Share

4. Kencan Buta: Sidarta Seiya

Katha pernah berada dalam situasi, di mana dia terjebak di antara dua lelaki. Pada waktu itu dia memang sedang didekati oleh keduanya. Lantas, ketika tanpa sengaja takdir membuat mereka bertiga berada di satu tempat dengan waktu yang sama, Katha tidak mengerti kenapa dua lelaki itu akhirnya adu mulut.

Maka sebagai langkah penyelamatan, Katha diam-diam menghubungi nomor Rabu, lalu mematikan sambungannya. Tak sampai lima detik, Rabu balik menghubunginya. Dan begitu akhirnya dia bisa melarikan diri dengan berpura-pura ada situasi darurat yang mengharuskannya hengkang.

Sejak saat itu, Katha meletakkan nomor Rabu pada panggilan darurat nomor satunya. Sebab, dia sering berada pada situasi-situasi serupa. Hari ini adalah salah satunya.

Katha tersenyum kaku ke arah Rena kala dituntun untuk duduk kembali di sofa. Di kepalanya langsung muncul nama Rabu, sayangnya gawai sedang tak ada di tangan. Tadi dia menyimpannya di dalam tas. Sekarang, dia perlu memikirkan cara menyentuh gawainya tanpa dicurigai oleh Agung.

“Mungkin Rendra lima belas menit lagi sampai, Tha. Dia baru selesai rapat,” ujar Rena.

Katha hanya mengangguk-anggukkan kepala, sementara tangannya mulai menyusup ke dalam tas.

“Dia langsung ke sini, Ren?” tanya Agung.

“Iya. Soalnya dia udah kuajak dari tadi, tapi masih harus rapat,” jawab Rena.

Mendengar jawaban Rena membuat Katha bersyukur dengan rapat yang dihadiri Rendra. Dia jadi tak bertemu lelaki itu dan kini hanya perlu terbebas dari situasi tak menguntungkan ini kurang dari lima belas menit.

Tangan Katha akhirnya berhasil meraih gawai dalam tas. Hanya mengandalkan kemampuan mengira-ngira, Katha berusaha menghubungi Rabu. Beruntungnya, dia berhasil. Lima detik kemudian, gawainya berbunyi.

Katha langsung menoleh ke arah Alan dan Rena. Dia meminta izin untuk mengangkat telfon itu, lantas beranjak keluar dari ruang tamu menuju halaman rumah.

“Lo godain cowok lagi, ya, Tha?” tuduh Rabu begitu telfon tersambung.

Katha memutar bola matanya malas. Tiap kali Katha melakukan panggilan darurat, selalu seperti itu respon Rabu. Ya, meski tak dipungkiri beberapa panggilan darurat yang dia layangkan pada Rabu adalah karena tuduhan itu.

“Apa? Oh, iya, aku ke sana.” Mengabaikan pertanyaan Rabu, Katha mengucapkan kalimat seolah-olah ada situasi darurat di seberang sana sambil melirik ke arah pintu.

“Mulai, deh,” sahut Rabu.

“Iya, sama-sama,” ucap Kata, masih mengabaikan Rabu. Lalu, sambungan telfon itu diputusnya.

Katha segera berlari kembali ke dalam ruang tamu setelah melemaskan wajahnya. Dia memasang ekspresi seolah-olah sedang panik.

“Aduh, Om, Tante, aku minta maaf. Aku harus segera pergi. Ada situasi darurat,” dustanya.

“Situasi darurat apa, Tha?” tanya Agung sambil memicingkan mata. Dia tentu menaruh curiga pada sang putri.

Katha memutar otak mencari alasan. Dia jelas tidak bisa mengatakan situasi darurat itu terjadi di kantor, karena Agung pasti akan memeriksa kebenarannya dengan menghubungi Kandara.

“Ada pencuri di Angkasa.” Akhirnya alasan itu yang Katha pilih. “Langit sedang berurusan dengan polisi dan tidak ada yang menggantikannya mengawasi Angkasa.” Dalam hati Katha tersenyum menang, karena Agung tak bisa memeriksa kebenarannya. Papanya itu tidak punya nomor Langit.

“Yah, nggak jadi ketemu Rendra, dong.” Kali ini Rena yang angkat bicara dengan ekspresi kecewa.

