Share

Chapter 2

“Good morning, class!”

            Sapaan dari Kenzo dibalas dengan antusias oleh semua orang di dalam kelas, yang tentu saja lebih didominasi oleh suara para siswi ketimbang para siswa. Kenzo tersenyum ramah dan berjalan menuju meja guru, kemudian menaruh beberapa buku di atasnya, juga papan berisikan daftar nama para siswa-siswinya.

            “Mister Kenzo?

            Kenzo mengangkat kepala dari daftar nama para siswanya dan menatap salah satu siswi yang duduk di dekat jendela. Siswi berambut pendek sebahu itu tersenyum lebar dan menatap Kenzo dengan tatapan memuja.

            “Yes?

            “I have a question.” Cewek itu saling tatap dengan teman di sampingnya, kemudian mengangguk beberapa kali. Entah menyetujui apa. “Do you have a girlfriend?

            Pertanyaan itu sontak membuat semua orang di dalam kelas bersorak dan bersiul. Para siswi sibuk menunggu jawaban, sementara para siswa ada yang berdecak, menggeleng bahkan mencibir. Tidak menyukai fakta bahwa wali kelas mereka, sekaligus guru bahasa Inggris tersebut sangat digilai para cewek.

            “Do i have to answer that?” tanya Kenzo dengan nada santai. Sama sekali tidak terlihat tidak nyaman atau semacamnya. Melihat cewek yang mengajukan pertanyaan tadi—yang tentu saja diikuti oleh semua cewek di dalam kelas—mengangguk penuh semangat, Kenzo menjawab, “Yes! I do have a girlfriend.

            Ketika semua cewek nampak kecewa sambil berkasak-kusuk, mempertanyakan apakah benar Kenzo sudah memiliki pacar, satu sosok di kejauhan merebut perhatiannya. Sosok yang duduk di pojok belakang, di dekat jendela. Sosok yang menopang dagunya dengan sebelah tangan, menatap langit yang terlihat agak hitam di luar sana. Sama sekali tidak peduli dengan keributan kecil di dalam kelas.

            Sosok yang tadi pagi jatuh di atas tubuhnya, yang rupanya juga penghuni kamar di samping kamar kost nya, juga memiliki aura gelap nan misterius dibalik sikap diamnya. Orang yang memiliki sikap awas, juga tatapan tajam dan dingin.

            Khanza Syahilla.

            Kenzo mengangkat satu alis dan tersenyum tipis. Menatap Khanza yang sepertinya sibuk tenggelam dalam dunia ciptaan cewek itu sendiri. Tak lama, Khanza tersadar dari lamunannya dan menoleh. Matanya dan mata Kenzo bertemu. Khanza sama sekali tidak mengalihkan tatapannya seperti kebanyakan cewek di luar sana, ketika mata mereka bertemu. Cewek itu justru menatap balik, dengan tatapan tajam dan dingin khasnya, membuat Kenzo sedikit terkejut sekaligus terkesan.

            Hmm...

            Mendadak, senyuman Kenzo menghilang. Tatapannya berubah tajam, entah kenapa. Meski terlihat menakutkan, Khanza tetap bertahan dengan tatapannya. Dia tidak gentar, tidak mengalihkan tatapan, tidak menghindar. Tetap ditantangnya tatapan Kenzo, meski kini tubuhnya sedikit gemetar karena takut. Tapi, dia tidak akan kalah dari cowok sialan itu.

            Rupanya semua orang di dalam kelas menyadari ketegangan yang terjadi di antara Khanza dan Kenzo. Mereka saling berbisik dan saling tatap, kemudian menatap Khanza dan Kenzo bergantian. Ingin menegur, tapi tidak memiliki nyali. Atmosfer yang tercipta sangat mencekam, terlebih ketika kilat menyambar langit dan petir menggelegar. Beberapa cewek menjerit, sementara para cowok menelan ludah susah payah.

            “Something’s wrong, mister Kenzo?” tanya Khanza. Suaranya dibuat setenang dan sedingin mungkin. Sejujurnya, jantung Khanza kini berdetak sangat keras. Benar-benar keras, sampai Khanza merasa ini adalah akhir dari hidupnya. Kedua tangannya berada di atas paha, mengepal kuat hingga buku tangannya memutih. Hawa dingin menyelimuti tubuhnya, membuatnya mual dan ingin muntah.

            Sial! Jangan sekarang!

            “I don’t need to answer that.” Kenzo menjawab dengan nada serius, seserius tatapan matanya. Cowok itu bersedekap dan bersandar pada dinding di belakangnya. Lagi, kilat menyambar di langit, diikuti oleh gemuruh petir yang menakutkan. Lalu, hujan turun begitu saja dengan derasnya. “More importantly, are you ok?

