Share

SENTUHAN HARAM SUAMIKU
SENTUHAN HARAM SUAMIKU
Penulis: Siska_ayu

Pengakuan Fajar

   Hari ini adalah hari Minggu. Hari di mana aku akan menghabiskan waktuku bersama keluarga, karena hanya hari Minggu lah suamiku libur bekerja. Aku bernama Ayu, sementara suamiku bernama Fajar. Delapan tahun pernikahan, kami baru dikaruniai seorang anak laki-laki yang bernama Putra yang berusia 6 tahun.

Kami biasanya menghabiskan waktu liburan dengan jalan-jalan, belanja kebutuhan ke Mall, kadang berenang ke Waterboom, atau terkadang juga di rumah tanpa pergi kemanapun. Ya, seperti hari ini, kami memutuskan untuk tidak kemana-mana karena hari ini adalah hari kedua di bulan Ramadhan. Bulan yang selalu ditunggu-tunggu oleh semua umat Islam. 

"Masak apa, Sayang?" tanya suamiku sambil memelukku dari belakang.

"Masak sayur sop campur tetelan, Mas," jawabku sambil terus mengiris bawang merah.

"Waahh, enak dong. Kalau sudah selesai kita salat berjamaah yah, Mas ambil wudu dulu," ucapnya sambil berjalan ke kamar mandi.

Tidak ada yang aneh. Semua berjalan normal seperti hari-hari biasanya. Sampai tiba-tiba terdengar suara motor berhenti persis di depan rumahku. 

"Kayaknya ada tamu, Sayang, coba lihat ke depan," perintah mas Fajar sambil melipat sajadah bekas kami sholat. 

"Iya, Mas," ucapku sambil membuka mukena dan menyambar jilbab di belakang pintu kamar.

Deggg, jantungku tiba-tiba berdebar ketika melihat seorang lelaki turun dari motornya 

"Cari siapa, Mas?" Aku pura-pura bertanya padahal aku sudah cukup kenal dengannya.

Dia adalah Doni. Rekan kerja suamiku dulu. Dia suaminya Rina yang juga teman kerja suamiku sampai sekarang.

"Fajar ada?" tanyanya datar sambil terlihat menahan marah.

"Ada didalam, habis salat. Sebentar saya panggilkan. Silakan duduk dulu." 

Dengan rasa masih penasaran aku memanggil mas Fajar. 

"Siapa, Dek?"

"Doni, Mas, kayaknya ada penting. Tidak biasanya dia datang ke sini." Kulihat keterkejutan di wajah suamiku.

Meskipun sepertinya enggan, mas Fajar akhirnya menemui Doni. 

"Sudah berkali-kali aku memperingatkanmu agar jangan pernah lagi mengganggu istriku," teriak Doni lantang yang langsung berdiri ketika melihat suamiku datang.

"Apa kamu tidak mengerti, apa kamu tidak tau dosa? Percuma kamu salat tapi kelakuanmu bej*t," lanjutnya sambil menunjuk-nunjuk muka mas Fajar.

Aku yang tidak mengerti apa-apa hanya diam mematung. Mencoba mencerna apa yang sedang dan telah terjadi.

"Ada apa ini sebenarnya, Mas?" tanyaku dengan muka kebingungan.

"Tanyakan saja pada suamimu yang sok alim itu. Apa yang sudah dia lakukan dengan Rina, istriku."

"Berkali-kali Fajar mengantar Rina pulang. Aku tidak yakin mereka tidak melakukan hal yang kotor selama diperjalanan. Berduaan di dalam mobil dengan yang bukan muhrim, yang ketiganya pasti setan. Mungkin saja kan mereka sudah berbuat zina," ucap Doni berapi-api.

"Apa kamu tidak curiga dengan suamimu selama ini?" tanya Doni padaku.

"Aku sebenarnya pernah beberapa kali menemukan pesan di gawai suamiku yang berisi sayang-sayangan. Dan ternyata itu nomer HP-nya Rina. Tapi mas Fajar selalu bilang, kalau itu hanya iseng. Dia mengaku kalau itu kebiasaan dia dan teman-teman di pekerjaannya. Ada yang biasa panggil sayang, bebeb, cinta. Itu katanya sudah biasa," jawabku sambil menatap tajam mas Fajar karena merasa sudah dibohongi.

