"Berbagi suami?"
Alea menggeleng. Tidak habis pikir dengan pemikiran Fiona. Bagaimana bisa Alea berbagi suami dengan ibu tirinya sendiri. Sungguh! Fiona wanita tidak tahu malu. Alea melepaskan pelukan suaminya, lalu menatap ibunya dengan tajam. "Ambil saja Carlos untukmu! Aku tidak sudi berbagi pria ataupun menerima pria bekasmu." Fiona mengerutkan kening, begitupun dengan carlos. Tatapan Alea beralih pada suaminya. "Aku minta cerai! Hubungan kita berakhir." Fiona tersenyum lebar. Dengan sisa tenaganya, Alea beringsut. Turun dari tempat tidur. Namun, Carlos menahannya. Nampak, wajah pria itu berubah pucat. "Tidak Alea! Aku tidak akan menceraikanmu. Aku mencintaimu." Carlos memeluk istrinya seraya mengecupi bahunya. Alea memberontak, tapi Carlos tidak memperdulikannya. "Ingat Alea, bayi kita akan segera lahir. Dia membutuhkan kita!" "Bayi kita?" bentak Alea. Dia mendorong Carlos. Melepaskan diri dari pelukan pria itu. Alea memejamkan mata. Mengusap bayi dalam perutnya. Air mata Alea tumpah membasahi seluruh wajah. Rasa sakit dan kecewa menguasai hatinya. Alea kecewa terhadap Carlos yang sudah menduakan dirinya dan bayinya dengan berbuat serong bersama ibu tirinya sampai hamil. "Setelah kamu menghamili ibuku, masih ingat kamu dengan bayi ini?" Alea mengeratkan gigi. Menahan amarahnya. "Kamu pria menjijikkan, Carlos! Aku tidak sudi bayiku memiliki ayah sepertimu." Carlos tertegun. Selama tiga tahun menikah, baru kali ini Alea berkata kasar padanya. Alea menatap Carlos dan Fiona bergantian, lalu mengangkat telunjuknya. "Kalian berdua! Bersiaplah pergi dari rumah ini! Aku dan ayahku akan mengurus surat cerai. Kalian harus segera angkat kaki dari sini!" "Tidak Alea, tunggu!" Tanpa memperdulikan suaminya, Alea keluar dari kamar pribadinya. Terdengar suara Fiona yang mencegah Carlos untuk menyusul. "Jangan pergi! Biarkan saja! Lebih baik, kita lanjutkan malam kita yang tertunda." Alea melangkah lebar. Telinganya panas mendengar kata-kata ibu tirinya. Alea tidak menyangka, Fiona yang selama ini terlihat tulus. Tega berkhianat padanya dan ayahnya. Alea melangkah menuruni anak tangga. Tujuannya pergi ke kamar ayahnya. Alea ingin menenangkan Andrean, yang pastinya sama hancurnya seperti dirinya. Sejenak, Alea mematung di depan tangga. Tatapannya tertuju pada sofa di ruang keluarga, tempatnya melihat Carlos dan Fiona memadu cinta. Alea sadar, sudah hampir tiga bulan Carlos tidak melakukan hubungan badan dengannya. Dokter melarang Alea untuk melakukan hubungan hingga bayinya lahir. Dan Fiona, Alea juga tahu, wanita itu sudah tidak di jamah pria sejak suaminya mengalami kecelakaan. Namun tetap saja, hal itu tidak bisa dijadikan alasan oleh Carlos ataupun Fiona untuk berselingkuh. Perbuatan mereka sangat keji dan menjijikan, Alea sudah bertekad akan bercerai dan mengusir mereka berdua dari rumah keluarganya. Alea mengusap air matanya. Dia yakin, perceraian jalan terbaik bagi dirinya dan ayahnya. Langkah Alea kembali terayun menuju kamar Andrean. Alea akan membicarakan keputusannya untuk bercerai setelah ayahnya merasa tenang. Alea membuka pintu kamar, tubuhnya mematung saat melihat tubuh tua ayahnya tergolek kaku di atas lantai, dengan busa putih yang keluar dari mulutnya. "PAPAH!" jerit Alea. Dia berlari. Berhambur memeluk tubuh ayahnya yang sudah tidak bernyawa. *** Beberapa jam kemudian. Alea terbaring di salah satu bangsal rumah sakit. Entah sudah berapa lama Alea berada di sana. Dia baru sadar saat rasa nyeri menyergap tubuhnya. 'Sakit.' Alea merasakan nyeri di bagian perut dan kepalanya. 'Apa yang terjadi?' batin Alea. Nampak, mata Alea terpejam, mulutnya terkatup rapat, tidak bisa digerakkan. Tubuh Alea lemas tidak bertenaga. Bahkan, Alea tidak bisa membuka kelopak matanya sedikitpun. 