            Kening Khanza mengerut. Cewek itu mengangguk pelan.

            Walau sebenarnya, dia jauh dari kata baik-baik saja.

            “Kamu nggak lagi berbohong kan, Khanza Syahilla?”

            Khanza berdecak pelan tanpa kentara dan menggigit bibir dalamnya. Tangannya semakin mengepal. Hawa dingin itu semakin kuat menyelimuti tubuhnya. Rasa pusing mulai mendera, diikuti dengan belaian di bagian leher dan seolah sedang memeluknya dari belakang, hingga Khanza terpaksa menyentak napas dan langsung berdiri dengan satu gerakan cepat.

            Semua mata kini mengarah pada Khanza, begitu juga dengan Kenzo yang tidak pernah melepaskan tatapannya barang sedetik pun sejak tadi. Napas Khanza memburu, Kenzo bisa melihatnya. Wajah cewek itu pucat pasi, nyaris menyerupai mayat. Sekuat mungkin, Khanza berusaha mengatur napasnya. Ketika Kenzo berniat memanggil Khanza lagi, cowok itu terpaku.

            Khanza memejamkan mata, menarik napas panjang dan tetap diam. Suasana semakin terlihat tegang. Teman-teman sekelasnya sibuk membicarakan keanehan sikap Khanza. Untuk beberapa orang yang pernah sekelas dengan cewek itu, mereka sudah tidak asing lagi dengan sikap aneh dan misterius Khanza yang satu ini. Namun tetap saja, sensasi yang diberikan oleh Khanza sangat menyeramkan.

            Kenzo semakin menatap tajam Khanza dan mengumpat pelan. Dia kemudian memutuskan untuk menghampiri Khanza. Langkahnya cepat dan lebar, hingga dalam waktu beberapa detik saja, kini Kenzo sudah berada tepat di hadapan Khanza. Lalu, saat Kenzo mengulurkan tangan ke arah Khanza, cewek itu telah lebih dulu membuka mata, menoleh ke belakang dan mengibaskan tangan.

            Membuat semua orang mengerjap kaget dan bingung.

            Membuat Kenzo membulatkan mata dan tanpa sadar menurunkan tangannya yang sudah terulur.

            “Elo...,” gumam Kenzo pelan, yang hanya bisa didengar oleh Khanza saja. Cewek itu menghela napas panjang dan lega, kemudian melirik Kenzo. Keduanya kembali saling tatap, namun tidak ada kata terucap. Hanya saja, kali ini Kenzo melihat Khanza tersenyum sangat tipis ke arahnya. Berusaha menutupi ketakutan dan wajahnya yang semakin pucat.

            Lalu, cewek itu pergi dari hadapan Kenzo. Dia bahkan tidak tahu kalau pundak mereka bertabrakan. Khanza terlalu lemah dan tidak berdaya bahkan hanya untuk menatap tajam dan dingin Kenzo, seperti yang dia lakukan pagi ini.

            Dia butuh udara.

            Dia butuh tenaga.

            Tak lama, beberapa cewek berteriak memanggil nama Khanza. Otomatis, Kenzo tersadar dari keterpakuannya dan segera menoleh. Matanya kembali membulat kala dia melihat Khanza jatuh tak sadarkan diri di pelukan seorang cowok berpostur tinggi dan terlihat seperti orang dari luar negeri. Cowok itu tersenyum sangat lembut ke arah Khanza dan mengusap rambutnya pelan.

            Dengan satu gerakan cepat, cowok bermata biru itu mengangkat tubuh Khanza ke dalam dekapannya. Dia lantas menatap Kenzo, menyebabkan cowok itu mengangkat satu alis dan balas menatap dengan tatapan tegasnya.

            “She did well, isn’t she?” tanya cowok itu kepada Kenzo.

            Tidak menyangka akan ditanya, Kenzo hanya diam. Cowok berkacamata itu mendekati Khanza dan si cowok blasteran, kemudian berhenti lima senti di depan mereka. Dia melirik Khanza sekilas, kemudian matanya kembali menatap cowok blasteran tersebut.

            “Apa maksud lo?” tanya Kenzo.

            “Lo paham apa maksud gue. Yang gue liat, lo memiliki aura misterius dan lo bukan orang normal. Just like me and... Khanza.”

            Kenzo diam lagi. Dia kembali melirik Khanza.

            “So... she can see ‘them’?”

