"Tunggu!"
James mengulas senyum penuh kemenangan karena dia tahu betul kalau sang istri tak bisa jauh darinya.Sambil mempertahankan senyum lebar, James berbalik menghadap Ava dan berkata dengan percaya diri, "Lihatlah, aku belum jauh pergi, kamu sudah memanggilku. Kamu memang tak bisa jauh dariku, Ava. Aku tahu benar kalau kamu membutuhkanku."Ava mendengkus dingin. "Akan aku buktikan kalau aku bisa hidup jauh lebih baik setelah terlepas dari pria busuk sepertimu!"Setelah mengatakan itu, Ava menarik lepas cincin pernikahan yang melingkari jari manisnya. Dengan air muka mengeras dia melemparkan cincin tersebut ke wajah James, lalu cincin itu terjatuh dan berdenting di atas lantai."Bawalah pergi cincin pernikahan itu!" ujar Ava tegas. "Pergi dan bawa semua kebusukanmu, James. Aku membencimu dengan segenap jiwaku!"Setelah melemparkan cincin pernikahannya, Ava tak ingin melihat wajah James lagi dan langsung menutup pintu keras-keras.Dia berdiri gemetaran, bersusah payah agar tidak menjatuhkan air matanya lagi. Terutama di hadapan sang ibu yang masih berdiri di belakangnya.Air mata Ava menyumbat kerongkongan sampai dia nyaris kesulitan untuk bernapas."Sekarang Ibu sudah melihat kalau aku tidak bicara omong kosong bukan?" tanya Ava akhirnya tanpa berbalik menghadap sang ibu. "Apa kamu masih akan melarangku untuk bercerai dari James?"Tak ada nada sindiran dalam ucapan Ava. Bahkan, suaranya cenderung datar tanpa emosional ketika dia menambahkan ujar, "Apa kamu akan menyuruhku tidur agar bisa melupakan apa yang baru saja terjadi?"Tarikan napas Maria dari belakang Ava terdengar berat dan lelah. Bohong jika Maria tidak terluka melihat Ava diperlakukan seperti itu oleh James.Ada sesuatu yang menyesakkan dada sampai Maria mengatupkan bibir, menahan emosi pada James yang tak sepenuhnya bisa terlepas. Tangannya terbuka dan terkepal sampai buku-buku kulitnya memucat.Dia berbalik menuju koridor ke arah dapur, tetapi Maria menyempatkan diri untuk berkata, "Tak ada yang melarangmu untuk menangis. Aku tahu rasanya."Saat terdengar langkah kaki ibunya menjauh pergi, Ava menggigit bibir ketika hidungnya tiba-tiba berair. Pandangannya mengabur tertutup genangan bening air mata di kedua kelopak matanya.Kini benaknya bukan saja hanya dipenuhi oleh bayang-bayang kebersamaan James dan Scarlett, hinaan tanpa perasaan yang diucapkan suaminya beberapa menit lalu, atau pun perkataan James yang dengan tidak tahu malu berani mengungkit-ungkit biaya selama mereka hidup bersama.Namun, Ava mulai menyadari satu hal yang selama ini disembunyikan oleh ibunya. Tanpa bisa ditahan karena terdorong rasa penasaran, Ava melangkahkan kaki menuju dapur dan mendapati sang ibu sedang berdiri menuang air minum."Dia mengkhianatimu seperti James mengkhianatiku?"Pertanyaan Ava berhasil membuat tangan Maria agak gemetaran. Meski Ava tidak menyebut namanya, tetapi Maria tahu kalau orang yang dimaksud Ava adalah suami Maria."Jangan membahas—""Dia pergi meninggalkan kita karena dia berkhianat?" Ava berkeras ingin mendapatkan jawaban."Ava!" Maria berbalik dan memeloti anak perempuannya sambil meletakkan gelas di atas meja. "Aku sudah melupakannya. Itu sudah belasan tahun berlalu, dan jangan ungkit—""Aku bukan anak kecil berusia enam tahun yang bisa Ibu suruh tidur agar tidak banyak bertanya tentang ayahku," pungkas Ava nyeri. "Kamu belum melupakannya. Dan sekarang aku tahu kenapa kamu selalu berpesan pada James agar tidak mengkhianatiku. Semua itu karena kamu juga—""Ya! Dia mengkhianatiku dan pergi dengan perempuan lain yang sedang mengandung anaknya!" Maria akhirnya membentak Ava dengan napas bergemuruh. "Aku tidak memberitahumu hanya agar kamu tidak membencinya. Aku terlalu egois sampai berpikir