Share

BAB 2| Pendekar yang Hilang Ingatan

“Di mana aku? Kenapa aku berada di sini?”

Kepalanya terasa ditusuk-tusuk dan sakit luar biasa. Dengan tangan masih gemetar hebat, dia pegangi kepalanya yang berdenyut. Ada cairan hangat mengalir di belakang kepalanya. Dia mengusapkan tangan dan darah merah melekat di telapaknya.

“Apa aku terbentur?”

Pria itu tidak ingat bagaimana dia bisa terluka dan jatuh ke sana. Satu-satunya petunjuk yang dia miliki adalah kalung di lehernya. Sebuah pecahan batu pipih dengan ukiran-ukiran simbol terkalung di lehernya. Di sisi lain pecahan batu itu terukir kata RION.

“RION? Apa itu namaku?” Dia usapkan jempol ke permukaan ukiran huruf-huruf itu.

Tiba-tiba sekawanan burung datang dan mengerumuni tubuh Rion. Rion menjerit dan menghalau kepakan serta cakaran burung-burung itu. Sebuah potongan kenangan muncul di pikirannya. Seseorang mendorongnya dari puncak tebing.

“Temukan tujuh dewa perang yang hilang!” bisik burung-burung itu di antara kepakan sayapnya.

Rion menyilangkan kedua lengan untuk melindungi wajah dan kepala dari serangan burung-burung. Tak lama, burung-burung itu pergi begitu saja. Di salah satu dahan pohon ada seekor elang yang mengawasinya dengan sepasang mata tajam.

“Apa yang baru saja terjadi? Kenapa burung-burung itu seakan membisikkan sesuatu padaku? Siapa tujuh dewa perang yang hilang?” Rion mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajah dengan putus asa.

Rion duduk di sebuah batu besar sambil memegangi kedua lututnya yang gemetar. Dia terbangun setelah pingsan entah berapa lama. Pria berambut hitam dan panjang itu kebingungan.

Lamunan Rion dibuyarkan oleh sebuah suara gerisik tak jauh dari tempatnya berada. Rion waspada sambil menggenggam sebongkah batu tajam untuk perlindungan.

Rion berada di belantara hutan. Dia ketakutan. Kepalanya menoleh ke kiri untuk mendengarkan. Hanya ada suara kesiur angin yang menerpa dedaunan. Dia meneleng ke kanan. Ada suara-suara keretak ranting kayu yang terinjak samar. Suara itu mendekat ke arahnya.

“Tunjukkan dirimu!” teriak Rion. “Siapa di sana?”

Suasana kembali sepi. Rion mendengarkan lagi dengan seksama. Suara kesiur angin dan gesekan dedaunan di atas kepalanya menutupi suara-suara yang ingin dia dengarkan.

Woosshh!

Sebuah belati memelesat dan Rion refleks miring beberapa senti untuk menghindar.

“Bagaimana bisa?” Rion terkejut dengan kecepatan refleksnya sendiri.

Rion memejamkan mata dan mulai berkonsentrasi untuk mendengarkan suara-suara yang mendekat ke arahnya. Sepasang mata birunya terbuka. Satu belati melayang lagi. Kali ini, dia halau dengan tendangan.

Sekelebat saja Rion melihat pergerakan sesosok manusia. Dia melompat dari pohon di belakang Rion dan menjauh. Rion memburu sosok itu dengan kecepatan penuh. Sosok itu pun berlari dengan kecepatan yang tak kalah gesit.

Rion terkejut. Dia tidak ingat jika pernah menguasai jenis bela diri apa pun. Akan tetapi, otot-otot tubuhnya seakan bergerak secara naluri untuk bertahan dan melindungi dirinya dari serangan.

“Siapa aku sebenarnya? Siapa orang yang menyerangku?”

Rion terus memburu sosok itu untuk mencari tahu kenapa dia diserang. Di atas kepalanya, sejumlah burung turut berterbangan bersama laju lari Rion.

“Kenapa burung-burung ini terus mengikutiku?”

Burung-burung itu terbang memelesat. Mereka ikut memburu sosok yang Rion kejar. Tercipta badai burung di tengah-tengah hutan. Rion sekali lagi ternganga. Karena burung-burung itu seakan membantunya.

Woosssh!

Klap... Klap... Klap...

Suara kepakan sayap-sayap burung menggema ke penjuru hutan. Pria yang Rion kejar dikepung oleh burung-burung.

Woossshh!

Dia berhasil keluar dari selubung burung seperti seekor kupu-kupu yang baru muncul dari kepompong. Dia lemparkan belati tepat ke dada Rion.

Slaap! Blessh...

Rion terlambat menghindar dan belati menancap di bawah bahu kirinya.

Sraaak...

Rion terdorong. Bukan hanya belati yang menghunus dadanya, tapi juga sebuah kekuatan besar mendorongnya hingga terjengkang.

Klap... Klap... Klap...

Burung-burung yang semula membantu Rion, kini berbalik menyerang Rion atas perintah sosok misterius itu.

