiakanmu dan Putra."
"Baik kalau begitu. Tolong ceraikan aku. Aku mau kita berpisah. Aku jijik sama kamu. Aku tidak mau melihat wajahmu lagi. Aku tidak sudi mempunyai suami seorang pezina sepertimu. Mungkin dengan begitu, aku bisa kembali bahagia."
******
Tidak ada seorang pun wanita yang ingin disakiti. Percayalah, cinta sebesar apapun akan langsung hilang ketika dirinya dikhianati. Yang tertinggal hanyalah luka, dan juga kecewa.
Delapan tahun hidup bersama dalam suka dan duka, bukanlah waktu yang singkat dan sebentar. Banyak kenangan indah, tawa, ceria, juga air mata.
Tapi kini, ikatan suci itu hampir karam. Nahkoda yang dipercaya untuk memimpin pelayaran bahtera rumah tangga itu telah kalah. Kalah oleh keindahan dan kenikmatan sesaat yang justru mampu menenggelamkan dirinya juga semua yang ada didalamnya.
Dikhianati oleh lelaki bergelar suami yang dari awal diharapkan mampu menjaga dan melindunginya, itu sangat sangat menyakitkan. Tak jarang hampir semua wanita yang mengalaminya akan memilih untuk berpisah. Seperti halnya aku kini.
"Aku mau kita bercerai. Tekadku sudah bulat untuk mengakhiri pernikahan ini," ucapku sambil menghapus air mata yang mengalir di pipi.
"Kamu boleh melakukan apapun pada Mas, Dek. Tapi tolong jangan meminta berpisah. Mas sangat menyayangimu juga Putra. Kalian sangat berharga dalam hidupku." Bahu mas Fajar berguncang hebat.
"Kamu ga mungkin mengkhianatiku kalau kamu menyayangiku, Mas? Kamu ga mungkin berkhianat kalau kamu menyayangi Putra?" teriakku.
"Pokoknya aku mau kita berpisah. Aku sudah jijik melihat kamu Mas, aku jijik," lanjutku penuh emosi.
"Kasian Putra, Dek. Tolong pikirkan perasaan dan masa depan Putra?"
"Apa kamu mikirin masa depan dan perasaan Putra saat kamu memilih untuk berkhianat, Mas? Apa kamu ingat dia? Tidak kan? Kamu yang sudah menghancurkan perasaan juga masa depan Putra. Pergi kamu, Mas, pergi." Aku terus meracau sambil mendorong tubuhnya.
"Pergi kamu, Mas, pergi, pergiiii. Aku tidak mau melihat wajahmu lagi," teriakku sambil turun dari ranjang, melempar bantal dan apapun yang ada di dekatku.
"Maafkan Mas, Dek. Tolong maafkan, Mas." Bukannya pergi dia malah berlutut di kakiku dengan terus berderai air mata.
Lagi aku mendorongnya agar menjauh dariku.
"Jangan sentuh aku, Mas. Aku jijik. Tanganmu itu sudah menyentuh setiap inci tubuh wanita lain. Aku tidak sudi disentuh lagi oleh tangan kotormu itu, aku tidak sudi," teriakku semakin kencang.
Aku kembali luruh, kepalaku serasa limbung, pusing karena terlalu banyak menangis. Tubuhku merosot ke lantai dengan isak tangis yang masih menemani.
Di sela isak tangisku yang mulai mereda, samar terdengar isakan lain di luar sana.
Aku mulai melangkah untuk membuka pintu kamarku dan membiarkan Mas Fajar masih dalam posisi berlutut.
Setelah kubuka, terlihat Putra sedang menangis, kedua kakinya ditekuk menopang kepalanya yang menunduk menahan tangis.
Aku lupa, di rumah ini bukan hanya aku dan Mas Fajar. Tapi juga ada Putra. Dia pasti terbangun karena teriakanku dan kegaduhan antara aku dan ayahnya.
Selama ini, aku dan mas Fajar tidak pernah bertengkar seperti ini. Kalaupun ada pertengkaran kecil, aku justru lebih memilih mendiamkan mas Fajar.
Ya, selama delapan tahun pernikahan. Mas Fajar jarang sekali membuat kesalahan. Makanya kami jarang bertengkar. Aku lebih memilih mendiamkannya saat dia melakukan kesalahan. Seperti kalau dia terlambat pulang, saat pulang lupa membawa pesananku, atau sekedar lama tidak membalas pesanku. Ya, sebatas itu.
"Putra, kamu kenapa, Sayang? Kamu kok bangun sih sayang, kan tadi sudah tidur?" tanyaku sambil berjongkok mensejajarkan wajahku dengannya.
"Bunda sama ayah kenapa? Kok, Ayah sama Bunda nangis? Putra juga denger Bunda tadi teriak-teriak." Putra malah balik bertanya.