            “She is.” Cowok blasteran itu membenarkan posisi Khanza dalam dekapannya. “Dia bisa melihat, mendengar dan merasakan mereka. Nggak hanya itu, dia juga bisa mengusir mereka. Dia punya kemampuan itu sejak kecil. Karena hal itu, dia selalu diganggu dan diserang mereka. Hanya saja, karena Khanza lemah, kemampuan itu seringkali membahayakan nyawanya.”

            Diam lagi. Sampai akhirnya, Kenzo mengambil tubuh Khanza dari dekapan si cowok blasteran, membuat cowok tersebut mengangkat satu alis dan menahan senyum.

            “Gue gurunya. Gue yang akan bawa dia ke ruang kesehatan.”

            “My pleasure. Please take care of my...,” kata-kata cowok blasteran itu terhenti. Dia maju sedikit lagi, hingga bisa merasakan hela napas Kenzo meski terhalang tubuh Khanza, kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga Kenzo. “Precious girlfriend.

            Kenzo tidak bisa menahan diri untuk tidak tersentak. Meski pelan, cowok blasteran itu bisa mendengarnya. Dia semakin menahan senyumannya dan mundur beberapa langkah.

            “Oh, by the way... my name is Keanu. Nice to meet you....

###

“Hai, gadis kecil....”

            Siapa? Siapa di sana? Ini di mana?

            “Apa kamu tidak lelah hidup sendirian?”

            Khanza menoleh ke kanan dan ke kiri, namun tidak menemukan siapa pun selain kegelapan. Cewek itu mengusap kedua lengannya dan terus berjalan, berharap menemukan jalan keluar.

            “Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang menyayangi kamu, gadis kecil. Semua orang mengabaikan kamu, semua orang membencimu, karena kemampuan yang kamu miliki. Mereka menganggapmu sebagai monster.”

            Khanza berhenti melangkah dan menggeleng. Cewek itu berlutut, memejamkan kedua mata dan menutup kedua telinga.

            “DIAM! DIAM! DIAM!”

            “Hai, gadis kecil... datanglah kepadaku. Kalau kamu berada di sisiku, semua akan baik-baik saja. Aku akan menghapus semua ketakutan, kesakitan dan kesedihanmu selama ini.”

            “DIAAAAM!”

            “Bukankah percuma saja kalau kamu tetap hidup? Tidak ada yang membutuhkanmu. Kamu hanya seorang monster menakutkan yang akan dibunuh suatu hari nanti oleh mereka. Sebelum itu terjadi, aku akan menjemputmu. Bagaimana, gadis kecil?”

            Khanza membuka kedua mata dan mendongak. Sebuah bayangan hitam menyerupai manusia berdiri tepat di hadapannya. Bayangan itu mengulurkan kedua tangannya ke arah Khanza. Dalam diam, dengan tatapan mata yang kosong, Khanza terus memerhatikan uluran tangan tersebut. Kemudian, kedua tangan itu mulai melingkari lehernya.

            Bayangan hitam itu memeluknya. Senyumnya merekah lebar, terlihat sangat menakutkan. Matanya mulai terlihat, berwarna merah menyala. Dia menyibak rambut Khanza ke belakang telinga, lantas berbisik, “Ayo, gadis kecilku, Sayang... datang kepadaku.”

            Tiba-tiba, sebuah cahaya putih muncul di kejauhan. Khanza menatap cahaya terang itu dengan tatapan kosongnya tadi. Kemudian, perlahan-lahan, cahaya terang itu mulai membesar dan mendekat ke arahnya. Si bayangan hitam yang memeluk Khanza lantas berdecak dan menghilang begitu saja. Meninggalkan Khanza yang semakin lama semakin tenggelam dalam cahaya terang tersebut. Cahaya yang begitu hangat.

            “Udah sadar?”

            Suara itu membuat Khanza melirik ke samping. Di sana, duduk di atas kursi di samping ranjang, sosok Kenzo terlihat. Cowok itu tidak tersenyum dan hanya menatap datar ke arah Khanza. Kemudian, Khanza mengerutkan kening saat menyadari sebelah tangannya digenggam erat oleh Kenzo. Cewek itu lantas melirik ke arah tangannya dan Kenzo yang menyadari hal itu langsung melepaskan tangan dingin Khanza.

            “Sori,” katanya pelan. “Lo keliatan gelisah, meski dalam keadaan pingsan. Wajah lo juga sangat pucat.”

            “Ada ya, guru yang pakai kata ‘gue-elo’ sama siswinya sendiri?” tanya Khanza dingin, mengabaikan pernyataan Kenzo barusan. Cewek itu menyibak selimut yang menutupi sebagian tubuhnya dan bangun. Detik berikutnya, Khanza meringis dan memijat pelipisnya. Masih sedikit pusing. Tubuhnya juga masih sangat lemas.

