Dengan gontai aku mencoba bangkit, berjalan pelan menuju pembaringan. Naik ke atasnya kemudian meringkuk sendirian. Merutuki kebodohan yang telah aku lakukan.
Di kamar ini, di atas kasur ini. Biasanya setiap malam aku habiskan waktuku berdua bersama Ayu, istriku. Kami berbagi cerita, tertawa bersama, atau sekedar menonton film di laptop bersama.
Sambil bercerita, aku duduk bersandar di kepala ranjang, sementara Ayu lebih senang berbaring sambil meletakkan kepalanya di pangkuanku. Aku usap-usap rambutnya pelan hingga kadang membuatnya tertidur. Dia juga paling suka tiduran sambil dipijat kakinya perlahan. Setelah dia tertidur, tidak lupa ku selimuti tubuhnya, baru aku akan ikut berbaring di sampingnya.
Ya, dia semanja itu. Dan aku sangat senang jika bisa memanjakannya.
Bahkan sebelum tidur, tak jarang aku ucapkan kata i love you di telinganya, lalu kukecup keningnya.
Sekarang apalah arti kata-kata manis itu, kalau pada akhirnya aku justru telah menyakiti hatinya. Aku lukai dia begitu dalam. Menghancurkan kepercayaan yang selama delapan tahun ini aku jaga baik-baik.
Aku tahu dia hancur, aku tau dia sakit, aku tahu dia sangat kecewa dengan pengkhianatanku.
Hatiku pun sama hancurnya melihatnya terpuruk seperti ini. Tapi kini, menyesal pun tiada guna.
Dia kini membenciku. Mungkin sekarang di matanya aku hanyalah seorang manusia paling hina, paling kotor, dan bej*t. Yang tidak ingin dia lihat lagi di muka bumi ini. Ya, serendah itu aku sekarang di matanya.
Aku pun tidak pernah menyangka, kedekatanku dengan Rina akan berujung fatal seperti ini. Sedikit pun aku tidak berniat mengkhianati Ayu. Bahkan tak pernah sekalipun aku mengungkapkan kata cinta atau sekedar suka pada Rina.
Dari awal aku hanya kasian dan berniat menolongnya.Tapi ternyata bujukan Setan membuat jiwa kelelakianku bangkit. Sebagai pria normal aku tidak bisa mengendalikan h*srat yang ada di depanku.
Semuanya berawal dari hari itu. Tepatnya sekitar dua bulan yang lalu.
Pekerjaan yang menumpuk membuat aku harus pulang paling akhir dari kantor. Hujan yang lebat juga membuatku agak menunda kepulanganku.
Ketika hujan agak mereda, aku berjalan ke luar kantor dan sedikit berlari menuju mobil. Gegas aku masuk agar bajuku tak basah.
Kupacu mobilku keluar dari parkiran menuju jalan raya, tapi samar terlihat di seberang sana seorang wanita terduduk di bangku depan sebuah warung nasi yang sudah tutup.
"Bukankah itu Rina. Ngapain dia disitu sore-sore begini?" gumamku dalam hati.
Lekas aku jalankan mobilku agar lebih dekat dengannya. Membuka setengah kaca jendela mobilku.
"Rin, ngapain disini? Kenapa belum pulang?" tanyaku melongo dari jendela mobil.
"Aku nunggu angkot, Mas," jawabnya sedikit berteriak.
"Ayo masuk," teriakku sambil membuka pintu mobil tanpa turun.
Dia sedikit berlari kemudian masuk ke dalam mobilku.
"Biar aku antar pulang ya. Jam segini ga mungkin ada angkot lagi yang lewat. Apalagi hujannya lumayan deras."
"Ya, Mas. Makasih ya."
Beberapa saat kami terdiam. Akupun lebih fokus menyetir perlahan karena derasnya hujan menghalangi pandangan jalanan.
Aku tidak perlu menanyakan alamat rumah Rina, karena sebelumnya aku pernah ke rumahnya. Beberapa tahun yang lalu, saat dia telah melahirkan. Aku dan teman-teman kantorku menjenguknya.
"Kenapa Doni tidak menjemputmu? Biasanya setiap hari dia menjemputmu?" tanyaku memecah keheningan.
"Dia sedang ada urusan."
Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Padahal aku tau dia sedang ada masalah dengan Doni, suaminya. Aku tau karena teman-temanku tadi membicarakannya. Mereka bilang kalau Rina sedang pisah ranjang dengan Doni. Itu semua karena Doni sering berlaku kasar dan jarang menafkahi Rina. Itulah sebabnya Rina masih bekerja meskipun sudah mempunyai anak yang berumur 4 tahun. Tapi aku lebih memilih pura-pura tak tahu apa-apa dan tidak ingin mencoba bertanya langsung padanya. Apalagi masalah rumah tangga itu masalah yang sangat pribadi.