'Apa yang terjadi pada tubuhku? Ada apa denganku?' batin Alea panik. Samar-samar, Alea mendengar suara pintu yang terbuka, lalu terdengar suara orang yang berbicara. "Sialan! Kenapa pria tua itu harus mati? Padahal, aku hanya memberinya beberapa butir obat tidur saja." Alea mengenal suara wanita yang berbicara, itu adalah suara Fiona, ibu tirinya. Tak lama, terdengar suara seorang pria yang juga familiar. Suara Kevin, Kaka Fiona sekaligus dokter kandungan Alea. "Tenanglah! Bukankah ini hal bagus? Sekarang, kamu menjadi janda kaya raya." "Tetap saja aku kesal. Carlos belum bercerai dengan wanita ini." "Ayolah Fiona! Jangan khawatirkan itu, aku akan akan mengurus anak ini dan bayinya. Akan aku pastikan, mereka tidak selamat." Batin Alea tersentak saat mendengar kata-kata Kevin. Alea pun baru sadar dengan keadaan ayahnya. 'Papah meninggal? TIDAK!' batin Alea menjerit. Meraung dalam ketidakberdayaannya. Sekarang, Alea ingat apa yang terjadi. Setelah menemukan ayahnya terbujur kaku di atas lantai, seseorang menyuntikkan sebuah cairan ke tubuhnya hingga membuatnya pingsan dan tidak sadarkan diri. "Kamu memang bisa diandalkan, saudaraku." Terdengar suara gelak tawa yang menggema. Membuat Alea gemetar dalam ketidaksadarannya. Dia ketakutan. Alea terkesiap saat merasakan sentuhan halus di wajahnya. Seseorang menghapus air matanya yang luruh. Samar-samar, Alea mencium bau parfum ibu tirinya. Dia pun terkesiap saat tiba-tiba sebuah tangan mencekik lehernya. "Matilah! Susul ayahmu ke neraka!" Sesak. Alea kesulitan bernapas. Dia ingin memberontak, menyingkirkan tangan Fiona yang kini mencengkeram lehernya. Namun, sekuat apapun Alea berusaha menggerakkan tubuh, tangannya tidak bergerak sedikitpun. 'Tolong! Seseorang tolong aku. Bayi ku ... Jangan biarkan mereka menyakiti bayiku! Tolong!" jerit Alea dalam hati, berharap ada seseorang yang mendengarnya. Ceklek! Alea mendengar seseorang masuk ke dalam kamar. Samar-samar, Alea mencium bau parfum milik pria yang sudah tiga tahun dicintainya. "SIALAN! FIONA, apa yang kamu lakukan? Berani sekali kamu menyakiti istriku!" Alea lega saat tangan Fiona terlepas dari lehernya. Dia bersyukur, suaminya datang tepat pada waktunya. "Carlos! Tua bangka itu sudah mati, tinggal wanita ini saja penghalang kita. Ayo lenyapkan dia dan kita menikah!" "Jangan berani-berani menyentuh Alea! Aku tidak segan membunuhmu jika kamu berani menyakitinya!" "Carlos–." "Diam! Sudah cukup kamu berbuat bodoh dengan membunuh tua bangka itu. Apa kamu sadar, tua bangka itu belum mewariskan sedikitpun hartanya pada kita? Semua aset miliknya masih tercantum atas nama Alea!" Alea terperanjat. Kaget mendengar percakapan suami dan ibu tirinya. Hati Alea tersayat. Tidak menyangka, selama ini ternyata Carlos mengincar harta ayahnya. Alea kira, Carlos tulus mencintainya. Alea pun tersentak begitu merasakan sesuatu yang lembut mengecupi wajahnya, lalu sebuah tangan membelainya. "Aku harap kamu tidak tidur terlalu lama. Banyak dokumen yang harus kamu tanda tangani untuk memindahkan aset milik ayahmu." Batin Alea menjerit. Carlos tidak berperasaan! Alea dan bayinya sedang tidak berdaya, namun Carlos malah memikirkan harta. "Baiklah! Maafkan aku. Aku berjanji akan menjaga Alea untukmu. Tapi, berjanjilah kamu akan menikahiku. Anak kita membutuhkan mu, Carlos. Aku juga tidak bisa hidup tanpamu." Suara Fiona kembali terdengar. "Tentu sayang. Kita akan menikah setelah Alea sadar. Kamu dan Alea akan sama-sama menjadi istriku." Hati Alea bergolak. Carlos dan Fiona sungguh tidak tahu malu! Alea pun hanya bisa memaki Carlos dalam ketidakberdayaannya."Aku harus mengurus pemakaman. Jaga Alea dan bayiku baik-baik!" Alea mendengar suara langkah kaki Carlos menghilang seiring pintu ruangan yang tertutup. