Share

4. Menyudutkan Ava

Ditunjuk dan disudutkan seperti itu oleh Scarlett tentu saja membuat wajah Ava seketika pucat. Ava tak terima jika semua kesalahan itu ditujukan kepadanya, tetapi Ava memang mengakui kalau dia datang dan berniat menyiramkan kopi pada Scarlett.

Semua itu adalah tindakan refleks karena dia begitu sakit hati oleh suami dan sahabat yang sudah mengkhianati Ava sebegitu brutal.

Namun, keributan itu tidak akan berlangsung sedemikian parah jika saja ibu James tidak muncul dan mendorongnya hingga terjatuh, lalu kini penampilan Ava tampak menyedihkan dengan blouse putih dan rok yang basah karena tersiram kopi panas.

Ava tak ingin menyeret lebih banyak orang lagi setelah barusan melihat pramusaji ditindas oleh Scarlett. Sekarang muncul lagi pria asing yang terganggu dengan keributan yang terjadi, dan Ava tak ingin membuat dirinya lebih malu karena menjadi pusat perhatian hampir semua pengunjung.

Meskipun pria bertubuh jangkung yang datang itu berpenampilan formal layaknya seorang eksekutif muda, tetapi dia juga bukan manajer atau pun pemilik restoran yang mungkin bisa membungkam kesombongan Scarlett.

'Pria itu tidak tahu siapa keluarga Lautner,' pikir Ava dengan cemas, khawatir pria itu akan membuat kesalahan dengan menyinggung keluarga Lautner.

"Mohon maaf kalau aku sudah membuat kenyamanan Anda terganggu," kata Ava yang berhasil mengendalikan emosinya tanpa memedulikan James dan yang lain. "Memang aku yang datang ke sini dan tersulut emosi karena memergoki perselingkuhan suami dan sahabatku sendiri. Sungguh disayangkan dan sangat memalukan sampai harus terjadi keributan di tempat—"

"Ya, kamu pergilah bersihkan pakaianmu," pungkas Rick dengan nada rendah seakan-akan tak tega melihat penampilan Ava yang menyedihkan. "Biar aku yang urus mereka."

"Tapi, Tuan—"

"Atau kamu ingin aku yang membantumu membersihkan pakaianmu?" Rick menatap Ava dengan serius tanpa memedulikan kalau wanita itu adalah istri orang lain. "Tentukan pilihanmu."

Ava tertohok oleh senyuman pria itu. Kalau dilihat-lihat, pria itu sangat tampan dan memancarkan aura penuh kharismatik. Akan tetapi, bukan berarti Ava akan melibatkan orang lain untuk menghadapi masalahnya dengan James dan Scarlett.

"Maaf, sebaiknya Anda pergi saja, Tuan," kata Ava skeptis. "Aku bisa menyelesaikan masalahku tanpa harus—"

"Aku tidak memberimu opsi ketiga, Nona." Ketegasan dalam suara Rick terdengar tak ingin menerima bantahan. "Hanya ada dua pilihan. Kamu pergi bersihkan pakaianmu dan membiarkanku menangani mereka, atau membiarkan aku menemani kamu ke toilet? Bagaimana?"

Sialan! Ava menahan umpatan di ujung lidah ketika mendapati pria itu tampak tersenyum geli, sedangkan Scarlett memandangnya dengan tatapan tak senang.

Seakan kehabisan kata-kata dan seluruh energinya sudah habis, Ava langsung berlari ke kamar mandi untuk membersihkan percikan kopi yang mengotori pakaiannya.

Setelah berada di toilet, pada akhirnya tangis Ava tak lagi bisa dikendalikan. Air matanya terus berderai sementara dia membasahi telapak tangan, lalu menepuk-nepuk blousenya yang tersiram kopi.

Penolakan James semalam terus menerabas isi kepala Ava, silih berganti dengan realita yang baru saja dia saksikan.

Bagaimana mungkin dia pernah sebegitu bodoh bisa menjatuhkan hati dan menaruh kepercayaan sepenuhnya pada pria penipu seperti James?

Ava terisak-isak tanpa suara sampai sekujur tubuhnya menggigil gemetaran.

Sekarang, di dalam petak toilet yang begitu sempit ini, apakah ada orang yang akan menyuruh Ava untuk tidur agar bisa melupakan guncangan hidup yang sebegitu hebat?

