Share

Chapter 3

Kenzo sedang tenggelam dalam lamunan, ketika dia mendengar suara gaduh di samping kamarnya.

            Tersadar dari dunia khayalnya sendiri, Kenzo mengerutkan kening dan mematikan rokoknya. Dia masuk ke dalam rumah—sebelumnya, cowok dua puluh lima tahun itu sedang merokok sambil memikirkan Khanza dan kemampuan supernaturalnya di beranda—kemudian menuju pintu kamar. Setelah memutar anak kunci sebanyak dua kali, Kenzo membuka pintu dan menengok ke kamar sebelah.

            Ke kamar Khanza.

            Apa yang terjadi pada cewek anti sosial itu? Kenapa terdengar banyak suara gaduh dari dalam kamarnya?

            Membiarkan pintu kamarnya terbuka sedikit, Kenzo mendekati pintu kamar Khanza dan berdiri di depannya. Cowok itu bimbang. Ingin mengetuk dan bertanya apa yang sedang terjadi, tapi dia malas kalau nantinya dibilang terlalu ikut campur urusan orang lain. Memang, sih, Khanza adalah siswinya. Tapi, ini kan sudah diluar jam sekolah. Jadi, Khanza sudah bukan tanggung jawabnya lagi.

            Tapi...

            Lagi, terdengar suara gaduh. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. Beberapa penghuni kamar kost yang lain rupanya juga keluar dari kamar masing-masing, berdiri di depan pintu kamar mereka, sambil berkasak-kusuk mempertanyakan suara apa yang baru saja mereka dengar dan berasal darimana. Lalu, tatapan mereka serempak menuju ke arah kamar Khanza, di mana Kenzo sedang berdiri di depan pintu kamar tersebut dan hanya bisa berdecak.

            Ketuk pintunya dan tanya ada apa, buruan!

            Kira-kira, itulah telepati dadakan yang diberikan oleh beberapa penghuni kamar kost yang lain kepada Kenzo. Menarik napas panjang dan mendesis jengkel, Kenzo mengetuk pintu kamar Khanza.

            “Khanza? Something’s wrong?” tanya Kenzo tegas.

            Tidak ada sahutan. Kening Kenzo kembali mengerut. Setelah suara gaduh yang terus terjadi beberapa saat yang lalu, kini suasana begitu hening di dalam sana. Entah apa yang terjadi pada diri Kenzo, tapi dia tidak bisa menghentikan debaran liar pada jantungnya. Sesak sekali rasanya. Tubuhnya mendadak dingin dan berkeringat. Sebelah tangannya mengepal kuat hingga memutih.

            Dia takut.

            Tidak, bukan karena dia takut pada makhluk-makhluk tak kasat mata yang selama ini selalu mengganggunya. Kenzo sudah terbiasa akan hal itu sejak kecil. Hanya saja, dia sekarang takut kalau... terjadi sesuatu pada Khanza.

            Ada apa dengannya sekarang? Kenapa Khanza bisa membuatnya khawatir sampai seperti ini? Bukankah mereka baru bertemu hari ini? Bukankah Khanza hanya salah satu siswinya yang anti sosial dan selalu bersikap dingin pada semua orang? Bukankah dia adalah tipe orang yang tidak mau ikut campur dengan urusan orang lain?

            Then, why am i like this right now?! Who is she? Why she can make me like this?

            Dia bisa melihat, mendengar dan merasakan mereka. Nggak hanya itu, dia juga bisa mengusir mereka. Dia punya kemampuan itu sejak kecil. Karena hal itu, dia selalu diganggu dan diserang mereka. Hanya saja, karena Khanza lemah, kemampuan itu seringkali membahayakan nyawanya...

            DEG!

            Kalimat kakak sepupu Khanza yang bernama Keanu tadi pagi kembali terngiang. Kini, debaran liar pada jantung Kenzo semakin menguat. Imajinasinya mulai tidak terarah. Dia membayangkan, bagaimana kalau seandainya... seandainya...

            SHIT!

            Kenzo kini mengetuk kamar kost Khanza dengan keras, nyaris membabi-buta. Beberapa penghuni kamar kost yang lain saling tatap dan bertanya-tanya. Ada apa dengan Kenzo? Kenapa cowok itu terlihat sangat cemas?

            “KHANZA! YOU BETTER OPEN THIS DAMN DOOR RIGHT NOW, OR I WILL—“

            “What will you do?

            Suara dingin dan datar itu membuat Kenzo tersentak dan menoleh. Dia bisa melihat beberapa penghuni kamar kost yang lain mengerjap saat menatap Khanza yang baru saja muncul di lantai dua ini dan berdiri di dekat tangga. Dia menatap Kenzo dengan tatapan andalannya: dingin dan tajam.

