Share

Keenam

Beberapa hari kemudian, sudah hampir seminggu dia bekerja. Dan selama itu pula, dia selalu diganggu oleh Edward. Pria itu benar-benar menyiksanya selama bekerja. Bagaimana tidak? Pria itu dengan sengaja menambah pekerjaan lain untuk Sia agar Sia selalu lembur dan berakhir di antar pulang oleh pria itu juga.

"Kau terlihat seperti mayat hidup Sia," ujar Lily sambil memakan makanannya.

Mereka berdua sedang makan di kafetaria perusahaan.

Sia mengangguk. "Aku sangat lelah hari ini,"

"Kau lembur lagi?"

Sia mengangguk lagi. "Aku pikir hari-hari ku tidak akan berjalan baik tanpa lembur,"

Lily tertawa pelan. "Aku sendiri tidak mengerti kenapa Pak Edward menyuruhmu banyak hal, apa kalian dekat satu sama lain?"

"Dih! amit-amit dekat sama dia!"

Lagi-lagi Lily tertawa. "Kau sabar saja, siapa tau sikapnya akan berubah, mungkin dia masih sensitif karena kamu terlambat pada saat hari pertama,"

Cih, aku telat juga karena pria sialan itu! Batin Sia bergerutu kesal.

"Omong-omong apa kau ikut Sabtu depan?"

Sambil memberikan saos sambal di baksonya, Sia bertanya. "Acara makan-makan itu ya?"

"Iya, sekaligus kita acara kan kedatanganmu disitu,"

Sambil menguyah Sia membalas. "Acara untuk apa? aku aja dipindahkan karena keteledoran ku, itu akan aneh,"

Lily tertawa. "kan aku bilang, sekaligus dirayakan disitu saja. Lagipula tidak ada salahnya tetap merayakan itu, kamu kan memang karyawan baru di tempat ini,"

Sia mengangguk-angguk. "Aku akan lihat kondisi dulu, jika aku lembur pada saat itu, sudah dipastikan aku tidak akan ikut,"

"Kau terlalu kaku dalam bekerja,"

"Aku bukan kaku, tapi pekerjaan ku selalu menumpuk, bahkan dikantor lamaku, aku jarang seperti ini,"

Lily tertawa. "Mungkin Pak Edward menyukaimu,"

"Itu tidak mungkin, dia mustahil menyukai ku,"

Selesai makan siang, Sia kembali untuk bekerja. Lily lebih dulu meninggalkannya karena Sia sempat ke toilet. Ketika dia hendak masuk ke lift, dia melihat ada Edward yang lebih dulu masuk.

Sia menunduk sekilas untuk menyapa Edward lalu masuk ke dalam lift itu. Hanya ada mereka berdua di lift tersebut. Sia pikir, pria ini baru saja dari basemen.

"Apa kamu telah makan siang?"

Pertanyaan itu membuat Sia yang tadinya menatap lurus pintu lift menjadi menoleh untuk menatap Edward.

Sia mengangguk kecil. "Sudah Pak,"

"Baguslah,"

Sia kembali menatap pintu lift dan menunggu kapan pintu itu terbuka lagi. Jujur saja, dia tidak nyaman berada di lift bersama Edward, apalagi mereka hanya berdua. Mengingat kejadian yang telah mereka lakukan bersama membuatnya masih merasa canggung berlama-lama dengan pria itu.

Ting! Pintu lift terbuka. Sia sudah siap berjalan meninggalkan Edward lebih dulu. Tetapi langkahnya terhenti.

"Datang ke ruangan saya setelah jam kerja selesai,"

Sia menoleh dan mengangguk sekilas lalu segera pergi ke meja kerjanya. Dia kembali fokus bekerja hingga waktu tidak terasa berlalu begitu cepat. Beberapa rekannya sudah ada yang pulang. Mungkin tersisa lima atau enam orang yang masih bekerja.

Dia melirik jam dinding yang terpajang di depan dekat ruangan Edward. Rupanya sudah jam 4 sore. Dia segera bersiap-siap untuk pulang. Beruntungnya dia hari ini tidak lembur lagi dan di atas mejanya tidak ada dokumen yang menumpuk. Ada beberapa berkas tetapi itu pekerjaan untuk besok yang sengaja di letakkan lebih cepat.

Ketika Sia hendak berjalan menuju lift, dia teringat dengan ucapan Edward yang memintanya masuk ke ruangannya setelah jam kerja.

"Ah benar! hampir saja aku lupa," Sia berbalik dan berjalan menuju ruangan Edward.

Dia mengetuknya terlebih dahulu sebelum masuk. Samar-samar Sia mendengar bisikan-bisikan para rekannya yang masih tinggal. Satu hal yang terjadi selain dia pulang malam, rekan-rekan kerjanya yang tidak dekat dengan dirinya telah menyebar rumor buruk tentang dirinya yang terlalu sering masuk ke ruangan Edward.

Sia juga tidak ingin masuk ke ruangan ini, dia merasa jantungnya mau copot setiap diberi pekerjaan baru yang sebenarnya bukanlah tugasnya. Ini sama saja mengganggu pekerjaannya. Namun dia tidak dapat melakukan apapun? jika dia salah melangkah saja, bisa-bisa Edward memecat dirinya.