Sepertinya tidak. Dan untuk itulah Ava membiarkan dirinya dikuasai kesedihan. Setidaknya, untuk kali ini saja Ava ingin meluapkan rasa sakit di hatinya.

Ke depan, Ava perlu lebih tegar untuk menghalau kerasnya roda-roda kehidupan. Terutama karena dia sadar bahwa dirinya butuh hati yang lebih tegar untuk memutuskan berpisah dengan pria yang hanya kepadanya dia menjatuhkan hati.

Setelah beberapa saat menangis hingga rasa pengap di dadanya sedikit berkurang, Ava keluar dari bilik toilet, lalu membasuh wajah di wastafel agar sedikit lebih segar.

Ketika dia hendak keluar dari restoran, Ava tak lagi melihat keberadaan James dan Scarlett di meja mereka.

Untuk itulah dia bergegas pergi dan segera menyetop taksi di tepi jalan.

Sewaktu Ava baru saja masuk ke kursi belakang, di saat bersamaan pula ada orang yang duduk di kursi itu dan terdengar pintu mobil ditutup beriringan.

Ava seketika menoleh dan tersentak mendapati wajah pria asing yang tampak familier berada di taksi yang sama.

"Kamu?!" Ava memekik terkejut dengan suara sengau. "Kenapa kamu ada di sini?!"

"Aku yang lebih dulu menyetop taksi ini, Nona," sahut Rick yang duduk dengan santai sementara air mukanya tampak acuh tak acuh.

"Taksi ini aku yang lebih dulu memberhentikannya!" sahut Ava tak terima.

"Siapa bilang?" sahut Rick datar, dia menyandarkan kepala dengan malas sambil memejamkan mata— sementara kedua lengannya bersilang di depan dada. "Jika tak percaya, kamu bisa bertanya pada sopir siapa yang memberhentikan taksi ini lebih dulu."

Ava tak tahu kesialan apa yang sedang menimpanya hari itu. Rasa-rasanya dia sudah cukup sial mendapati perselingkuhan suaminya, lalu kini harus dihadapkan dengan lelaki asing super angkuh yang tampaknya tak bisa dibantah.

Ava merapatkan bibir menahan kesal, lalu menolehkan pandangannya pada sopir hanya untuk mendengar sopir itu berkata, "Maaf, Nona … tapi Tuan itu yang lebih dulu menghentikanku."

"Tapi kamu berhenti di depanku," Ava menyahut dengan suara tercekik.

"Maaf, tapi seharusnya aku berhenti beberapa meter sebelum di tempatmu berdiri, Nona," sahut sopir tak berdaya. "Tapi siapa yang tahu kalau kakiku saat ini sedang tak bisa berkompromi?"

Ava mengembuskan napas kasar, lalu mengulurkan tangan untuk membuka pintu mobil dan bersiap keluar.

Tiba-tiba saja sebelah pergelangan Ava ditahan oleh Rick dan berkata dengan lembut, "Kamu katakan saja di mana alamatmu. Siapa tahu tujuan kita sama."

"Kamu—"

"Tenang saja, aku bukan sedang mencari keuntungan agar kamu membayarkan ongkos taksi untukku," balas Rick tenang.

Saat Ava akan berbicara, sopir lebih dulu melirik spion dan berinisiatif menambahkan, "Jam istirahat kantor sebentar lagi masuk, mendapatkan taksi agak sedikit sulit. Kurasa benar apa yang dikatakan beliau, Nona."

Mata Ava menyipit curiga. Tampaknya sopir taksi itu ingin mendapatkan keuntungan dengan membawa dua penumpang di taksi yang sama.

Namun, melihat orang-orang berdiri di pinggir jalan yang tampaknya menunggu taksi, Ava juga tak ingin terlambat masuk ke kantor.

Akhirnya dia mengembuskan napas panjang sebelum berkata, "Eternal Biopharma— Distrik Seodaemun."

Ava bersikap waspada dan melirik pria di samping dengan ekor matanya. Pria itu tidak menyebutkan ke mana tujuannya, tetapi taksi langsung melaju setelah Ava menyebutkan alamat perusahaan tempatnya bekerja.

Ava tiba-tiba berpikir bahwa dia tak mungkin bisa berkonsentrasi bekerja, lalu memutuskan akan menghubungi Sarah dan memberitahukan bahwa dia hanya masuk bekerja setengah hari.

