Share

Berjuang untuk Hidup

"Aku harus mengurus pemakaman. Jaga Alea dan bayiku baik-baik!"  

Alea mendengar suara langkah kaki Carlos menghilang seiring pintu ruangan yang tertutup. 

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?"  

Alea merasakan napas seseorang menerpa wajahnya.  

"Kamu akan membiarkan anak ini tetap hidup?"  

"Tidak ada cara lain. Aku tidak mau kehilangan Carlos dan harta yang didapatnya."  

Sejenak, suasana terdengar hening.  

"Untuk berjaga-jaga, bunuh saja bayinya. Aku tidak mau bayiku mempunyai saingan dalam mendapatkan kasih sayang ayahnya. Buat itu seperti kecelakaan!"  

Alea tersentak. Dia panik.  

"Serahkan padaku! Obat ini akan membuat rahimnya berkontraksi, dan bayinya akan lahir prematur. Aku yakin, bayi itu tidak akan selamat."  

'Tidak! Jangan sakiti bayiku! Jangan sentuh dia!' jerit Alea.  

Kening Alea mengernyit saat sebuah suntikan menembus kulitnya. 'Tolong! Siapapun, tolong aku. Jangan biarkan mereka menyakiti bayiku. To-long!' Kesadaran Alea menghilang. Dia kembali pingsan.  

***

Alea tersadar saat bau disinfektan menyeruak kuat dalam Indra penciumannya. Terdengar, suara samar yang konsisten. Alea yakin, itu suara dari alat berside monitor. 

"Ingat! Prioritas utama kalian adalah istriku. Selamatkan dia! Bagaimana pun caranya!"  

Alea tersentak. Dia mengenali suara pria yang berbicara, itu adalah Carlos.  

'Apa yang terjadi? Aku kenapa?' batin Alea bertanya-tanya.  

Alea mengerang saat merasakan tubuhnya berat tidak bisa di gerakkan. Dia terkesiap begitu sadar tidak merasakan rasa sakit yang sebelumnya dialami. Bahkan, Alea tidak bisa merasakan gerakan di perutnya.  

'Bayiku, apa dia baik-baik saja?' Alea mulai panik.  

"Jadi, anda merelakan bayi anda?"  

"Ya, aku tidak peduli dengan bayi itu. Selamatkan saja istriku. Jangan membuat luka sayat berlebihan, aku tidak mau istriku mendapat bekas luka yang lebar."  

"Baik tuan! Kalau begitu, silahkan tunggu di luar. Kami akan memulai operasi!" 

Terdengar suara langkah kaki yang menjauh, disertai dengan suara deritan pintu yang tertutup.  

'Operasi? Kenapa mereka harus melakukan operasi padaku?' 

Alea mengernyit saat merasakan cairan dingin memasuki tubuhnya. 'Tidak! Jangan sentuh aku. Tolong! Jangan sakiti bayiku!'  

Alea tidak tahu pasti apa yang dilakukan orang-orang pada tubuhnya. Dia hanya merasakan beberapa sentuhan saja. Tapi, dari pembicaraan mereka, Alea yakin saat ini dirinya sedang menjalani operasi sesar untuk mengeluarkan bayinya.  

"Dok! Bayinya terlihat!"  

"Segera keluarkan! Siapkan labu darah! Tekanan darah pasien menurun."  

Alea merasakan sedikit ngilu di perutnya. Tak lama, dia mendengar suara tangis bayi.  

"Dok! Bayinya laki-laki!"  

'Bayiku ... syukurlah kamu selamat, Nak!' batin Alea tertawa. Terharu mendengar suara tangis bayinya. 'Bayiku selamat. Terima kasih Tuhan!"  

"Dokter, biar saya saja yang mengurus bayi itu. Mari, berikan kepada saya!"  

Alea tersentak mendengar Kevin meminta bayinya. Dia pun panik. 

'Tidak! Jangan biarkan orang itu mendekati bayiku. Jauhkan dia! Jangan berikan bayiku padanya. Tidak!"  

Lagi-lagi, kesadaran Alea menghilang. Kegelapan Menenggelamkan dirinya dalam ketidaksadaran. 

***

Silau. Alea membuka mata saat secercah cahaya menyilaukan penglihatannya.  

Awalnya, Alea pikir dirinya bermimpi. Namun, setelah melihat seorang perawat paruh baya sedang mengecek labu infus disampingnya, Alea yakin dirinya memang siuman.  

'Bayiku? Apa dia baik-baik saja?' 

Alea tersentak begitu teringat pada bayinya. Dia harap, Kevin tidak menyakitinya.  

"Suster, dimana bayiku?" 

Alea mengeluarkan suara. Dia lega kala mendengar suaranya sendiri. 

"Anda sudah bangun nyonya? Saya akan panggilkan dokter."  

Perawat yang Alea tanya hendak pergi, namun Alea lebih dulu mencekal tangannya.  

"Tunggu suster! Tolong jangan katakan apapun pada dokter," pinta Alea dengan wajah panik. Teringat dengan Kevin dan Fiona yang ingin menyakitinya. 