Kurang lebih dua puluh menit kami sampai di depan rumahnya. Hujan juga kebetulan sudah mulai reda. Gegas Rina turun dan mengucapkan terima kasih.
Aku putar balik mobilku, karena arah rumahku karena arah rumah Rina berlawanan. Aku menepikan mobilku di pinggir jalan sebentar untuk menelpon istriku.
"Halo, Sayang. Maaf ya, Mas pulang agak telat. Ini baru mau jalan. Mas habis ... meeting sebentar," ucapku terjeda, karena harus mencari alasan.
"Maaf, Mas berbohong," gumamku dalam hati. Karena Ayu pasti akan marah kalau tau aku habis mengantar pulang seorang wanita. Dia termasuk istri yang posesif dan sangat pencemburu.
"Mau titip aya, Sayang? Atau mungkin Putra mau dibelikan sesuatu," tanyaku lagi. Ya, setiap hari, sebelum pulang aku pasti menelpon atau mengirim pesan pada Ayu sekedar menanyakan dia mau titip apa.
"Putra mau martabak keju, katanya. Mas hati-hati di jalannya, ya," ucapnya di sana.
"Ok, sayang." Aku mengakhiri panggilan dan meletakkan ponsel di jok sebelah.
Aku bergegas memacu kembali mobilku dan pulang menuju rumah. Dengan perasaan bersalah karena telah. membohongi Ayu, istriku.
*****
Ternyata memang benar, sekali saja kita berbohong, maka kita akan mulai terbiasa dan menganggap berbohong itu bukan suatu dosa. Kita akan mudah untuk berbohong lagi di kemudian hari. Ya, seperti yang aku lakukan.
Setelah beberapa hari yang lalu, untuk pertama kalinya aku mengantar pulang Rina, aku mulai merasa tak enak dan iba jika melihat dia duduk seorang diri sewaktu pulang kerja. Ada perasaan seperti rasa bersalah jika tidak mengantarnya pulang lagi. Tapi perasaan kasian itu abaikan, takut suatu hari diketahui Ayu.
Tapi setelah seminggu berlalu, hujan kembali turun dengan derasnya. Hari ini Rina tidak menunggu angkot di seberang jalan. Tapi dia duduk di depan kantor yang mulai sepi karena yang lain sudah banyak yang pulang. Ternyata dia lupa membawa payung.
"Belum pulang, Rin?" sapaku yang baru keluar kantor.
"Belum, Mas. Aku nunggu hujan agak reda. Aku juga lupa bawa payung mau ke depan nunggu angkot," jawabnya sambil menggosok-gosok kedua telapak tangannya karena udara yang dingin.
"Ga dijemput lagi?" tanyaku lagi.
"Enggak, Mas."
"Ya sudah kalau gitu, aku anterin lagi ya. Sudah sore. Sebentar lagi magrib," tawarku padanya.
Dia hanya mengangguk tanpa berkata.
"Tunggu sebentar ya, aku mau nelpon istriku dulu sebentar," kataku sambil berjalan agak menjauh darinya.
Kuambil gawai dari saku celanaku, lalu menelpon Ayu.
"Assalamu'alaikum." Kuucapkan salam ketika terdengar teleponku mulai diangkat.
"Wa'alaikum salam, Ayah." Ternyata Putra— anakku yang mengangkat telepon.
"Bunda, mana sayang?" tanyaku pada Putra.
"Bunda lagi ganti baju, yah, habis mandi. Ayah sudah mau pulang?" celotehnya.
Ayu memang selalu menyambut kepulanganku dengan cantik dan wangi. Meskipun hanya memakai bedak tipis dan lipstik warna kalem, dia sudah terlihat sangat cantik. Apalagi kalau rambutnya tergerai dan memakai bondu, terlihat dia masih seperti gadis. Bahkan saat kuliah dulu, dia menjadi juara pertama di ajang Putri kampus yang di adakan oleh perusahaan make up ternama.
"Ayah belum pulang, Nak. Tolong bilangin sama bunda, ayah pulang agak terlambat. Masih ada pekerjaan yang belum selesai." lagi-lagi aku harus berbohong. "Putra mau titip apa?"
"Enggak, yah," jawabannya.
"Ok, kalau gitu, ayah lanjutkan kerja dulu ya. Jangan lupa bilang sama bunda."
"Siap, yah."
