Share

7. Ide Gila

“Oke, jadi maksudmu ngomong begitu tadi apa?” tanya Sakha saat dia dan Katha sudah pindah ke dalam mobilnya, walau masih di parkiran Angkasa. Itu pun Katha sering tidak fokus dan mencoba bersembunyi kalau-kalau Rabu keluar.

Katha menoleh, lalu memberikan senyum lebar. “Aku nggak nyangka kalau aku sepintar itu.” Bukannya menjawab pertanyaan Sakha, Katha malah memuji diri sendiri.

“Jadi bagaimana? Aku masih tidak mengerti.” Sakha mengernyit. Sedari tadi dia penasaran dengan ajakan Katha soal menikah.

Katha berdecak. “Masa nggak ngerti?” tanyanya. Dia merubah posisi duduk menghadap Sakha. “Kamu kenapa disuruh kencan buta terus?”

“Karena Papa mau aku segera menikah.”

“Kenapa?”

Sakha mengangkat bahu. “Masalah intern,” jawabnya.

Katha sebetulnya sudah tahu bahwa masalah yang diucap Sakha adalah mengenai hubungan keluarga mereka. Rakha menceritakan semua itu padanya. Sebab itu pula, dia tak merasa bisa melanjutkan percakapan dengan Rakha yang terlalu terbuka perihal masalah-masalah pribadi di pertemuan pertama mereka. Akan tetapi, Katha tidak mengatakan apa pun. Intinya dia menangkap persoalan yang sama mengenai desakan menikah.

“Kita punya permasalahan yang sama. Remember?” tanya Katha, lalu dijawab anggukan oleh Sakha.

“Nah, kenapa kita tidak coba menikah saja?” usul Katha.

Meski kata-kata itu sudah diucapkan sebelumnya oleh Katha, Sakha masih tetap merasa aneh mendengarnya. Dia bahkan merasa geli sendiri, meski saat membayangkan pernikahan dengan Katha yang baru ditemuinya hari ini, bukan hal buruk. 

“Gimana?” tanya Katha sambil menaik-turunkan alisnya “Semacam nikah kontrak mungkin, ya, sebutannya,” lanjutnya. “Intinya kita menikah untuk membebaskan diri dari tuntutan yang tidak menyenangkan ini.” Dia mengibaskan tangannya ke udara.

Sakha jadi tak bisa menahan tawanya. “Aku paham maksudmu.”

“Jadi gimana?” desak Katha.

Membuat keputusan menikah dengan orang yang baru ditemui kurang dari dua jam itu adalah sesuatu yang cukup konyol, apalagi Katha adalah teman kencan saudara kembarnya. Hanya saja, tawaran itu terdengar menggiurkan.

“Tapi kamu jangan mengiyakan hanya untuk membuat Rakha kesal, ya!” Katha menunjuk wajah Sakha dengan jari telunjuknya.

Sakha mengibaskan tangan sambil tertawa. “Akut tidak pernah begitu. Entah apa saja yang sudah dia ceritakan.”

“Cerita dia tidak akan mempengaruhi apa pun. Semua berdasarkan apa yang kurasakan dan kualami sendiri.”

“Kayanya ada yang lupa soal Rendra,” cibir Sakha.

Alih-alih tersinggung, Katha justru tertawa keras. “Ah, sebut saja itu pengecualian. Jadi bagaimana?” Dia kembali menaik-turunkan alisnya.

“Oke,” jawab Sakha mantap.

“Yakin? Nggak perlu bersemedi dulu?”

“Aku bukan pertapa yang lagi cari ilmu kebal senjata,” kekeh Sakha. “Dan, ya, aku yakin. Toh bukan pernikahan sungguhan, bukan?”

Katha mengangguk. “Oke, deal!” soraknya. “Kapan-kapan kita bisa keluar bareng buat bahas lanjutannya.” Dia mengulurkan tangan.

“Sebelum itu, kita harus tukar nomor.” Sakha mengabaikan uluran tangan Katha dan malah meletakkan gawainya di telapak gadis itu.

Katha segera mengetikkan nomornya di gawai Sakha. Dia merasa bersemangat karena sudah punya solusi untuk menghindari perjodohan dengan Rendra. Sekarang dia hanya perlu mengulur waktu sebelum hari di mana dia akan membawa Sakha sebagai calon suaminya.

“Eh, sahabat kamu, tuh!” celetuk Sakha tiba-tiba.

Kepala Katha yang tadinya sedikit menunduk, kini mencoba semakin menenggelamkan dirinya sendiri di kursi. Dia bahkan nyaris menempelkan dahinya ke lutut.

Hal itu memancing tawa Sakha. “Dia sudah pergi. Sepertinya tidak jadi makan di sini, ya?”

