Share

8. Ketahuan

Pertemuan itu gagal total. Agung memang tak mengatakan hal buruk di depan Sakha Atmaja. Namun, secara tegas dia menolak lamaran lelaki itu pada putrinya. Dia pun meminta Sakha untuk tidak membujuknya, lalu mengusir lelaki itu secara halus.

Usai kepergian Sakha, barulah neraka yang sebenarnya membakar Katha. Agung memarahi habis-habisan anak bungsunya itu. Sampai-sampai Dewi—mama Katha—yang biasanya cuek, mulai tampak gelisah melihat kemarahan sang suami.

“Kamu berani sekali bohongin Papa!” bentak Agung.

Katha yang salah tingkah bergerak resah di kursinya. Dia tak berani menatap sang papa dan malah sibuk merutuk dalam hati. Kok Papa gitu, sih? Apa sandiwara tadi kurang meyakinkan, ya? Sampai-sampai Papa langsung nggak percaya gitu, batinnya.

“Heh! Ditanya itu jawab, bukan melamun!” bentak Agung lagi.

Mau tidak mau, Katha tetap melanjutkan kebohongannya. “Katha serius, kok, Pa.”

Agung mengerang frustasi. Dia meremas rambutnya sendiri hingga kusut masai. Dia bahkan ingin sekali menghancurkan meja kaca di ruang tamu itu. Tapi, dia juga tahu kalau perbuatan itu akan membuatnya merasa menyesal setelahnya.

“Harus aku apakan dia, Ma?” tanya Agung pada istrinya.

Dewi menghela napas. “Mungkin Katha sungguh-sungguh, Pa.” Dia akhirnya memutuskan membela Katha, meski sadar juga kalau putrinya berbuat salah. Namun kalau dibiarkan, bisa saja suaminya berbuat nekat dengan langsung menyeret Katha ke KUA agar menikah dengan Rendra. Meski dia menyetujui perjodohan Katha dan Rendra, bukan berarti dia mau putrinya terlalu dipaksa.

Agung mencebik. “Tumben sekali kamu bela ini anak.” Jari telunjuknya mengarah pada puncak kepala Katha yang duduk tak tenang di sofa.

Karena tidak ingin mamanya jadi sasaran kemarahan sang papa, Katha mulai bersuara lagi. “Katha sama Sakha serius, Pa. Kami berdua cocok.” Mengenai kata cocok ini, Katha tidak berbohong. Maksudnya, dia memang merasa demikian saat berbincang dengan Sakha walau dalam waktu yang bisa dikatakan singkat.

Agung mendengus lagi mendengar pembelaan Katha. “Tha, kalau bohong yang pintar sedikit. Papa yakin kamu sama Sakha merencanakan pernikahan kontrak. Iya, kan?” tudingnya tepat sasaran.

Katha yang ditodong begitu langsung gelagapan. Matanya diam-diam mengitari sekitar, mencoba mencari keberadaan Kandara. Ini hari Jumat, harusnya kakaknya itu sudah ada di rumah karena harus menghabiskan waktu bersama sang putri. Sayangnya, tidak ada tanda-tanda lelaki itu di rumah.

“Kenapa lirik-lirik? Cari kakakmu buat minta bantuan?”

Karena tertangkap basah, Katha kembali menunduk. Dia terus bertanya-tanya bagaimana papanya bisa sebegitu curiga padanya. Padahal dia sudah menata skenario sedemikian rupa bersama Sakha.

“Papa kok bisa nuduh begitu?” Mengabaikan rasa takutnya, Katha memutuskan untuk bertanya.

Lantas, Katha dengar suara papanya yang tertawa mengejek. Dia memberanikan diri mengangkat kepala. Hal itu malah membuat matanya bersitatap dengan manik papanya yang tampak menyeramkan. Bulu kuduknya bahkan sekarang meremang. Hawa panas merayapi kulit punggung hingga kepalanya.

“Akhirnya tanya juga kamu,” cibir Agung. “Coba jawab, Ma,” pintanya pada sang istri.

Dewi menghela napas panjang, lalu ditatapnya Katha yang menunggu jawaban. Sebetulnya dia juga menduga hal yang sama dengan suaminya, hanya saja dia tak ingin berburuk sangka. Tadinya dia ingin membahas soal itu saat Sakha pulang dan dalam keadaan tenang. Namun, rupanya sang suami sudah tak bisa menahan kemarahannya.

