“Hei!” Rion berteriak sambil mengulurkan tangannya. Dengan susah payah, Rion berhasil membawa gadis itu kembali ke atas. “Kau baik-baik saja?”
Gadis itu basah kuyup dan tubuhnya menggigil. Dia tidak menjawab tapi malah mengayunkan pedang pada Rion.
“Kau! Bandit utara, serahkan ayahku!”
Rion mundur sambil mengangkat kedua tangan. Dia bersiap mencabut celurit dari balik punggungnya.
“Apa kau tadi yang berteriak meminta tolong?”
“Cih, kau pikir aku membutuhkan pertolongan?” desis gadis itu. Dia tampak tangguh dan sangat waspada.
“Oh, jelas sekali kau membutuhkan pertolongan, Nona!” sindir sang singa. “Kau berteriak seperti anak ayam yang kedinginan. Dan lihatlah sekarang! Kau malah menodongkan senjata pada orang yang telah menolongmu? Tidak tahu diri!”
“SINGA?” jerit gadis itu. “Bisa bicara?”
Gadis itu semakin panik. Dia ayunkan pedang pada singa dan juga Rion secara bergantian.
“Hei, itu berbahaya!” teriak sang singa.
“Nona, tenanglah! Kami bukan bagian dari bandit utara seperti yang kau pikirkan!” bujuk Rion.
Hujan sudah reda. Saat itu, sang gadis sadar ada sejumlah mayat yang tergeletak di sekitar mereka. Dia mulai mengenali mayat-mayat itu. Pada tubuh mereka ada tanda-tanda anggota bandit utara.
Hoeek!
Gadis itu jatuh berlutut dan muntah. Dia mual dan syok melihat para mayat dengan tubuh terpotong-potong. Dia melirik pada celurit yang Rion genggam dan masih meneteskan sisa-sisa darah segar.
Hoeeek! Dia muntah sekali lagi.
“Dasar lemah!” cibir sang singa.
“Kau... Para bandit ini... Apa kau yang membunuhnya?” Gadis itu menudingkan pedang pendeknya dengan tangan gemetar ke arah Rion.
Rion diam saja. Sang singa mendekat dan membuat gadis itu mundur semakin takut. Hari sudah hampir gelap di bukit kapur yang sepi dan dingin itu.
“Urusan kita sudah selesai di sini. Ayo, kita pergi!” pinta sang singa pada Rion. “Gadis ini sama sekali tidak berbahaya. Dia bahkan sangat lemah.”
Gadis itu seperti tersihir sesaat dengan penampilan Rion dan singanya.
“Apa katamu? Aku lemah? Aku adalah gadis pemburu dari Selter Agung!” teriak gadis itu dengan penuh percaya diri. “Siapa kalian?”
“Kami hanya pengembara,” jawab Rion dengan singat.
Gadis itu tidak mau menyerah. Dia terus saja mengikuti Rion. Sampai sang singa merasa tidak nyaman dan terusik.
“Kau pasti bagian dari bandit utara, kan? Hanya mereka yang memiliki kemampuan bela diri sebagus ini dan sangat sadis. Kalian bahkan bisa saling membunuh! Aku tidak tahu apa alasanmu membunuh teman-temanmu sendri. Tapi, aku hanya perlu tahu di mana ayahku berada? Katakan!”
Rion mengabaikan gadis itu dan sibuk membuat api unggun.
Karena terus diabaikan, gadis itu kesal dan kali ini benar-benar menyerang Rion. Dia ayunkan pedang pendeknya hingga mengenai ujung rambut perak Rion.
Rion pun tidak bisa terus menghindar. Dia balas dengan menyabetkan celuritnya hingga pedang pendek gadis itu tersangkut di bilah celurit Rion.
Rion berhasil merebut kedua pedang pendek gadis itu dengan mudah.
“Kau! Kembalikan pedangku!” teriak gadis itu.
Rion masih bungkam. Akhirnya, sang singa yang turun tangan dan memaksa gadis itu untuk menjauh dari mereka.
“Kau ingin aku apakan gadis manja ini?” tanya sang singa pada Rion.
Gadis itu tampak kesal karena terus diabaikan.
“Hari sudah gelap dan udara semakin dingin.” Rion berhasil membuat api unggun. “Kemarilah, kau bisa duduk di depan api unggun jika mau.”
