Share

Menjadi suami istri

"Bagaimana para saksi, sah?"

"Sah!"

"Sah!"

Perkataan Pak penghulu yang disambut kata "sah" dari para saksi menegaskan jika Azam telah selesai mengikrarkan ijab kabul. Artinya Alena kini telah resmi menjadi istri sah dari seorang Azam Dirgantara.

Azam menatap Alena yang duduk disampingnya kemudian mengulurkan tangannya kehadapan wanita itu. Alena  sempat terdiam kaget mendapati perlakuan Azam.

Detik berikutnya gadis itu meraih tangan Azam. Mencium punggung tangan pria yang kini sudah sah menjadi suaminya.

Tiba-tiba saja air mata Alena meluncur tak tertahankan. Bayangan wajah sang kekasih begitu nyata dimatanya.

Sungguh, Alena tak tahu bagaimana reaksi sang kekasih. Saat dia tahu jika dirinya sudah menikah.

"Jangan menangis aku tidak suka melihat air mata!" bisik Azam pada Alena seketika membuat wanita berparas cantik itu tersentak kaget.

"Ma-af" Alena tergagap, kemudian dengan cepat menghapus air matanya.

"Baik Tuan Azam, Nona Alena, silahkan tanda tangani buku nikahnya," ujar pak penghulu seraya menyodorkan buku nikah kehadapan Azam dan Alena.

Setelah menandatangani buku nikah, Azam pun langsung mengakhiri acara pernikahannya. Pria itu tak ingin berlama-lama larut dalam acara pernikahannya.

"Terima kasih Pak Hendro, besok Anda bisa datang ke kantor." Azam menjabat tangan Hendro seraya tersenyum penuh kemenangan.

"Baik Nak Azam besok saya—" ujar pak Hendro dengan senyum sumringah. Namun, sayangnya Azam dengan cepat memotong perkataannya.

"Tetap panggil saya Tuan muda, dan jangan berpikir setelah saya menikahi keponakan Anda, Anda bisa memanggil saya seenaknya. Heh, tidak ada yang berubah kecuali kerjasama kita mengerti." Azam berkata penuh penekanan mengasakan jika tidak ada yang berubah dari hubungannya dengan Hendro.

"I-iya Tuan muda maafkan saya," gagap Hendro seraya menunduk malu.

Sungguh pria paruh baya itu tak menyangka jika sang tuan muda masih saja sulit untuk ia jangkauan. Meski saat ini Alena keponakannya sudah menjadi istri Azam.

"Zen suruh Pak Aryo mengantar mereka pulang," titah Azam pada Zen untuk meminta Aryo supir pribadi di rumahnya untuk mengantar Hendro dan keluarganya pulang.

"Baik Tuan muda," jawab Zen kemudian menghubungi nomer Arya sang sopir pribadi untuk mengantar Hendro dan keluarganya.

Hendro dan keluarganya pun kembali kekediaman mereka, meninggalkan Alena di rumah Azam. Isak tangis pun kembali pecah saat Alena mengantar paman, bibi dan sepupunya masuk kedalam mobil.

Azam menatap Alena yang terlihat begitu sedih. Namun, sayangnya tatapan Azam bukanlah tatapan iba.

Pria itu justru mencibir dalam hati, melihat kesedihan Alena saat keluarga Hendro meninggalkan kediamannya. Pria berparas tampan itu paham dan tahu betul hubungan Alena dengan keluarga Hendro.

Tak ada perhatian apalagi kasih sayang untuk Alena selama gadis itu tinggal disana. Azam begitu heran mengapa Alena begitu sedih, padahal orang-orang itu tak ada yang menyayanginya.

"Ikut aku!" Azam tak tahan lagi melihat Alena yang terus berdiri menatap mobil yang membawa keluarga Hendro, meski mobil itu sudah tak terlihat.

Azam menyeret tangan Alena. Membawa gadis itu kelantai atas tempat dimana kamarnya berada.

"Akhh!" teriak Alena ketika tubuhnya dilempar kasar oleh Azam keatas ranjang.

"Berhenti menangis! Sudah kubilang aku tidak suka tangisanmu!" Azam berkata seraya mencengangkan dagu Alena.

Tatapan pria itu begitu tajam dan menakutkan. Sementara, Alena hanya bisa terdiam dan seketika menghentikan tangisnya.

"Dasar tidak berguna!" Azam berkata dengan kesal seraya menghempaskan wajah Alena.

Pria itu kemudian melangkah dengan wajah penuh kekesalan. Meninggalkan Alena sendiri di kamarnya.

Sepeninggal Azam, Alena kembali terisak meratapi jalan hidupnya. Bayang-bayang kenangan dan janji-janji yang ia ucapkan bersama Jonatan sang kekasih terus saja berputar. Alena tak menyangka jika hidupnya akan berubah begitu drastis hanya dalam hitungan jam.