Katha mendongak dan sudah tidak menemukan Rabu di area parkir Angkasa. Matanya waspada melirik ke kanan-kiri, karena takut tiba-tiba saja sahabatnya itu muncul. Ketika dirasa keadaan benar-benar aman, dia mengembuskan napas lega.

“Segitu takutnya,” kekeh Sakha.

“Bukan. Males aja,” sanggah Katha. Dia melirik jam tangan di pergelangan tangan. “Aku turun dulu, ya. Nanti aku hubungi untuk bahas soal tadi.”

Sakha mengacungkan jempol. Lantas, setelah kepergian Katha dari mobilnya, dia masih memandangi pintu masuk Angkasa yang seluruhnya terbuat dari kaca. “Menarik,” gumamnya.

***

Katha melongo saat mendapati Rabu duduk di kursi kerjanya. Dia baru saja kembali dari toilet sebelum beranjak pulang. Kandara sudah pergi lebih dulu sejak tadi, karena ada janji makan malam bersama teman-temannya.

“Kok lo di sini?” tanya Katha.

Rabu mecebik. “Kayaknya kemarin ada yang minta oleh-oleh, tapi tiba-tiba kabur gitu aja waktu disamperin.” Dia mengacungkan tas karton kecil di tangan kanannya.

Sorakan Katha langsung memenuhi lorong yang sudah sepi. “Ada angin apa, nih, tiba-tiba baik gini?” tanyanya sembari menyambar tas yang disodorkan padanya.

“Lo yang kena angin apa? Tumben banget jam delapan masih di kantor. Lo, kan, anti lembur.”

Gerakan tangan Katha yang hendak membuka tas karton dari Rabu terhenti. Dia jadi teringat alasannya betah di kantor seharian ini.

“Astaga, Bu! Kandara tiba-tiba otaknya kena sinar matahari.” Katha tertawa-tawa. “Dia akhirnya setuju Banyu Ayase jadi peran utama di produksi film baru.”

“Bhanu Ayase yang itu?” tanya Rabu. Itu yang dimaksud mengarah pada aktor yang sejak lama digilai Katha, bahkan sebelum seterkenal sekarang.

Katha mengangguk-anggukkan kepalanya semangat. “Sumpah, Bu, dia ganteng banget aslinya.”

Rabu tidak lagi menanggapi. Dia malah menunjuk tas di tangan Katha. “Mau diperiksa nggak? Soalnya kalau nggak suka mau gue kasih ke Mbak Susi di bawah.”

Katha mendengkus, jengkel juga kalau oleh-oleh yang jarang dia dapat dari sahabatnya itu diberikan ke pegawai resepsionis. Lantas, dia cepat-cepat membuka tas karton kecil di tangannya dan menarik sebuah kotak berwarna hitam dari sana. “Lo beliin gue perhiasan?” tanya Katha. Dia mengernyit sambil memandangi kotak itu.

Rabu mengangguk. “Lagi cari oleh-oleh buat Ibu, tiba-tiba lihat yang kayaknya cocok buat lo,” dustanya. Padahal dia sengaja masuk ke toko perhiasan untuk mencari oleh-oleh untuk Katha.

Rasa penasaran sekaligus heran membuat Katha membuka kotak itu. Sebab, seingatnya Rabu dulu sering kali menegur dirinya yang memakai perhiasan mahal semasa sekolah.

Sebuah kalung emas dengan liontin bunga matahari membuat Katha terkesiap. Dia tidak menyangka kalau Rabu akan membelikan dirinya hal semacam ini. Padahal dibelikan permen atau baju batik saja dia sudah senang.

“Nggak seperti lo,” celetuk Katha, namun matanya masih tampak terpesona. Kalung itu benar-benar sesuai seleranya. Bunga mataharinya tak berwarna emas, melainkan kuning cerah dengan bagian tengah berwarna kecokelatan.

Rabu tertawa. “Dulu lo bilang kalau bunga matahari simbol persahabatan kita. Jadi waktu lihat ini, gue jadi ingat omongan lo.”

Ucapan Rabu itu membuat Katha terharu. Dia tidak menyangka kalau Rabu masih mengingat perkataannya bertahun-tahun lalu.

“Suka?” tanya Rabu.

“Banget,” sahut Katha, lalu memasukkan kotak itu ke dalam tasnya yang ada di meja.

“Nggak dipakai?” tanya Rabu.

“Pakai dong. Besok gue pakai sama baju yang sesuai,” sahut Katha sambil merapatkan blazernya.

Rabu jadi curiga melihat itu. Dia memicingkan mata sambil berujar, “Lo pakai baju kurang ajar lagi, ya?”