untuk berpisah darinya, dan menduga aku mampu menghidupi kamu sendiri dengan hanya berjualan bunga. Tapi keputusanku ternyata keliru. Salahku yang tak bisa lebih sabar menghadapi suamiku, lalu kita hidup dalam kemiskinan sampai si brengsek James itu berani-beraninya menindas—""Bukan salahmu," pungkas Ava buru-buru. "Kamu sama sekali tidak pantas disalahkan karena keadaan kita. Kemiskinan bukanlah sesuatu yang mau dipilih seseorang ..."Ava menggantung kalimatnya sejenak, tatapannya bersirobok dengan manik mata lelah sang ibu seakan-akan mereka berdua tahu apa yang akan dihadapi Ava sekarang."Ibu jangan khawatir," lanjut Ava sambil mengulas senyum dengan susah payah. "Aku masih muda dan bisa bekerja lebih giat lagi sampai aku bisa lepas dari James. Bila perlu, aku akan mencari pekerjaan tambahan untuk—""Siapa yang akan memperkerjakan orang yang hanya memiliki ijazah SMA?" pungkas Maria frustrasi. "Kamu bisa masuk di Eternal Pharma juga atas bantuan Sarah ..."Maria mengembuskan napas kasar seakan dirinya muak dengan keadaan yang selalu berhubungan dengan uang. Dan menantunya yang bajingan itu bisa-bisanya meminta sejumlah uang yang besar jika Ava ingin bercerai.Mendengar Ava dikhianati saja rasanya sudah cukup membuat ulu hati Maria begitu nyeri. Seolah tak cukup menyakiti hati putri semata wayangnya, James seakan sengaja ingin mempermainkan karena tahu mereka tak akan sanggup mengeluarkan uang sebesar satu juta dolar."Begini saja," kata Maria akhirnya. "Aku tak akan membiarkanmu terpenjara oleh si James yang gila itu. Aku akan coba untuk mengajukan pinjaman pada bankir yang—""Jangan gila!" tukas Ava marah. "Jangan menambah panjang daftar bebanmu, Bu. Utang tujuh tahun lalu beserta akumulasi bunga-bunga karena tidak mencicil sepeserpun selama 4 tahun bahkan masih belum selesai sampai sekarang. Jangan pikirkan gertakan pria busuk itu. Aku akan mencari cara lain agar dia tetap menceraikanku karena aku tak mau berbagi suami dengan sahabatku sendiri."Maria mengembuskan napas panjang sambil menepuk-nepuk pelan dadanya dengan kepalan tangan."Ya Tuhan, gadis itu ... Scarlett adalah gadis cantik dan kaya dari keluarga Lautner. Segala keinginan dalam hidupnya pasti mudah didapat dengan uang kekayaan keluarga Lautner yang tidak akan habis sampai tujuh turunan. Tapi kenapa dia sampai hati harus menginginkan apa yang menjadi kepunyaan—""Sudahlah, sudah, Bu." Ava tersenyum pahit. "Faktanya, aku tidak tahu sebenarnya siapa orang ketiga di antara kami, tapi orang yang paling busuk sudah jelas adalah James. Dia tahu benar kalau aku bergaul cukup baik dengan teman kampus, meski kuliahku tidak selesai. Tapi aku tak menduga kalau James ...."Ucapan Ava terputus sewaktu terdengar sayup-sayup suara ponselnya dari dalam ruangan. Dia bergegas kembali dari dapur, lalu membuka tasnya untuk mengambil ponsel.Saat melihat nama Sarah muncul di layar ponsel, Ava teringat bahwa dia belum mengabari kalau dirinya hanya masuk bekerja setengah hari.Untuk itulah dia dengan cemas menjawab panggilan tersebut dan disambut suara Sarah yang tak sabaran, "Ava, kamu kenapa tidak kembali setelah jam makan? Di mana laporan yang aku suruh kumpulkan?""Di mana laporan yang aku suruh kumpulkan?"Ava memegangi kepala yang rasanya hampir meledak. Gara-gara masalahnya dengan James Ava sampai lupa dan tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaannya. "Sarah, maafkan aku," kata Ava penuh sesal. "Aku sedang mengalami masalah sampai lupa menyelesaikan laporan yang sejak pagi kamu minta buatkan, aku sekarang ada di rumah ibuku dan—""Mati aku!" gerutu Sarah dari seberang panggilan. "Apa kamu tidak tahu kalau sekarang ini mendekati akhir bulan, Ava? Aku butuh laporan itu karena nanti sore akan diserahkan pada tim audit. Kamu tahu kan akhir-akhir ini terjadi kasus penggelapan penjualan vaksin di perusahaan? Ya Tuhan, Ava ... kamu membuatku berada dalam masalah besar."Suara Sarah tidak terdengar marah sedikit pun, tetapi tetap saja Ava merasa bersalah. "Sarah, maaf, tadinya aku berniat masuk kerja setengah hari. Tapi sekarang aku akan pergi ke perusahaan dan—""Ava, kamu ada masalah apa, Sayang? Terlepas dari posisiku di perusahaan yang sebagai a
