Share

BAB 4| Bandit Utara

Rion bersama sang singa memacu kecepatan untuk mencari sumber teriakan. Udara terasa begitu lembap. Jalan-jalan yang lengang dipenuhi dengan guguran dedaunan cokelat kekuningan di sepanjang kiri dan kanan dari pepohonan yang meranggas.

Rion menunggangi singanya. Dia menyembunyikan wajah di bawah topi lebar. Mereka baru saja melintasi jembatan beton yang menjadi batas pemisah antara dua wilayah.

“Di mana kita sekarang?”

“Entahlah,” ujar sang singa acuh tidak acuh. “Bukankah kau harus fokus pada tujuanmu? Kenapa kau malah ke sini? Tujuan kita di arah sebaliknya.”

“Sudah kukatakan.  Aku mendengar seseorang berteriak!”

“Mungkin hanya suara angin. Sepertinya tidak ada makhluk hidup di sini. Karena tidak ada air sama sekali.”

Air sungai di bawah jembatan itu mengering dan hanya menyisakan bebatuan serta tumpukan sampah yang menguarkan aroma busuk.

“Kau yakin akan masuk ke wilayah ini?” tanya sang singa. “Maka kita akan semakin jauh dari tujuan. Kita harus menemukan Panglima Karang. Seharusnya dia ada di kota berikutnya. Aku dengar dia menjadi buronan di sana.”

“Kita lihat-lihat sebentar. Untuk memastikan bahwa suara yang aku dengar tadi memang betul hanya suara angin.”

Mereka lanjut berjalan. Setetes kecil air jatuh ke punggung tangan Rion yang terbungkus sarung tangan kulit hitam. Dia mendongak, menatap kubah langit pekat dengan sepasang mata memicing. Satu sudut bibirnya tersungging.

“Kau bercanda denganku?” gumamnya lirih. “Hujan di tengah kemarau panjang?”

Rion dan singanya melintasi gapura kayu lapuk yang masih menyisakan tulisan dengan cat hitam pudar, Kota Pelabuhan Tua Grisse.

Di kejauhan terdengar suara gemuruh angin disusul hujan yang berjatuhan dari arah perbukitan kapur. Tanah kering dan berdebu di sepanjang jalan itu menguarkan aroma masam dari siraman hujan pertama setelah dilanda kemarau yang berkepanjangan.

Rion dan singanya terus melaju di bawah guyuran hujan lebat. Sesekali singa itu mengerang, mungkin terlalu senang seperti halnya Rion. Hidung dan mulut mereka mengembuskan napas lelah. Seketika napas mereka berubah menjadi uap tipis di antara derai hujan.

“Kau yakin ini bukan hujan tipuan?” desis sang singa.

“Apakah ada hal yang seperti itu?”

“Ada beberapa penyihir yang memiliki kemampuan untuk membuat tipuan seperti ini. Karena hujan memang sudah berbulan-bulan tidak ada. Hampir di seluruh wilayah negeri. Maka sangat aneh jika hujan tiba-tiba muncul. Waspadalah, bisa saja ini hanya jebakan.”

Kota pelabuhan Grisse terdiri dari perbukitan kapur yang pernah menjadi pusat industri terbesar di negeri Kalamantra. Bekas-bekas kedigdayaannya masih melekat jelas. Tak jauh dari gapura kayu yang lapuk, berdiri bekas stadion sepak bola megah yang kini hanya menyisakan bangku-bangku karatan dengan jajaran batu nisan di tengah-tengah lapangan.

“Sejak beberapa tahun yang lalu, kota pelabuhan Grisse dihancurkan dan dikuasai oleh para bandit dan bajak laut dari kepulauan utara. Kota tua bersejarah ini, kini menjadi momok yang ditakuti oleh para musafir dan pedagang. Pelabuhan dagang terbesar di Kalamantra ini menjadi mati karena tak ada kegiatan. Kota pelabuhan tua Grisse sendiri adalah gerbang utama yang menghubungkan kawasan utara dengan wilayah negeri Kalamantra yang lain.“

“Wow!” gumam Rion.

“Aku hanya penasaran apa kau juga tidak memiliki ingatan tentang hal ini?”

Rion menggeleng.