Sebutan baju kurang ajar Rabu berikan pada pakaian-pakaian Katha yang tipis, terlalu ketat, pendek, terbuka dan terlalu seksi. Kali ini Rabu menduga bahwa Katha mengenakan blus yang ketat, sebab untuk bawahan gadis itu memakai celana panjang hitam.

Kekehan Katha sudah jadi jawaban yang tidak perlu didengar oleh Rabu. Lelaki itu langsung berdecak. “Lo nggak buka blazer pas ketemu Bhanu, kan?”

“Ya, enggaklah!” Walaupun cukup sering memakai pakaian yang tipis atau terbuka, Katha tahu pasti kondisi dan tempat yang tepat untuk memakainya.

“Jangan kebiasaan,” tegur Rabu untuk yang kesekian kalinya.

“Beres,” sahut Katha. “Jadi, ada kejadian apa aja di Jogja? Kayaknya seru sampe sering lupa ngabarin.”

Rabu tertawa, namun pertemuannya dengan Felysia kembali teringat. Tawanya perlahan hilang. Dia menatap Katha yang sudah mengangkat tas dari atas meja dan menarik tangannya menuju elevator. “Tha,” panggilnya.

Katha menoleh, lalu keningnya berkerut saat menemukan ekspresi aneh di wajah Rabu. “Kenapa?”

“Gue ketemu lagi sama Felysia di Jogja,” ujarnya.

***

Katha berdecak. Dia memasukkan dua ekor udang berukuran sedang ke dalam mulut. Langit yang melihatnya seketika tertawa dan menggoda Katha dengan menekan-nekan hidung perempuan itu. Sedangkan Rabu berdecak dan langsung mengangsurkan air mineral miliknya.

“Lo bodoh banget, Bu!” umpat Katha usai menelan udangnya. Dia mengambil air mineral dari tangan Rabu, lalu meneguknya. “Ya, kan, Ngit?”

Langit yang dimintai persetujuan segera mengangguk. Kali ini dia sependapat dengan Katha mengenai masalah pertemuan Rabu dan Felysia di Jogja.

“Apa, ya, istilahnya?” gumam Langit. “Lo terlalu baik?”

Katha mengibaskan tangannya. “Bukan terlalu baik itu, Ngit! Tapi, terlalu bego.”

Langit tertawa terbahak-bahak saat melihat ekspresi masam Rabu. “Dikatain bego, tuh, Bu!”

Rabu meraih gelas ice lemon tea milik Katha dan meminumnya dalam sekali teguk hingga tandas sebagai bentuk balas dendam. Hal itu tentu saja membuat keadaan terbalik. Kekesalan Rabu berkurang dan dia malah menertawai Katha yang siap menerkam.

“Tapi, Bu, gue penasaran. Sebenarnya lo masih ada rasa sama Fely, nggak?” tanya Langit, sebelum Katha sempat membalas dendam.

Pertanyaan Langit membuat meja itu jadi sunyi. Suara musik yang mengalun mengisi sepi di antara mereka. Apalagi para pelanggan sudah banyak berkurang, sebab jarum jam hampir menyentuh angka sepuluh.

Katha sendiri berhenti makan. Entah kenapa dia merasa khawatir dengan jawaban Rabu. Namun, sebisa mungkin dia menutupinya dan bertindak seolah-olah hanya penasaran. Karena kalau sampai Rabu tahu dia khawatir, maka sahabatnya itu akan merasa bersalah karena membuatnya merasa demikian. Meskipun sebetulnya bukan dia penyebab utama dari putusnya Rabu-Fely di masa lalu.

Gelengan kepala Rabu membuat Katha menghela napas pelan. Dia melirik sahabatnya yang tersenyum lembut. Padahal Katha tahu sekali gejolak perasaan Rabu sewaktu mereka di elevator kantornya tadi.

“Kalau begitu, bukan masalah kalau kalian ketemu, kan?” todong Langit.

Rabu mengangguk lagi. “Iya, tidak masalah. Mungkin gue cuma punya sisa-sisa kemarahan untuk masalah dulu. Maklum, manusia.”

Langit mangangguk-angguk kepala, lalu menoleh ke arah Katha. “Kenapa diam, Tha? Tiba-tiba sariawan?” kelakarnya.

Katha langsung melotot dan mengacungkan garpu di tangan kanannya ke arah Langit yang masih tertawa. Lelaki itu langsung melindungi kepalanya dengan lengan yang disilangkan.

“Awas, lo! Gue aduin Rabu ntar!” ancam Langit saat Katha mengarahkan ujung heels di atas kakinya.

“Aduin apa?” tanya Rabu.