            “Nggak ada orang di sini. Lagian, sebentar lagi juga lo akan pulang.”

            “Apa?”

            “Pacar lo datang tepat pada waktunya. Sepertinya ikatan batin kalian terlalu kuat, sampai-sampai dia bisa tau kalau lo lagi sakit dan pingsan di depan pintu.”

            Khanza mengangkat satu alis.

            “Pacar?”

            Kenzo mendengus dan bersedekap. “Gue nggak tau kalau lo suka Om-Om kayak begitu.”

            “Lo ngomong apa sih dari tadi? Gue nggak paham.”

            Kenzo berdecak. “Cowok lo yang namanya Keanu itu datang. Dia yang nangkap tubuh lo, pas lo pingsan di depan pintu. Jadi, tipe cowok itu yang lo suka? Bule dan udah Om-Om?”

            “Kak Keanu di sini?”

            “Kak?” ulang Kenzo.

            Sebelum Khanza sempat berbicara lagi, pintu ruang kesehatan terbuka. Sosok Keanu muncul di ambang pintu dengan senyuman lembutnya. Melihat kedatangan Keanu, Khanza tersenyum sama lembutnya dan hal itu membuat Kenzo membeku kemudian memalingkan wajah.

            Untuk sesaat tadi, Kenzo merasa jantungnya meliar begitu saja. Benar-benar aneh.

            “Kak Keanu? Kakak kenapa bisa ada di Indonesia?”

            Keanu mendekati Khanza dan memeluk cewek itu. Di tempatnya, Kenzo melirik sekilas dan mengangkat satu alis. Jantungnya sudah baik-baik saja sekarang. Ah, mungkin efek keberadaan makhluk jahat di dalam kelas tadi, yang memeluk Khanza dari berbagai arah, yang menyebabkan jantungnya sempat meliar. Mungkin itu karena dia kelelahan.

            “Hm? Gue mimpi soal lo dua hari yang lalu. Firasat gue nggak begitu enak dan gue langsung terbang ke Indonesia kemarin. Tadi pagi, gue langsung ke sini untuk ketemu sama lo. Dan firasat gue terbukti. Lo pingsan lagi setelah mengusir mereka.”

            Khanza menatap Kenzo ketika Keanu menyebut kata mereka. Cowok itu nampak biasa saja. Menatapnya dan Keanu seperti menatap orang normal.

            “Lo nggak kaget?”

            “Kenapa harus?”

            “Karena ucapan Kak Keanu.” Khanza mengangkat bahu tak acuh. “Kak Keanu bilang kalau gue habis mengusir mereka. Lo pasti ingat, dong, kalau gue sendirian pas di kelas tadi. Gue nggak mengusir siapa pun.”

            “Ah....” Kenzo manggut-manggut. “Jangan khawatir, gue sama seperti lo dan bule di sana. Gue bisa melihat, mendengar dan mengusir mereka. Karena itu gue mendekati lo tadi. Gue ngeliat lo dikerubungi oleh para roh jahat. Nggak gue sangka, lo bisa mengusir mereka juga.”

            Khanza agak terkejut mengetahui fakta kalau Kenzo ternyata sama seperti dirinya dan Keanu. Cewek itu kemudian menegakkan punggung dan menoleh cepat ke arah jendela ruang kesehatan.

            Kosong. Tidak ada siapa-siapa di sana.

            Di tempatnya, Keanu mengawasi. Musuh terbesar Khanza memang ada di sini, di dekat mereka, beberapa saat yang lalu. Itu juga yang membuat Keanu kembali ke Indonesia. Keanu tidak menyangka kalau musuh terbesar mereka rupanya bebas dan kembali berkeliaran.

            Sial!

            “Ah, lo boleh pulang sama pacar lo sekarang.” Kenzo berdiri dan membersihkan celana bagian belakangnya. “Kasian, dia udah jauh-jauh datang ke sini.”

            Sementara Khanza mengerutkan kening, Keanu justru terbahak. Cowok itu sampai membungkuk dan menggeleng. Sejak tadi di kelas, Keanu sudah mati-matian menahan tawa, namun kini dia tidak bisa membendungnya lagi.

            “Pacar? Siapa yang Pak Kenzo maksud?” tanya Khanza. “Kak Keanu? Let me tell you this: he is my cousin.”

            Kenzo diam. Cowok itu kini menatap Keanu dengan tatapan mematikan, sementara Keanu mengedipkan sebelah mata sambil masih tertawa. Namun, satu pertanyaan melintas di benak Keanu.

            Kenapa Kenzo tidak bisa merasakan keberadaan musuh terbesarnya dan Khanza?

###

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status