Share

Fakta Mengejutkan.

Azam menatap lekat wajah Alena yang tengah tertidur. Pria itu baru saja keluar dari kamar mandi dan kini, dirinya sudah bersiap pergi menemui Zen sang asisten. Beberapa saat lalu Azam kemabli memalukan penyatuan bersama Alena.

Azam benar-benar tak memiliki hati, ia benar-benar menganggap Alena sebagai budaknya di atas ranjang. Azam melakukannya tanpa cinta apalagi kelembutan sama sekali. Hanya kebencian yang ada dalam dirinya, apalagi saat mengingat Alena begitu mencintai Jonatan. Darahnya mendidih, bukan karena ia mencintai Alena. Melainkan ia begitu membenci orang-orang yang memiliki cinta dan kasih sayang pada Jonatan.

Kring!

Dering ponsel Azam terdengar seketika memutus tatapannya pada Alena. Pria itu meraih ponselnya kemudian menerima panggilan yang ternyata itu dari sistemnya Zen.

"Kau sudah bersamanya?" ucap Azam pada sang asisten tanpa basa-basi.

"Sudah Tuan,"

"Ada perkembangan?"

"Iya Tuan dan ini seperti dugaan Tuan,"

"Aku segera kesana."

Azam menutup telponnya sepihak, dengan raut wajah penuh amarah. Pria itu meraih jasnya kemudian melangkah keluar guna menemui sang sisten. Azam mengemudikan mobilnya sendiri, tanpa seorang sopir.

"Brengsek! Jika dugaan ku ini benar! Maka bersiaplah kau Reina!" gumam Azam begitu emosi seraya memukul stir mobilnya. Saat ini pria itu benar-benar sedang dalam emosi yang membuncah. Rupanya sekian lama Azam diam-diam menyelidik tentang Reina sang ibu tiri.

Pria itu rupanya memiliki kecurigaan pada ibu sambungnya itu. Azam mencurigai jika kematian sang ibu ada kaitannya dengan Reina istri baru sang Ayah.

Azam menyewa detektif untuk menyelidiki kecurigaannya. Dan setelah sekian lama, akhirnya detektif sewaannya itu memberi kabar. Meski belum jelas informasinya namun, dari nada Zen tadi. Pria itu sudah bisa menyimpulkan jika detektifnya itu pasti menemukan informasi sesuai kecurigaannya.

Azam mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Kini, setelah 30 menit akhirnya Azam sampai juga di sebuah kafe tempat dimana dirinya janjian bertemu dengan asisten dan detektif sewaannya itu.

Azam langsung melangkah menuju private room kafe tersebut. Iya, di sana sudah ada Zen dan pria setengah baya yang merupakan detektif sewaannya.

"Informasi apa yang Anda dapat?" Tanpa basa-basi Azam langsung menanyakan apa yang ingin ia tahu.

"Semua sudah saya rangkum di sini," jawab pria setengah baya itu seraya menyodorkan map yang berisi tentang segala informasi yang sudah ia dapat.

Azam kemudian duduk dan langsung meraih map tersebut. Pria itu perlahan membaca dengan sangat teliti apa isi berkas-berkas itu. Azam tak sedikitpun melewatkan kata Deni kata didalamnya.

Matanya seketika terbelalak kala dirinya membaca salah satu berkas. Dimana, disana ditulis tentang informasi penyebab kematian sang ibu yang sebenarnya. 

"Jadi hati Mamah mengalami kerusakan bukan karena kanker? Melainkan karena diracuni begitu?" Azam bertanya dengan raut wajah sedih dan tak percaya. Sementara, sang detektif sewaannya yang bernama Angga hanya bisa mengangguk penuh keyakinan. 

"Pak Angga saya mohon selidiki siapa yang telah tega meracuni Mamahku!" ucap Azam lagi kini dengan raut wajah penuh dendam. Tidak, pria itu tidak akan melepaskan siapapun yang telah tega membunuh sang mamah. 

"Baik Tuan Azam, saya akan mencari dan mengumpulkan bukti-bukti kejahatan orang tersebut dan menyerahkannya pada Anda secepatnya." Angga berkata dengan penuh keyakinan. 

Pembicaraan mereka kini telah selesai, Azam dan Zen kembali ke kantor. Suasana hati Azam begitu hancur saat ini. Pria itu memilih menghabiskan waktunya di kantor yang telah sepi karena jam telah menunjukan pukul 21:30. 

Sementara Zen yang tahu betul bagaimana suasana hati sang bos dengan setia terus menemaninya. Azam mengeluarkan beberapa botol wine untuk menemani malamnya. Sungguh pria itu tak percaya jika ternyata kematian sang Mamah adalah kerena diracuni. 

