Share

7. Luka Yang Sama

"Tunggu!"

James mengulas senyum penuh kemenangan karena dia tahu betul kalau sang istri tak bisa jauh darinya.

Sambil mempertahankan senyum lebar, James berbalik menghadap Ava dan berkata dengan percaya diri, "Lihatlah, aku belum jauh pergi, kamu sudah memanggilku. Kamu memang tak bisa jauh dariku, Ava. Aku tahu benar kalau kamu membutuhkanku."

Ava mendengkus dingin. "Akan aku buktikan kalau aku bisa hidup jauh lebih baik setelah terlepas dari pria busuk sepertimu!"

Setelah mengatakan itu, Ava menarik lepas cincin pernikahan yang melingkari jari manisnya. Dengan air muka mengeras dia melemparkan cincin tersebut ke wajah James, lalu cincin itu terjatuh dan berdenting di atas lantai.

"Bawalah pergi cincin pernikahan itu!" ujar Ava tegas. "Pergi dan bawa semua kebusukanmu, James. Aku membencimu dengan segenap jiwaku!"

Setelah melemparkan cincin pernikahannya, Ava tak ingin melihat wajah James lagi dan langsung menutup pintu keras-keras.

Dia berdiri gemetaran, bersusah payah agar tidak menjatuhkan air matanya lagi. Terutama di hadapan sang ibu yang masih berdiri di belakangnya.

Air mata Ava menyumbat kerongkongan sampai dia nyaris kesulitan untuk bernapas.

"Sekarang Ibu sudah melihat kalau aku tidak bicara omong kosong bukan?" tanya Ava akhirnya tanpa berbalik menghadap sang ibu. "Apa kamu masih akan melarangku untuk bercerai dari James?"

Tak ada nada sindiran dalam ucapan Ava. Bahkan, suaranya cenderung datar tanpa emosional ketika dia menambahkan ujar, "Apa kamu akan menyuruhku tidur agar bisa melupakan apa yang baru saja terjadi?"

Tarikan napas Maria dari belakang Ava terdengar berat dan lelah. Bohong jika Maria tidak terluka melihat Ava diperlakukan seperti itu oleh James.

Ada sesuatu yang menyesakkan dada sampai Maria mengatupkan bibir, menahan emosi pada James yang tak sepenuhnya bisa terlepas. Tangannya terbuka dan terkepal sampai buku-buku kulitnya memucat.

Dia berbalik menuju koridor ke arah dapur, tetapi Maria menyempatkan diri untuk berkata, "Tak ada yang melarangmu untuk menangis. Aku tahu rasanya."

Saat terdengar langkah kaki ibunya menjauh pergi, Ava menggigit bibir ketika hidungnya tiba-tiba berair. Pandangannya mengabur tertutup genangan bening air mata di kedua kelopak matanya.

Kini benaknya bukan saja hanya dipenuhi oleh bayang-bayang kebersamaan James dan Scarlett, hinaan tanpa perasaan yang diucapkan suaminya beberapa menit lalu, atau pun perkataan James yang dengan tidak tahu malu berani mengungkit-ungkit biaya selama mereka hidup bersama.

Namun, Ava mulai menyadari satu hal yang selama ini disembunyikan oleh ibunya. Tanpa bisa ditahan karena terdorong rasa penasaran, Ava melangkahkan kaki menuju dapur dan mendapati sang ibu sedang berdiri menuang air minum.

"Dia mengkhianatimu seperti James mengkhianatiku?"

Pertanyaan Ava berhasil membuat tangan Maria agak gemetaran. Meski Ava tidak menyebut namanya, tetapi Maria tahu kalau orang yang dimaksud Ava adalah suami Maria.

"Jangan membahas—"

"Dia pergi meninggalkan kita karena dia berkhianat?" Ava berkeras ingin mendapatkan jawaban.

"Ava!" Maria berbalik dan memeloti anak perempuannya sambil meletakkan gelas di atas meja. "Aku sudah melupakannya. Itu sudah belasan tahun berlalu, dan jangan ungkit—"

"Aku bukan anak kecil berusia enam tahun yang bisa Ibu suruh tidur agar tidak banyak bertanya tentang ayahku," pungkas Ava nyeri. "Kamu belum melupakannya. Dan sekarang aku tahu kenapa kamu selalu berpesan pada James agar tidak mengkhianatiku. Semua itu karena kamu juga—"

"Ya! Dia mengkhianatiku dan pergi dengan perempuan lain yang sedang mengandung anaknya!" Maria akhirnya membentak Ava dengan napas bergemuruh.