Gegas ku putuskan sambungan telpon, lalu memasukkan gawai itu ke dalam tas kerjaku.
"Yuk, pulang," ajakku pada Rina sambil membuka pintu mobil.
Rina pun bergegas masuk.
***
Esoknya ternyata hujan kembali turun dengan derasnya. Entah kenapa aku kembali mengingat Rina yang mungkin belum pulang karena terhalang derasnya hujan.
Segera kuselesaikan pekerjaanku. Berjalan dengan cepat menuju keluar kantor. Terlihat di halaman kantor, ternyata hanya ada satpam dan beberapa karyawan yang menunggu hujan agak reda.
"Syukurlah, mungkin Rina sudah pulang," batinku.
Setelah melajukan mobil, ternyata aku melihat Rina sedang duduk di depan warung nasi seperti biasa. Dengan beberapa orang pengendara yang sepertinya sedang berteduh.
Segera kuseberangkan mobilku untuk menghampirinya.
"Rin, ayo masuk," panggilku berteriak dari kaca jendela mobilku yang setengah terbuka.
Rina terlihat berlari menuju mobilku. Aku berusaha membuka pintu kiri bagian depan mobilku. Tapi ternyata pintunya macet ga bisa dibuka. Sementara Rina terlihat sudah agak basah tersiram air hujan.
"Naik di belakang aja Rin! Langsung buka, pintunya ga dikunci! Yang depan kayanya macet," teriakku.
Rina bergegas masuk dan mendaratkan tubuhnya ke jok bagian belakang mobilku. Dia terlihat membuka jaket abunya yang agak basah kehujanan.
Mobil melaju menuju jalanan rumahnya, dengan kecepatan agak rendah karena terbatasnya pandangan jalanan yang tertutup hujan deras.
Ketika aku sedang fokus menyetir, samar terdengar isakan dari arah belakang. Ku lirik lewat spion depan, ternyata Rina sedang menangis sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Entah kenapa aku tidak tega melihatnya menangis. Segera aku menepikan mobilku ke pinggir jalan. Lantas turun dan cepat-cepat pindah ke jok belakang sekadar untuk menenangkan Rina.
Aku mengusap bahunya pelan, sambil menyodorkan sebotol air mineral yang memang selalu tersedia di mobilku.
"Minumlah, biar kamu sedikit tenang."
Dia menurunkan kedua tangannya dari wajahnya, mengambil botol itu dan meneguknya sedikit.
"Ceritalah! Barangkali dengan bercerita kamu akan merasa sedikit lega." Kini kami saling berhadapan.
"A-aku sebenarnya malu untuk bercerita. Ini aib rumah tanggaku. Sudah sebulan ini aku pisah ranjang dengan mas Doni. Aku sudah tidak tahan dengan sikap kasarnya. Dia juga jarang memberiku nafkah. Padahal aku ingin sekali berhenti bekerja dan fokus mengurus anakku. Tapi Mas Doni tidak pernah mengizinkanku berhenti bekerja. Dan ibu mertua juga selalu membela Mas Doni. Aku ingin berpisah saja darinya," ucapnya panjang lebar sambil kembali tergugu menumpahkan air matanya.
"Sabar ya. Jangan dulu terburu-buru meminta berpisah. Komunikasikan lagi baik-baik, apalagi kalian sudah punya anak. Semoga cepat-cepat dapat jalan keluar terbaik," ujarku menasihatinya sambil kuusap pelan kepalanya yang terbungkus jilbab merah.
Bruk
Tiba-tiba dia malah memelukku. Aku terkesiap, badanku sedikit terdorong ke belakang.
"Aku sudah tidak kuat. Tujuh tahun aku berusaha bertahan," ucapnya serak masih dalam posisi memelukku.
Aku bingung harus bersikap bagaimana. Kucoba membalas pelukannya dan mengusap-usap punggungnya lembut.
Jantungku berdetak kencang. Jiwa kelelakianku bangkit. Aku lelaki normal yang akan ter*ngsang mendapat perlakuan seperti ini dari lawan jenis.
Aku memegang kedua bahunya. Sedikit mendorongnya ke belakang agar pelukan kami terurai.
Kukecup hangat keningnya. Tanpa diduga dia membalas mencium keningku.
Jantungku semakin berdetak kencang. Napasku memburu, n*psuku sudah tak dapat kukendalikan.
Keadaan yang jalanan yang sepi karena hujan yang masih deras membuat kami merasa leluasa. Apalagi jalanan menuju rumahnya agak jauh dari jalan raya dan sedikit ke pelosok. Hanya pepohonan yang ada di kanan dan kiri jalan.
