Share

Red in Us
Red in Us
Penulis: Dy Robyn

1. Kencan Buta: Danu Sanjaya

“Jadi, kenapa kamu mau ikut kencan buta seperti ini?”

Katha yang tadinya menyibukkan diri dengan memandangi rumput sintetis di dinding sebelah kanan, akhirnya menoleh. Dia mengulas senyum menggoda lagi, seperti tadi saat percakapan demi percakapan terlontar.

“Kamu sendiri kenapa mau?” Katha balik bertanya.

“Saya nggak bisa nolak waktu Kandara menunjukkan foto kamu. Kamu tahu, kamu sangat cantik,” puji Danu.

Danu Sanjaya namanya. Lelaki yang katanya seorang pengacara itu adalah teman futsal sang kakak—Kandara. Katha sempat menolak calon dari kakaknya itu. Sayangnya, Agung Eka Syahputra tidak mau menerima penolakan yang kesekian dari dirinya. Katha akhirnya tak bisa berkutik kala Agung mengancam akan segera mempertemukannya dengan Rendra—calon yang sangat diinginkan sang papa.

“Aman nggak?” tanya Katha saat Kandara menunjukkan foto Danu.

“Yang penting tampang oke.”

Jawaban Kandara dua hari lalu dibenarkan oleh mata Katha saat melihat sosok Danu di ambang pintu Angkasa Resto. Dia sempat menyeringai, sebelum akhirnya sadar kalau tidak boleh memanfaatkan situasi yang salah.

“Jadi, kenapa kamu mau kencan buta dengan saya?” Danu mengulang pertanyaannya.

Katha menebak bahwasannya Danu ingin diberi alasan yang sama. Lelaki itu ingin dipuji parasnya, seperti halnya dia. Sayangnya, Katha enggan sekali memuji kalau akhirnya mereka berdua tak akan melewatkan dua jam tambahan dalam kencan kali ini. Dia sudah bosan dan muak, tapi tak ingin meninggalkan kesan buruk.

“Oh, untuk uji coba,” jawab Katha asal sambil memperbaiki posisi duduknya yang melorot. Lemak perutnya tadi terlihat, hingga dia menegakkan punggung dan menyilangkan kaki kanan di atas paha kiri. Perubahan posisi itu malah membuat pahanya makin terekspos. Tapi, dia memang sengaja, bahkan dua kancing teratas blus kuning gadingnya dibiarkan terbuka.

Lelaki, memanglah lelaki. Mata Danu langsung beralih dari wajah menuju paha Katha

“Uji coba apa?” tanya Danu penasaran.

“Uji coba kesetiaan sebelum nikah,” jawab Katha setengah berbisik.

Pandangan Danu seketika kembali pada wajah cantik Katha. “Kamu sudah ada calon suami?”

Bulatan bola mata Danu membuat Katha tertawa. “Menurut kamu saya masih single? Kan kamu sendiri tadi yang bilang kalau saya cantik.” Pada kenyataannya Katha memang belum mempunyai pasangan di usianya yang ke-28 ini, hingga Agung harus menyeret nama Rendra untuk mengancam sang putri.

Wajah Danu Sanjaya yang sejak tadi terlihat angkuh dan percaya diri akhirnya pias. “Lalu, kenapa Kandara bilang kalau kamu sedang mencari calon?”

Katha menyandarkan punggungnya lagi. “Benar, kan? Saya memang mencari calon, calon percobaan.”

“Percobaan?” Dua ujung alis Danu hampir menyatu.

Katha menyesap kopinya yang sudah dingin, lalu mengembalikan cangkir ke atas meja. “Iya, seperti yang saya bilang tadi, soal kesetiaan.”

Katha pikir, Danu akan marah atas jawaban yang asal keluar dari mulutnya itu. Ternyata dia salah, jawaban itu malah membuat Danu tersenyum.

“Berarti kalau percobaan kamu gagal, kamu bisa saja jatuh ke pelukan saya?” tanya Danu.