            Lalu, Kenzo meluruh begitu saja. Dia jatuh berlutut dan membenarkan kacamatanya. Jantungnya yang tadi sempat berdetak gila-gilaan, hingga rasanya begitu sesak, perlahan mulai mereda. Peluh itu masih terlihat, mengalir di wajah tampan Kenzo. Kepalanya tertunduk dan sekarang, Kenzo terkekeh tidak jelas di tempatnya.

            Membuat Khanza mengangkat satu alis dan penghuni kamar kost lainnya menatap ngeri ke arah Kenzo.

            “Khanza,” panggil seseorang. Khanza menoleh sekilas dan mengangguk singkat ke arah Rio. Rio dan Khanza seumuran. Cowok itu baru menempati rumah kost ini sekitar dua tahun yang lalu, saat mereka baru menjadi siswa SMA. “Tadi, ada suara-suara gaduh dari kamar lo. Kita semua takut lo kenapa-napa, makanya Kak Kenzo dari tadi mengetuk kamar lo.”

            Suara? Batin Khanza. Ah... dia berulah lagi sepertinya.

            Khanza hanya mengangguk lagi sebagai respon untuk Rio dan dia berjalan menuju kamarnya. Penghuni kost yang lain sudah memasuki kamar mereka masing-masing, meninggalkan Khanza yang kini berdiri di hadapan Kenzo yang masih berlutut.

            “Lo... baru pulang...?” tanya Kenzo dengan suara pelan. Sial! Bahkan suaranya terdengar sangat memalukan sekarang. Cowok itu mendongak dan terkesiap ketika sadar bahwa wajah Khanza sangat dekat dengannya saat ini. Entah sejak kapan, cewek itu sudah ikut berlutut di hadapannya. Bahkan, sekarang Kenzo bisa mencium aroma strawberry pada diri Khanza.

            Tanpa sadar, Kenzo menjauh. Cowok itu berdeham dan bangkit berdiri. Di tempatnya, Khanza mendongak dan mendapati Kenzo sedang memalingkan wajah sambil mengacak rambutnya sendiri. Tak lama, Khanza juga ikut berdiri dan mengeluarkan kunci kamarnya dari dalam tas.

            “Kenapa jam segini baru pulang?” tanya Kenzo lagi sambil melihat arloji yang melingkar di tangan kirinya. Jam sembilan? “Terus, suara gaduh dari dalam kama lo... itu suara apa?”

            “Dia berulah lagi.”

            Kenzo diam. Dia?

            Ketika Khanza membuka pintu kamarnya, Kenzo bisa melihatnya. Mata cowok itu membulat tatkala menyadari kamar Khanza yang berantakan. Beberapa barang tergeletak di atas lantai. Khanza masuk dan membiarkan pintu kamarnya terbuka lebar, karena dia yakin, Kenzo juga akan masuk ke dalam.

            “Ini... kenapa...?”

            Khanza tidak menjawab. Dia melempar tasnya ke atas ranjang dan mulai merapikan semua barangnya yang berantakan di atas lantai.

            “Dia berulah lagi. Karena gue pulang telat, dia marah-marah dan berantakin isi kamar gue.”

            “Dia? Dia siapa yang lo mak—“

            “KHANZA! LO KE MANA AJA?! KENAPA LO BARU PULANG?! LO NGGAK TAU INI UDAH JAM BERAPA, HAH?! KALAU LO KENAPA-NAPA, GIMANA?! KALAU LO DISERANG SAMA MAKHLUK JAHAT, GIMANA?! LO TAU, KAN, KALAU MEREKA—”

            Saat itulah, suara tersebut berhenti karena menyadari kehadiran Kenzo. Dia mengangkat satu alisnya dan bersedekap. “Oh, lo bisa ngeliat gue?” tanyanya sinis.

            Dalam hati, Kenzo mengumpat. Makhluk tak kasat mata di hadapannya sangat menyebalkan.

            “Ya, kurang lebih begitu. Gue memiliki kemampuan yang sama dengan Khanza.” Seakan baru teringat sesuatu, Kenzo menoleh ke arah Khanza dan bersedekap. “Bukannya lo udah pulang sama Keanu tadi pagi karena lo pingsan?”

            “Gue—“

            “Khanza! Elo pingsan?! Lo pasti terlalu memaksakan diri lagi buat mengusir mereka yang mengganggu lo, kan?! Iya, kan?! Ngaku!”

