Share

BAB 6

Pov Author

Melati membaringkan tubuhnya di sebelah Aruna.

Netranya memandang langit-langit kamar.

Masih segar dalam ingatan, saat Agung melepas kepergiannya tadi.

"Apa sudah tidak ada cinta di hatimu, Mas?" gumamnya.

Lamat-lamat, sinar lampu mulai meredup dan semakin mengecil.

Tak lama, perempuan bertubuh mungil itu terlelap dalam tidur.

"Oa ... oe...." suara tangis Aruna memecah keheningan pagi.

Melati membuka matanya yang terasa berat, rasanya baru beberapa jam lalu dia tertidur, eh sudah pagi saja.

"Kenapa anak Ibu? Lapar ya? Sini sayang!" Melati mengangkat tubuh bayi itu dengan hati-hati.

Lalu bersiap mengASInya.

Dari luar, terdengar jerit tawa anak-anak yang sedang bermain.

Melati menepuk pelan punggung Aruna hingga bersendawa.

"Kita keluar ya, Nak! Lihat kakak-kakak lagi main, kamu pasti seneng!"

Melati membongkar pakaian Aruna di dalam tas, mengambil satu baju dan celana lalu membawanya keluar.

"Eh, kamu sudah bangun, Mel?" sapa Ratmi yang baru saja selesai memasak.

" Iya, Bu. Kalau Aruna tidak menangis, aku pasti masih tidur." jawab Melati sambil menyengir kuda.

"Kamu ini, masih belum berubah. Sini, Ibu ajak Aruna keluar, kamu jerang air dulu buat dia mandi ya!" Ratmi mengambil bayi itu dari pangkuan Melati.

Melati menatap punggung ibunya yang menghilang di balik pintu.

Lalu, ia menyalakan kompor untuk menjerang air.

Sambil menunggu air itu panas, Melati membuka gawai, berharap ada pesan atau panggilan dari Agung, tapi nihil.

Gawainya sepi, seperti yang sudah-sudah.

"Lebih baik, aku mandi dulu!" 

Melati mematikan kompor lalu beranjak ke kamar mandi. Tubuhnya terasa lengket, dia baru sadar kalau dirinya tidak membersihkan badan setelah perjalanan jauh tadi malam.

"Mel, sarapan dulu! Ini Aruna sudah mandi," panggil Ratmo dari ruang makan.

Dengan atasan kemeja motif bunga dipadu rok panjang, Melati nampak segar. Dibubuhkannya bedak bayi milik Aruna ke wajah.

Terakhir, Melati mengoleskan lipstik warna natural ke bibirnya.

Melihat bayangannya di cermin, Melati tersenyum miris.

"Kasihan kamu, Mel! Masih muda, sudah jadi janda!" bisiknya dalam hati.

Suara piring beradu dengan sendok memenuhi ruang makan, Melati menatap satu persatu adik asuhnya.

Sekarang, panti itu semakin sepi. Hanya ada tiga anak yang tinggal disana.

Rendi, Lisa, dan Rima, mereka duduk berhadapan di meja berbentuk persegi panjang.

Sementara Ratmi, duduk di tengah sambil memangku Aruna.

"Wah, pada sarapan apa nih?" Melati menarik kursi yang masih kosong.

"Ini, Mbak. Ibu masak nasi goreng," jawab Rima sambil mengunyah kerupuk di mulutnya.

"Kalau ngomong tu di telan dulu nasinya!" tegur Rendi.

"Iya ... iya Kak!" Gantian Lisa yang menjawab.

Melati menutupi senyumnya dengan tangan sebelum Rendi menegurnya juga.

Mereka makan dengan lahap walau dengan lauk seadanya. Ratmi memang mendidik anak-anak itu dengan tegas tapi juga penuh kasih sayang.

Melati bersyukur bisa tumbuh di bawah asuhannya.

" Jadi gimana, Bu? Melati sama Aruna boleh tinggal di sini?" tanya perempuan berhidung mancung itu dengan takut-takut.

Anak-anak sudah pindah ke ruang tengah untuk belajar, sementara Aruna kembali tidur setelah minum susu.

Ratmi menatap dalam ke arah Melati.

Pikirannya berkecamuk, bingung harus darimana ia memulai?

Wanita paruh baya itu terkejut dengan kedatangan Melati yang tiba-tiba.

Semalaman, ia tidak bisa tidur memikirkan jawaban apa yang akan ia utarakan pada Melati.

Tidak mungkin, Ratmi menolak kedatangannya tadi malam.

Kemana lagi anak asuhnya itu akan pergi?

Dilain tempat, Agung membuka matanya dengan susah payah. Hari menjelang pagi saat ia mulai terlelap.

Kepalanya terasa sakit, saat mengingat kejadian tadi malam.

Tangannya meraba ke sebelah tempat tidurnya.

Bantal dan guling di sampingnya masih tertata rapi.

"Melati...." lirih Agung memanggil nama itu.