Scarlett yang 4 bulan lalu bersenang-senang bersama kita saat pesta ulang tahunnya?"Ava mengangguk kecil. Dia tidak ingin banyak bicara karena itu artinya sama saja dengan mengorek-ngorek luka sendiri. Dia butuh menenangkan diri agar emosinya tidak meledak-ledak.Sarah tak tahu apa yang saat ini dia rasakan. Antara percaya dan tidak percaya pada apa yang diungkapkan Ava tentang Scarlett dan James."James terkutuk!" Akhirnya Sarah menggeram kesal saat menyadari kalau selama ini dia memiliki penilaian yang salah tentang suami Ava sekaligus senior mereka saat di universitas.Bahkan, Sarah dan Scarlett tahu benar seperti apa saat James mendekati Ava agar mau menerima cintanya. Jadi, ketika Ava memutuskan untuk menerima James setelah pria itu merayunya bertahun-tahun, Sarah ingat dirinya dan Scarlett jelas berbahagia untuk Ava. Sampai melabeli Ava sebagai gadis beruntung karena mendapatkan pria setampan James hingga membuat para perempuan iri.Namun, sekarang Sarah sadar kalau Scarlett ya
Ketika Ava menjawab pertanyaan Sarah dengan anggukan, Sarah menuturkan ujar, "Apa menurutmu ini tidak terlalu janggal, Ava? Rasanya seolah-olah kamu sengaja dijebak agar terlihat buruk di mata James, lalu dia akan mengibarkan bendera kemenangan karena berhasil menyingkirkanmu tanpa memperlihatkan caranya yang licik?"Ava berhenti makan dan memikirkan apa yang diduga Sarah. Semuanya terasa masuk akal, terutama ketika mengingat kalau James membandingkan Ava dan Scarlett yang sudah berbaik hati dan menerima posisinya sebagai istri kedua.Si pengirim pesan misterius itu memang Scarlett, mungkin kini Ava setuju dengan pendapat Sarah. Scarlett memang sengaja memancing dia agar datang dan meledakkan emosinya di depan James sampai dia tak bisa mengendalikan diri ingin menyiram Scarlett, lalu pria itu melindungi Scarlett dan bayi dalam kandungannya. Scarlett memang luar biasa. Sahabatnya itu memang terlalu licik sampai bisa menghancurkan kebahagiaan Ava hanya dalam satu gerakan, yaitu pesan
"James?"Ava dibuat terkejut ketika mengetahui bahwa pria yang membekap dan menyeretnya ke mobil adalah calon mantan suaminya sendiri. Bahkan, James dengan marah mencengkram pergelangan tangan Ava agar tidak melompat turun dari mobil sementara pria itu mengemudi. "Kau gila, James!" Ava meronta-ronta dari cengkraman James. "Lepaskan aku!""Tidak akan!" bentak James dengan kemarahan yang tidak lagi disembunyikan. "Karena kamu tidak mau diajak pulang dengan cara baik-baik, maka jangan salahkan aku jika menjadi sedikit kejam kepadamu.""Sedikit kejam kau bilang?" Ava mendengus dingin. "Setelah mengkhianatiku, dua kali menamparku, dan membawaku dengan cara diculik seperti ini, kau masih bilang yang kamu lakukan ini sedikit kejam? Siapa kamu sebenarnya? Kenapa kamu lebih mengerikan daripada iblis yang muncul dari kegelapan?""Tutup mulutmu, Mavesha Ludovic!" James spontan mencengkram belakang rambut Ava hingga wanita itu merasakan lehernya nyaris patah. "Apa kamu tak bisa lebih patuh sedik
