"Ibu anda menjual rumah ini dan ayah anda ... dia meninggal." Deg Zahra mematung di tempatnya. Ia tidak percaya mendengar kabar yang di ucapkan oleh pria paruh baya itu. "Tidak! Bagaimana bisa, ibu menjual rumah dan ayah, dia sudah ... meninggal!" monolog Zahra. Ia masih terpaku di tempatnya berdiri. Sesak karena ia tidak sempat mengucapkan perpisahan dengan sang ayah. Meskipun terkadang ia selalu melawan Wijaya, namun jauh di lubuk hatinya Zahra begitu menyayangi Wijaya. Sebab Zahra masih ingat, kala Wijaya meminta sang ibu untuk menggantikan posisi ibunya Arancia. Ketika itu, hidup Zahra dan Sekar sangat prihatin. Kesusahan dan terlunta-lunta. Lantas, apa yang terjadi. Yang membuat sang ayah sampai meninggal. Zahra harus bertanya pada siapa? Sedangkan ibunya tidak tahu di mana. Tanpa berkata apapun, wanita berpakaian sexy itu pun berlalu begitu saja. Pria paruh baya itu hanya menatap, tanpa mencegah. "Kita cari hotel saja
[Tuan, pria yang membawa mantan kekasih anda, dia adalah ... sepupu anda tuan Alex.] Kevan diam, ia tidak langsung menjawab pesan yang di kirimkan oleh anak buahnya. Alex, sang sepupu yang ternyata anak dari pria yang sudah mencelakai dirinya. Sungguh Kevan merasa menjadi lelaki paling bodoh. Sebab dua orang terdekatnya mampu berkhianat. [Tetap awasi, jangan sampai lengah. Kabari saya setiap gerak gerik perempuan murahan itu.] [Baik, siap laksanakan.] Kevan menunggu waktu yang tepat untuk meringkus tua bangka itu. Namun, sisi hatinya merasa berat, sebab pria itu adalah ayah dari wanita yang ia cintai sedari beberapa tahun yang lalu. Andai saja jika pria itu merestui hubungan mereka, mungkin saja saat ini mereka sudah hidup bahagia. Memiliki anak dan impian bersama. Hanya karena status sepupu, membuat Kevan terpaksa mengurungkan cintanya. Atensi Kevan teralih pada gadis yang tengah menutup matanya. Gadis yang tida
"Bismillah, semangat Ara," ucap Arancia menyemangati dirinya sendiri. Arancia mengikuti Ibrahim, masuk ke dalam mansion Kevan. Namun, ketika ia sampai di ruang tengah, alangkah sakit hati Arancia melihat Kevan tengah memangku Angelina. Arancia menatap nanar, posisi Angelina membelakangi Arancia, dan kepala wanita itu miring, khas orang yang tengah berciuman. Kevan menatap mata Arancia, entah kenapa ia melihat luka di dalam binar matanya. "Mari, Nona. Ikuti saya," ucap Ibrahim sengaja ia mengalihkan perhatian Arancia. Ibrahim pun merasa sedih, ia tidak habis pikir pada tuannya. Bagaimana mungkin ia bisa melakukan hal seperti itu, di saat istri sah baru saja pulang dari rumah sakit. "Ah, baik paman. Maafkan aku," pungkas Arancia. "Mari, Nona. Dan ... anggap saja kedua orang itu, orang stress," kelakar Ibrahim membuat Arancia terkekeh-kekeh. Ibrahim pun ikut tersenyum, senyuman Arancia tidak luput dari pandangan Kevan.