“Oh, kau baik sekali, Pendekar!” sindir sang singa yang kini mulai berbaring malas di dekat api unggun dan mulai ikut mengabaikan gadis pemburu itu.
Malu-malu, akhirnya gadis pemburu itu pun ikut mendekat.
Pakaian mereka yang basah dijemur di dekat perapian. Tetes-tetes air yang jatuh ke permukaan bebatuan menimbulkan gema dan getar yang aneh di telinga mereka masing-masing. Samar di kejauhan, terdengar alunan seruling bambu yang menyedihkan.
Rion bangkit dan menyerahkan dua bilah pedang milik gadis asing itu. “Ini milikmu?”
Gadis itu berusaha meraih pedang dari tangan Rion, tapi Rion menariknya kembali.
“Akan aku kembalikan asal kau tidak mengayunkannya padaku, mengerti?”
Gadis itu mengangguk dan menerimanya dengan kikuk. Saat itulah mereka saling bertatap muka. Gadis itu memperhatikan wajah Rion dari jarak dekat. Seketika dia membeliak.
“Kau? Kau anggota bandit utara!”
“Sudah kukatakan BUKAN!” teriak Rion kesal.
“Maksudku... Kau yang terjun ke jurang waktu itu, bukan?”
Rion mengernyit. “Bukankah kau yang hampir saja terjun ke jurang, Nona?”
Mata gadis itu menajam. Dia bangkit sambil menghunuskan pedang ke arah Rion. Dia melanggar janjinya.
Gadis itu menyadari ada sesuatu yang berbeda pada mata dan rambut Rion. Dia sempat tak mengenalinya. Warna mata Rion yang biru dan ketajaman tatapannya mengingatkan gadis itu pada burung elang yang dia temui akhir-akhir ini.
“Ke mana kau membawa Ayahku?” Gadis itu lupa kalau dia tidak berpakaian. Mantel milik Rion yang dikenakannya terjatuh hingga ke mata kaki.
Rion segera berpaling dan bersikap seakan tak melihat apa-apa. Gadis itu merasa sangat malu dan menutupkan mantel itu ke tubuhnya lagi.
“Kau mengenaliku?” tanya Rion pada akhirnya. “Katakan siapa aku jika kau mengenaliku?” Rion berbalik dan mendesak gadis itu.
Gadis itu menghunuskan pedang agar Rion tak mendekatinya. “Kau melupakanku?” tanya gadis itu tak percaya. “Kau berpura-pura melupakanku setelah menculik ayahku dari Selter Agung? Dasar bandit sialan! Nara... namaku Sakka Nara. Putri dari Sakka Kodaichi. Jangan pernah melupakannya!”
“Nara?”
Mereka berdua sangat tegang dan bersikap saling mengancam.
“Dua minggu yang lalu aku membantu Ayah dan pasukan Selter Agung bertempur menghadapi pasukan bandit utara yang menyerang kami,” tutur Nara. “Aku melihatmu! Kau bagian dari bandit utara. Cepat katakan di mana ayahku? Ke mana kalian membawanya?”
“Aku tidak tahu apa maksudmu? Siapa bandit utara ini?” Rion kebingungan meski tetap dalam posisi waspada.
“Kami bukan bagian dari pasukan bandit utara!” Sang singa mengaum. Hal itu membuat Nara ketakutan dan mundur.
“Singa itu marah. Sudah kukatakan padamu kami bukan bagian dari bandit utara. Kami bahkan tidak tahu siapa mereka!” balas Rion.
Gadis itu masih memicingkan mata dan tidak percaya.
“Jika memang aku musuhmu, untuk apa aku menolongmu?” Rion tidak ingin berkelahi untuk hal yang sia-sia.
Wajah Nara meredup dan dia mulai ragu.
Rion berjuang keras meyakinkan Nara kalau dia tidak mengingat apa pun. Dia juga menceritakan kejadian yang dia alami di dasar jurang.
Meski sulit, tapi Nara mulai terpengaruh dengan cerita yang Rion sampaikan. Karena Nara melihat perubahan warna pada rambut Rion yang tidak bisa dibuat-buat selain oleh kekuatan sihir.
Rion menggeleng sambil memegangi kepalanya. “Aku sama sekali tak mengingat kejadian di Selter Agung. Satu-satunya yang aku ingat, seseorang mendorongku dari puncak tebing, tapi aku tak mengingat wajahnya.”