"Bunda sama Ayah ga apa-apa kok sayang. Bobo lagi yuk, bunda temenin!" Aku berjalan menuntun lengan Putra menuju kamarnya dan meninggalkan Mas Fajar yang masih duduk mematung sendirian.
Naik ke tempat tidur, Putra merebahkan kembali badannya. Tidak lupa kuselimuti tubuhnya agar tak kedinginan. Aku pun ikut merebahkan tubuhku disisinya. Kupeluk dia, kutepuk-tepuk pelan tubuhnya agar ia cepat tertidur kembali.
Setelah beberapa menit, Putra sudah kembali terlelap. Saat ku pandangi wajahnya, hatiku kembali berdenyut nyeri. Memikirkan nasibnya ke depan andai aku dan mas Fajar sudah benar-benar berpisah. Apalagi Putra sangat dekat sekali dengan ayahnya itu. Tak pernah sedikitpun menyangka, kalau semua ini akan terjadi dalam hidupku dan anakku. Alloh, sungguh ini ujian terberat dalam hidupku.
Pov FajarDengan gontai aku mencoba bangkit, berjalan pelan menuju pembaringan. Naik ke atasnya kemudian meringkuk sendirian. Merutuki kebodohan yang telah aku lakukan.Di kamar ini, di atas kasur ini. Biasanya setiap malam aku habiskan waktuku berdua bersama Ayu, istriku. Kami berbagi cerita, tertawa bersama, atau sekedar menonton film di laptop bersama.Sambil bercerita, aku duduk bersandar di kepala ranjang, sementara Ayu lebih senang berbaring sambil meletakkan kepalanya di pangkuanku. Aku usap-usap rambutnya pelan hingga kadang membuatnya tertidur. Dia juga paling suka tiduran sambil dipijat kakinya perlahan. Setelah dia tertidur, tidak lupa ku selimuti tubuhnya, baru aku akan ikut berbaring di sampingnya.Ya, dia semanja itu. Dan aku sangat senang jika bisa memanjakannya.Bahkan sebelum tidur, tak jarang aku ucapkan kata i love you di telinganya, lalu kukecup keningnya.
PovFajarBerduaan dengan yang bukan mahram itu ternyata memang benar sangat besar bahayanya. Pantas saja agama sudah mewanti-wanti agar jangan pernah mendekati zina. Mendekatinya saja sudah dilarang. Apalagi sampai melakukannya. Karena terkadang tanpa niat pun, kejahatan itu bisa terjadi hanya karena ada kesempatan.Ya, seperti yang aku alami saat ini. Sedikitpun aku tidak berniat untuk berbuat sejauh itu dengan Rina. Tapi karena kesempatan dan keadaan yang begitu mendukung, membuatku terperosok ke dalam jurang kenistaan. Aku khilaf, aku kalap.Aku telah merampas yang bukan hakku. Bahkan dia masih berstatus istri Doni, yang juga temanku.Setelah h*sratku tertunaikan, aku terkulai lemas. Napas Rina pun terdengar masih terengah-engah. Wanita berkulit sawo matang itu terlihat segera merapikan bajunya dan mulai mengancingkannya satu demi satu. Juga merapikan kembali jilbab yang bahkan
Pov FajarMenyembunyikan sebuah dosa besar itu ternyata tidak mudah. Perasaan cemas dan bersalah terus saja menghantuiku."Mas, solat dulu sana. Habis itu baru kita makan," ucap Ayu sambil berjalan hendak keluar kamar setelah melihat aku selesai berpakaian.Waktu sekarang sudah menunjukkan pukul tujuh lebih tiga puluh menit.Gegas aku hamparkan sajadahku. Berdiri tegak untuk melakukan kewajibanku kepada Rob-ku. Solatku kali ini terasa benar-benar tidak khusuk. Pikiranku kacau. Bayangan perbuatan kotorku terus berkelebat. Dalam hati kecilku aku menduga-duga, apakah solat orang kotor sepertiku akan diterima. Sementara beberapa saat sebelumnya aku telah berbuat dosa yang sangat besar.Meski dengan perasaan tak menentu, aku tetap menyelesaikan solatku. Kuangkat kedua tangan, menengadahkan wajahku menghadap Rob-ku. Memohon ampunan sebesar-besarnya atas dosa besar y
Pov FajarSelama beberapa hari aku berusaha terus menghindar dari Rina. Aku pun tidak pernah mengantarnya pulang lagi. Meski masih sering ku lihat dia duduk di pinggir jalan menunggu angkot seperti biasa. Tapi aku coba abaikan dan tak memperdulikannya.Rina memang pernah beberapa kali mengirim pesan padaku.[ Yang, masih sibuk ]Begitu isi pesannya. Entahlah apa maksudnya. Mungkin dia ingin meminta aku mengantarnya pulang lagi. Tapi dia merasa canggung untuk berkata langsung. Aku lebih memilih mengabaikan pesannya tanpa sedikitpun berniat membalas.Tapi ternyata pesan itu lupa dihapus karena aku terburu-buru pulang. Dan pesan itu terbaca oleh Ayu yang memang sering meminjam ponselku. Aku dan Ayu memang tidak pernah mengunci ponsel kami. Sehingga kami bebas membukanya satu sama lain.Ayu marah, menangis, mendiamkanku sampai berhari-hari lamanya, meskipun aku sudah berkali-kali meminta maaf dan menjelaskan kalau itu hanya salah f