Perbuatan haram itu akhirnya terjadi juga. Kami bagaikan singa yang kelaparan. Bergumul berbagi peluh dalam kendaraan yang cukup sempit itu. Kusentuh inci demi inci tubuh yang sebenarnya sangat haram untuk disentuh. Mencoba saling memuaskan satu sama lain. Tanpa mengingat dia yang sedang menanti di rumah dengan setia.
PovFajarBerduaan dengan yang bukan mahram itu ternyata memang benar sangat besar bahayanya. Pantas saja agama sudah mewanti-wanti agar jangan pernah mendekati zina. Mendekatinya saja sudah dilarang. Apalagi sampai melakukannya. Karena terkadang tanpa niat pun, kejahatan itu bisa terjadi hanya karena ada kesempatan.Ya, seperti yang aku alami saat ini. Sedikitpun aku tidak berniat untuk berbuat sejauh itu dengan Rina. Tapi karena kesempatan dan keadaan yang begitu mendukung, membuatku terperosok ke dalam jurang kenistaan. Aku khilaf, aku kalap.Aku telah merampas yang bukan hakku. Bahkan dia masih berstatus istri Doni, yang juga temanku.Setelah h*sratku tertunaikan, aku terkulai lemas. Napas Rina pun terdengar masih terengah-engah. Wanita berkulit sawo matang itu terlihat segera merapikan bajunya dan mulai mengancingkannya satu demi satu. Juga merapikan kembali jilbab yang bahkan
Pov FajarMenyembunyikan sebuah dosa besar itu ternyata tidak mudah. Perasaan cemas dan bersalah terus saja menghantuiku."Mas, solat dulu sana. Habis itu baru kita makan," ucap Ayu sambil berjalan hendak keluar kamar setelah melihat aku selesai berpakaian.Waktu sekarang sudah menunjukkan pukul tujuh lebih tiga puluh menit.Gegas aku hamparkan sajadahku. Berdiri tegak untuk melakukan kewajibanku kepada Rob-ku. Solatku kali ini terasa benar-benar tidak khusuk. Pikiranku kacau. Bayangan perbuatan kotorku terus berkelebat. Dalam hati kecilku aku menduga-duga, apakah solat orang kotor sepertiku akan diterima. Sementara beberapa saat sebelumnya aku telah berbuat dosa yang sangat besar.Meski dengan perasaan tak menentu, aku tetap menyelesaikan solatku. Kuangkat kedua tangan, menengadahkan wajahku menghadap Rob-ku. Memohon ampunan sebesar-besarnya atas dosa besar y
Pov FajarSelama beberapa hari aku berusaha terus menghindar dari Rina. Aku pun tidak pernah mengantarnya pulang lagi. Meski masih sering ku lihat dia duduk di pinggir jalan menunggu angkot seperti biasa. Tapi aku coba abaikan dan tak memperdulikannya.Rina memang pernah beberapa kali mengirim pesan padaku.[ Yang, masih sibuk ]Begitu isi pesannya. Entahlah apa maksudnya. Mungkin dia ingin meminta aku mengantarnya pulang lagi. Tapi dia merasa canggung untuk berkata langsung. Aku lebih memilih mengabaikan pesannya tanpa sedikitpun berniat membalas.Tapi ternyata pesan itu lupa dihapus karena aku terburu-buru pulang. Dan pesan itu terbaca oleh Ayu yang memang sering meminjam ponselku. Aku dan Ayu memang tidak pernah mengunci ponsel kami. Sehingga kami bebas membukanya satu sama lain.Ayu marah, menangis, mendiamkanku sampai berhari-hari lamanya, meskipun aku sudah berkali-kali meminta maaf dan menjelaskan kalau itu hanya salah f
Dering alarm dari gawaiku terdengar menjerit-jerit, mengganggu tidurku yang terasa baru beberapa menit. Entah jam berapa aku tertidur. Mungkin hanya sekitar 2 jam, kurang lebih. Membuat kepalaku terasa sakit dan berat.Kulirik jam dinding yang tergantung di kamar Putra, ternyata sudah pukul tiga. Mau tidak mau aku cepat-cepat bangun untuk segera menyiapkan makanan untuk sahur.Kupercepat langkah untuk mematikan alarm agar tidak menggangu tidur Putra. Aku mencari sumber suara alarm itu, lupa menyimpannya dimana. Dan ternyata tergeletak di kursi ruang tamu. Lekas aku mematikannya.Dengan sedikit terhuyung aku berjalan ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Basuhan air wudhu terasa begitu menyejukkan di kulitku.Kugelar sajadah untuk menunaikan salat malamku. Mengadu kepada Rob-ku atas semua masalah yang sedang aku alami. Biasanya manusia akan lebih khusuk dan dek