Pikiran Azam langsung tertuju pada Reina sang Mamah tiri. Kecurigaannya langsung tertuju pada wanita paruh baya yang menggantikan posisi sang mamah. Bukan tidak mungkin karena pernikahan Reina dan sang Ayah begitu cepat. Hanya berselang enam bulan setelah kematian sang mamah. Tuan Abraham kemudian mantap menikahi Reina. 

"Zen, aku akan membunuh orang-orang yang telah menyakiti Mamahku! Aku bersumpah!" ujar Zen penuh amarah seraya menenggak habis wine yang ada dalam gelasnya. 

"Saya akan selalu siap membantu Tuan." Zan berkata dengan nada tenang namun penuh keyakinan. 

Zen memang begitu setia pada Azam. Karena Azam adalah sosok penolong baginya. Karena berkat Azam yang kala itu membiayai oprasi sang ibu, sehingga ibunya itu bisa tetap hidup sampai saat ini. Untuk itulah Zen begitu berhutang budi pada Zen.

"Tuan saya mempunyai satu kabar lagi dan ini tentang gadis masa kecil Tuan," ucap Zen seketika memuat Azam menghentikan minumnya. 

"Apa! Kau sudah menemukannya? Ada dimana dia sekarang?" Azam seketika berbinar mendengar jika Zen memiliki kabar tentang gadis masa kecilnya yang sudah ia cari sejak dulu. 

"Saya baru mendapatkan informasi jika ternyata gadis itu sudah pindah dari Surabaya, karena kedua orang tuanya telah meninggal Tuan," ungkap Zen pada Azam.  

"Apa kau sudah menemukan petunjuk kemana gadis itu pindah?" Azam kembali menelan kekecewaan saat mendengar informasi tentang kepindahan gadis masa kecilnya itu. Azam berpikir Zen sudah berhasil menemukannya namun, nihil. 

"Em, Tuan tenang saja karena ternyata gadis itu pindah ke Jakarta Tuan, itu artinya gadis itu dan Anda sudah berada dalam satu kota yang sama," ujar Zen menambahkan informasi yang seketika kembali membuat Azam tersenyum penuh harapan. 

Sungguh Azam sudah menantikan momen dimana ia akan bertemu lagi dengan cinta masa kecilnya itu. Iya, dalam hati Azam hanya ada gadis masa kecilnya. Gadis penolong yang akan selalu menjadi cinta pertamanya. 

"Em ... Maaf Tuan jika saya lancang, tapi bukankah Anda sudah menikah?" Zen bertanya dengan hati-hati. Ia tahu betul jika pertanyaannya itu adalah suatu kelancaran. Namun, rasa ingin tahunya begitu kuat mendorongnya untuk bertanya. 

"Heh tak apa Zen, tapi bukankah kau tahu betul jika pernikahanku hanyalah untuk balas dendam, maka kehadiran cinta masa kecilku kelak akan menjadi senjata untuk membuat Alena lebih menderita," ujar Azam menghentikan sejenak perkataannya. Azam tersenyum licik seraya menenggak minumannya dan kembali berucap.

"Saat itu aku akan melihat betapa menderitanya Jonatan ketika melihat kekasihnya itu tersakiti namun, ia tidak dapat berbuat apa-apa, aku yakin dia akan menjadi pria bodoh yang tidak dapat melindungi wanita yang dia cintai." 

"Iya Anda benar Tuan karena sakit hati seorang pria adalah ketika dirinya tidak berguna dihadapan wanita yang dia cintai." 

"Iya Zen apalagi jika ternyata pembunuh Mamahku adalah Reina, aku pastikan akan membuatnya hancur sehancur hancurnya!" ucap Azam dengan wajah yang kembali diliputi amarah. 

Kring! 

Dering ponsel Azam terdengar ditengah perbincangan mereka. Azam menatap layar ponselnya melihat nama si penelpon. Azam buru-buru mengangkat panggilan yang ternyata dari rumahnya. 

"Hallo Mbok Nani ada apa?" tanya Azam pada sang asisten rumah.

"Hallo Tuan, Tuan segera pulang ini a-ada Tuan Jonatan Tuan, dia datang dan berteriak memanggil Anda dan Nona Alena." Mbok Nani berkata dengan nada terbata. Ia begitu takut ketika melihat kedatangan Jonatan yang terlihat begitu marah dan berteriak memanggil nama Azam dan Alena.

"Apa! Aku akan segera pulang! Oh iya jangan biarkan Alena keluar Mbok!" ucap Azam kemudian bergegas pulang. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status