Share

Bab 3

Bab 3

Kuseret langkah kaki yang terasa berat lalu mengetuk pintu pelan.

Malam sudah semakin larut, ditambah suasana hujan menambah kenyamanan untuk tidur.

Mungkin orang-orang di dalam juga, sampai aku mengetuk berkali-kali, pintu itu belum

terbuka.

" Mungkin sudah nasib kita, Nduk! Tidur di luar begini."

Aku terkekeh menertawakan nasibku sendiri.

Tapi takdir tidak selamanya buruk, lewat beberapa menit, terdengar suara langkah kaki mendekat.

Krek....

"Waalaikumsalam."

Kini satu wajah muncul dari balik pintu sambil menjawab salam.

Kulihat anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun menatapku dengan aneh.

Mungkin dia bingung bagaimana ada seorang perempuan datang malam-malam, sudah hujan membawa tas pula.

"Cari siapa, ya?" tanyanya kemudian.

Sepertinya dia penghuni baru di panti, saat aku meninggalkan tempat ini tiga tahun lalu, dia belum ada.

Aku mengusap pelan rambutnya.

"Namamu siapa? Kamu anak baru ya, di sini?"

Dia tersenyum, pandangannya beralih pada Aruna yang menggeliat di gendongan.

"Adek bayi? Lucu sekali."

Bukannya menjawab, bocah kecil itu berjinjit melongokkan kepalanya.

" Iya, namanya Aruna. Kalau namaku Melati, Ibu Ratmi mana?"

Aku menyebut nama ibu panti yang mengurus kami selama ini.

" Mawar, melati semuanya indah."

Bibirnya bersenandung lagu kanak-kanak yang sudah ada dari jaman aku kecil.

Aku tersenyum lalu melangkah ke dalam tanpa mengharap jawaban lagi.

Rumah panti ini tidak banyak berubah, masih sama seperti waktu aku meninggalkannya tiga tahun silam. Saat Mas Agung menikahiku dan memboyongku ke rumah Ibu mertua.

Ah, baru juga berapa jam? aku sudah memikirkannya lagi.

Tinggal bertahun-tahun di sini, membuatku hapal setiap sudutnya hanya dengan menutup mata.

Dari pintu depan kita akan menemui ruangan dengan meja dan empat kursi yang di tata rapi. Ruang ini biasa digunakan untuk menerima donatur atau tamu yang datang.

Kursi dari anyaman rotan yang keras masih menghiasinya. Kadang Mas Agung menunggu di sana sambil mengobrol dengan ibu panti.

Mas Agung lagi....

Melewati ruang tamu, akan ada sebuah lorong yang menghubungkan ruang tamu dengan kamar anak-anak di sebelah kiri dan kanan.

Tak terdengar riuh ramai anak-anak saat aku menyusuri lorong itu. Mungkin saja mereka sudah tidur.

Dulu aku sering berlarian berkejaran dengan teman-teman melewati lorong ini. Lalu Bu Ratmi akan mulai mengomel melihat kami berlarian di dalam rumah.

Sebenarnya, bangunan ini adalah sebuah rumah biasa. Tidak ada plang bertuliskan panti di halaman depan.

Ibu Ratmi lebih suka menyebutnya rumah singgah.

Wanita paruh baya itu menggunakan lebih dari separuh umurnya untuk mengasuh kami.

Anak-anak yang tidak diharapkan, begitu kata orang.

Ada yang terang-terangan menitipkan anaknya di sini dengan dalih tidak ada biaya.

Ada pula yang hanya ditaruh begitu saja, aku contohnya.

Bu Ratmi menemukanku menangis di depan rumah waktu subuh, berbalut kain tipis dan selembar foto laki-laki. Mungkin dia ayahku, entahlah.

Yang pasti foto itu tidak pernah lupa kubawa kemanapun aku pergi.

Persis saat ini, aku datang tengah malam dengan membawa Aruna, tapi aku tidak seperti orangtuaku yang tega meninggalkan anaknya di depan sana.

Aku tidak sampai hati.

Dari lorong, kaki ini berbelok ke kiri, dimana ada  sebuah kamar cukup luas dengan tiga tempat tidur susun.

Dapat kuhirup udara beraromakan masa lalu di sini.

Tempat aku menghabiskan sebagian besar waktu  di salah satu sudutnya.

Kamar anak perempuan yang dulu ramai dengan celotehku dan teman-teman.