“Waktu kamu sama Kandara rapat di kantor Atj, Papa sama Mama lagi main golf. Di sana kami ketemu Atmaja dan Sakha. Kami memang ngobrol dengan Atmaja sebentar dan tidak sempat menyapa Sakha yang sedang fokus bermain. Hanya saja, Atmaja jelas menyebutkan bahwa anak yang sedang bersamanya adalah Sakha. Jadi, tidak mungkin dia bertemu denganmu di Atj.” Dewi mengembuskan napas panjang. Wajahnya menyiratkan penyesalan karena tak bisa membantu Katha lolos dari amukan sang papa.

Angin dingin serasa bertiup di telinga Katha. Jawaban sang mama benar-benar memukul telak dirinya. Terbongkar sudah kebohongan yang dia buat. Namun, kepalanya masih tak ingin menyerah. Dengan perasaan takut Katha melirik papanya yang berdiri menjulang sambil melipat lengan di depan dadanya.

“Pa,” panggil Katha.

“Apa? Mau buat alasan apa lagi kamu?” tanya Agung.

“Em … itu ….” Katha memutar otaknya mencari penyelesaian. “Anu … Katha sebenarnya ketemu lagi sama Sakha setelah kencan dengan Rakha.”

“Lalu? Kamu mengakui, kan, kalau kamu mau nikah kontrak sama Sakha? Papa tahu kalau Sakha juga sedang diburu-buru Atmaja untuk segera menikah.”

Seperti baru saja mengunyah irisan lemon, Katha tak bisa menahan ekspresinya. Dia benar-benar kalah telak. Kalau sudah begini, lebih baik dia diam saja daripada semakin menyulut amarah sang papa.

Agung mendengkus kala melihat Katha diam tak berkutik. Dia menoleh ke arah Dewi yang menggeleng-gelengkan kepala—mengisyaratkan agar dia tak melanjutkan amarahnya. Pada akhirnya dia menghela napas panjang, lantas beranjak meninggalkan ruang tamu.

Suara pintu yang tertutup membuat Katha mendongak. Napas yang tadi serasa tertahan, kini bisa berembus lega. Lalu, kepalanya menoleh ke arah Dewi yang menggeleng-gelengkan kepala.

“Kamu ini, Tha. Cari masalah aja,” tegur Dewi.

Katha nyengir. “Maaf, Ma. Habisnya aku nggak mau dijodohin sama Rendra,” akunya.

Dewi tak menjawab lagi. Dia berdiri dari duduknya dan hendak menyusul ke dalam kamar. Tetapi, sebelum benar-benar meninggalkan ruang tamu, dia kembali menoleh ke Katha. “Mama akan coba bujuk Papamu. Tapi, besok kamu harus minta maaf ke Papa.”

Katha langsung tersenyum lebar. “Siap, Ma.” Dia menempelkan pinggiran jari telunjuknya di pelipis, membentuk posisi hormat.

Mamanya tersenyum tipis, lalu berjalan meninggalkan ruang tamu. Dalam hati dia bersyukur bahwa Katha punya kepribadian yang cukup ceria, hingga dia tak perlu terlalu khawatir.

***

“Katha nggak di sini? Tumben banget,” ujar Rabu sembari meletakkan tas kerja di sebelah kursi yang kosong.

Shae yang duduk sendiri sambil melamun jadi tersentak. Dia terbelalak ke arah Rabu, lalu menghela napas lega saat mengenali sahabat Katha itu.

“Astaga, bikin kaget.” Shae mengusap dadanya pelan.

“Atau lagi di ruangannya Langit dia?” tanya Rabu, mengabaikan keterkejutan Shae atas kedatangannya yang tiba-tiba.

Shae mencebik, lantas menandaskan jus mangga yang tadinya tinggal seperempat gelas. “Beliin gue minum lagi, Bu,” pintanya.

Permintaan Shae itu malah membuat Rabu tertawa. Dia pun segera memanggil pelayan, lalu membiarkan Shae menyebutkan pesanannya.

“Jadi, mana si Biang Kerok?” tanya Rabu.

“Yang pasti, dia nggak di sini. Kalau di sini, pasti lagi adu mulut sama gue dan Langit,” sahut Shae. “Emangnya lo nggak chat dia?”

Rabu menggeleng, lalu meraih gawainya dari saku jas yang masih terpasang rapi di badan. “Kehabisan daya.” Dia menunjukkan layar gawainya yang gelap kepada Shae.

Shae akhirnya mengambil gawai miliknya di atas meja. Dia mengirimkan pesan pada Katha yang mengatakan bahwa Rabu sedang menunggunya di Angkasa. “Lo nggak makan?” tanya Shae sembari meletakkan gawainya di tempat semula.

