Suara kentongan bambu yang dipukul terdengar semakin riuh. Para warga mulai berdatangan dengan membawa senjata masing-masing untuk memburu si panglima karang yang telah membantai sejumlah warga secara acak.Pria bertopeng itu mundur dan melarikan diri sambil berteriak lantang, “Ini hanya peringatan untuk kalian! Aku adalah Panglima Karang sang legenda. Dengan jurus pedang karang, aku bisa membunuh kalian dengan sangat mudah! Haha....”Perempuan yang meringkuk tak berdaya itu berusaha mengejar, “Tunggu! Kau tidak bisa pergi begitu saja!”Rion menahan perempuan itu. “Nona, kau terlalu ceroboh melawan orang seperti itu sendirian.”“Tapi, dia telah menyebarkan fitnah! Jurus pedang karang yang dia sebutkan adalah jurus yang diciptakan oleh ayahku dan tidak ada hubungannya dengan klan Karang atau Panglima Karang yang melegenda itu. Tidak mungkin kami menjadi seorang pembantai!”Rion mengerti kegelisahan perempuan itu. Dia juga sadar kalau sosok bertopeng itu adalah Panglima Karang palsu.
Selter Agung, dua minggu yang lalu.Suara raungan dan erangan terdengar nyaring memekakkan telinga. Ruang bawah tanah puri utama seketika menjadi sangat mencekam. Dua orang samurai yang bertugas menjaga pintu menuju ke penjara bawah tanah saling melirik dengan tawa lemah dan wajah ketakutan.“Aku lebih takut pada perempuan Yanbian itu daripada para penghuni penjara bawah tanah!” ujar seorang penjaga.“Siapa yang mengumpulkan para penjahat berbahaya itu di bawah tanah?” tanya seorang yang lain.“Kau pikir itu Shogun Sakka Kodaichi? Kau salah! Siapa lagi kalau bukan ....”Brakk ... pintu terbuka. Keiko berdiri di sana dengan aroma anyir darah dan peluh di sekitar wajahnya. Rambut panjang perempuan itu menjadi sedikit kusut dan berantakan. Salah seorang penjaga mengulurkan sapu tangan katun bersulam bunga plump yang diterima Keiko dengan wajah datar. Dia seka darah pada pedangnya menggunakan sapu tangan itu.“Bawa tabib dari balai pengobatan ke sini! Dan jangan pernah berikir untuk melep
Malam hari di Kota Lamma terasa begitu mencekam. Sejak sore tak ada seorang pun yang terlihat keluar rumah. Semua orang takut dengan teror yang dilakukan oleh sosok bertopeng yang mengaku menjadi Panglima Karang si legenda. Tak ada yang tahu apa motif dan alasannya menyerang warga kota secara acak.Pada salah satu jalan kota yang lengang, terdapat sesosok pria berpakaian serba hitam yang mengenakan topeng iblis merah. Sosok bertopeng itu berdiri di ujung jalan untuk mengadang seorang pria berambut merah yang sedang melintas di sana. Mereka saling berhadapan.“Lepas saja topengmu, Panglima Karang palsu!” ujar si pria berambut merah yang sedang melintas sambil menarik celurit dari balik punggungnya.“Cih, orang dusun, Bengal! Sudah kukatakan akan kubunuh siapa saja yang kutemui di jalan!” ujar sosok bertopeng yang mengaku sebagai Panglima Karang.Mereka berdua berlari mendekat untuk saling menerjang dengan senjata masing-masing.Tak! Dua bilah celurit tersilang untuk menahan ayunan peda
Rion berlari ke kamar penginapannya dan membuka pintu geser dari bambu berlapis kertas itu dengan terengah-engah. Dia berlari cukup jauh untuk mengejar Nara dan mencegah dari berbuat sesukanya.“Apa yang kau lakukan di kamarku?” Rion membeliak tak percaya.Nara sedang melepas kemejanya saat Rion membuka pintu tanpa peringatan. Gadis itu cepat-cepat meraih kemejanya lagi dan menutupi tubuh sekenanya.“Dasar, pria mesum!” teriak Nara sambil melemparkan belati ke arah Rion.Pemuda itu cepat-cepat menutup pintu lagi hingga belati itu tertancap ke sana. Rion menghela napas lega di luar pintu kamar. Dia sudah siap memuntahkan beragam umpatan dan makian, tapi urung saat sudut matanya menangkap kehadiran Anila di ujung lorong. Wajah perempuan itu tersembunyi sebagian dalam kegelapan. Di kedua tangannya, dia membawa yukata, selimut tambahan, dan handuk bersih.Rion berusaha menjelaskan sesuatu pada Anila, tapi perempuan itu cepat-cepat pergi dari sana tanpa menoleh pada Rion setelah menyerahka
Tali tambang terputus dan pria itu jatuh terjungkal ke tanah dengan suara debum yang menyakitkan. Tiba-tiba muncul dari balik semak-semak sebuah kusarigama—rantai panjang dengan arit sebagai pemberat di ujungnya. Kusarigama itu melayang ke arah Rion untuk menghalangi pemuda itu mendekati si pria yang akan bunuh diri. Seorang ninja berdiri di sana menggenggam ujung rantai kusarigama. Seluruh tubuhnya tertutup pakaian hitam dan hanya menyisakan sepasang mata yang sipit.“Pria itu milikku!” ujar si ninja.Rion hanya meneleng. Sudut matanya menangkap pergerakan pria yang baru dia selamatkan merangkak mengendap-endap untuk melarikan diri sambil membawa satu celuritnya. Sesaat, Rion terkejut mengenali wajah pria itu yang terlihat masih sangat muda.Pecahan batu yang terkalung di leher Rion terasa berdenyut. Refleks dia mengusapnya dan terasa panas. “Ada apa ini? Siapa di antara pria ini memiliki pecahan batu yang sama? Kata singa jantan itu, batu ini akan menuntunku pada pemilik yang lain.”