"Aku juga merasa heran, akhir-akhir ini Mas Fajar sering pulang telat, katanya sih meeting," tambahku.

"Kamu itu jadi istri polos banget, gampang banget ditipu suamimu. Berkali-kali dia ketahuan menggoda istriku. Bahkan berkali-kali juga aku memperingatkannya untuk tidak menggangu rumah tanggaku. Entah sudah berapa kali suamimu mengantar istriku pulang."

Doni terlihat menarik napas sejenak.

"Dan ini, untuk terakhir kalinya aku memperingatkanmu. Kalau sampai terjadi lagi, jangan salahkah aku kalau kepalamu aku tebas," ucap Doni kepada mas Fajar sambil mendorong tubuhnya dan berlalu pergi dengan amarah.

Lututku seketika lemas. Aku ambruk ke lantai dengan hati yang hancur. Seketika air mataku mengalir deras. Hatiku sakit bagai diremas-remas. 

"Sayang, ayo bangun. I-Ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Mas akan jelaskan semuanya. Kamu jangan nangis ya!" bujuk mas Fajar sambil memegang bahuku berusaha membantuku untuk bangun. 

"Lepas!" tatapku nyalang.

"Assalamu'alaikum."

Sepertinya Putra sudah pulang dari madrasah. Setiap sore dia belajar mengaji. Aku cepat-cepat menghapus air mataku. 

"Wa'alaikum salam," jawabku sambil berusaha untuk tetap tersenyum dan merapikan jilbab yang kusut.

"Bunda, kok seperti habis nangis, kenapa?" tanyanya khawatir.

"Enggak, kok, Nak, bunda cuma perih kena bawang, kan habis masak. Sekarang Putra bantuin bunda nyiapin buat buka puasa, yuk."

"Siap Bunda," jawab Putra mengacungkan jempol.

"Kamu masih berhutang penjelasan padaku, Mas!" ucapku pelan sambil menatap tajam mas Fajar.

———————————————————————

Jarum jam yang menggantung di kamarku terus berdetak. Menunjukkan bahwa waktu terus berlalu. Tapi suamiku belum juga menampakkan batang hidungnya. Padahal aku sudah gelisah menunggu penjelasannya.

Sepulang dari tarawih, suamiku menemani Putra di kamarnya. Ya, anakku itu memang sangat dekat dengan ayahnya. Seringkali meminta ayahnya untuk menemaninya sampai tertidur. Kalau Putra sudah tidur, barulah mas Fajar akan pindah ke kamar kami.

Gemercik suara hujan yang tidak terlalu deras di luar menyamarkan sunyinya malam ini. Bagaikan irama yang berlomba bersahutan dengan dentuman nada jantungku.

Duduk di atas tempat tidur sambil menyandarkan punggung ditopang dua buah bantal. Mata menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Aku masih berharap penjelasan mas Fajar nanti akan sedikit membuat lega hatiku. Ah, aku tidak ingin menduga-duga.

Trek

Suara knop pintu terdengar dibuka. Mas Fajar melangkah pelan masuk ke kamar kami. Ruangan berukuran cukup kecil ini tempat ternyaman bagi kami. Tempat kami berbagi cerita, tempat kami mencurahkan kasih sayang.

Duduk di sisi ranjang tepat disebelahku. Tangannya menyentuh pipiku dan mengecup dahiku sekilas.

Cukup lama kami terdiam. Tanpa kata, tanpa suara. 

Beberapa menit dalam keheningan, akhirnya dia bersuara.

"Maafkan, Mas, Sayang!" ucapnya sambil menunduk.

"Apakah itu berarti semua yang Doni katakan itu benar, Mas? Apakah kamu berselingkuh dengan Rina?" tanyaku sambil mengguncang lengannya.

Dia terlihat sedikit mengangguk tanpa berbicara sepatah katapun. 

Perih, sakit, itulah yang aku rasakan saat ini. Tapi aku harus kuat, aku harus tau, sudah sejauh mana hubungan mereka.

"Sejak kapan, Mas? Jujur padaku sudah sejauh mana hubungan kalian?" cecarku.