“Gue tunggu Katha aja,” jawab Rabu.

“Dasar bucin,” kekeh Shae.

Rabu tak menjawab dan matanya malah berkeliling mencari sosok Langit untuk meminta beberapa camilan. Dia sebetulnya sudah merasa lapar, tapi memutuskan menunggu Katha. Walau sebenarnya malam ini mereka tak membuat janji temu apa pun. Hanya saja, seperti sebuah kebiasaan, sepulang kerja mereka sering nongkrong di Angkasa.

“Lapar?” tanya Shae yang disambut anggukan kepala Rabu. “Ya, udah, pesan aja dulu. Katha kayaknya nggak bakal ke sini hari ini.” Gawai Shae bergetar, hingga perempuan itu kini fokus ke benda kotak itu.

“Memangnya dia ada urusan apa?” tanya Rabu.

Shae tak kunjung menjawab, karena sibuk sekali menatap gawai. Tangannya bergerak-gerak mengetikkan sesuatu dengan ekspresi yang terlihat jengkel. Namun, tiga detik kemudian, ekspresinya berubah.

Merasa tak bisa menahan rasa penasarannya, Rabu kembali bertanya, “Shae, Katha ada urusan apa memangnya? Rapat?” Pertanyaan terakhir itu dia ragukan sendiri. Sebab Katha memang jarang mau ikut rapat hingga malam.

“Katha?” tanya Shae tak fokus.

Rabu mengiyakan. Dia menunggu jawaban sambil memperhatikan ibu jari Shae yang bergerak ganas di atas layar gawai. “Kenapa? Lagi kesel lo?” tanyanya kemudian.

“Ini si Katha.” Shae terkekeh. Matanya masih fokus di depan layar. “Dia ketahuan Om Agung kalau mau nikah kontrak.”

Ucapan Shae membuat Rabu membeku sejenak. Kepalanya mencerna hal aneh yang baru saja dia dengar. Katha? Katharina? Katha nikah kontrak? Ketahuan Om Agung? batinnya.

“Siapa nikah kontrak, Sha?” Rabu bertanya ulang saat dia sadar bahwa Shae tadi kelepasan bicara.

Perempuan yang sedang terkekeh pelan itu, seketika langsung terdiam. Matanya teralihkan dari layar gawai dan menatap Rabu dengan mata melotot. Gawai di tangannya meluncur dengan mudah dan jatuh menghantam lantai. Perasaan bersalah langsung memenuhi hatinya. “Bu …” panggilnya.

Namun, Rabu tak menjawab. Lelaki itu malah menunduk untuk mengambil gawai milik Shae yang tergeletak mengenaskan di lantai.

“Shae! Ha ha ha. Lo udah tahu belum? Katha ketahuan Om kalau mau nikah kontrak sama si Atmaja itu.” Langit tahu-tahu muncul sambil memandangi layar gawainya. Dia tertawa-tawa puas, sedangkan Shae sedang menatapnya dengan tatapan mengancam.

Langit baru mengalihkan mata saat dia tak mendengar respon Shae. Namun, saat itu pula dia sadar kalau Shae yang tiba-tiba pasif itu punya alasan. Dan alasan itu baru saja keluar dari bawah meja dengan ekspresi menakutkan yang menuntut penjelasan.

“Eh, Rabu. Kapan datang? Sudah makan?” tanya Langit sambil cengengesan—berusaha menyembunyikan kecanggungannya akibat tertangkap basah.

Rabu berdeham pelan, hingga aura kemarahannya jadi menguar. “Jadi, kenapa Katha ada urusan sama nikah kontrak? Siapa tadi? Atmaja?” tanyanya yang seketika membuat Shae dan Langit menatap saling menyalahkan.

***

Sampai di rumahnya, Rabu menemukan Katha sedang duduk di depan televisi sambil makan nasi goreng. Perempuan itu masih mengenakan pakaian kerja, namun dengan rambut yang sudah acak-acakan.

“Lama amat, Bu, pulangnya. Gue udah nunggu dari tadi. Ditelfon juga nggak bisa,” cerocos Katha. “Tuh, nasi goreng. Lo makan dulu sana.” Dia menunjuk bungkusan yang ada di atas meja.

Namun, sampai beberapa detik berlalu, Rabu tak kunjung membuka suara. Lelaki itu juga tak tampak beranjak dari tempatnya berdiri. Hal itu tentu mengganggu Katha. Dia tak lagi bisa fokus menonton televisi sambil makan.