Mereka melakukan gencatan senjata. Nara merapatkan mantel ke tubuhnya. “Mungkin aku yang telah mendorongmu sampai jatuh ke jurang!”
“Apa?” Rion kaget.
Nara menunduk malu. “Malam itu kau ada di Selter Agung saat penyerangan oleh bandit utara terjadi. Aku pikir kau bagian dari mereka. Aku menyerang dan mendorongmu sampai ke jurang.”
“Bagus sekali! Gara-gara itu, aku jadi kehilangan sebagian ingatanku sekarang!” keluh Rion yang tampak kesal.
“Tapi, aku tetap tidak bisa percaya padamu!” teriak Nara. “Bisa saja kau hanya berpura-pura hilang ingatan. Karena kau sekarang sendirian. Saat ini kau pasti sedang menunggu kawananmu, kan? Kau harus membawaku pada mereka. Aku ingin bertemu ayahku yang kalian tawan!”
“Astaga. Gadis yang keras kepala,” gerutu singa. “Sudah malam, Rion. Sebaiknya kita abaikan dia dan beristirahat. Tampaknya gadis itu juga tidak akan melepaskan kita dengan mudah. Merepotkan sekali. Kita akan pegi saat dia tertidur.”
Malam itu mereka berkemah di dekat sungai. Rion terus menjaga nyala api unggun dan membakar ayam hutan yang berhasil dia tangkap. Sedangkan Nara terus mengawasi Rion dan singanya pada jarak aman. Nara terus memegang senjatanya.
“Ambillah, kau pasti lapar!” Rion menyerahkan septong paha ayam bakar pada Nara.
Gadis itu tampak menelan ludah tapi bersikeras menolak. “Tidak! Kau pasti sudah menaruh racun.”
“Dasar gadis menyebalkan,” gerutu singa. “Sini buat aku saja kalau dia tidak mau!”
Rion meletakkan potongan ayam bakar itu di permukaan selembar daun pisang di dekat Nara. Lalu Rion kembali meringkuk di bawah pohon untuk tidur bersama sang singa.
Saat Nara terbangun di pagi hari, api sudah padam dan dibersihkan. Rion tak ada di sana. Sebagai gantinya ada dua potong pakaian terlipat rapi di samping Nara yang ditumpuk dengan pedangnya.
“Brengsek! Dia kabur? Aaah, kenapa aku jadi lengah begini?”
Nara mengumpat marah dan mencari-cari jejak kepergian Rion. Dia gagal. Nara kembali ke tempat bekas api unggun dan bersalin dengan pakaian yang Rion tinggalkan. Kemeja lengan panjang yang sedikit kebesaran dan celana jin yang anehnya terasa pas di tubuh bagian bawahnya. Dia ikatkan ujung kemeja itu ke pinggang rampingnya dan menggulung lengan hingga ke siku.
“Dari mana dia mendapatkan pakaian-pakaian ini?” Nara tidak pernah memakai pakain seperti itu selain kimono dan hakama di sepanjang hidupnya.
Seekor elang besar terbang rendah. Nara mengenali elang itu. Dia raih pedang dan mulai memburu elang itu sampai jauh ke tengah hutan. Elang itu menghampiri seorang pria dan bertengger di lengannya.
“Siapa kau?” teriak Nara.
Seorang pria tua bercapil bambu kebesaran terkikik begitu melihat Nara berdiri di belakangnya. Pakaiannya lusuh dan kumal dengan penuh tambalan. Wajahnya gelap karena kotoran. Gigi-giginya juga sebagian menghitam karena pinang dengan sepasang mata kecil yang terletak berjauhan.
Naluri Nara sebagai seorang pendekar mengingatkannya akan sebuah ancaman. Keberadaan sosok di tengah hutan itu terlihat cukup mengusik terutama dengan kehadiran elang yang bertengger di lengannya.
“Apa elang itu milikmu?” desak Nara sambil menggenggam gagang pedangnya.
Dia sempat beberapa kali melihat elang itu terbang rendah di sekitar hutan terlarang di Selter Agung. Nara tertarik pada elang itu. Pagi hari sebelum datang serangan dari penyihir dan bandit utara ke Selter Agung, Nara juga melihat elang itu terbang melintasi tebing tempat Rion terjatuh. Nara mengikuti elang itu sampai ke sisi tebing. Dari sana, dia melihat elang turun dan bertengger di lengan seorang pria di hutan terlarang di seberang jurang. Wajah pria itu sulit Nara kenali karena jarak yang terlalu jauh.