Namun, Ava juga tak ingin pulang ke tempat tinggal dia dan James. Mungkin rumah ibunya adalah pilihan yang tepat untuk dia menenangkan pikiran saat ini.

Ava menoleh sekilas ke arah Rick yang memejamkan mata, khawatir kalau perjalanan orang itu akan terganggu. Dia tak tahu mengapa bisa ada satu mobil dengan pria tersebut yang membuatnya terasa sungkan.

Pria itu terlihat pulas sampai Ava semakin canggung untuk memberitahu sopir bahwa dia ingin mengubah alamat tujuannya.

"Kalau ada yang mau kamu katakan, kamu katakan saja."

Suara lembut Rick membuat Ava langsung menoleh dan menatapnya dengan ekspresi terkejut. Barusan sekali pria itu terlihat pulas, tetapi sekarang pria itu malah berbicara seolah mengetahui apa yang ada dalam otak Ava.

Wanita itu ingin bertanya apakah pria itu barusan pura-pura tertidur atau bukan. Namun, yang justru terucap keluar dari mulut Ava lain dengan isi kepala.

"Itu … aku mau pulang ke Worldcup road nomor 25. Apa itu akan menghambat perjalanan Anda?" ujar Ava ragu-ragu. "Aku bisa turun di sini jika Anda merasa—"

"Katakan saja pada sopir," sahut Rick tenang. "Bukan aku yang mengemudi."

Pria itu masih memejamkan mata, tetapi cara bicaranya seakan menunjukkan bahwa taksi yang mereka tumpangi seperti mobil pribadi.

Si sopir yang mendengar percakapan penumpang di belakangnya seketika berbelok saat di perempatan lampu merah. Kemudian suasana menjadi hening sepanjang perjalanan hingga taksi perlahan berhenti di perumahan.

Ava melihat argo taksi dan mengeluarkan uang dari dompet dengan jumlah yang sesuai, tetapi ketika dia akan memberikan pada sopir, Rick kemudian terbangun dan melambaikan tangan pada Ava sebagai isyarat bahwa pria itu yang akan membayar.

"Perjalanannya belum berakhir, Nona," kata Rick yang entah sejak kapan mengeluarkan dompet dan mencabut selembar kartu nama, lalu memberikan pada Ava. "Kalau kamu butuh bantuan untuk menangani masalah di restoran tadi, kamu bisa menghubungiku."

Ava mengedip-ngedip mata, agak terkejut mendengar pria itu membahas masalah yang terjadi di restoran.

Saat Ava akan pergi dari restoran, dia memang tidak melihat keberadaan James dan Scarlett. Namun, Ava juga ingat kalau pria itu masih bersama mereka ketika dia pergi ke toilet.

"Apa mereka membuat keributan … mm, maksudku, kenapa kamu … ah, sebenarnya—"

"Untuk bicara saja kamu sangat lambat," komentar Rick, lalu menyelipkan kartu nama di antara lembaran uang dalam genggaman Ava. "Kamu hanya perlu menghubungiku kalau memang masalah itu—"

"Tapi aku tidak mengenal—"

"Untuk itulah aku memberimu kartu namaku. Kamu bisa mengenalku."

Ava menelan ludah dengan susah payah. Pria itu terlalu pandai menukas ucapan orang.

"Kalau begitu, aku akan mengganti ongkos taksi di lain waktu," kata Ava akhirnya dengan sopan. "Terima kasih untuk hari ini."

"Hmm," gumam Rick sambil mengamati samar-samar lesung pipi Ava saat wanita itu tersenyum tulus.

Setelah Ava turun dan menutup pintu, Rick masih mengamati punggung ramping wanita itu perlahan menjauh— sedangkan sorot mata yang syarat akan rasa sakit dari Ava seolah terekam jelas dalam benak Rick.

Tanpa sadar, jemarinya mengepal erat hingga manik matanya kian menggelap dan berkilat-kilat.

"Tuan Muda, kamu hampir saja membuatku tak bisa bernapas," ujar Felix dari balik kemudi. "Bisa-bisanya kamu menyuruhku menyiapkan taksi hanya demi Nona Ludovic. Kenapa tidak—"

"Apa menurutmu Ava akan memberhentikan Limosin- ku di pinggir jalan?"

Felix sama saja cari mati jika berani menyahut lagi ucapan tegas Rick.

Meski begitu, Felix tetap bertanya dengan hati-hati, "Apa sekarang kita akan kembali ke rumah sakit? Atau pergi ke perusahaan?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status