Senyum sungkan yang pura-pura itu langsung terpasang di wajah Katha. Dia terpaksa harus mengumbar janji palsu lagi. “Maaf, ya, Tante. Nanti kapan-kapan, aku dan Kakak pasti ke rumah Tante.”

Rena terpaksa mengangguk, meski raut kecewanya belum hilang. Sementara Alan hanya diam saja, lalu melempar senyum ke arah Katha sebagai kesan maklum.

“Aku pergi dulu, ya. Taksinya udah di depan.”

Katha segera keluar dari ruang tamu saat Agung hendak membuka mulut untuk mengucapkan sesuatu. Dia berlari ke arah gerbang sambil tertawa-tawa tanpa suara. Berhasil! pekiknya dalam hati.

***

Meski kemarin Katha berhasil menghindari pertemuan dengan Rendra, tapi dia tetap tak bisa menghindari pertemuan kencan buta kedua. Kali ini kencannya direncanakan oleh Agung, setelah keduanya kembali cek-cok malam setelah kaburnya Katha dari ruang tamu.

Lelaki yang sedang duduk di bangku kayu panjang dengan muka pucat cenderung biru itu bernama Sidarta Seiya. Seperti biasa, sebelumnya pertemuan diatur di Angkasa Resto agar Langit sewaktu-waktu bisa  menolongnya kalau situasi kacau. Namun, ternyata Katha merasa bahwa Seiya adalah lelaki yang menyenangkan.

“Saya suka bersenang-senang di wahana ekstrem. Kamu bagaimana?” tanya Seiya sebelumnya.

Katha seketika menganggukkan kepala. Mendengar ada seseorang yang satu hobi dengannya, tentu membuat dia bersemangat.

“Suka banget. Sayangnya saya nggak punya teman yang bisa diajak naik banyak wahana ekstrem. Mereka suka mual setelah naik dua-tiga wahana,” jawab Katha.

Tiba-tiba saja mata Seiya berbinar. “Mau pergi bersama?” tanyanya.

Katha jelas tak menolak. Dia jarang pergi ke taman bermain, karena baik Rabu ataupun Shae sama-sama tak bisa naik wahana yang memacu adrenalin. Sedangkan dia sudah bisa dikategorikan sebagai penggila wahana-wahana tersebut.

Atas dasar itu, Katha mengecap Seiya sebagai orang yang menyenangkan. Dia pun tak ragu menambah waktu pertemuan mereka dengan pergi ke Dufan. Namun, satu jam terakhir Katha menyesal. Dia memang seorang penggila wahana-wahana ekstrem, tapi bisa dikatakan bahwa Seiya jauh lebih gila sepuluh kali lipat dari dirinya.

Bagaimana tidak? Mereka bahkan sudah lima kali naik roller coaster setelah naik berbagai wahana seperti tornado, kora-kora, hysteria, dan lain-lain. Di putaran ketiga, sebetulnya Katha sudah mulai pusing, namun dia tak ingin tampak kalah dari Seiya.

Kini, usai putaran kelima, justru Seiya sendiri yang terlihat hampir mati. Katha pun sama, tak ada bedanya. Namun, dia masih bisa mengendalikan mabuknya dengan berdiam menatap jalanan.

Seorang lelaki dan anak kecil tiba-tiba mendekati bangku mereka, lalu duduk di ujung sebelah Seiya. Katha segera bergeser. Dia menarik pelan lengan Seiya untuk memberi ruang lebih lebar pada penghuni baru di bangku itu. Namun, goncangan kecil itu ternyata berakibat fatal. Seiya langsung muntah. Katha yang terkejut, seketika melompat berdiri. Lebih terkejut lagi, dia lihat muntahan Seiya tumpah ke sepatu lelaki yang membawa anak kecil itu tadi.

“Sepatu Om. Hih, jijik!” pekik anak lelaki yang sedang menggenggam sebuah balon.

Rasanya, Katha ingin segera melarikan diri dari sana. Namun, kakinya tak mau bekerja sama. Matanya malah memandangi muntahan di sepatu berwarna putih itu.

“Aduh, Mas. Maafin teman saya, ya.” Katha akhirnya terdorong untuk minta maaf, karena Seiya terlihat semakin payah. Lelaki itu malah berlari ke semak-semak di belakang bangku untuk menuntaskan muntahnya.

Katha benar-benar tak berani mengangkat kepala. Dia merasa sangat malu. Ketertarikan pada Seiya yang tadinya sudah berkurang, kini malah menjadi super minus.