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Alea merasakan napas seseorang menerpa wajahnya. "Kamu akan membiarkan anak ini tetap hidup?" "Tidak ada cara lain. Aku tidak mau kehilangan Carlos dan harta yang didapatnya." Sejenak, suasana terdengar hening. "Untuk berjaga-jaga, bunuh saja bayinya. Aku tidak mau bayiku mempunyai saingan dalam mendapatkan kasih sayang ayahnya. Buat itu seperti kecelakaan!" Alea tersentak. Dia panik. "Serahkan padaku! Obat ini akan membuat rahimnya berkontraksi, dan bayinya akan lahir prematur. Aku yakin, bayi itu tidak akan selamat." 'Tidak! Jangan sakiti bayiku! Jangan sentuh dia!' jerit Alea. Kening Alea mengernyit saat sebuah suntikan menembus kulitnya. 'Tolong! Siapapun, tolong aku. Jangan biarkan mereka menyakiti bayiku. To-long!' Kesadaran Alea menghilang. Dia kembali pingsan. ***A
"Sayang … ini mamah, Nak!" Alea terharu melihat bayi di hadapannya. Dia segera membuka kotak inkubator, lalu mengeluarkan bayinya. Alea menciumi bayinya dengan sayang. Mendekapnya dengan erat. Tidak mau kehilangan bayinya. "Nyonya! Hanya ini yang bisa saya lakukan. Pergilah sebelum dokter Kevin datang," tutur perawat itu. Alea terkesiap mendengar nama Kevin disebut. Dia pun yakin, perawat di hadapannya benar-benar ingin membantunya. "Dengarkan saya baik-baik, Nyonya. Bayi anda masih dalam pengaruh obat. Dia akan sadar dua jam lagi. Selama itu, anda harus tetap mendekapnya dan membuatnya tetap hangat. Bayi anda sangat lemah, jangan sampai dia kedinginan terlalu lama," tutur perawat seraya mengeluarkan selimut bayi dari dalam kotak inkubator. Alea mengangguk. Tangisnya luruh. Terharu dengan kebaikan orang yang menolongnya. Dia pun membiarkan perawat itu membungkus bayinya dengan selimut. "Saya tahu ini tidak akan bertahan lama." Perawat tersebut mengeluarkan sebuah suntikan dan bot
Tanpa di minta dua kali, pria itu berlari. Tapi, tidak secepat saat berlari di jalanan. Batu kerikil yang menghiasi jalan kereta membuatnya kesulitan untuk melangkah. Eaaaa Eaaa! Alea semakin panik mendengar bayinya menangis. Dia menoleh ke belakang. Terlihat anak buah Carlos semakin dekat. "Turunkan aku di sini!" pinta Alea seraya terisak. "Cepat! Turunkan aku!" Pria itu menoleh sedikit. Napasnya tersengal-sengal. "Apa maksudmu?" "Kita tidak akan selamat jika kamu berlari sambil menggendongku. Turunkan aku! Cepat!" Alea meremas bahu pria yang menggendongnya seraya memberontak turun. Sontak, langkah pria yang menggendong Alea pun oleng, hingga membuatnya dan Alea jatuh. Beruntung bayi yang digendongnya selamat. "Bayiku." Alea merangkak meraih bayinya. Dia menatap bayinya lekat-lekat, lalu mengecupi wajahnya. "Ssst! Jangan menangis, Nak! Tidak perlu takut. Mamah akan melindungimu." Air mata Alea luruh tidak terbendung. Berulang kali, dia mengecupi wajah bayinya seraya men
Tiga bulan berlalu, kondisi Alea semakin memburuk. Selama tiga bulan ini, Fiona meminta dokter untuk mencekoki Alea dengan obat halusinogen. Para dokter pun sudah tidak lagi peduli dengan efek samping dari obat yang mereka berikan. Mereka hanya menjalankan perintah dari Fiona yang ingin melihat Alea tersiksa dan mati secara perlahan. "Tidak! Papah … jangan tinggalkan Alea! Jangan pergi!" Alea meraung seraya menangis histeris. Dia mencakar-cakar lantai hingga membuat kuku jarinya terluka dan berdarah. Nampak, rambut Alea acak-acakan dengan luka lebam yang menghiasi wajahnya. Ada beberapa luka sayat di leher dan tangan Alea, serta terdapat kantung mata hitam disekitar matanya yang bengkak, akibat terlalu banyak menangis. Kondisi Alea benar-benar memprihatinkan. Dia sudah benar-benar kehilangan akal. Bayangan saat ayah dan bayinya yang meninggal terus menghantui Alea hingga membuatnya tidak bisa lagi mengenali Carlos sebagai suaminya. "Apa yang sebenarnya terjadi dengan istriku? Ken