Rion dapat melihat pergerakan pemuda berpakaian jembel itu yang menyelinap pergi ketika dia sibuk mengendalikan burung-burung. Satu celuritnya masih dibawa kabur oleh pemuda itu. Selagi ada kesempatan, Rion memburu dan menyusul pemuda itu.“Kau mengikutiku, bukan? Sejak pertama aku menginjakkan kaki di hutan Lamma, kau terus mengikutiku sampai ke kota!” suara Rion menggema.Dia berdiri di bawah air terjun. Di puncak tebing tempat muasal air terjatuh, seekor elang bertengger di dahan pohon yang landai. Rion dan elang itu saling menatap.“Dan kau adalah Panglima Karang!“ Rion mencebik, “Ternyata, kau bahkan sudah mengawasiku sejak memasuki Kota Poral di utara Lamma!” Rion teringat pada pemuda itu yang berpura-pura menjadi pengemis. Dia pernah melihat pakaian yang sama saat tiba di Kota Poral sebelum memasuki hutan Lamma.Rion tak tahu pemuda jembel itu mendengar suaranya atau tidak. Dia tahu satu hal yang pasti, semakin mencari semakin banyak dia menemukan pertanyaan-pertanyaan yang tak
Jauh di luar Kota Lamma terdapat sebuah padepokan tua yang terlihat lama tak terurus. Rumput dan ilalang tumbuh tinggi menyelimuti di segala sisi. Padepokan itu dulunya adalah sebuah bangunan sekolah yang sudah tak digunakan. Sisa-sisa palang nama sekolah masih tertancap di depan gapura. Atapnya yang rusak sebagian sudah ditutup dengan welit dan dindingnya yang jebol sudah ditambal dengan papan kayu beraneka bentuk dan ukuran.Sejumlah anak-anak berusia tujuh sampai dua belas tahun terlihat sibuk berlarian, bermain sepak bola, dan berlatih pencak silat di sana. Mereka adalah anak-anak yatim korban perang dan perbudakan antar klan.Seorang pemuda berpakaian jembel baru tiba di sana dan melintasi gapura yang terbuat dari bambu setinggi pinggang pria dewasa sambil membawa sekantung roti. Anak-anak lebih muda yang sedang bermain sepak bola yang terbuat dari rotan itu segera berlari dan menghambur ke arah si pemuda.“Karuna, apa yang kau bawa itu?” teriak anak-anak yang semakin banyak berd
Karuna berdiri di depan pintu sambil mengawasi anak-anak masuk ke ruangan satu persatu. Dia bantu naikkan anak yang lebih kecil dengan mengangkatnya menggunakan satu tangan. Tiba-tiba gerakannya terhenti dan berdiri tegak. “Berhentilah memaksaku. Aku tak ada urusan dengan kalian!” ujarnya sambil menginjakkan satu kaki di undakan dan bersiap masuk.Rion berdiri tak jauh di belakangnya.“Kau egois, Panglima Karang! Kau ingin bunuh diri dan meninggalkan anak-anak ini sendirian di sini?” ungkap Rion berapi-api.Pemuda berpakaian jembel itu urung masuk. Dia turunkan kaki kembali dan berbalik menatap Rion. “Aku bukan Panglima Karang. Aku hanya seorang pemuda miskin yang sudah lelah dengan kehidupan ini.” Dia berbalik dan menaiki undakan.“Penolakan dan penyangkalan tak akan mengubahmu menjadi orang lain!” ujar Rion.Tangan Karuna memegangi erat pintu papan yang hendak dia tutup. Sepasang matanya menyipit menembusi Rion yang berdiri tegang di halaman.“Pemuda yang naif!” desis Karuna. “Jika