Saat kami diam-diam menghias wajah dengan tepung, atau berebut boneka yang sudah dekil. Semua berputar kembali dalam kepalaku.

Tapi sekarang, kamar ini sunyi, sesunyi hati Bu Ratmi yang duduk di tepi tempat tidur. Sebelah tangannya mengelus dua anak perempuan yang tidur bersisihan.

" Siapa yang datang, Ren?"

Mungkin dia memanggil nama anak laki-laki yang membukakan pintu tadi.

Letak tempat tidur itu di sebelah kanan pintu dan Bu Ratmi duduk membelakanginya.

Wanita bermata teduh itu tidak melihat kedatanganku.

Tahu-tahu, anak laki-laki tadi sudah melewatiku yang berdiri mematung.

Ia lalu duduk di samping Bu Ratmi.

" Tu, Bu! Nggak tahu siapa, dateng-dateng langsung masuk."

Telunjuknya mengarah padaku.

Aku tersenyum sambil pura-pura melotot.

Bu Ratmi mengikuti arah telunjuk itu sampai mata bersitatap.

Tangan yang sudah tua itu mengusap-usap matanya, mungkin tidak percaya dengan pandangannya.

" Ibu ... aku pulang!" Rasanya tangis ini tak terbendung lagi.

Segera aku duduk bersimpuh di hadapannya.

Wanita yang sudah merawatku sejak kecil, mencurahkan kasih sayangnya sepenuh hati.

Tak pernah kudapati ia marah selain untuk kebaikanku.

Darinya aku merasakan kehadiran Ibu, sosok yang tidak pernah kuketahui rupanya.

Walau  Bu Ratmi bukan wanita yang menghadirkanku ke dunia ini tapi dialah ibuku yang sesungguhnya.

Bu Ratmi membelai kepalaku yang kini sudah kuletakkan di pangkuannya.

" Ya Allah, Nduk. Benar ini kamu? Melati anakku?"

Aku tergugu dan mengangguk. Bu Ratmi yang selalu menyebut dengan panggilan anakku.

Mendengarku menangis, Aruna dalam gendongan juga ikut menangis.

" Cup ... cup... sini ikut Kakak!"

Anak laki-laki itu mengambil Aruna dari gendonganku.

Tangannya menepuk-nepuk pelan pantat bayi itu.

Sebagai anak-anak, dia cukup pintar menggendong.

Aku mencium tangan itu dengan takzim.

"Aku pulang, Bu. Maaf aku dulu tidak menuruti nasehatmu. Benar kata Ibu, laki-laki itu tidak baik, Bu."

Setelah tiga menikah, baru kali ini aku datang. Ibu mertua selalu melarangku untuk berkunjung sementara Mas Agung selalu beralasan sibuk.

Tangan itu, tangan yang menyentuhku pertama kali dengan penuh cinta, kini keriput di makan usia. Dibingkainya wajah ini dengan lembut.

Kelembutan yang tidak pernah kudapat di keluarga itu. Ibu mertua yang kuharapkan bisa menjadi penyambung ibu, ternyata tidak lebih dari seorang monster.

Jangankan kelembutan, kata-kata manispun tidak pernah terucap dari bibirnya.

" Nduk, kamu tidak perlu minta maaf! Kamu tidak salah, ini semua sudah takdir Gusti Allah."

Airmata ini semakin mengalir deras saat pandangan kami bertemu. Netranya berkabut sama seperti ketika melepas aku pergi.

" Yang penting kamu sehat, bisa kembali ke rumah ini, ib sudah senang. Kamu tidak pernah datang setelah menikah. Ibu sampai merindukanmu. Siang malam ibu berdoa agar bisa bertemu denganmu lagi sebelum ibu pulang."

Kata-katanya membuat hatiku tersayat. Aku bersyukur masih ada yang menyayangiku dengan tulus.

Inilah tempatku, di mana aku merasa berharga.

" Maaf, Bu! Dulu Mas Agung tidak pernah mengijinkanku pergi, tapi sekarang dia malah mengusirku, Bu."

Bu Ratmi nampak terkejut, dibawanya tubuh ini ke dalam pelukannya.

" Jangan khawatir, ini rumahmu! Pulanglah Nduk, ini tetap menjadi rumahmu!"

Aku menghirup dalam-dalam aroma tubuh Ibu yang selalu kurindukan. Dekap hangat itu menenangkanku.

Meluruhkan sakit yang bersemayam dalam hati.

" Terima kasih, Bu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status