“Apa kau menyukainya? Cukup dengan membayar dua puluh keping emas!” tawar pria tua itu sambil mengusap-usap hidungnya dengan tangan yang kotor.
Nara merasa jijik, tapi dia yakin pria tua itu adalah orang yang sama dengan yang ada di hutan terlarang. Jubah lusuh penuh tambalannya sangat Nara kenali. “Katakan yang sebenarnya, apakah elang itu milikmu?”
Pria tua itu mengayunkan lengannya dengan samar hingga elang itu terbang ke langit lepas.
“Kau berisik sekali, Nona Kecil! Aku jadi kehilangan dua puluh keping emasku!” gerutu pria tua itu sebelum berlalu meninggalkan Nara di tengah hutan pinus.
Gadis itu tak suka diabaikan. “Tunggu! Aku melihatmu di hutan terlarang saat pagi hari sebelum bandit utara menyerang Selter Agung. Kau ... bagian dari mereka, bukan? Kau memata-matai kami dengan elang itu!”
Nara menarik lepas pedangnya sambil menggeram kesal. “Rupanya, kalian masih saja terus mengikutiku, kau dan pemuda berambut merah itu!”
Nara menyerang si pria tua. Sabetan pedang gadis itu sama sekali tak mengenai si pria tua. Pria itu bahkan tak melawan. Sambil terus terkekeh, dia menghindari serangan Nara hingga gadis itu kelelahan sendiri.
“Kau mempermainkanku! Lawan aku dengan serius!” teriak Nara kesal.
“Bisa kita sudahi ini? Aku hanya pengemis tua yang berusaha mencari makan, tapi kau ingin membunuhku? Apa salahku? Gadis sekarang sungguh tak ada yang berbudi, cantik paras tapi tidak dengan sikapnya. Cih!”
Nara terengah-engah. Dia ingat pemuda berambut merah semalam mengatakan melihat sekawanan bandit utara di sekitar sini. Nara yakin, keberadaan para bandit utara sampai ke hutan Lamma yang berada jauh di timur Kalamantra juga untuk memburu Panglima Karang, seperti yang dia lakukan saat ini.
“Bawa aku kepada para penyihir dan bandit yang menyerang Selter Agung!”
Sesaat, pengemis itu menggaruk-garuk rambut gimbalnya di balik topi anyaman bambu yang entah sudah berapa lama tak bersentuhan dengan air. Dia terlihat berpikir keras sambil menghitung menggunakan jemari.
“Lima puluh keping dan akan kubawa kau sampai ke sarang mereka!” ujar pengemis itu sambil celingukan seakan-akan takut bila seseorang atau sesuatu mendengar ucapannya.
Nara terlihat berpikir keras. Dia tidak bisa mempercayai pria tua ini. Dia bahkan tak memiliki sekeping pun uang di tubuhnya. Satu hal yang dia tahu, pria tua itu bukan pengemis biasa.
“Aku akan membayarmu saat kita tiba di tempat tujuan!” ucap Nara meyakinkan. Dia akan memikirkan cara untuk membayar pengemis tua itu nanti. Entah dengan ikut mengemis atau melakukan atraksi pedang sesuai dengan keahliannya untuk mendapatkan uang.