Dering alarm dari gawaiku terdengar menjerit-jerit, mengganggu tidurku yang terasa baru beberapa menit. Entah jam berapa aku tertidur. Mungkin hanya sekitar 2 jam, kurang lebih. Membuat kepalaku terasa sakit dan berat.Kulirik jam dinding yang tergantung di kamar Putra, ternyata sudah pukul tiga. Mau tidak mau aku cepat-cepat bangun untuk segera menyiapkan makanan untuk sahur.Kupercepat langkah untuk mematikan alarm agar tidak menggangu tidur Putra. Aku mencari sumber suara alarm itu, lupa menyimpannya dimana. Dan ternyata tergeletak di kursi ruang tamu. Lekas aku mematikannya.Dengan sedikit terhuyung aku berjalan ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Basuhan air wudhu terasa begitu menyejukkan di kulitku.Kugelar sajadah untuk menunaikan salat malamku. Mengadu kepada Rob-ku atas semua masalah yang sedang aku alami. Biasanya manusia akan lebih khusuk dan dek
Aku harus kuat. Aku enggak boleh lemah. Untuk apa aku menangisi orang yang sudah tega menyakitiku. Aku harus fokus untuk masa depanku dan anakku. Aku masih punya Putra sebagai semangat dan kekuatanku.Kuatur napas baik-baik, menghirupnya lalu mengembuskannya. Beberapa kali. Kuusap jejak air mata di kedua pipi, lalu mulai bangkit dan berjalan menuju kamar mandi.Kubasuh wajah dengan air agar mataku tidak terlalu bengkak. Mengambil wudhu untuk melakukan sholat dhuha dan kembali menumpahkan semua segala sesak di dadaku hanya pada Rob-ku.Selesai salat bergegas aku menuju ke meja rias, sedikit memoleskan bedak diwajahku yang terlihat menyedihkan karena terlalu banyak menangis.Aku ingin sekali bercerita, tapi tidak tau harus bercerita kepada siapa. Rumahku memang dekat dengan rumah orang tuaku, tapi sekarang ibuku sedang pergi keluar kota untuk menemui ayah yang bekerja di sana. Jika aku bercerita kepada orang lain, aku takut aib rumah ta
Malam ini aku tidak bisa tidur. Mata ini rasanya sulit sekali untuk terpejam. Sementara Putra yang ada di sampingku, sudah tidur dengan lelapnya. Meskipun banyak drama yang harus aku hadapi sejak buka puasa tadi.Putra terus saja menanyakan ayahnya kenapa belum pulang. Terpaksa aku berbohong. Aku bilang kalau Bu Yati, mertuaku sedang sakit. Jadi Mas Fajar menginap di sana untuk beberapa hari.Putra juga enggan pergi tarawih kalau tidak sama ayahnya."Putra mau pergi tarawih sama ayah, Bun, kalau enggak sama ayah, Putra di rumah saja!" rengeknya manja sambil melipat kedua tangannya di dada."Kan ada bunda yang nemenin Putra? Berangkat sama ayah ataupun bunda sama saja. Yang penting niat kita kan ibadah. Sayang lho, tarawih itu kan cuma di bulan Ramadhan saja. Lagian nanti kan di masjid banyak teman-teman Putra," bujukku sambil berjongkok dan mengusap wajahnya dengan lembut.
Matahari terlihat sudah menampakkan sinarnya. Cahayanya begitu hangat masuk ke dalam rumahku melalui kaca jendela yang sudah terbuka tirainya sedari tadi.Sementara aku masih berada di tempat tidur, lengkap dengan selimut yang masih membelit tubuhku. Biasanya setelah solat subuh dan bertadarus, aku langsung berkutat dengan segala rutinitasku. Mulai dari mencuci piring, mencuci pakaian, menyapu dan mengepel lantai. Tapi entah kenapa hari ini rasanya aku malas untuk mengerjakan apapun. Kepalaku rasanya pusing. Perutku juga mual. Ah, ini pasti gara-gara aku tidur lagi setelah subuh. Bukankah setelah subuh itu harusnya jangan tidur lagi? Begitu yang aku tahu menurut kesehatan.Dengan berat aku mulai menurunkan kakiku. Menapakkan kedua kakiku ke dasar lantai yang justru masih terasa dingin di kulit. Banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan hari ini. Selain mengerjakan pekerjaan rumahku, aku juga harus membersihkan rumah