“Kenapa, sih, Bu? Gue pakai baju normal ini.” Dia menunjuk pakaiannya sendiri. Namun, Rabu juga masih tak memberi respon.

Katha menoleh ke arah Rabu. Dia pun akhirnya melihat ekspresi yang tak biasa. Rabu terlihat sangat marah dan dia tahu itu. Hanya saja, alasannyalah yang tidak dia ketahui. Seketika dia beranjak mendekati Rabu. “Bu? Lo kenapa? Ada masalah?” tanyanya.

Keberadaan Katha membuat Rabu tak bisa lagi menahan marahnya. Wajah lelaki itu bahkan sudah memerah sebelum dia sempat memuntahkan letupan-letupan di kepala.

“Lo mau nikah kontrak? Iya?” tanya Rabu, masih berupaya menahan amukannya.

Ditanya begitu, seketika Katha teringat Langit dan Shae. Dia yakin salah satu dari mereka yang pasti sudah kelepasan bicara.

“Ha? Nikah kontrak apaan? Ngaco lo,” kekeh Katha pura-pura. Tangan kanannya beralih mengusap tengkuk dengan resah.

Rabu tiba-tiba saja dengan cepat menarik tangan kanan Katha. Dia mencengkram pergelangan tangan sahabat yang susah mengawaninya sejak SMP itu. Matanya menatap tajam pada perempuan yang sekarang menampilkan wajah terkejut dan tak bisa disembunyikan.

“Kenapa lo bisa buat rencana konyol begitu, Tha?” geram Rabu.

Katha meringis, sebab rasa bersalah. “Bu ….”

“Segitu putus asanya lo dijodohin sama Om?” tuduh Rabu, namun tepat sasaran.

“Bu ….” Katha tahu bahwa tak seharusnya dia merahasiakan hal ini dari Rabu. Padahal dia bisa menceritakannya dengan mudah pada Langit dan Shae. Kalaupun ditertawakan Rabu, harusnya dia tak melanggar janji tak tertulis yang mereka buat, bahwa tak boleh ada rahasia apa pun di antara mereka. “Maaf. Tapi, gue memang harus cari cara biar nggak dijodohin sama Rendra.”

“Lo kenapa nggak cerita sama gue? Takut gue ketawain?”

Kini pergelangan tangan Katha sudah bebas dari cengkraman Rabu. Sayangnya, kini kedua bahunya yang jadi sasaran. Rabu bahkan sudah mengguncangkan kedua bahunya.

“Maaf,” ujar Katha. Saat kejadian seperti ini, dia baru sadar kalau mungkin dia akan sangat marah juga kalau ada di posisi Rabu. Menjadi satu-satunya orang yang tidak tahu itu benar-benar tak enak. “Gue bener-bener harus cari cara buat batalin niat Papa jodohin gue sama Rendra.”

“Tapi, ya, nggak gitu caranya, Tha,” balas Rabu kesal. “Lo juga nggak bisa kencan buta sembarangan gitu.”

“Itu nggak sembarangan, Bu.”

“Nggak sembarangan gimana, Tha!” bentak Rabu. “Kalau lo diapa-apain gimana? Ha!” Ucapan Katha menyulut kemarahan yang sedari tadi ditahannya sekuat tenaga.

“Itu yang dikenalin ke gue orang-orang pilihan Papa sama Kandara, Bu.”

“Tapi nggak menjamin kalau aman! Gue yakin kalau lo pasti nggak datang kencan dengan pakaian normal.” Napas Rabu mulai memburu akibat dadanya yang serasa hampir meledak.

“Selama itu bisa buat gue nunda perjodohan sama Rendra, bakal gue lakuin. Apalagi bisa sampai membatalkan,” ucap Katha.

Itulah saat di mana kemarahan Rabu memuncak. Kalau terlihat, mungkin puncak kepala lelaki itu tak ada bedanya dengan gunung meletus, dan lahar merah membaranya sedang meleleh di sepanjang wajah.

“Katha!” bentaknya, hingga tubuh perempuan itu tersentak.

Katha membalas tatapan Rabu yang terlihat tak biasa. Baru kali ini dia melihat kemarahan yang teramat sangat di wajah sahabatnya itu.

“Gue bakal nikahin lo,” putus Rabu. Tentu saja hal itu membuat bola mata Katha nyaris melompat dari rongganya. “Kalau itu memang bisa buat lo berhenti ikut kencan buta atau berhenti ngerencanain nikah kontrak yang jauh lebih konyol dengan sembarang laki-laki itu, iya, gue bakal nikahin lo.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status