Tabir kabut pagi masih mengambang dengan pekat. Usai berhasil lepas dari kekangan Nara, Rion melanjutkan perjalanan bersama sang singa. Kini dia berada di persimpangan sebuah jalan.“Kau yakin Panglima Karang yang akan kita cari ada di sana?”“Yeah, sudah kukatakan berulang kali. Aku mendengar dia menjadi buronan di sana. Kita harus mendapatkannya lebih dulu sebelum orang lain.”Rion harus memutuskan memilih jalur kanan ataukah kiri. Dia tahu, keberuntungan berada di satu sisi dan nasib malang di jurusan yang lain. Pada saat-saat seperti itu, ingin sekali rasanya dia melempar dadu untuk menentukan ke mana harus pergi. Pada sebuah dadu, seperti juga dirinya, akan selalu ada kemungkinan.Pemuda itu mengikuti suara burung pagi yang berkicau di antara selimut kabut. Sang elang memelesat di atas. Rion bisa merasakan kepakan sayapnya. Dia memeluk leher singa raksasanya dan memerintahkan agar pergi ke kanan. Singa itu berlari dengan kecepatan tinggi. Rion merasa nyaman sekali menunggangi tub
Suara kentongan bambu yang dipukul terdengar semakin riuh. Para warga mulai berdatangan dengan membawa senjata masing-masing untuk memburu si panglima karang yang telah membantai sejumlah warga secara acak.Pria bertopeng itu mundur dan melarikan diri sambil berteriak lantang, “Ini hanya peringatan untuk kalian! Aku adalah Panglima Karang sang legenda. Dengan jurus pedang karang, aku bisa membunuh kalian dengan sangat mudah! Haha....”Perempuan yang meringkuk tak berdaya itu berusaha mengejar, “Tunggu! Kau tidak bisa pergi begitu saja!”Rion menahan perempuan itu. “Nona, kau terlalu ceroboh melawan orang seperti itu sendirian.”“Tapi, dia telah menyebarkan fitnah! Jurus pedang karang yang dia sebutkan adalah jurus yang diciptakan oleh ayahku dan tidak ada hubungannya dengan klan Karang atau Panglima Karang yang melegenda itu. Tidak mungkin kami menjadi seorang pembantai!”Rion mengerti kegelisahan perempuan itu. Dia juga sadar kalau sosok bertopeng itu adalah Panglima Karang palsu.
Selter Agung, dua minggu yang lalu.Suara raungan dan erangan terdengar nyaring memekakkan telinga. Ruang bawah tanah puri utama seketika menjadi sangat mencekam. Dua orang samurai yang bertugas menjaga pintu menuju ke penjara bawah tanah saling melirik dengan tawa lemah dan wajah ketakutan.“Aku lebih takut pada perempuan Yanbian itu daripada para penghuni penjara bawah tanah!” ujar seorang penjaga.“Siapa yang mengumpulkan para penjahat berbahaya itu di bawah tanah?” tanya seorang yang lain.“Kau pikir itu Shogun Sakka Kodaichi? Kau salah! Siapa lagi kalau bukan ....”Brakk ... pintu terbuka. Keiko berdiri di sana dengan aroma anyir darah dan peluh di sekitar wajahnya. Rambut panjang perempuan itu menjadi sedikit kusut dan berantakan. Salah seorang penjaga mengulurkan sapu tangan katun bersulam bunga plump yang diterima Keiko dengan wajah datar. Dia seka darah pada pedangnya menggunakan sapu tangan itu.“Bawa tabib dari balai pengobatan ke sini! Dan jangan pernah berikir untuk melep
Malam hari di Kota Lamma terasa begitu mencekam. Sejak sore tak ada seorang pun yang terlihat keluar rumah. Semua orang takut dengan teror yang dilakukan oleh sosok bertopeng yang mengaku menjadi Panglima Karang si legenda. Tak ada yang tahu apa motif dan alasannya menyerang warga kota secara acak.Pada salah satu jalan kota yang lengang, terdapat sesosok pria berpakaian serba hitam yang mengenakan topeng iblis merah. Sosok bertopeng itu berdiri di ujung jalan untuk mengadang seorang pria berambut merah yang sedang melintas di sana. Mereka saling berhadapan.“Lepas saja topengmu, Panglima Karang palsu!” ujar si pria berambut merah yang sedang melintas sambil menarik celurit dari balik punggungnya.“Cih, orang dusun, Bengal! Sudah kukatakan akan kubunuh siapa saja yang kutemui di jalan!” ujar sosok bertopeng yang mengaku sebagai Panglima Karang.Mereka berdua berlari mendekat untuk saling menerjang dengan senjata masing-masing.Tak! Dua bilah celurit tersilang untuk menahan ayunan peda