"Kau sudah selesai?"

"Iya Pak,"

"Duduklah disitu, saya masih memiliki beberapa pekerjaan,"

Loh? Maksudnya gimana ya? Batin Sia bingung tetapi tetap duduk di kursi.

Selama menunggu, dia hanya melihat-lihat sekeliling ruangan yang sudah dia hafal. Bagaimana tidak hafal, dia selalu masuk kesini. Pandangannya berhenti pada Edward yang masih berkutat dengan komputer.

Pesona pria dewasa memang berbeda, Batin Sia.

Edward meletakkan kacamatanya di meja lalu menatap Sia. "Maaf membuat mu menunggu lama,"

Sia hanya terdiam saja mendengar itu. Dia bingung harus menjawab apa. Dia melihat Edward berdiri menghampiri dirinya tetapi dia berhenti sejenak di meja tempat Sia pernah menyusun dokumen. Ada paperbag coklat disitu, Edward mengambilnya kemudian meletakkannya di atas meja kopi dekat kursi tempat Sia duduk.

Sambil mengeluarkan isi paperbag itu, Edward berkata. "Temani saya makan,"

"Eh?" Pandangan Sia tertuju pada makanan yang dibeli oleh Edward.

Anehnya, makanan itu terlihat seperti dua porsi. Sia semakin merasa kurang nyaman sekarang. Sebenarnya apa yang direncanakan oleh pria di depannya ini. Sia semakin dibuat kewalahan karena perbuatannya.

"Ini makanlah," Edward menyodorkan makanan pada Sia. Refleks Sia menerimanya lalu memegang makanan itu.

Sia menatap Edward yang mulai memakan makanannya. Dia melihat Edward yang lahap menyantap Lasagna atau pasta miliknya.

"Berhenti menatap saya, nikmati makananmu," tegur Edward.

Mendengar itu membuat Sia segera ikut menyantap pasta miliknya. Rasanya begitu gurih, manis dan ada pedasnya. Sangat enak, Sia pikir ini pasta yang mahal. Dari bungkusannya saja sudah terlihat kalau makanan ini dari restoran mahal.

"Bagaimana?" tanya Edward penasaran.

"Saya belum mencobanya Pak," balas Sia pelan. Dia memang baru mau menyantap pasta itu tetapi Edward malah bertanya.

"Oh maaf, saya kira kamu telah mencobanya, cobalah,"

Edward menatap Sia untuk menunggu reaksinya. Tanpa Sia ketahui, Edward begitu mempertimbangkan makanan apa yang perlu dia beli tadi.

"Enak," ucap Sia memberi komentar.

"Baguslah,"

Sia mengangguk dan kembali makan dengan pelan. Dia tau makanan ini enak tetapi baginya situasi ini begitu aneh. Dia sedang makan berdua dengan atasannya sedangkan masih ada rekan kerjanya diluar. Bukankah itu tidak adil?

Setelah makan tiga sendok, Sia berhenti dan meletakkan makanan itu dimeja. Perbuatannya itu membuat Edward keheranan.

"Ada apa? apa makanannya bukan seleramu?" Tanya Edward penasaran.

Sia menggeleng. "Bukan seperti itu Pak, hanya saja saya merasa tidak baik untuk tetap makan bersama Anda sedangkan ada rekan-rekan lain yang masih bekerja," jelas Sia yang membuat Edward mengerti.

Pria itu terdiam sejenak. Dia berdiri lalu memasukkan makanan tadi ke dalam paperbag. Setelah itu dia mengambil dokumen kemudian memberikannya pada Sia.

"Ambil ini, tunggu saya di parkiran basemen,"

"Baik Pak," jawab Sia keheranan. Dia tidak tau apa yang akan dilakukan pria ini.

Ketika dia keluar, rupanya masih ada tiga orang rekan kerjanya yang masih bekerja. Mereka bertiga spontan menatap Sia yang keluar sambil membawa dokumen. Kedua mata Sia bertemu dengan salah satu tatapan ketiga rekannya itu.

"Saya duluan," pamit Sia dan dibalas anggukan atau sahutan dari rekannya itu.

Kira-kira hampir 10 menitan Sia menunggu di parkiran bawah hingga akhirnya Edward keluar dari lift.

"Maaf membuat mu menunggu lama, ikut saya,"

Sia mengangguk lalu mengikuti Edward. Dia berpikir pria itu hanya menyuruhnya membawa dokumen ke dalam mobilnya saja namun dugaannya salah.

"Masuklah, saya antar pulang,"

Sia refleks menggeleng. "Tidak perlu Pak," Sia sudah menyiapkan diri untuk menolak keras ajakan Edward lagi.

"Saya memaksa, cepatlah,"

"Saya juga memaksa Pak, sudah sangat cukup Anda mengantar saya pulang selama saya lembur," jelas Sia berusaha tetap sopan.

Edward menatap Sia lalu berkata. "Sekali lagi izinkan saya mengantar mu,"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status