Tok!

Tok!

Tok!

Ketukan pintu terdengar memecah kesedihan Alena. Tangisnya segera ia hentikan, kemudian bangkit melangkah membuka pintu.

"Non, maaf saya mengantarkan pakaian untuk Non Alena, dan kata Tuan Azam ... Non diminta untuk segera membersihkan diri dan mengganti pakaian," ujar wanita paruh baya yang merupakan pimpinan asisten rumah tangga dikediaman Azam.

"Terima kasih Bu." Alena berucap seraya tersenyum tipis.

"Panggil saya Mbok Nani Non, kalau Non perlu apa-apa jangan sungkan minta aja sama Mbok ya," ujar wanita paruh baya itu lagi seraya menggenggam tangan Alena.

Asisten rumah tangga bersama Nani itu begitu iba melihat Alena. Mbok Nani sudah tahu jika pernikahan yang terjadi saat ini adalah pernikahan paksa.

"Sekali lagi terima kasih Mbok Nani." Air mata Alena kembali meluncur saat mendengar kata-kata dari Mbok Nani.

Alena seakan memiliki dukungan meski wanita paruh baya yang berdiri dihadapannya itu hanyalah seorang asisten rumah tangga. Sejak kedua orang tuanya meningal Alena belum pernah mendapat dukungan dari orang-orang sekitarnya kecuali dari Jonatan sang kekasih.

"Ya sudah Non cepat bersih-bersih abis itu turun buat makan malam," ujar Mbok Nani lembut, seraya pergi meninggalkan Alena.

Alena kemudian bergegas membersihkan diri. Selang beberapa menit kemudian wanita berparas cantik itu sudah terlhat freh.

Alena kemudian melangkah turun menuju ruang makan. Di ruang makan, sudah berdiri beberapa pelayan yang siap melayaninya.

Dengan ragu Alena mendudukan dirinya di kursi meja makan. Namun, wanita itu tak langsung menyendok hidangan dihadapannya.

"Silakan Non," ujar Mbok Nani seraya menyendokkan nasi ke dalam piring Alena.

"Sudah cukup Mbok, terima kasih biar saya saja." Alena berkata dengan senyum canggungnya. Sungguh ia tak bisa dilayani, apalagi oleh orang yang lebih tua darinya.

"Baik Non, makan yang banyak ya, jika ada makanan yang ingin Non makan bilang saja nanti si mbok buatkan," ujar mbok Nani membalas senyum Alena. Alena mengangguk kemudian memulai acara makannya.

Setelah selesai makan, Alena kemudian melangkah kembali ke kamar Azam. Wanita itu duduk di pinggir ranjang tak  tahu harus melakukan apa.

Alena pun meraih ponselnya yang terletak diatas nakas. Dengan iseng Alena membuka galeri fotonya.

Alena melihat kembali foto-foto dirinya bersama Jonatan. Senyum tipisnya mengembang saat melihat salah satu foto, dimana ia dan Jonatan tengah duduk disebuah ayunan.

"Permisi Non, apa Non Alena sudah tidur?" tanya mbok Nani dari luar.

"Belum Mbok, sebentar." Alena menaruh kembali ponselnya kemudian bergegas membuka pintu. 

"Ada apa Mbok?" tanya Alena begitu ia membuka pintu.

"Ini Non, dari Tuan, katanya sebentar lagi Tuan akan segera pulang. Tuan meminta Non, untuk pakai ini." Mbok Nani berujar seraya menyerahkan peper bag itu pada Alena. 

"Apa ini Mbok?" ucap Alena penuh tanda tanya.

"Ndak tahu Non, em ... Ya sudah si Mbok tinggal dulu ya Non." Mbok Nani mengelus tangan Alena setelah itu wanita paruh baya itu pun pergi meninggalkan kamar Alena.

Alena tersenyum tipis, kemudian kembali masuk kedalam kamarnya. Wanita berparas cantik itu langsung mengeluarkan isi paper  bag itu. 

Alangkah terkejutnya Alena ketika wanita itu melihat sebuah lingerie berwarna hitam yang terlihat begitu transparan. Matanya melotot dengan mulut yang menganga, Alena benar-benar tak percaya jika Azam menyuruhnya memakai lingerie tipis itu. 

"Tidak! Tidak! Aku tidak akan pernah memakai ini apalagi dihadapannya," gumam Alena menolak perintah Azam.

Alena tak sudi memamerkan lekuk tubuhnya pada pria asing. Meski Azam kini adalah suaminya, Alena tak mungkin semudah itu melakukannya. 

Apalagi saat ini dirinya terus mengingat wajah Jonatan. Rasanya Alena tak sanggup bahkan sekedar duduk bersebelahan dengan Azam pun rasanya begitu enggan Alena lakukan.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status