Katha langsung melotot ke arah Langit. Sementara lelaki itu malah menahan tawa, lalu menjulurkan lidah. Persoalan kencan buta dan perjodohan Katha tentunya masih dirahasiakan dari Rabu untuk batas waktu yang belum diketahui. Namun, Langit sengaja memancing Rabu agar Katha jadi kelabakan sendiri.

“Bukan apa-apa,” sahut Katha. Dia memasang senyum manisnya, tapi malah disambut picingan mata Rabu.

“Ngelakuin hal absurd apa lagi lo?” tanya Rabu.

“Enggk, gue nggak ngapa-ngapain. Langit aja yang asal ngomong,” tuduh Katha. Sekali lagi, dia melotot pada Langit.

“Apaan, Ngit? Ngapaian aja dia selama gue nggak ada? Nggak godain pelanggan lo, kan?” tanya Rabu.

“Bu!” pekik Katha.

Langit menaikkan sebelah alisnya dan menyeringai ke arah Katha. “Itu, Om Agung mau jodohin Bang Kandara. Tapi, Katha-nya nggak setuju.”

“Kenapa?” petanyaan itu Rabu tujukan pada Katha yang sedang mengembuskan napas lega.

“Ha?” Katha terkejut dengan kebohongan Langit yang baru dia sadari setelah sedetik rasa leganya. Dia melotot ke arah lelaki itu, lalu kembali menatap Rabu. “Oh, nggak apa-apa. Nggak suka aja Kandara dijodohin,” jawabnya sambil nyengir. Beruntung respon kepalanya lumayan cepat.

Rabu menggeleng-gelengkan kepala. Dia mengurut pelipisnya sendiri. “Sebenarnya gue juga lagi dalam posisi serupa sama Kandara. Ibu minta gue pulang, katanya mau dikenalin sama anak teman-temannya.

Katha merasa rahangnya hampir jatuh mendengar pengakuan Rabu. Sebab, seingatnya ibu sahabatnya itu tak pernah mempertanyakan kehidupan romansa anak-anaknya.

Langit memasukkan udang ke dalam mulut Katha yang terbuka. “Nggak usah lebay gitu kagetnya. Kita, kan, udah hampir tiga puluh. Orang tua gue juga sama,” ujarnya.

Bukannya marah karena keusilan Langit, Katha malah tertawa terbahak-bahak. Dia senang karena bukan hanya dia saja yang didesak perjodohan. Rabu dan Langit ternyata memiliki nasib serupa. Hanya saja miliknya lebih mengenaskan, karena papanya cenderung memaksa dan tak segan mengancam.

“Sabar, Bu. Ibu pasti cuma mau pastiin anaknya normal atau nggak,” ucap Katha sambil menepuk-nepuk pundak Rabu.

Mata Rabu langsung melotot. Dia menepis tangan Katha dari bahunya.

“Eits! Nggak boleh ngumpat,” peringat Katha. Lalu dia terbahak-bahak bersama Langit, karena umpatan Rabu yang terpaksa ditelan kembali.

***

“Siap?” tanya Katha pada Sakha.

Keduanya sedang berada di dalam mobil Sakha yang terparkir di depan gerbang rumah Katha. Perempuan itu sebelumnya mengisyaratkan Hadi untuk menunda membuka gerbang rumah.

Anggukan Sakha membuat Katha melanjutkan ucapannya. “Pokoknya bicara sesuai yang udah kita susun.”

Sakha tertawa pelan. “Iya. Kita sudah pernah kenal sebelum kamu kencan sama Rakha. Terus, kita ketemu lagi waktu kamu sama Kandara rapat di Etj.”

“Bagus,” ujar Katha. Dia memang cukup gugup karena akan membohongi papa dan mamanya. Apalagi ini hal besar, bukan sekedar mencomot uang lima ratus ribu dari dompet belanja mamanya.

“Tenang, Tha. Nggak usah gugup begitu.” Sakha menepuk pundak Katha pelan.

Katha mengulas senyum. Dia menarik napas panjang berkali-kali sampai dirinya merasa tenang untuk melakukan sandiwara yang berbahaya itu.

“Siap?” Kali ini Sakha mengajukan pertanyaan yang sama dengan Katha.

Katha mengamati penampilan Sakha yang tampak lebih rapi dibanding biasanya. Dia cukup mengapresiasi totalitas lelaki itu. Padahal dia tahu kalau Sakha suka memakai pakain-pakaian yang tak biasa, seperti jaket denim di permukaan setelan kerjanya saat pertemuan pertama mereka.

“Siap,” ucap Katha mantap.

Usai itu, Sakha langsung menekan klakson mobilnya, agar Hadi membukakan pagar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status