"Mau bermain-main hm?" Seketika semuanya menegang saat mendengar suara rendah Kenzo. Mereka semua tahu apa yang dimaksud oleh Kenzo. Dengan pelan, Kenzo melangkah mendekati para anak buah Gian yang sudah sangat tegang. Raut pias sangat terlihat jelas dari wajah mereka. Kenzo masih terdiam selama beberapa detik untuk mengawasi ekspresi ketakutan yang di perlihatkan mereka semua. Tangan mereka diikat dan di gantung dengan rantai besi. Mereka yang berjumlah kurang lebih lima belas orang di jajarkan dalam satu barisan. Kenzo membalikkan badannya dan melangkah menuju sebuah lemari yang berisi berbagai macam alat untuk 'bermain' tersebut. Tanganya mengambil sebuah belati berukuran sedang namun sangatlah tajam. Ia membawanya mendekati anak buah Gian kembali. "Bagaimana?" tanyanya dengan tatapan tajam. Mereka semua menunduk tak ada yang berani melihat Kenzo secara langsung. Nyali mereka ciut dalam sekejap. "Katakan!" bentaknya membuat para anak buah Kenzo tersentak kaget. Tubuh merek
"Aku ...," Kenzo terlihat menarik nafasnya dalam-dalam. "Aku berhutang nyawa padamu, maka dari itu, aku akan melindungimu sepenuhnya," ucapnya membuat Nora rasanya ingin tertawa terbahak-bahak mengejek dirinya sendiri. 'Kenapa bisa aku berpikir dia akan mengungkapkan rasa cinta? Rasanya itu hal yang mustahil. Aku saja yang terlalu percaya diri.' ucapnya dalam hati. Sedangkan anggota keluarga yang lain tersenyum melihat hal itu. Mereka pikir hubungan antara Kenzo dan Nora akan menjadi suatu hubungan layaknya suami istri sungguhan meskipun mereka belum saling mencintai. "Maafkan aku dan terima kasih," ucap Kenzo lagi. Nora hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Ia pikir, kemana Kenzo yang dingin itu? "Air," ucap Nora. Dibanding dengan ia yang mendengarkan Kenzo berkata manis, ia lebih menginginkan meminum air. Tenggorokannya terasa sangat kering saat ini. Dengan sigap Kenzo mengambil air yang berada di atas nakas. Ia juga membantu Nora duduk untuk minum. Pria itu menahan
"Kakak!" Teriak seseorang sembari berjalan mendekat pada Nora dengan ekspresi sedih. Orang itu langsung memeluk Nora. Dapat Nora rasakan orang ini menangis. "Kakak kenapa bisa seperti ini? Aku telah pulang dan ingin memberikan kakak kejutan dan kini justru aku yang terkejut melihat kondisi kakak," Benar. Nora tidak sedang bermimpi sekarang. Orang yang tengah memeluknya kini adalah Reyna, adiknya. Adik yang begitu jahat dan tega kepadanya di kehidupan sebelumnya. Meskipun merasakan Reyna tengah menangis, Nora tak bereaksi apa-apa. Ia hanya diam dan menunggu tangisan Reyna reda. Ia tak tahu Reyna tengah menangisi kondisinya sekarang, ataukah ada hal lain yang membuatnya bersedih. "Aku sangat merindukan kakak, setelah kita berpisah tiga tahun lamanya dan tidak bertemu sama sekali, sekarang aku bisa melihat kakak lagi. Tapi, aku sangat sedih melihat kakak seperti ini," Reyna masih saja menangis sembari meracau seolah sangat bersedih akan hal yang menimpa Nora. Suara tangisan Reyna y
"Apakah ini keluarga ibu hamil bernama Reyna?" Deg. Pertanyaan suster itu membuat semua yang mendengarnya sangat terkejut. Semuanya menatap suster tak percaya terutama Zafran dan Adenna. "Maaf? Maksud suster Reyna siapa?" tanya Fatiya. Meskipun tangannya sudah gemetar, ia mencoba untuk menenangkan diri. Wanita itu berjalan mendekati sang suster yang masih berdiri di ambang pintu. "Reyna Alesha, saat ini dia sedang berada di unit gawat darurat. Saya mendapati Nona Reyna tengah di lobi dan mengeluh pusing. Setelah beberapa saat Nona Reyna jatuh pingsan. Dengan segera, saya membawanya Ke UGD dengan dibantu dua orang perawat. Setelah dilakukan pengecekan, ternyata Nona Reyna tengah mengandung dengan umur kandungan empat bulan," jelas suster itu panjang lebar. Fatiya mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh sang suster. Apakah benar? Ibu hamil yang di maksud adalah Reyna putrinya? Wanita setengah baya itu tak bisa berkata-kata setelah mendengar penjelasan dari suster. Zafran mendeka