“Nggak apa-apa, Mbak. Saya pergi dulu, ya. Itu temannya dibantu,” sahut lelaki itu, lantas beranjak sambil menggandeng tangan anak kecil di sebelahnya.

“Hih, jijik Om!” anak itu masih memekik, sementara lelaki yang bersamanya hanya tertawa.

Katha akhirnya mendongakkan kepala, menatap lelaki dan anak kecil yang baru saja berjalan menjauhinya. Ada sesuatu yang memancing ingatan Katha pada kejadian penyelamatan Shae di pesta temannya: rambut hitam legam.

“Katha,” panggilan Seiya membuat ingatan Katha terpecah. Dia segera menoleh dan teringat dengan kekesalannya yang sudah di ubun-ubun.

“Kenapa?” tanya Katha.

“Kamu bisa belikan saya minyak angin cap gajah? Nanti biar kita bisa naik wahana lainnya lagi.” pinta Seiya.

Katha seketika melotot karena kesal. “Apa?” tanyanya setengah berteriak.

“Belikan saya minyak angin cap gajah. Nanti kita biar bisa lanjut naik wahana. Ada yang belum kita naiki, kan?”

Katha menghentakkan kaki kanannya sambil mengepalkan dua telapak tangan di sebelah tubuh. “Peras, tuh, keringat gajah!” bentaknya sambil meninggalkan bangku taman dan juga Seiya yang terbengong-bengong.

***

Katha memasuki Angkasa dengan raut yang masih kental akan kekesalan. Ketika kemudian matanya menemukan Langit yang sedang berbicara dengan pegawainya di sebelah pintu dapur, langsung dia hampiri lelaki itu.

"Gue pinjam baju." Tanpa intro, Katha mengejutkan Langit yang tadinya fokus bicara. Pada akhirnya Langit hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, sebab Katha tak menunggu jawaban. Perempuan itu langsung beranjak menuju ruang kerjanya.

Ruang kerja Langit yang rapi langsung menyambut Katha yang penampilannya cukup bertolak belakang. Perempuan itu berjalan ke pojok ruangan dan membuka lemari kecil yang biasa dipakai untuk menyimpan pakaian cadangan Langit.

"Ini, sih, bajunya si Rabu," ujar Katha setelah menarik kaus biru gelap dengan tulisan 'Not Alone'.

Kaus biru itu yang kemudian dia pakai untuk mengganti pakaiannya sendiri. Meski pakaiannya sebetulnya tergolong bersih, tapi dia merasa cukup jijik jika mengingat muntahan Seiya. High heels merahnya pun dia lepas dan lempar ke bawah sofa di ruang kerja Langit, lantas dia ambil sandal jepit milik lelaki itu.

Setelah merasa lebih baik, Katha keluar dari ruang kerja Langit untuk memesan makanan. Marah rupanya memancing rasa buas pada usus-usus di perutnya.

"Loh, Tha? Kapan datang?"

Katha langsung memutar badan, dan matanya menemukan Shae yang duduk di salah satu kursi dengan sepiring cah kangkung, udang pedas manis dan sepiring nasi yang masih mengepul. Perempuan itu langsung tersenyum lebar dan menghampiri Shae.

"Baru aja. Lo udah dari tadi? Kok gue nggak lihat?" tanya Katha yang sudah duduk di kursi seberang Shae. Tanpa permisi tangannya mengambil piring nasi milik Shae, lalu mengisinya dengan cah kangkung serta beberapa potong udang.

"Buset! Punya gue itu!" protes Shae sambil berusaha merebut piringnya kembali.

Katha berdecak. "Makan bareng ayo, makan bareng," ajaknya.

"Enak aja. Lo pesan sendiri sana!" tolak Shae sambil mengangkut piringnya kembali.

Katha mendesah kecewa, lalu memasukkan seekor udang ke dalam mulut.

"Jorok banget, sih, Tha! Cuci tangan dulu sana!" perintah Shae.

"Cerewet bin pelit!" Katha melipat lengan di depan dada.

"Heh! Lo berdua berisik banget. Kedengeran sampai dapur, tau!" Tahu-tahu saja Langit sudah berdiri di belakang Katha sambil bertolak pinggang. "Ini lagi, enak banget comot baju gue." Dia mencubit bahu Katha.