Sial! Katha mengumpat dalam hati. Dia salah ambil strategi karena tadi kurang fokus. Melamun ternyata membuat kepalanya jadi bodoh.

“Sayang, sudah cukup main-mainnya,” tegur seseorang tiba-tiba.

Serempak Katha dan Danu menoleh ke sosok yang baru saja menghampiri meja mereka.

“Halo, saya Langit, calon suami Katharina,” ujar Langit sembari memasukkan tangan kanan ke dalam saku celana.

Melihat Langit, Katha bersorak dalam hati. Teman dekat sahabatnya itu ternyata tahu timing yang tepat untuk memberikan bantuan dan menyelamatkannya dari situasi yang keliru. Kalau saja tadi dia sampai salah menjawab, dua jam tambahan itu bisa benar-benar terjadi.

Katha nyaris terbahak kala melihat wajah Danu kali ini benar-benar pias. Lelaki itu seperti baru saja bangkrut dalam permainan monopoli setelah berhasil membeli belasan hotel. Katha pun segera berdiri dari duduknya untuk mengakhiri pertemuan ini.

“Terima kasih Danu buat obrolan yang menyenangkan tadi,” ujar Katha. Dia membungkukkan badannya dengan sengaja, hanya agar Danu semakin kebakaran jenggot kala melihat belahan dadanya.

Melihat itu, Langit langsung menyeret Katha setelah memberikan senyum pada Danu yang melongo dengan wajah memerah. Dia membawa Katha menuju ruang kerjanya.

Begitu pintu ruang kerja Langit tertutup, Katha langsung menjatuhkan tubuhnya di atas sofa sambil terbahak-bahak. Dia benar-benar puas melihat kepercayaan diri Danu runtuh, hingga tak bisa mengatakan apa pun.

Tadinya dia sempat berpikir kalau Danu adalah lelaki yang cukup baik. Sayangnya, ketika dia memancing pembicaraan mengenai sosok istri yang bekerja, lelaki itu langsung menolak. Bagi Danu, tugas istri hanyalah mengurus rumah, suami dan anak. Maka begitulah Katha kehilangan ketertarikan, meski sebetulnya dia pun tak berniat jadi istri yang berkarir.

“Lo lihat tadi? Lihat, kan?” tanya Katha heboh.

Langit turut tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Katha. Perempuan itu kini sudah mengancingkan kembali blusnya dengan benar, meski masih sambil tertawa.

“Gila lo, Tha. Bisa marah besar si Rabu kalau lihat tingkah lo tadi,” ujar Langit.

“Ya, asal lo nggak ngadu aja,” sahut Katha. Perempuan itu kini sudah melepaskan high heels hitam dari kakinya.

“Lo belum cerita ke Rabu?” Langit kini duduk di sofa seberang Katha. Diamatinya sahabat perempuan dari sahabatnya itu. Cukup membingungkan? Ya, memang demikian.

Katha menggeleng. “Males, ntar dia resek ngejek-ngejekin gue.”

“Bukan karena lo takut Rabu marah?” pancing Langit.

“Marah apa, deh? Dia mah malah seneng kalau tahu gue dipaksa nikah sama Papa.”

“Marah kayaknya.”

“Mau taruhan?” tantang Katha.

Langit berdecak. Dia tahu akan selalu kalah taruhan dengan Katha kalau sudah menyangkut Rabu. “Nggak, nggak ada.”

“Takut, kan?” Katha tertawa, sedangkan Langit hanya mendengkus.

“Lain kali hati-hati, Tha. Tadi lo cukup keterlaluan, sih. Kalau tiba-tiba cowok itu nyerang lo karena udah terlanjur nafsu, gimana?”

“Nggak bakal,” sahut Katha santai.

Langit menggeleng-gelengkan kepalanya lagi. “Yang penting lo nggak berbuat kayak gitu di depan Rabu. Bisa kesetanan dia.”

