Sedangkan di tempat lain, disebuah kediaman mewah nan megah, terdapat tiga orang yang sedang bersitegang. Mereka adalah sepasang suami istri serta anak kedua mereka. Fatiya dan Zafran tengah menatap tajam pada Reyna yang duduk di atas sofa di depan mereka. Setelah beberapa saat hanya keheningan yang melanda, Fatiya akhirnya menghela nafas frustasi seraya mengusap kasar wajahnya. Sedangkan Reyna masih memegangi kedua pipinya yang telah berwarna merah dan terasa perih. Reyna mengangkat wajahnya sedikit guna menatap kedua orang tuanya. Namun, ia kembali menunduk dengan cepat tak kala mendapati mereka berdua tengah menatapnya tajam. Ia tak berani menatap mereka. "Jelaskan," ucap Zafran tegas dan penuh penekanan. "Bagaimana bisa ada janin dalam perutmu itu," lanjutnya lagi. Mulut Reyna tertutup rapat. Ia tak mampu membuka mulutnya untuk mengeluarkan suara. Tenggorokannya masih terasa tercekat karena menahan tangis. "Jawab!" Bentak Zafran dengan tangan menggebrak meja di hadapannya
Jantung Nora berdetak kencang saat mendengar sebuah nama yang di ucapkan oleh Ayahnya. "Gian?" ulangnya. Ia takut pendengarannya yang salah tangkap. Terdengar helaan nafas kasar lagi dari ayahnya. "Benar Nora, Ayah juga tak habis pikir bagaimana mereka bisa melakukan hal itu. Maka dari itu, Ayah membutuhkan pertolongan suamimu nanti, pasti dia bisa melakukannya," Nora mengusap dadanya guna menenangkan sesuatu yang masih berdetak kencang di dalam sana. Matanya terpejam dengan mengatur nafasnya perlahan-lahan. "Nanti akan aku sampaikan, sekarang Reyna dimana?" tanyanya setelah merasa sedikit lebih tenang. "Ayah mengusirnya. Kamu pasti tahu bagaimana rasanya berada di posisi Ayah dan bunda, Ayah menyuruhnya untuk menyeret pria itu kemari. Tetapi, entah dia bisa bertemu dengan Gian atau tidak setelah dia menghilang waktu itu," Nora mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku mengerti. Ayah memang harus memberinya pelajaran. Aku juga akan melakukannya nanti," ucapnya. Otaknya menyusun berba
"Dasar gelandangan!" seru suara seorang wanita yang tertangkap oleh pendengaran Reyna. Reyna membuka matanya dan pandangannya langsung tertuju pada seorang wanita dengan badan gemuk tengah berdiri seraya berkacak pinggang. Terdapat sebuah gayung yang berada di genggaman tangannya. "Bangun!" teriaknya. Reyna seketika bangun dan duduk dengan tangan mengusap wajahnya yang basah. "Pergi dari sini! Jangan buat pelangganku mual melihat ada gelandangan di warung milikku!" Wanita yang di ketahui adalah si pemilik warung itu merasa marah akan keberadaan Reyna yang tertidur di kursi teras warungnya. Berdasarkan pengalamannya, ia sudah hafal akan gelandangan yang tertidur di teras warungnya akan meminta makanan tanpa mau membayar. Ia muak terhadap hal itu. Oleh sebab itu, ia mengusir seorang wanita yang ia pikir adalah seorang Belanda yang tengah tertidur. "Siapa kau!?" tanya Reyna marah saat sudah mendapatkan kesadaran sepenuhnya. Ia mengusap-usap rambutnya yang juga basah hingga bajunya
"Ken?" panggil Nora. Kenzo menoleh sekilas dan kembali memfokuskan perhatiannya pada jalan di raya di depannya. "Hm?" Nora tersenyum tipis. "Andaikan kau tahu apa yang telah aku alami," Alis Kenzo terangkat. "Apa itu?" "Kau akan tahu nanti," Dengan senyuman masih menghiasi wajah cantik milik Nora, ia menatap sekitar jalanan. Namun pandangannya tertuju pada salah satu mobil yang tengah melaju di hadapannya. Ia sangat mengenali siapa pemilik mobil itu. Nora menyikut lengan Kenzo dengan pandangan masih ke arah depan. "Ken! Lihat! Itu mobil si berengsek!" kata Nora. Kenzo melihat mobil yang ditunjuk oleh istrinya itu. Ia mengangguk paham karena dirinya juga mengetahui berapa nomor plat mobil milik mantan kekasih istrinya ini. "Mau kemana mereka ya?" tanya Nora. Setelah ia mengamati, tidak hanya Gian seorang yang berada dalam mobil itu. Melainkan ada adiknya juga di sana. Kenzo tak menjawab. Pandangannya justru melirik spion tengah guna melihat mobil yang di tumpangi kedua orang