Rion berlari ke kamar penginapannya dan membuka pintu geser dari bambu berlapis kertas itu dengan terengah-engah. Dia berlari cukup jauh untuk mengejar Nara dan mencegah dari berbuat sesukanya.“Apa yang kau lakukan di kamarku?” Rion membeliak tak percaya.Nara sedang melepas kemejanya saat Rion membuka pintu tanpa peringatan. Gadis itu cepat-cepat meraih kemejanya lagi dan menutupi tubuh sekenanya.“Dasar, pria mesum!” teriak Nara sambil melemparkan belati ke arah Rion.Pemuda itu cepat-cepat menutup pintu lagi hingga belati itu tertancap ke sana. Rion menghela napas lega di luar pintu kamar. Dia sudah siap memuntahkan beragam umpatan dan makian, tapi urung saat sudut matanya menangkap kehadiran Anila di ujung lorong. Wajah perempuan itu tersembunyi sebagian dalam kegelapan. Di kedua tangannya, dia membawa yukata, selimut tambahan, dan handuk bersih.Rion berusaha menjelaskan sesuatu pada Anila, tapi perempuan itu cepat-cepat pergi dari sana tanpa menoleh pada Rion setelah menyerahka
Tali tambang terputus dan pria itu jatuh terjungkal ke tanah dengan suara debum yang menyakitkan. Tiba-tiba muncul dari balik semak-semak sebuah kusarigama—rantai panjang dengan arit sebagai pemberat di ujungnya. Kusarigama itu melayang ke arah Rion untuk menghalangi pemuda itu mendekati si pria yang akan bunuh diri. Seorang ninja berdiri di sana menggenggam ujung rantai kusarigama. Seluruh tubuhnya tertutup pakaian hitam dan hanya menyisakan sepasang mata yang sipit.“Pria itu milikku!” ujar si ninja.Rion hanya meneleng. Sudut matanya menangkap pergerakan pria yang baru dia selamatkan merangkak mengendap-endap untuk melarikan diri sambil membawa satu celuritnya. Sesaat, Rion terkejut mengenali wajah pria itu yang terlihat masih sangat muda.Pecahan batu yang terkalung di leher Rion terasa berdenyut. Refleks dia mengusapnya dan terasa panas. “Ada apa ini? Siapa di antara pria ini memiliki pecahan batu yang sama? Kata singa jantan itu, batu ini akan menuntunku pada pemilik yang lain.”
Rion dapat melihat pergerakan pemuda berpakaian jembel itu yang menyelinap pergi ketika dia sibuk mengendalikan burung-burung. Satu celuritnya masih dibawa kabur oleh pemuda itu. Selagi ada kesempatan, Rion memburu dan menyusul pemuda itu.“Kau mengikutiku, bukan? Sejak pertama aku menginjakkan kaki di hutan Lamma, kau terus mengikutiku sampai ke kota!” suara Rion menggema.Dia berdiri di bawah air terjun. Di puncak tebing tempat muasal air terjatuh, seekor elang bertengger di dahan pohon yang landai. Rion dan elang itu saling menatap.“Dan kau adalah Panglima Karang!“ Rion mencebik, “Ternyata, kau bahkan sudah mengawasiku sejak memasuki Kota Poral di utara Lamma!” Rion teringat pada pemuda itu yang berpura-pura menjadi pengemis. Dia pernah melihat pakaian yang sama saat tiba di Kota Poral sebelum memasuki hutan Lamma.Rion tak tahu pemuda jembel itu mendengar suaranya atau tidak. Dia tahu satu hal yang pasti, semakin mencari semakin banyak dia menemukan pertanyaan-pertanyaan yang tak
Jauh di luar Kota Lamma terdapat sebuah padepokan tua yang terlihat lama tak terurus. Rumput dan ilalang tumbuh tinggi menyelimuti di segala sisi. Padepokan itu dulunya adalah sebuah bangunan sekolah yang sudah tak digunakan. Sisa-sisa palang nama sekolah masih tertancap di depan gapura. Atapnya yang rusak sebagian sudah ditutup dengan welit dan dindingnya yang jebol sudah ditambal dengan papan kayu beraneka bentuk dan ukuran.Sejumlah anak-anak berusia tujuh sampai dua belas tahun terlihat sibuk berlarian, bermain sepak bola, dan berlatih pencak silat di sana. Mereka adalah anak-anak yatim korban perang dan perbudakan antar klan.Seorang pemuda berpakaian jembel baru tiba di sana dan melintasi gapura yang terbuat dari bambu setinggi pinggang pria dewasa sambil membawa sekantung roti. Anak-anak lebih muda yang sedang bermain sepak bola yang terbuat dari rotan itu segera berlari dan menghambur ke arah si pemuda.“Karuna, apa yang kau bawa itu?” teriak anak-anak yang semakin banyak berd