Katha berdecak kesal, hingga dia bangun dari posisi bersandarnya yang nyaman. “Apaan, sih, dari tadi ngomong Rabu mulu. Nggak ada dia marah-marah atau resek, asal lo tutup mulut dengan benar.”

“Gue, sih, bisa tutup mulut. Tapi, kan, anak-anak lihat kelakuan lo tadi.” Langit menepuk-nepuk apron di pinggannya.

Seketika Katha berdiri. “Astaga! Gue harus sumpal mulut mereka.” Dia cepat-cepat berlari keluar dari ruangan Langit dengan bertelanjang kaki menuju meja kasir.

***

“Nggak ada oleh-oleh!” bentak Rabu pada gawai yang melekat di telinga kanannya.

Di seberang sana, Katha sedang merengek. “Ayolah, Bu. Beliin oleh-oleh. Lo kan hobi beli oleh-oleh. Tapi, tiap pergi selalu nggak bawain gue oleh-oleh kalau gue nggak memohon kayak begini.”

“Nggak ada, Katha. Gue capek,” sahut Rabu.

“Halah, gitu terus alasan lo. Kemarin pas lo ke Pontianak, lo udah nggak beliin gue oleh-oleh. Sekarang pokoknya harus!”

Rabu mengulas senyum. Sebenarnya dia sekarang ada di salah satu toko perhiasan, bahkan tangan kanannya sudah meneteng bungkusan. Memang sudah cukup lama dia tidak membawakan oleh-oleh untuk sahabat perempuannya yang kurang ajar itu. Maka kali ini, dia berinisiatif sendiri sebelum Katha melayangkan protesnya.

“Lihat nanti,” ucap Rabu sambil menahan tawa kala mendengar teriakan Katha lagi. Samar-samar dia bisa mendengar alunan musik di antara napas kasar Katha. “Lo lagi di tempatnya Langit?”

“Iya.”

“Ngapaian? Nggak kerja?”

Butuh dua detik sebelum akhirnya terdengar jawaban dari Katha. “Nggak, gue diliburin sama Kandara.”

Rabu memicingkan mata. “Bukan lo yang maksa libur?” tuduhnya. Sebab, Katha memang sering meminta libur dari Kandara kalau dia sedang penat dengan pekerjaan.

“Enak aja. Kalau nggak percaya, lo bisa tanya langsung ke dia.” Nada suara Katha terdengar meninggi lagi.

Rabu menahan tawa sambil melirik tas kecil di tangannya. “Ya, udah. Jangan teriak-teriak, bisa kabur ntar pelanggan Langit.”

“Langit lo bawain oleh-oleh?” tanya Katha.

“Iya.”

“Tuh, kan, lo pilih kasih banget. Tanpa minta aja, Langit selalu di ….”

Rabu tidak menjawab, melainkan langsung mematikan sambungan telfon. Sengaja dia biarkan Katha marah-marah di sana. Sahabatnya itu memang suka sekali teriak-teriak seperti Tarzan. Langit bahkan menjuluki Katha petasan pasar malam kalau sudah kesal.

Terik matahari jam dua siang membuat Rabu akhirnya menggerakkan badan menuju parkiran. Dia merogoh saku celana untuk mengambil kunci mobil sewaannya. Akan tetapi, tiba-tiba saja tubuhnya ditabrak seseorang dengan keras dari arah depan, sampai-sampai dia limbung dan jatuh terlentang di atas trotoar.

“Astaga, maaf, maaf,” ujar sosok itu sambil cepat-cepat berdiri dari atas tubuh Rabu.

Rabu mengerutkan dahi untuk menghalau silau. Begitu matanya bisa melihat dengan jelas, dia menemukan orang yang menabraknya tadi mengulurkan tangan. Saat dia telusuri tangan itu, matanya seketika terbelalak menyadari wajah yang sangat tidak asing di ingatannya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
ehemm.. siapa Bu?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status