"Ingat ini, gadis bodoh! Tidak ada yang pantas mendapatkan Kevan, dan layak mendampinginya selain aku. Hanya aku," tekan Angelina. "Jadi jangan harap kau akan bersanding dengannya, sebab sebentar lagi kau akan tersingkir dari sini." Setelah mengatakan hal itu, Angelina berlalu begitu saja dari hadapan Arancia. Sementara, Arancia masih mematung kala mendengarkan ucapan pedas dari mulut Angelina. Arancia menghela nafasnya lelah, tidak seharusnya Kevan membiarkan seorang wanita masuk ke dalam rumahnya. Itu sama saja ia membuka peluang kehancuran, meskipun kenyataannya pernikahan yang terjadi di antara mereka bukan keinginan Kevan sendiri. Lalu, salahkah bila Arancia hanya ingin dihormati hak-haknya sebagai seorang istri?. "Ah, apa yang kamu harapkan dari pernikahan ini, Ara. Sementara suamimu sendiri sama sekali tidak menginginkan kehadiranmu!" monolog Arancia. Lalu gadis itu memilih untuk kembali ke paviliun. Masa bodoh dengan pekerjaann
"Nona, gadis baik-baik, Tuan. Tidak seharusnya anda memperlakukannya seperti itu. Dia di sini hanyalah korban, korban dari keegoisan ibu tiri dan juga ... kekasih anda. Apalagi saya dengar, ayah nona sudah tiada. Seharusnya anda tempatnya berlindung, dan berkeluh kesah. Tolong saya mohon, berhenti bersikap seperti saat ini. Saya tidak tahu apa yang akan di perbuat oleh perempuan itu pada nona. Namun, saya berharap jika anda tidak akan menyesali semua perbuatan yang telah anda lakukan." Ibrahim pergi begitu saja dari hadapan tuan mudanya. Jengah, itulah yang di rasakan oleh pria paruh baya itu. "Semoga Tuhan melindungimu, Nona. Dari perempuan bermuka dua itu," monolog Ibrahim. Kevan sendiri masih mematung di tempatnya berdiri saat ini. Ucapan yang di lontarkan oleh Ibrahim, begitu mengena di hatinya. Korban. Ya sebenarnya Arancia hanyalah korban dari keegoisan Zahra dan juga Sekar, ibunya Zahra. Arancia, ia tidak mengetahui apapun selain
"Apa benar jika babu itu adalah istrimu? Jawab, Kevan jangan diam saja!" teriak Angelina. Kevan menatap Angelina dengan tatapan yang tidak dapat di artikan. Siapapun Arancia, bukan urusan perempuan ular itu. Kevan terpaksa menampung Angelina, karena kenyataannya ia ingin mengumpulkan semua bukti. Yang akan memberatkannya nn juga sang paman, orang yang menjadi dalang dari kecelakaan yang ia alami. "Siapa pun dia, itu semua bukan urusanmu," ucap Kevan dingin. Wajah Angelina semakin memerah, menahan amarahnya. "Aku harus tahu, dan kau ...." "Siapa kau, sehingga aku harus memberi tahu kan siapa gadis itu? Ingat! Kau bukanlah siapa-siapa, dan ini semua bukan ranahmu!" ucap Kevan memotong perkataan Angelina. Angelina tidak terima, lantas ia berdiri menghampiri Kevan. Dan dengan tidak tahu malunya, ia duduk di atas pangkuan Kevan. Lelaki itu mendelik, hendak menurunkan Angelina. Namun terlambat karena Re
"Kau tahu? Meskipun kau sahabatku, tetapi aku tidak suka jika milikku di sentuh orang lain." Arga tersenyum miring, menatap Kevan. "Milikmu? Sejak kapan? Bukankah dia ... hanya istri di atas kertas? Kau bahkan tidak menginginkannya." Deg Kevan terdiam mendengarkan ucapan Arga. Ia mengepalkan kedua tangannya dengan erat, bahkan buku-buku tangan itu terlihat memutih. Salahkah bila Kevan marah mendengar ucapan Arga? Namun nyatanya apa yang di katakan lelaki itu benar adanya. "Ingat Van! Jika kau masih menyakitinya, aku tidak segan-segan mengambilnya dari sisimu, camkan itu!" tegas Arga lantas ia memilih berlalu dari sana tanpa menunggu balasan dari mulut Kevan. Kevan sendiri terdiam mendengar ucapan Arga. Jangan sampai apa yang di ucapkan lelaki itu menjadi kenyataan. Kevan menggeleng, "Tidak akan aku biarkan seorang pun memilikimu. Hanya aku yang berhak atas hidupmu." Sementara itu, Arancia masih betah menutup ked
"Oh, jadi ceritanya kau cemburu?" tanya Regel dengan senyuman mengejek. Kevan langsung menoleh ke arah Regel yang masih tersenyum mengejek ke arahnya. Ingin sekali lelaki itu memberikan pelajaran pada sahabatnya, tetapi Kevan tidak bisa melakukannya. Untuk saat ini, Kevan tidak bisa mengartikan apa yang ia rasa. Kevan hanya tahu, jika ia tidak suka ada seorang pria yang lebih memperhatikan Arancia. Regel menepuk bahu sang sahabat, "Rasakan bagaimana perasaanmu padanya. Jangan sampai kau menyesal, dia gadis baik dan penurut. Dan aku rasa ... dia pantas menjadi rebutan." Kevan terdiam sembari menundukkan kepalanya. "Hilangkan rasa gengsimu itu, Van. Kapan lagi kau bisa mendapatkan wanita sebaik dia dan yang paling utama dia masih ... tersegel." Regel tentu tahu bagaimana gaya berpacaran Kevan dan Zahra dulu. Jika sekedar senam bibir, sudah tidak terhitung. Maklum gaya berpacaran Kevan dan Zahra bebas, meskipun tidak sampai menj