Arancia tampak memakan makanan yang di bawakan lelaki paruh baya itu dengan sangat lahap. Perutnya yang tidak terisi sejak hari kemarin, membuatnya kalap. Kevan tampak masih menatap bagaimana wajah polos Arancia. "Alhamdulillah, kenyang, Paman. Terima kasih sekali," ucapnya ceria. Lelaki paruh baya itu tersenyum, ia memilih menemani nona mudanya. Duduk berselonjor di sampingnya. "Makanannya enak sekali, Paman. Baru kali ini aku merasakan makanan yang begitu lezat," seru Arancia. "Memangnya, selama ini nona selalu memakan apa?" tanyanya heran. Arancia menatap lelaki tersebut. Dan tersenyum kecil. "Dulu ... terkadang aku hanya memakan makanan sisa dari ayah, ibu dan juga adik tiriku. Aku tidak pernah di izinkan duduk makan bersama di meja makan. Karena ibu tidak suka, dan ayah ... dia hanya diam saja. Ayah pernah berkata, jika ia tidak bisa melihat ibu bersedih," lirih Arancia. "Tapi ... meskipun sikap ayah seper
"Tuhan, ambil saja nyawaku!" Brak Suara barang terjatuh begitu keras sekali. Membuat Kevan yang hendak melangkahkan kakinya seketika berhenti. Ia pun memutar badannya, menatap pintu perpustakaan yang sengaja ia kunci dari luar. Suara itu kembali terdengar, membuat lelaki tampan yang masih memakai topengnya pun penasaran. Kevan berjalan, mendekati pintu. Dan memutar knopnya. Ceklek Pintu pun terbuka, mata Kevan sontak terbelalak kaget, kala melihat keadaan perpustakaan yang sudah sangat berantakan. "Ya Tuhan, ada apa ini?" seru Kevan kaget. "Paman Ibrahim," teriak Kevan memanggil pria paruh baya yang menjadi kepala pelayan. Kevan masuk, mencoba mengedarkan pandangan, menatap seisi perpustakaan yang sudah kacau balau. Pria yang di ketahuilah bernama Ibrahim itu berlari tergopoh-gopoh kala mendengar teriakan tuannya. "Tuan, ada apa ...." Ibrahim begitu kaget, kala melihat keadaan perpustakaan. Lantas ia menatap tu
"Kau, bagaimana bisa?!" Arga shock menatap wajah Kevan yang ternyata sudah berubah. Arga tidak menyangka, jika wajah Kevan tidak hancur lagi. Entah kapan ia mengoperasi wajahnya. Kecewa, Kevan sama sekali tidak mengajarinya. Kevan bangun, ia meringis merasakan sakit di pipinya. Pukulan yang di lakukan oleh Arga, lumayan membuat rahangnya sakit. "Kenapa? Kaget hah!" sentak Kevan. Arga masih diam. "Kenapa kau sama sekali tidak mengabariku. Kau tega Kevan, bagaimana bisa?" "Jangan kau memberi tahu siapapun, tentang wajahku! Aku ingin melihat mereka hancur, orang-orang yang sudah membuatku seperti ini!" Baru saja, Arga ingin membuka suaranya. Suara ketukan pintu membuatnya mengurungkan niatnya. Tok tok tok "Masuk," ucap Arga. "Dok, maaf operasi akan segera di laksanakan. Semua sudah siap, hanya tinggal menunggu kedatangan anda." Arga mengangguk. Lalu ia memilih untuk keluar, mengikuti langkah kaki p
Arga menggeleng, ia tidak percaya. "Tidak mungkin." Kevan yang melihat kekhawatiran Arga, langsung menghampiri sahabatnya itu. Regel pun mengikuti Kevan. Arga masih mencoba memastikan dugaannya. Sudah seharusnya sedari tadi Arancia sadar, namun sampai saat ini ia belum juga siuman. "Ada apa, Ga? Mengapa kau begitu khawatir dan panik?" tanya Regel heran. Arga menatap kedua sahabatnya bergantian, raut khawatir dari wajahnya tidak dapat ia sembunyikan. "Arancia, dia ... Koma!" Deg Kevan langsung mematung di tempatnya. Menatap wajah pucat yang masih senantiasa setia menutup kedua matanya. "Seharusnya ia sudah sadar sedari beberapa menit yang lalu, tetapi entah kenapa sepertinya ia tidak berniat untuk bangun. Sepertinya ia betah berada di alam sana, dia ... seolah-olah tidak mempunyai semangat untuk melanjutkan hidupnya," jelas Arga. Kevan menatap tidak percaya pada penjelas Arga. Arga pun menatap balik pada Kevan. "K