Waktu berjalan dengan cepat. Empat bulan berlalu sejak Alea dibawa pulang dari rumah sakit jiwa. Selama itu, Alea dikurung dalam rumah. Fiona menempatkannya di ruang bawah tanah dengan pintu yang selalu terkunci rapat. Karena kesibukan di perusahaan, selama empat bulan ini Carlos mempercayakan penjagaan Alea kepada Fiona. Dia percaya istri keduanya akan menjaga Alea dengan baik. Mengingat Fiona adalah mantan ibu tiri Alea. Namun pada kenyataannya, Alea hanya mendapatkan siksaan dari ibu tirinya. Alea terus dicekoki dengan obat-obatan psikiatri hingga membuatnya ketergantungan. Bahkan, obat-obatan tersebut berpengaruh pada kesuburannya. Alea mengalami gangguan fungsi seksual hingga mengalami penurunan libido dan membuatnya kesakitan setiap kali Carlos menggaulinya. Setiap Carlos pulang ke rumah, Fiona selalu memindahkan Alea ke kamar. Dia bahkan mempersiapkan Alea untuk melayani carlos. Fiona menyadari semua kesakitan yang Alea alami, namun dia tidak peduli. Baginya, yang terpenting
Carlos membuka pintu kamar. Nampak, Alea berdiri di depan jendela sambil bersenandung. Tatapan Carlos tertuju pada bantal yang Alea dekap. Carlos menarik napas. Dadanya sesak. Sedih melihat istrinya yang belum bisa menerima kematian bayinya. "Alea ..." Carlos mendekati Alea, lalu mengecup pipinya dengan sayang. Carlos melingkarkan tangan memeluk pinggang istrinya, namun Alea segera menjauh. 'Ssst! Bayiku sedang tidur," ucap Alea. Dia berjalan menuju tempat tidur, lalu duduk di ujung ranjang. Carlos menatap sendu istrinya. Alea sama sekali tidak menghiraukan dirinya. Carlos menghampiri Alea, lalu duduk di sampingnya. Ditatapnya wajah cantik Alea yang tersenyum sambil bersenandung. Carlos tersenyum getir. Tatapannya meredup. Sudah lama Carlos tidak melihat senyum istrinya. Namun sekarang, senyum itu hanya bisa dilihat saat istrinya sedang bermain bantal. "Sayang, apa kamu tidak merindukanku?" Carlos merapatkan diri pada Alea. Dia merangkul pinggang istrinya dengan sedikit p
Rontaan Alea terhenti. Dia merasakan cairan dingin menjalar ke seluruh tubuhnya. Membekukan jantung dan otaknya. Alea merasa tubuhnya melayang, jiwanya seolah keluar dari raga. Dia merasa terbang. Perasaan Alea terasa ringan. Namun sedetik kemudian, bayangan buruk yang selalu menghantuinya datang. Mata Alea terbeliak, menyaksikan setiap kejadian buruk yang dialami dalam hidupnya. Kejadian saat Carlos dan Fiona bercinta, ayahnya yang terbujur kaku di atas lantai dan bayinya yang pergi dalam ledakan. Alea ingin menjerit. Namun rahangnya kaku tidak bisa digerakkan. Dia pun pasrah saat Carlos membawanya ke tempat tidur. Alea memejamkan mata, berusaha menghilangkan bayangan-bayangan yang bermunculan di pelupuk matanya. Namun sia-sia. Alea hanya bisa menyaksikan setiap adegan buruk yang menyayat hati terus berulang dalam benaknya. "To-long!" Alea mengucapkan kata itu dengan sudah payah. Namun sayang, carlos tidak mendengarnya. Alea harap semua bayangan di kepalanya sirna. Tapi yang ada
Hujan turun dengan sangat lebat. Terdengar suara gemuruh petir dan cahaya kilat menghiasai langit malam yang gelap karena hujan. Di dalam rumah keluarga Rahardja, nampak Laras yang sedang memakaikan mantel pada Alea. Setelah mendengar persetujuan Alea untuk melarikan diri, Laras segera membalut tubuh majikannya dengan mantel dan jas hujan. "Pakai ini! Di luar dingin, sarung tangan ini akan membuat tubuh Anda tetap hangat," ujar Laras. Dengan patuh, Alea mengulurkan tangan. Membiarkan Laras membalut tangannya dengan sarung tangan kulit yang kini sudah terpasang sempurna di kedua tangannya. "Anda sudah siap?" tanya Laras seraya memperhatikan tubuh Alea yang sudah terbungkus mantel dan jas hujan. Alea mengangguk. Nampak, tangan kirinya mendekap bantal dengan erat. Laras tersenyum. "Ayo pergi!" Alea mengangguk berkali-kali seolah tidak sabar ingin segera pergi dari rumahnya sendiri. Laras menggenggam telapak tangan Alea dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya membawa tas yan