Katha yang tidak terima langsung menoleh ke belakang. "Enak aja. Ini punya Rabu, ya. Jangan ngaku-ngaku!"

Langit terkekeh mendengar jawaban Katha. Dia pun sudah tahu kalau yang perempuan itu pakai bukan miliknya.

"Ngomong-ngomong lo kenapa? Perasaan tadi pergi dengan happy sama teman kencan lo."

"Jangan ngomongin dia. Sialan! Nyesel gue." Katha meremas rambutnya sendiri.

"Memangnya kenapa?" tanya Langit sambil tertawa.

Katha mendengkus. "Gila itu orang," umpatnya.

"Bukannya lo juga gila?" timpal Shae.

"Setuju," seloroh Langit.

Katha langsung melotot kesal. Dia memilih tak menjawab dan menyandarkan punggung. "Bawain gue nasi, sambal sama telur dadar, Ngit!"

Mendengar perintah Katha, Langit langsung mencebik. "Lo pikir resto gue warteg?"

"Ya, pokoknya gue pesan itu."

Langit menggeleng-gelengkan kepala. Permintaan Katha itu bukan tanpa sebab. Saat Angkasa pertama dibuka, Rabu pernah dengan seenaknya menggunakan dapur Angkasa untuk memasakkan telur dadar dan sambal untuk Katha. Saat itu, mood Katha rusak gara-gara digoda seorang aktor yang bermain di salah satu sinetron produksi perusahaan milik papanya. Sejak saat itu, Katha jadi ketagihan dengan rasa makanan sederhana itu.

"Buruan, Ngit!" perintah Katha kala melihat Langit masih berdiri di belakangnya.

Sambil mencebik, Langit beranjak menuju dapur dan memanggil salah satu pegawainya. Tak lama kemudian, dia sudah kembali ke meja Katha dan Shae.

"Kok balik?" tanya Katha.

"Udah gue pesenin ke anak-anak."

Katha mengangguk-anggukkan kepala. Tanganya kembali beraksi mencomot beberapa ekor udang milih Shae.

"Lo kenapa nggak terima aja, sih, dijodohin sama Rendra? Dia mukanya oke, loh," celetuk Shae sambil mengacungkan jempol.

Katha meliriknya sinis. "Ogah, kalau sama cowok yang berani mempermalukan perempuan di depan umum."

"Yah, masa seorang Katha kalah sama cowok model begitu?" pancing Langit.

Kedua mata Katha langsung melotot tak terima. "Bukan gitu. Gue nggak mau kalah sama Bapak Agung."

"Ya, kenapa, sih?"

"Ya, nggak mau aja. Kalau gue sampai ketemu Rendra walau cuma sekali, gue yakin itu Pak Agung langsung nyeret gue sama Rendra ke KUA."

Langit dan Shae seketika tertawa, sampai perut mereka terasa kaku. Dari pernyataan Katha, mereka sudah cukup bisa membayangkan perseteruan ayah-anak itu, sebab mereka pun tahu bahwa Agung dan Katha seperti Tom and Jerry. Keduanya suka sekali adu mulut dengan segala keabsurdannya.

"Kalau gitu, daripada lo ikut kencan buta nggak jelas, kenapa nggak minta Rabu buat nikahin lo?" tanya Langit dengan sengaja.

Telapak tangan Katha langsung bersarang di punggung Langit. Lelaki itu merasakan hawa panas dan perih yang menyengat. Suara benturan telapak tangan dan kulit punggung itu pun sampai menarik perhatian beberapa pelanggan.

"Sakit banget, woy!" Langit susah payah mengusap bagian punggungnya yang panas.

"Harusnya mulut lo yang gue pukul," sahut Katha.

Shae tertawa melihat kejadian di depannya. Namun, pertanyaan Langit tadi cukup menggelitik mulutnya untuk menuang minyak tanah dalam api.

"Kenapa, sih? Gue setuju sama Langit. Itu, kan, bisa jadi solusi terbaik kalau lo gak mau sama Rendra dan ikut kencan buta nggak jelas gitu."

"Solusi apaan?" protes Katha. "Yang ada itu nambah masalah. Siapa yang bisa bayangin gue hidup sama Rabu sampai tua? Horor ba ….”

"Kita," jawab Shae dan Langit bersamaan, memotong ucapan Katha.

“… nget.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status