"Aku tidak memberitahumu hanya agar kamu tidak membencinya. Aku terlalu egois sampai berpikir untuk berpisah darinya, dan menduga aku mampu menghidupi kamu sendiri dengan hanya berjualan bunga. Tapi keputusanku ternyata keliru. Salahku yang tak bisa lebih sabar menghadapi suamiku, lalu kita hidup dalam kemiskinan sampai si brengsek James itu berani-beraninya menindas—"

"Bukan salahmu," pungkas Ava buru-buru. "Kamu sama sekali tidak pantas disalahkan karena keadaan kita. Kemiskinan bukanlah sesuatu yang mau dipilih seseorang ..."

Ava menggantung kalimatnya sejenak, tatapannya bersirobok dengan manik mata lelah sang ibu seakan-akan mereka berdua tahu apa yang akan dihadapi Ava sekarang.

"Ibu jangan khawatir," lanjut Ava sambil mengulas senyum dengan susah payah. "Aku masih muda dan bisa bekerja lebih giat lagi sampai aku bisa lepas dari James. Bila perlu, aku akan mencari pekerjaan tambahan untuk—"

"Siapa yang akan memperkerjakan orang yang hanya memiliki ijazah SMA?" pungkas Maria frustrasi. "Kamu bisa masuk di Eternal Pharma juga atas bantuan Sarah ..."

Maria mengembuskan napas kasar seakan dirinya muak dengan keadaan yang selalu berhubungan dengan uang. Dan menantunya yang bajingan itu bisa-bisanya meminta sejumlah uang yang besar jika Ava ingin bercerai.

Mendengar Ava dikhianati saja rasanya sudah cukup membuat ulu hati Maria begitu nyeri. Seolah tak cukup menyakiti hati putri semata wayangnya, James seakan sengaja ingin mempermainkan karena tahu mereka tak akan sanggup mengeluarkan uang sebesar satu juta dolar.

"Begini saja," kata Maria akhirnya. "Aku tak akan membiarkanmu terpenjara oleh si James yang gila itu. Aku akan coba untuk mengajukan pinjaman pada bankir yang—"

"Jangan gila!" tukas Ava marah. "Jangan menambah panjang daftar bebanmu, Bu. Utang tujuh tahun lalu beserta akumulasi bunga-bunga karena tidak mencicil sepeserpun selama 4 tahun bahkan masih belum selesai sampai sekarang. Jangan pikirkan gertakan pria busuk itu. Aku akan mencari cara lain agar dia tetap menceraikanku karena aku tak mau berbagi suami dengan sahabatku sendiri."

Maria mengembuskan napas panjang sambil menepuk-nepuk pelan dadanya dengan kepalan tangan.

"Ya Tuhan, gadis itu ... Scarlett adalah gadis cantik dan kaya dari keluarga Lautner. Segala keinginan dalam hidupnya pasti mudah didapat dengan uang kekayaan keluarga Lautner yang tidak akan habis sampai tujuh turunan. Tapi kenapa dia sampai hati harus menginginkan apa yang menjadi kepunyaan—"

"Sudahlah, sudah, Bu." Ava tersenyum pahit. "Faktanya, aku tidak tahu sebenarnya siapa orang ketiga di antara kami, tapi orang yang paling busuk sudah jelas adalah James. Dia tahu benar kalau aku bergaul cukup baik dengan teman kampus, meski kuliahku tidak selesai. Tapi aku tak menduga kalau James ...."

Ucapan Ava terputus sewaktu terdengar sayup-sayup suara ponselnya dari dalam ruangan. Dia bergegas kembali dari dapur, lalu membuka tasnya untuk mengambil ponsel.

Saat melihat nama Sarah muncul di layar ponsel, Ava teringat bahwa dia belum mengabari kalau dirinya hanya masuk bekerja setengah hari.

Untuk itulah dia dengan cemas menjawab panggilan tersebut dan disambut suara Sarah yang tak sabaran, "Ava, kamu kenapa tidak kembali setelah jam makan? Di mana laporan yang aku suruh kumpulkan?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status