            Khanza menghela napas panjang dan menatap sosok transparan di hadapannya dan Kenzo. Seorang cowok berambut gondrong yang tampan. Cowok itu memakai celana jeans dan baju lengan panjang berwarna hijau tosca. Khanza sudah mengenal sosok transparan ini sejak kelas satu SMA, dua tahun yang lalu.

            “Gue nggak memaksakan diri... mereka lumayan banyak dan gue hanya seorang diri.”

            “Kenapa lo nggak kabur aja?”

            “Percuma, Ven... mereka akan tetap mengejar gue. Jadi, lebih baik gue segera mengusir mereka, kan?”

            Kenzo hanya bisa diam mendengarkan percakapan Khanza dan sesosok hantu bernama Ven itu. Dalam hati, Kenzo bertanya-tanya, siapa itu Ven? Kenapa Khanza baru pulang selarut ini padahal tadi pagi dia sudah menyuruh cewek itu pulang bersama Keanu?

            “Khanza, sebenarnya lo habis darimana?” tanya Kenzo lagi.

            Khanza melirik Kenzo. Cewek itu menghela napas lagi dan memasang tubuh mungilnya di hadapan Kenzo. Matanya menatap tegas ke arah Kenzo, yang dibalas tak kalah tegasnya oleh cowok itu. Beberapa detik terlewat, sampai akhirnya Khanza menyerah dan berdecak.

            “Gue ke rumah sakit.”

            Alis Kenzo terangkat satu. “Rumah sakit? Kenapa? Apa efek dari lo mengusir para hantu jahat di kelas tadi pagi masih terasa?”

            Khanza tidak menjawab. Cewek itu menunduk dan menggigit bibir bawahnya kuat. Sudut bibir cewek itu kini berdarah, membuat Ven terkejut dan segera mendekati Khanza.

            “Hei, Khanza! Lo baik-baik aja, kan?!”

            Tidak paham apa yang terjadi pada Khanza dan Ven yang terlihat sangat khawatir, Kenzo segera mendekati cewek itu. Kemudian, Kenzo tersentak hebat saat tubuh Khanza jatuh begitu saja. Secepat mungkin, Kenzo segera menangkap tubuh Khanza, sebelum cewek itu mencium kerasnya lantai marmer.

            “Khanza?! Woi, Khanza! Lo kenapa?!”

            Khanza tidak menjawab. Cewek itu memejamkan mata dan terlihat seperti menahan sakit. Sebelah tangannya berada di dada dan meremas kuat seragam sekolahnya. Tubuh cewek itu berkeringat dingin. Kenzo menoleh ke segala arah dan tidak melihat adanya hantu lain—terutama hantu beraura jahat—selain kehadiran Ven.

            “Khanza!” teriak Kenzo lagi. Cowok itu mengumpat dan mengangkat tubuh Khanza. Ketika Kenzo akan menaruh tubuh mungil dan berkeringat dingin itu di kasur, Ven mencegahnya. Hantu itu menatap datar Kenzo yang terlihat gusar.

            “Ada apa?!” seru Kenzo. “Kenapa lo ngelarang gue?”

            “Khanza harus dibawa ke rumah sakit.”

            “Rumah sakit?” kenapa harus ke rumah sakit?

            “Kalau nggak segera dibawa ke rumah sakit, Khanza akan—“

            “Dia benar.”

            Suara itu membuat Kenzo menoleh. Sosok Keanu berdiri di ambang pintu kamar Khanza. Cowok itu memasukkan kedua tangannya di dalam saku celana jeans dan menghembuskan napas berat.

            “Lo... sejak kapan lo ada di sini? Kenapa lo ada di sini?” tanya Kenzo.

            “Kita harus bawa Khanza ke rumah sakit. Kalau cewek itu kenapa-napa, dia akan membahayakan kita semua.”

            Dia? Apa maksud Keanu itu... Khanza? Khanza akan membahayakan kita semua? Maksudnya apa?

            Sebelum Kenzo menyuarakan semua pertanyaan yang berseliweran di benaknya kepada Keanu, cowok itu terkesiap. Rasanya begitu perih dan sakit pada bagian lengan atasnya. Tanpa sempat menyadari apa yang sudah terjadi, kini Khanza berdiri tegak di hadapannya sambil menatap gunting yang terdapat noda darah tersebut.

            “Khanza? Elo....” Kenzo tidak dapat menemukan kalimat yang pas. Dia menatap lengan atasnya yang berdarah dan segera menekan darah tersebut agar tidak keluar lebih banyak lagi. Kemudian, tatapannya beralih pada Khanza yang kini memainkan gunting berdarah tersebut sambil tersenyum dingin. Matanya cewek itu begitu gelap dan kosong.