“Orang itu bisa mengendalikan burung. Siapa dia?”

“Aku harus membuat perhitungan denganmu, pengendali burung!” cibir pria bertubuh kecil berpakaian jembel yang dikejar Rion.

“Siapa kau?” teriak Rion sambil menahan luka di dada. “Apa kau mengenalku? Kenapa kau ingin membunuhku?”

“Kau sudah melalaikan tugas dan tanggung jawabmu sebagai seorang dewa perang. Sudah terlalu banyak nyawa yang melayang karena sikap pengecutmu! Kau bahkan berpikir untuk melarikan diri dengan membiarkan dirimu jatuh ke jurang? Maka, kau harus membayarnya dengan kehidupanmu!”

Rion kebingungan. “Kenapa aku harus bunuh diri dengan melompat dari tebing?”

Dalam ingatan Rion, dia tidak bunuh diri, tapi didorong oleh seseorang dari puncak tebing.  Napas Rion sesak dengan dada yang berdentum-dentum. Dia menggertakkan gigi sambil mencengkeram gagang belati yang menancap di dada kiri.

Dengan sekuat tenaga, Rion mencabut belati di dadanya. Rasanya sakit luar biasa. Darah merembes dari luka yang menganga.

“Kau tahu siapa aku? Bisa kau jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi?” Rion memucat menahan luka di dadanya. “Siapa itu tujuh dewa perang?”

Pria bertubuh kecil, berjenggot putih panjang, dan berambut yang juga putih awut-awutan itu mengira Rion hanya sedang berpura-pura. Dia kembali memutar kedua tangannya dan memanggil burung-burung untuk menyerang Rion.

Wooss... Wooss...

Rion diselimuti burung-burung. Tubuhnya terangkat dari tanah lalu diempaskan hingga menumbuk sebatang pohon besar.

Bruk! Rion jatuh terduduk. Hoek! Darah munyembur dari mulutnya.

“Kau... ingin membunuhku?” desis Rion di tengah muntahan darahnya dengan putus asa. “Apa salahku?”

“Kau harus hidup untuk membayar kesalahanmu!”

Rion membeliak.

Pria bertubuh kecil dengan punggung sedikit bungkuk itu kembali menggerakkan tangannya. Dia memanggil seekor elang berukuran raksasa. Dengan sejumlah ucapan mantra dan gerakan tangan yang membentuk sebuah simbol, elang raksasa itu menghantam tubuh Rion. Kekuatan hantamannya setara dengan pukulan batu besar.

Rion merasa tubuhnya remuk dan dicabik-cabik. “Beginikah rasanya kematian itu?”

Perlahan-lahan, Rion kehilangan kesadaran. Di tengah-tengah ambang kesadarannya, Rion masih sempat melihat rambut hitam panjangnya berubah menjadi merah darah.

Sepasang mata Rion membeliak. Warna biru langit pada mata Rion juga berubah menjadi merah darah.

Rion berteriak kesakitan. Burung-burung dan binatang berlarian karena teriakannya. Rion bisa melihat elang raksasa memasuki tubuhnya, menembus dadanya, dan terasa keluar melalui punggung.

Suasana menjadi senyap, seakan-akan waktu berhenti berputar. Rion terjatuh ke permukaan tanah masam dan lembap di tengah hutan.

Selama beberapa saat, dia terbaring dalam keadaan sekarat. Jemari tangannya mulai bergerak tapi lemah sekali.

Pria berpakaian jembel itu berjalan mendekati Rion.

Rion melihat sosok itu mengangkat sebuah pedang yang bilahnya berkilat diterpa cahaya. Dia menghunuskan pedang ke punggung Rion dengan senyum kemenangan.

Blesh!

Rion memekik lagi saat dia merasakan dingin logam tajam menembus tubuhnya dengan rasa sakit yang luar biasa.

Rion mencium aroma amis darah dengan napasnya yang terputus-putus. Rion merintih kesakitan. Otot-otot tubuhnya terasa kaku hingga tak mampu digerakkan.

Kelopak mata rion dengan bulu mata merah perlahan mengatup. Bagian kemeja di perut dan dadanya terasa lembap oleh genangan darah dari tubuhnya sendiri.

“Aku akan mati,” bisiknya. “Aku akan mati tanpa mengetahui sebab kematianku!”

Rion mengepalkan tangan. Dedaunan dan mulsa tergenggam tanpa sengaja. Dia menitikkan air mata dan perlahan-lahan terpejam.

Pria bertubuh kecil itu menjambak rambut Rion hingga kepalanya yang terkulai tak berdaya terangkat. Dia tersenyum puas.

Pengemis tua itu pergi meninggalkan Rion sendirian yang terkapar dengan pedang masih tertancap di punggungnya. Dia mencabut potongan batu pipih di leher Rion dan menuliskan sebuah mantra di sana.

“Temukan mereka, maka kau akan kembali seperti sediakala!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status