Sepi, tiada jawaban apalagi suara tangisan bayi, yang biasa membangunkannya.

Perlahan, dipejamkan lagi matanya. Agung dapat merasakan bulir-bulir membasahi pipinya.

"Gung, bangun! Sudah siang!" tiba-tiba terdengar ketukan pintu.

Dengan malas, Agung menyeret langkah lalu membukanya.

Nampak, wajah Eka -kakak perempuannya- di balik pintu.

"Iya, Mbak!" jawabnya dengan suara parau.

"Kamu baik-baik saja, kan?" wanita yang tiga tahun lebih tua dari Agung itu menatap sang adik dengan khawatir.

"Kakak lihat sendiri!" Agung berbalik masuk ke dalam kamar lalu diikuti Eka di belakangnya.

Kakak beradik itu duduk berdampingan di tepi ranjang.

Mereka terdiam lama, tenggelam dalam pikiran masing-masing.

"Iya, Kakak lihat sendiri, kamu kacau begitu, Gung!" 

Eka menatap adik satu-satunya itu dengan kasihan.

"Aku nggak bisa tidur semalaman, Kak! Kepikiran Melati dan Aruna. Kemana mereka pergi? Sudah malam, hujan pula!" 

Agung mengacak rambutnya kasar.

Eka menghela napas panjang, tidak tahu harus berkata apa.

Diusapnya punggung Agung, "Apa kamu sudah memikirkan baik-baik keputusanmu semalam?"

Laki-laki berbadan tegap itu menggeleng pelan seakan tidak bertenaga.

"Aku bingung! Mbak lihat sendiri bagaimana sikap Ibu? Aku seperti makan buah simalakama, satu sisi ada ibuku, di sisi lain ada anak dan istriku."

"Iya, Mbak tahu, ini pasti berat buat kamu! Coba kamu tenangin diri dulu! Habis itu kita pikirkan jalan selanjutnya!" 

Eka berdiri lalu mengambil gawai di atas nakas.

Disodorkannya gawai itu kepada Agung.

"Ada pesan atau telepon dari toko ya, Mbak? Bilang saja aku akan datang nanti sore!" Agung menepis gawai itu.

Dia sedang tidak bisa memikirkan hal lain kecuali Melati dan Aruna.

Bayang keduanya melekat di pelupuk mata.

"Bukan, apa kamu sudah coba menghubungi Melati? Tanya dia ada dimana sekarang?" Eka menyorongkan gawai itu kembali.

Agung menerima dengan gamang, dilihatnya wajah Eka seakan bertanya "Apa Melati masih mau berhubungan denganku? Sementara tadi malam, aku sudah sangat menyakitinya?"

"Coba saja, daripada tidak sama sekali." Kata Eka seolah menjawab pertanyaan Agung.

"Kenapa aku tidak kepikiran dari tadi malam ya, Kak?" Jarinya mengusap layar gawai itu lalu mencari kontak bernama 'istriku'.

Tut ... tut ... tut....

'Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan'

Berkali-kali Agung mencoba menghubungi nomor Melati, tapi nihil. Sampai panggilan ke sepuluh, hanya operator yang menjawab.

"Arrggghh, kenapa gawainya tidak aktif? Kemana kamu, Mel?" Agung mengusap kasar wajahnya.

Pikiran buruk tiba-tiba melintas di pikirannya.

Bagaimana? Seandainya Melati berbuat nekat?

Agung berdiri lalu memukul dinding kamarnya.

"Sudah, Gung. Tenang dulu! Kamu jangan begini!" Eka berusaha menenangkan.

"Aku memang laki-laki lemah, Kak! Tidak bisa melindungi anak dan istriku sendiri." Suara Agung bergetar menahan sesak.

"Tenang dulu! Ambil napas, buang perlahan!" perintah Eka.

Dibimbingnya Agung untuk duduk kembali.

Agung memang lebih banyak mendengar nasehat kakaknya itu daripada ibunya sendiri.

Namun, sayang Eka juga tidak terlalu berani menentang kata-kata sang ibu.

Dari kecil, mereka hidup di bawah tekanan wanita paruh baya itu.

Hanya, saat akan menikah dengan Melati saja, Agung berani mengambil sikap.

Benar kata orang, cinta memberikan kekuatan sekaligus kelemahan.

"Bagaimana kalau kamu cari Melati dan Aruna, ke panti tempat Melati tinggal dulu?" Eka menepuk pelan pundak Agung.

Belum sempat menjawab, tiba-tiba....

"Tidak...." tiba-tiba terdengar suara teriakan dari depan pintu kamar Agung.

"Jadi kamu berani menentang Ibu, Ka?" seorang wanita paruh baya berjalan menghampiri Eka.

"Ii ... ibu...."

"Dasar anak tidak tahu diuntung!"

Yedhika Tonago

Assalamualaikum, Kak, terima kasih bagi yang masih berkenan mengikuti cerita ini. Insya allah kita mulai update bab secara rutin ya, Kak. 🙏

| Like

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status