"Tapi Nyonya, dokter harus segera memeriksa keadaan Anda." Nampak, rasa heran yang kentara dalam raut wajah perawat tersebut. 

Alea menggeleng. "Suster, seseorang ingin mencelakaiku dan bayiku. Tolong percaya padaku! Aku mohon, tetaplah diam. Jangan beritahu siapapun kalau aku sudah bangun," pinta Alea memelas.  

"Nyonya, anda mungkin bermimpi. Tidak ada orang yang akan menyakiti Anda." Perawat melepaskan cekalan tangan Alea, lalu beranjak pergi. "Saya akan panggilkan dokter agar anda segera diperiksa."  

Alea panik. Tanpa memperdulikan rasa sakit di tubuhnya, dia mencabut jarum infus yang tertancap di punggung tangannya, kemudian turun dari tempat tidur.  

Argh! 

Alea meringis saat merasakan rasa sakit yang amat sangat mendera perutnya. Dia menggigit bibir seraya duduk di pinggir ranjang.  

"Ya ampun, nyonya! Kenapa turun dari ranjang?" Perawat paruh baya yang hendak keluar berbalik, lalu menghampiri Alea. "Anda baru selesai menjalani operasi dua jam lalu. Anda masih harus istirahat." 

"Dimana bayiku?" tanya Alea tanpa memperdulikan peringatan dari perawat.  

"Bayi anda aman. Dia ada di ruang NICU. Anda tidak perlu khawatir."  

"Ruang NICU?" Muncul sedikit rasa lega dalam hati Alea saat mendengar bayinya baik-baik saja. "Aku harus segera ke sana."  

"Tidak nyonya! Anda harus tetap disini. Berbaringlah! Saya akan menyuntik obat penenang untuk anda." 

Perawat memaksa Alea berbaring.  

Alea pun panik saat perawat mengambil sebuah suntikan dari baki yang terletak di atas nakas. 

"Suster, Aku mohon, jangan berikan obat apapun," pinta Alea. "Aku berjanji akan tenang."  

Perawat terlihat ragu. Namun, Alea buru-buru memasang wajah meyakinkan. Dia bahkan dengan sukarela mengatur posisi tidurnya. 

"Baiklah! Tunggu disini sebentar, saya akan panggilkan dokter." Perawat pergi, meninggalkan Alea sendirian.  

Alea menatap kepergian perawat. Begitu pintu kamar tertutup, dia kembali bangun. Tidak diperdulikannya rasa sakit yang mendera. Alea memaksakan diri turun dari tempat tidur, lalu pergi keluar kamar. 

Sekilas, Alea melirik jam di lorong depan kamar yang menunjukkan pukul 21.30. Dia yakin, para perawat di ruang NICU sudah pulang, hanya tersisa perawat jaga saja. Tanpa membuang waktu, Alea berjalan ke ruang NICU dengan tertatih-tatih. 

"Bagaimana bisa kalian kehilangan istriku?"  

Alea tersentak saat mendengar suara Carlos. Buru-buru, dia bersembunyi di balik dinding. Nampak, pria itu keluar dari ruang NICU yang berjarak beberapa meter dari tempat Alea berdiri. 

"Bodoh kalian semua! Menjaga satu wanita saja tidak becus." 

Alea mengintip ke arah lorong. Carlos berjalan melewatinya sambil marah-marah. Alea yakin, suaminya sudah mengetahui kalau dirinya kabur.  

Begitu Carlos menjauh, Alea bersiap keluar dari persembunyian. Tapi, sebuah tangan mencekal tangannya. Alea kaget melihat perawat yang tadi merawatnya tiba-tiba ada di hadapannya.  

"Suster Anda–."  

"Ssst! Jangan keluar! Tetaplah bersembunyi!" potong perawat. Wajahnya terlihat pucat. Dia nampak ketakutan. "Anggap ini sebagai permintaan maaf karena sudah tidak mempercayai anda."  

Alea bingung dengan sikap perawat paruh baya dihadapannya.  

"Anda harus segera pergi dari sini, Nyonya. Nyawa anda dan bayi anda sedang dalam bahaya," tukas perawat. Menjawab kebingungan Alea.  

"Suster, kamu mau membantuku?" tanya Alea meyakinkan.  

Perawat tersebut mengangguk. "Tunggu disini! Saya akan membawa bayi anda. Banyak pengawal di depan ruang NICU, terlalu berbahaya jika anda pergi ke sana sendirian."  

"Tapi suster–."  

Belum sempat Alea bicara, perawat itu lebih dulu pergi. Alea mengusap air matanya. Dia memperhatikan kepergian perawat paruh baya dengan harap-harap cemas. 

Nampak, penjaga berbicara serius pada perawat, lalu membiarkannya masuk ke dalam ruang NICU. 

Tak lama setelah perawat masuk ke ruang NICU, perawat itu keluar dengan membawa sebuah kotak inkubator. 

Tangis Alea pun pecah begitu melihat bayi laki-laki dalam kotak kecil yang perawat dorong.  

"Bayiku," isak Alea.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status