"Beberapa bulan ini Mas dan Rina memang dekat. Sejak Rina pulang ke rumah orang tuanya. Mas sering mengantarnya pulang. Mas tak ada niat sedikitpun untuk berkhianat. Mas hanya iba, mas kasihan padanya. Rina waktu itu sedang ada masalah dengan Doni, sehingga mereka pisah ranjang dan Rina pulang ke rumah orang tuanya. Sepulang kerja, mas sering melihatnya duduk sendirian di pinggir jalan untuk menunggu angkot. Awalnya mas abaikan. Tapi hari itu hujan sangat deras, waktu juga sudah hampir maghrib. Mas kasihan melihatnya. Akhirnya mas berinisiatif mengantarkannya pulang. Sejak saat itu, setiap kali hujan, mas selalu mengantarnya pulang." Cerita mas Fajar panjang lebar.

"Lalu?" tanyaku lagi.

Mas Fajar terlihat menghela nafas panjang sebelum melanjutkan ceritanya. 

"Akhirnya Mas dan dia makin dekat. Dia selalu mencurahkan isi hatinya pada Mas. Mas selalu berusaha menghiburnya. Apalagi dia sedang ada masalah rumah tangga. Dia butuh teman untuk bercerita. Dia terlihat sangat terpuruk. Dan Mas ga tega melihatnya." 

"Dan Mas lebih tega padaku? Membohongiku, menyakitiku? Bagaimana cara Mas menghiburnya? Bagaimana cara mas menenangkannya?  Bagaimanaaa?" tanyaku penuh emosi.

"Sama seperti Mas menenangkanmu saat kamu sedih, saat kamu terluka. Mas memeluknya. Maafkan Mas."

"Kamu tega, Mas, kamu tega. Kamu berani memeluk dan menyentuh wanita lain dengan alasan kasian," ucapku sambil menangis tergugu.

"Apa lagi yang sudah kamu lakukan dengannya Mas? Apa kamu sudah menciumnya?" tanyaku sambil menatapnya tajam.

Lagi lagi dia mengangguk.

Hancur sudah hatiku. Remuk. Sakit bagaikan diremas-remas. Air mataku semakin mengalir deras. Jawaban demi jawabannya membuatku semakin hancur. Meski sudah sangat terluka, aku tetap ingin melanjutkan menanyai mas Fajar.

"Bagian mana saja yang sudah Mas cium? Pipinya? Keningnya? Atau bibirnya? Jawab Mas," tanyaku sedikit berteriak.

"Semuanya. Maafkan Mas Sayang, maafkan, Mas. Mas khilaf," jawabnya sambil menggenggam tanganku.

Repleks aku melepaskan genggamannya dan menutup mulutku. Sakit yang aku rasakan sudah tak tertahankan. Air mata pun tak henti mengalir bahkan semakin deras. 

"Jangan bilang kalau Mas dan dia juga sudah melakukan hal yang lebih dari itu! Atau memang benar. Apa kalian sudah sampai melakukan hubungan suami istri? Jawab Mas jawaabbb?" tanyaku sambil memukul mukul dadanya.

"Cukup Sayang, cukup. Maafkan, Mas. Intinya Mas sudah berkhianat padamu dan pada pernikahan kita. Maafkan Mas, Mas khilaf. Sudah ya, Dek," ucapnya sambil mengusap air mata di pipiku. 

"Jawab dulu pertanyanku Mas. Karena ini akan menentukan nasib rumah tangga kita ke depannya".

"Ini bulan Ramadhan Dek, Mas tidak mau berbohong di bulan suci ini. Mas juga tidak mau menutupi semuanya dari kamu selamanya. Meskipun ini memang pasti akan menyakitkan, tapi Mas ingin jujur."

"Itu artinya mMa sudah melakukan hubungan suami istri sama Rina, Mas? Begitukah maksudmu? Sudah sejauh itukah hubunganmu dengan Rina, mMa? Sudah berapa kali kalian melakukannya? Jawab Mas, tolong, jawab! Tanyaku dengan terus berderai air mata.

"Dua kali, Dek," ucapnya pelan.

Duarrrrr

Jawaban mas Fajar bagaikan petir yang menggelegar.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
As
Jujur tpi menyakitkan
goodnovel comment avatar
Sri Mulyani
jujur tapi menyakitkan ...
goodnovel comment avatar
Wagirin
Mmg kejujuran justru menghancurkan perasaan..itulah ujian..ternyata tdk lulus.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status