Tut tut tut Kevan sesekali memerhatikan detak jantung Arancia. Entah perasaannya atau memang detak jantung itu semakin lama semakin lemah. Hari sudah menunjukkan tengah malam, lelaki itu sama sekali tidak memejamkan matanya. Regel dan Arga, mereka sudah tertidur semenjak satu jam yang lalu. "Arancia, apakah kamu mendengarkan aku? Bangunlah, jangan seperti ini," lirih Kevan. Kevan memberanikan diri untuk menggenggam tangan Arancia. "Dingin," gumam Kevan. Lantas lelaki itu menatap wajah Arancia yang semakin memucat. Atensi lelaki tampan itu teralihkan ke arah detak jantung Arancia yang semakin melemah. Risau, akhirnya Kevan hendak membangunkan Arga. Namun, baru saja lelaki itu akan melangkah, bunyi detak jantung Arancia terdengar memekakan telinga. Tuuuuuttt Kevan mematung, detak jantung itu tidak lagi berbunyi. Arga yang tengah tertidur sontak langsung terbangun. "Ya Tuhan," pekik Arga. Dokte
"Tuan, tuan. Nona ...." Seorang perawat wanita berlari menghampiri ketiga pria tampan yang masih berada di ruang perawatan Arancia. Terlihat dari nafas wanita itu yang memburu, sepertinya ia berlari. "Maafkan saya, Tuan, Dok. Jika saya mengganggu waktu kalian. Saya hanya ingin menyampaikan soal nona yang ...," ucapan wanita itu terjeda, ia masih berusaha menetralkan nafasnya yang masih terengah-engah. Setelah di rasa tenang, wanita itu kemudian melanjutkan ucapannya. "Tuan, nona masih hidup! Tadi, ketika kami akan memandikan nona, jari-jarinya sempat bergerak meskipun lemah. Lalu mata yang beberapa waktu lalu betah menutup, perlahan terbuka. Saat ini, nona tengah di mandikan dan di gantikan bajunya oleh para perawat lainnya. Dan setelah selesai, kami akan kembali membawanya kemari," ujarnya. Kevan langsung berdiri, ia menatap tidak percaya. Lantas lelaki itu memilih untuk melihat langsung. Arga sendiri sudah tersenyum senang. Ternyat
"Entah kenapa, setiap menatap wajah lelaki itu ... hatiku merasa sakit," monolog Arancia. Kevan memilih untuk duduk di atas sofa yang berada di ruang rawat. Ibrahim tampak memasuki tempat Arancia di rawat. Pria paruh baya itu membawa beberapa paper bag, yang entah apa isinya. Arancia menatap wajah teduh Ibrahim. Meskipun terkadang wajah itu terlihat datar dan dingin. Namun, Arancia dapat melihat ketulusan di balik wajah itu. "Apa kabar, Nona?" tanya Ibrahim. Arancia tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap wajah pria paruh baya itu. Sekelebat bayangan muncul di dalam kepalanya, membuat gadis cantik itu memekik kesakitan. "Arggh! Sakit!" Kevan langsung bangun mendekati Arancia. Sementara Ibrahim ia langsung berlari keluar, meminta dokter untuk datang ke ruangan nona mudanya. "Ara, are you ok?" tanya Kevan yang ikut khawatir. Arancia tidak menjawab ucapan Kevan. Ia masih memeluk kepalanya, kilasan kejadian demi kejadia
"Ibu anda menjual rumah ini dan ayah anda ... dia meninggal." Deg Zahra mematung di tempatnya. Ia tidak percaya mendengar kabar yang di ucapkan oleh pria paruh baya itu. "Tidak! Bagaimana bisa, ibu menjual rumah dan ayah, dia sudah ... meninggal!" monolog Zahra. Ia masih terpaku di tempatnya berdiri. Sesak karena ia tidak sempat mengucapkan perpisahan dengan sang ayah. Meskipun terkadang ia selalu melawan Wijaya, namun jauh di lubuk hatinya Zahra begitu menyayangi Wijaya. Sebab Zahra masih ingat, kala Wijaya meminta sang ibu untuk menggantikan posisi ibunya Arancia. Ketika itu, hidup Zahra dan Sekar sangat prihatin. Kesusahan dan terlunta-lunta. Lantas, apa yang terjadi. Yang membuat sang ayah sampai meninggal. Zahra harus bertanya pada siapa? Sedangkan ibunya tidak tahu di mana. Tanpa berkata apapun, wanita berpakaian sexy itu pun berlalu begitu saja. Pria paruh baya itu hanya menatap, tanpa mencegah. "Kita cari hotel saja