            “Oh, halo Keanu... apa kabar? Kau tidak mengira bahwa aku akan terpenjara selamanya, bukan?”

            Kenzo mengerutkan kening. Kenapa Khanza berbicara dengan nada suara seperti itu? Kenapa bahasa Khanza sangat baku dan formal?

            “Oh, halo... long time no see, you f*ck*ng evil spirit! Leave her right now, or i will kick your ass!

            Khanza tertawa keras dan menggeleng. Dia menatap Kenzo dan memberikan senyuman terdinginnya. “Heh... kau juga bisa melihatku? Menarik sekali! Apa kau juga bisa mengusir para hantu dan roh jahat seperti Keanu dan gadis kecilku ini?”

            Gadis kecilku?

            “Leave her alone!” seru Keanu. Dia mengulurkan tangan kanannya, membuka telapak tangannya dan bersiap mengeluarkan suara, ketika Khanza mengarahkan gunting itu ke lehernya sendiri.

            “Uh-oh, berhenti di sana. Kalau kau bersuara, gadis kecilku ini akan kubawa pergi ke neraka.”

            Keanu mengepalkan tangan. Dia menatap Khanza dengan tatapan tajamnya dan rahang cowok itu kini mengeras. Melihat itu, Kenzo menarik napas panjang, memejamkan kedua mata sejenak dan begitu mata cowok tersebut terbuka lagi, aura di sekelilingnya mulai berubah.

            Keanu yang menyadari perubahan Kenzo, hanya bisa terpana. Cowok berkacamata itu kini menatap tajam Khanza dan mulai berjalan ke arah cewek tersebut.

            “Kenzo, berhenti!” teriak Keanu. Dia ingin menghentikan Kenzo karena takut roh jahat yang merasuki Khanza akan mencelakai cewek itu, ketika Ven justru menghentikan niatnya. Gusar, Keanu menatap Ven dan terpaku. Ven menatap Kenzo dengan tatapan... takut?

            “Oh... kau tidak peduli dengan gadis kecilku ini? Kau tidak dengar ucapanku tadi? Kalau kalian mendekatiku, aku akan membawa gadis kecil ini ke neraka sekarang juga!”

            “Nonsense! Don’t f*ck with me! Give her back!

            Khanza tertawa dan mengarahkan guntingnya semakin dekat ke arah urat nadi di lehernya. Hal itu membuat Kenzo meradang dan mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. Matanya semakin menyorot penuh amarah.

            “I SAID, GIVE HER BACK TO ME!

            Tiba-tiba, kamar Khanza berantakan karena angin kencang yang entah datang darimana. Keanu dan Ven menatap takjub ke arah Kenzo. Cowok itu semakin mendekati Khanza dan mencengkram tangan Khanza yang memegang gunting. Dia menyentak tangan mungil cewek itu hingga guntingnya terjatuh, kemudian dengan satu gerakan cepat, Kenzo menarik tubuh  Khanza ke pelukannya.

            “Come back to me, Khanza...,” bisiknya pelan.

            Khanza berteriak keras dan detik berikutnya cewek itu terdiam. Lalu, Khanza jatuh tak sadarkan diri dalam pelukan Kenzo, dan angin yang mendadak datang itu pun berhenti. Keanu menatap tak percaya ke arah Kenzo. Cowok itu masih memeluk erat tubuh Khanza dan menarik napas panjang. Lalu, Kenzo menjatuhkan tubuhnya sendiri ke atas kasur dengan masih memeluk Khanza, sehingga Khanza kini berada di atas tubuhnya, dalam pelukan Kenzo.

            “Shit! I lost my energy right now,” keluh Kenzo sambil memejamkan kedua mata. Namun, sebelah tangannya tetap memeluk pinggang Khanza yang masih pingsan, sebelah tangannya yang lain mengusap rambut Khanza.

            Di tempatnya, Keanu menelan ludah susah payah. Dia menatap sekeliling kamar Khanza. Jejak roh jahat tadi benar-benar hilang. Tapi, bukan berarti roh jahat sialan itu benar-benar lenyap. Keanu yakin, dia akan kembali lagi.

            Yang menjadi pertanyaan adalah, siapa Kenzo sebenarnya. Tadi pagi di ruang kesehatan, cowok itu tidak bisa menyadari keberadaan roh jahat ini. Roh jahat yang menjadi musuh utama Khanza. Lantas, barusan, Kenzo berhasil mengeluarkan roh jahat itu dari tubuh Khanza hanya dengan satu kalimat dan sebuah pelukan.

            Ven pun terdiam di tempatnya. Hantu itu menatap Kenzo dan Khanza. Kedua tangan transparannya mengepal.

            “Could it be... you are... master...?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status