Plak! Kepala Reyna tertoleh ke samping saat mendapat sebuah tamparan yang dilayangkan oleh sang Bunda. Tangannya terangkat untuk menyentuh pipi kanannya yang terasa panas lagi perih. Beberapa saat terdiam, Reyna menatap sang Bunda dengan tatapan bertanya. Terlihat wajah Fatiya yang telah memerah dan menatap tajam pada Reyna. "Memalukan!" ucap Fatiya dengan nafas tercekat. Tenggorokannya terasa seperti di cecik oleh sebuah tambang. Plak! Plak! Plak! Belum cukup hanya dengan satu tamparan, Fatiya mengangkat tangannya lagi guna menampar kedua pipi Reyna secara bergantian. "Bunda! Sakit!" jerit Reyna. "Ibu tolong tenang!" Seru salah satu suster sembari menenangkan Fatiya yang dilanda amarah. Tangan suster itu merangkul pundak Wanita setengah baya tersebut. Namun bukannya merasa tenang, Fatiya justru semakin meradang. Hatinya teramat sakit sekaligus merasa malu luar biasa. "Akan diletakkan dimana wajahku hah!? Ini balasanmu untukku yang sudah melahirkan mu Reyna!?" Teriak Fatiya
"Akhh!" Nora berteriak kesakitan. Bukan karena lehernya dicekik oleh Gian, tetapi karena dirinya merasa jatuh ambruk di atas tanah yang terjal lagi keras. Nora menatap sekeliling dengan was-was dan bingung. Ia sangat terkejut mendapati dirinya tiba-tiba berpindah tempat. Dirinya melihat sekitar yang merupakan area pegunungan yang sunyi, sepi, lagi gelap. Awan hitam menghiasi seluruh permukaan langit. "Dimana aku?" ucapnya. Lagi, Nora merasa terkejut saat mulutnya dapat ia gerakan dan mengeluarkan suara. Dia mengangkat kedua tangannya dan kedua kakinya secara bergantian. "Aku bisa menggerakkan tubuhku," Tatapannya beralih pada pakaian yang ia gunakan. Dress putih panjang polos menjadi penutup tubuhnya saat ini. "Apakah aku sudah mati?" gumam nya disaat merasakan suasana yang amat sepi dan seperti bukan di bumi. "Ini mimpi atau nyata?" Tak lama, ia melihat awan hitam di atas sana mulai terbelah dan muncullah sebuah cahaya berwarna putih yang amat terang. Tangan Nora terangkat gu
Sedangkan di tempat lain, disebuah kediaman mewah nan megah, terdapat tiga orang yang sedang bersitegang. Mereka adalah sepasang suami istri serta anak kedua mereka. Fatiya dan Zafran tengah menatap tajam pada Reyna yang duduk di atas sofa di depan mereka. Setelah beberapa saat hanya keheningan yang melanda, Fatiya akhirnya menghela nafas frustasi seraya mengusap kasar wajahnya. Sedangkan Reyna masih memegangi kedua pipinya yang telah berwarna merah dan terasa perih. Reyna mengangkat wajahnya sedikit guna menatap kedua orang tuanya. Namun, ia kembali menunduk dengan cepat tak kala mendapati mereka berdua tengah menatapnya tajam. Ia tak berani menatap mereka. "Jelaskan," ucap Zafran tegas dan penuh penekanan. "Bagaimana bisa ada janin dalam perutmu itu," lanjutnya lagi. Mulut Reyna tertutup rapat. Ia tak mampu membuka mulutnya untuk mengeluarkan suara. Tenggorokannya masih terasa tercekat karena menahan tangis. "Jawab!" Bentak Zafran dengan tangan menggebrak meja di hadapannya
Jantung Nora berdetak kencang saat mendengar sebuah nama yang di ucapkan oleh Ayahnya. "Gian?" ulangnya. Ia takut pendengarannya yang salah tangkap. Terdengar helaan nafas kasar lagi dari ayahnya. "Benar Nora, Ayah juga tak habis pikir bagaimana mereka bisa melakukan hal itu. Maka dari itu, Ayah membutuhkan pertolongan suamimu nanti, pasti dia bisa melakukannya," Nora mengusap dadanya guna menenangkan sesuatu yang masih berdetak kencang di dalam sana. Matanya terpejam dengan mengatur nafasnya perlahan-lahan. "Nanti akan aku sampaikan, sekarang Reyna dimana?" tanyanya setelah merasa sedikit lebih tenang. "Ayah mengusirnya. Kamu pasti tahu bagaimana rasanya berada di posisi Ayah dan bunda, Ayah menyuruhnya untuk menyeret pria itu kemari. Tetapi, entah dia bisa bertemu dengan Gian atau tidak setelah dia menghilang waktu itu," Nora mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku mengerti. Ayah memang harus memberinya pelajaran. Aku juga akan melakukannya nanti," ucapnya. Otaknya menyusun berba