Aku harus kuat. Aku enggak boleh lemah. Untuk apa aku menangisi orang yang sudah tega menyakitiku. Aku harus fokus untuk masa depanku dan anakku. Aku masih punya Putra sebagai semangat dan kekuatanku.Kuatur napas baik-baik, menghirupnya lalu mengembuskannya. Beberapa kali. Kuusap jejak air mata di kedua pipi, lalu mulai bangkit dan berjalan menuju kamar mandi.Kubasuh wajah dengan air agar mataku tidak terlalu bengkak. Mengambil wudhu untuk melakukan sholat dhuha dan kembali menumpahkan semua segala sesak di dadaku hanya pada Rob-ku.Selesai salat bergegas aku menuju ke meja rias, sedikit memoleskan bedak diwajahku yang terlihat menyedihkan karena terlalu banyak menangis.Aku ingin sekali bercerita, tapi tidak tau harus bercerita kepada siapa. Rumahku memang dekat dengan rumah orang tuaku, tapi sekarang ibuku sedang pergi keluar kota untuk menemui ayah yang bekerja di sana. Jika aku bercerita kepada orang lain, aku takut aib rumah ta
Malam ini aku tidak bisa tidur. Mata ini rasanya sulit sekali untuk terpejam. Sementara Putra yang ada di sampingku, sudah tidur dengan lelapnya. Meskipun banyak drama yang harus aku hadapi sejak buka puasa tadi.Putra terus saja menanyakan ayahnya kenapa belum pulang. Terpaksa aku berbohong. Aku bilang kalau Bu Yati, mertuaku sedang sakit. Jadi Mas Fajar menginap di sana untuk beberapa hari.Putra juga enggan pergi tarawih kalau tidak sama ayahnya."Putra mau pergi tarawih sama ayah, Bun, kalau enggak sama ayah, Putra di rumah saja!" rengeknya manja sambil melipat kedua tangannya di dada."Kan ada bunda yang nemenin Putra? Berangkat sama ayah ataupun bunda sama saja. Yang penting niat kita kan ibadah. Sayang lho, tarawih itu kan cuma di bulan Ramadhan saja. Lagian nanti kan di masjid banyak teman-teman Putra," bujukku sambil berjongkok dan mengusap wajahnya dengan lembut.
Matahari terlihat sudah menampakkan sinarnya. Cahayanya begitu hangat masuk ke dalam rumahku melalui kaca jendela yang sudah terbuka tirainya sedari tadi.Sementara aku masih berada di tempat tidur, lengkap dengan selimut yang masih membelit tubuhku. Biasanya setelah solat subuh dan bertadarus, aku langsung berkutat dengan segala rutinitasku. Mulai dari mencuci piring, mencuci pakaian, menyapu dan mengepel lantai. Tapi entah kenapa hari ini rasanya aku malas untuk mengerjakan apapun. Kepalaku rasanya pusing. Perutku juga mual. Ah, ini pasti gara-gara aku tidur lagi setelah subuh. Bukankah setelah subuh itu harusnya jangan tidur lagi? Begitu yang aku tahu menurut kesehatan.Dengan berat aku mulai menurunkan kakiku. Menapakkan kedua kakiku ke dasar lantai yang justru masih terasa dingin di kulit. Banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan hari ini. Selain mengerjakan pekerjaan rumahku, aku juga harus membersihkan rumah
Duduk di kursi sambil memainkan jari-jari tanganku untuk sedikit meredakan ketegangan. Sementara Bidan Leni terlihat sedang menunggu hasil dari test pack itu dengan terus memegangnya dan memperhatikannya. "Selamat ya, Ibu ternyata positif hamil," ucap Bidan Leni sambil menyerahkan benda pipih kecil berwarna putih biru tersebut. Aku menerima benda itu, sedikit tertegun melihat dua garis merah di alat tes kehamilan itu. "Silakan naik ke sini, Bu!" lanjut Bidan Leni sambil menepuk ranjang pasien yang terletak tak jauh dari mejanya. Aku mulai menghampiri dan berbaring di atas ranjang tersebut. Bidan Leni kemudian memeriksa perutku dengan sedikit menekannya. Dan kembali memeriksa tensi darahku. "Sudah, Bu. Ibu duduk kembali ya!" ujar Bidan Leni yang kembali duduk di kursinya. Aku pun mengikutinya dan duduk berhadapan dengan Bidan Leni. "Usia kehamilan Ibu sepertinya masih sangat muda. Diperkirakan mungkin masih se