Orang-orang semakin menatapnya khawatir. Nora menghentikan tawanya dan menatap mereka satu persatu. "Aku tak seperti yang kalian pikirkan, tenang saja, jauh sebelum kalian melihat apa yang mereka berdua lakukan, aku sudah melihatnya dengan kedua mataku sendiri," Nora menyeringai. Fatiya dan Zafran mengernyitkan keningnya. "Melihatnya? Kapan? Dimana?" tanya Fatiya. Nora menatap sang Bunda dengan lembut. "Di suatu tempat yang hina," jawabnya. Memang semenjak dirinya di masa lalu memergoki mereka berdua tengah memadu kasih, ia langsung menyebut rumah yang ia tinggali itu adalah sebuah tempat hina. Dimana hal-hal kotor terjadi di sana. Fatiya tak bertanya lebih lanjut. Sisi lain hatinya sudah lega di saat melihat putri pertamanya yang terlihat baik-baik saja akan pengkhianatan yang di lakukan adik kandungnya. "Bunda tenang saja, aku sudah punya Ken, hehe," Nora tersenyum memperlihatkan giginya. Ia tersenyum gemas pada Kenzo dan mengacak-acak rambut tebal milik suaminya itu. Di saat
Kenzo menatap Nora dengan wajah menelisik. "Aku bersungguh-sungguh Ken,"Pemimpin mafia terkejam yang paling ditakuti itu terdiam sesaat menimbang-nimbang keputusannya. "Tetapi ini terlalu bahaya," Nora tak putus semangat. "Apapun bahayanya. Aku yakin aku bisa melewatinya," "Baiklah," final Kenzo. Mata Nora berbinar. "Benarkah?" Kenzo mengangguk. "Terima kasih suamiku," ucap Nora dengan senyuman yang kelewat manis. Ia berjinjit dan meraih wajah Kenzo. Cup! Bibir Nora mengecup pipi sebelah kanan Kenzo. Setelahnya, ia menggandeng tangan Kenzo menuju keluar. "Ayo, dimana kamar kita?" tanya Nora sambil berjalan. "Mau melanjutkan hal tadi?" Nora melihat Kenzo menyeringai sambil menatapnya. Nora menegang. ...."Aku lelah sekali kak, tolong berhenti," ucap Reyna yang sudah tergeletak tak berdaya di atas ranjang dengan Gian yang masih senantiasa bergerak di atasnya. "Sebentar lagi," jawab pria itu. Reyna sudah merasa benar-benar kelelahan. Tanpa menunggu Gian selesai, ia pun te
"Bodoh! Banyak bicara! Aib keluarga! Memalukan!" Bagaikan di sambar petir di siang hari, Reyna amat terkejut mendapatkan sebuah tamparan keras yang mendarat di kedua pipinya. Telapak tangannya dengan refleks memegangi kedua pipinya yang langsung memerah dan terasa panas lagi perih yang amat terasa.Kedua Neneknya, baik Nenek dari pihak Ayah maupun pihak Bunda, mereka berdua lah yang telah menamparnya barusan. Kedua wanita yang sudah menginjak usia senja itu bersedekap dada dengan mata melotot tajam pada Reyna dan Gian. Gian, pria itu juga sama terkejutnya dengan apa yang baru saja dirinya dapatkan. Sebuah tamparan keras yang baru kali ini ia terima. Pria itu mengusap-usap kedua pipinya yang terasa perih. Dirinya telah sering mendapatkan luka pukulan, tetapi kali ini rasanya sangat berbeda karena di tampar oleh dua orang Nenek-nenek. "Dua manusia hina yang Kita tunggu-tunggu telah tiba!" Seru salah satu dari mereka yang bernama Twilla dengan mengangkat kedua tangannya. ia merupak
"Dan, bukankah kau kekasih Nora?" Deg. Jantung Reyna dan Gian berdetak kencang dan mendongak menatap Liavin dengan cepat. Pria itu itu tersenyum miring. "Untung saja Nora segera menikah dengan pria lain yang lebih segalanya di banding dirimu," Lagi-lagi Gian hanya bisa mengepalkan tangannya menahan emosi. Ego nya tergores ketika dia di banding-bandingkan dengan seseorang yang amat ia benci dan memang belum bisa ia tandingi. Pikiran Gian langsung teringat aksinya menyekap Nora beberapa hari lalu yang berujung ia kehilangan banyak sekali anak buahnya. Dan yang tersisa, ia bawa untuk membuat markas baru karena markas di dalam hutan itu telah hangus menjadi debu karena di bakar beserta semua isinya oleh anak buah Kenzo. Tetapi itu tak menjadikannya hilang rasa ingin memiliki Nora. Meskipun ia sudah mengalami hal yang tak dia inginkan, ia masih saja terobsesi dengan Nora. Padahal saat ini Reyna tengah mengandung anaknya, darah dagingnya sendiri. "Benarkan?" ulang Liavin dengan sinis