Tubuh Ava tergolek di atas brankar, didorong menuju ruang observasi, disusul para medis yang berdatangan kerja cepat saat melihat Rick datang membawa pasien.Ava menjalani pemeriksaan mengkhawatirkan dan mendetail, bertolak belakang dengan keinginan Ava untuk pulang, lantas dia dialihkan ke bangsal VIP."Aku ingin pulang," Ava melayangkan protes pada perawat. "Ini sungguh tidak perlu. Aku tahu kondisiku baik-baik saja."Rick berjalan masuk dengan langkah panjang, menyebarkan energi penuh semangat yang tak terbantahkan. Ruangan serba putih dengan dekorasi mantap itu seolah-olah dipenuhi oleh atmosfer asing yang seketika mengusir segala suasana menenangkan, sekaligus membuat perawat berangsur keluar dari kamar pasien."Kenapa aku ada di sini?" gumam Ava, suaranya agak sedikit menggigil ketakutan lantaran pria bertubuh jangkung itu berada di sana. "Maksudku ... kakiku hanya menginjak pecahan kaca, dan mereka sudah membersihkannya. Kenapa harus dirawat?""Telapak kakimu baru saja dijahit k
"Menikah denganmu?" Mulut Ava ternganga tak percaya mendengar ucapan Rick. "Ya," Rick menyahut singkat. "Kamu tidak mau?""Aku masih berstatus sebagai istri orang." Meski Ava memang ingin bercerai dari James, tetapi bukan berarti dia juga langsung ingin menikah dengan pria lain. Lagi pula, proses gugatan perceraian pun belum diajukan, dan Ava tak memiliki uang satu juta dolar agar James menceraikannya. "Oh, jadi kamu lebih senang mempertahankan pernikahanmu yang tak sehat itu, ya?" cibir Rick dingin. "Atau, apa kamu sangat membutuhkan suamimu yang bajingan itu sampai tak ingin bercerai darinya?""Aku tidak butuh pria seperti itu. Hanya ada beberapa tekanan yang membuatku tak bisa langsung mengurus perceraian. Apa kamu mengerti?" Ava menghela napas panjang-panjang, dan berusaha tenang saat menjelaskan hal tersebut kepada Rick. "Hmm, kebetulan sekali," komentar Rick sambil mengusap-usap bulu janggut usia dua hari dari rahangnya yang tegas. "Aku juga sedang mengalami sedikit tekanan
"Aku hanya memberimu waktu satu hari untuk mempertimbangkan tawaranku. Kamu bisa menghubungiku nanti. Kamu masih menyimpan kartu namaku, bukan?""Ya ... ya!" Ava mengangguk-angguk. "Aku masih menyimpannya.""Oke, kamu bisa menghubungiku setelah membuat keputusan."Dan setelah mengatakan itu, Rick langsung pergi dari bangsal pasien untuk menjawab panggilan. Selanjutnya, Ava merasa lega karena Rick masih tidak kembali dalam waktu satu jam. Untuk itulah dia memanfaatkan situasi tersebut agar bisa keluar dari rumah sakit. Lagi pula, Ava bukan pasien pesakitan yang harus terbaring di ranjang pasien VIP. Dia hanya mendapatkan tiga jahitan kecil di telapak kaki kirinya akibat pecahan kaca yang menancap terlalu dalam. Butuh upaya keras bagi Ava untuk meyakinkan perawat bahwa dia ingin keluar sekarang. Untungnya seluruh biaya administrasi sudah diselesaikan oleh Rick. Dini hari menjelang fajar Ava baru tiba di rumah ibunya, dan beruntung sang ibu sudah tidur hingga dia tak perlu menjelaskan
Saat Ava turun dari taksi, dia hampir tak bisa mempercayai bagaimana toko bunga ibunya hangus terbakar. Namun, perhatian Ava saat ini hanya tertuju pada sekumpulan orang yang mengerumuni Maria. Ibunya yang tercinta itu meraung-raung di trotoar, ditenangkan oleh si pemilik toko koran dan aksesoris yang jaraknya hanya beberapa meter dari toko bunga Maria.Oh, Tuhan! Hati Ava seperti ditusuk-tusuk belati melihat bagaimana sang ibu duduk di atas tembok kasar, menepuk-nepuk dadanya seolah dia tak terima sumber mata pencariannya dilenyapkan seperti disengaja. "Ibu ..." Ava membelah kerumunan orang dengan napas bergemuruh, lalu duduk tersungkur memeluk ibunya. "Kamu tenanglah, kita akan melapor polisi agar mereka mencaritahu siapa yang membakar toko kita—""Omong kosong!" Getaran penuh rasa sakit mewarnai suara Maria saat meremas bahu Ava. "Semua tabunganku yang disimpan di laci konter bahkan lenyap terbakar. Bagaimana mungkin kita akan bisa melapor saat kita tak punya uang?" Lagi-lagi ma