“Di pulau utara yang terpisah dari negeri Kalamantra ada penguasa baru yang bertangan besi bernama Omkara. Dia mendirikan sebuah kastil dan benteng dengan persenjataan kuat. Para pasukan dan pengawalnya terdiri dari para bandit dan bajak laut yang terkenal bengis. Sayangnya, wilayah pesisir itu tak banyak memiliki sumber daya alam. Sumber pendapatan mereka datang dari perdagangan antar negeri di pelabuhannya.“

“Dia terdengar sangat jahat.”

“Omkara berencana ingin menguasai dan menyatukan negeri-negeri di seluruh bekas kerajaan Kalamantra di bawah kakinya. Beberapa bulan yang lalu, mereka mulai menyerang wilayah klan Sakheti yang selama turun-temurun menjadi penguasa dan pelindung kota pelabuhan tua Grisse beserta empat kota lainnya yang masuk dalam wilayah perlindungan mereka.”

“Apakah semua itu berhubungan dengan tujuanku? Untuk menemukan tujuh panglima kalamantra yang hilang?”

Mereka berpapasan dengan seorang pria tua jembel bermantel jerami dan bercapil bambu yang berjalan sambil menggendong tembikar. Pria tua itu baru keluar dari stadion, mungkin untuk mengunjungi makam atau untuk menambah jumlah nisan di sana. Dia sama sekali tidak terpengaruh dengan singa yang Rion kendarai.

“Hei, Anak Muda!” sapa pria tua itu. “Sebaiknya kau kembali atau mencari jalan lain! Tak ada apa pun yang tersisa dari kota ini! Kami semua pergi karena akan terjadi perang di pelabuhan,” ujar sang pria tua yang berjalan menuju ke arah jembatan beton. “Aku sendiri akan pergi ke timur untuk meminta perlindungan. Mereka bilang di sana telah bangkit si pemilik ajian pancasona sang juru selamat!” ujarnya sambil terus berjalan terbungkuk-bungkuk.

Rion dan singanya terus saja melaju dan mengabaikan ucapan sang pria tua.

“Hei, kau tak dengarkan aku? Di sana terlalu berbahaya! Semua orang sudah pergi ke selatan dan timur. Tak ada lagi tempat di utara dan di barat. Semua sudah dikuasai para bandit-bandit itu. Perang akan pecah!” teriak sang pria tua dengan putus asa.

Rion akhirnya menoleh ke arah pria tua itu sebelum meminta sang singa berlari lebih cepat untuk melintasi bukit pertama.

“Aku hanya ingin melihat-lihat. Aku akan baik-baik saja!”

Mereka naik ke bukit untuk bisa melihat seluruh wilayah dengan jelas. Di sana ada bekas perumahan elit yang kini terlihat mengenaskan. Atap-atap dan dinding bangunan banyak yang roboh. Tumpukan sampah terhampar di setiap sudut. Rumput-rumput dan tanaman liar tumbuh di setiap celah.

Sesosok mayat digantung di salah satu dahan pohon angsana, menjadi penanda bahwa kota itu sudah dikuasi oleh para bandit utara. Pada badan mayat itu terkait papan bergambar lingkaran berwarna merah dengan kobaran api di sekitarnya—matahari yang membara. Mayat yang sudah mengering itu menguarkan aroma busuk saat tertimpa hujan pertama.

“Kau bisa menggunakan senjatamu?” tanya sang singa.

“Maksudmu celurit yang kau beri padaku? Entahlah. Aku pikir tidak pernah menggunakan senjata apa pun sebelumnya.”

“Cobalah, seharusnya kau mampu. Turunkan pria itu.”

“Bagaimana caranya? Memanjat pohon?”

“Ikuti saja apa yang dikatakan oleh tubuh dan nalurimu!”

Rion menurunkan pinggiran topinya untuk memberi hormat pada sang mayat hingga menutupi hampir sebagian wajah. Dia menarik salah satu celurit dari sabuk di punggung. Dengan berpijak pada punggung singa, Rion melompat sambil menyabet tali tambang yang mengikat mayat itu. Tali terputus dan Rion mendarat dengan mulus ke tanah sambil memutar celuritnya. Dia menyarungkannya kembali ke punggung.

“Wow! Apakah ini sungguh aku?”

“Meski kau tidak ingat sama sekali, seharusnya tubuhmu masih mampu mengingat jika kau memang bisa menggunakan senjata dan memiliki kemampuan bela diri.”

“Tapi, kenapa celurit? Aku lebih senang jika kau memberiku pedang.”

Mayat yang membusuk itu jatuh berdebum ke tanah. Tak ada yang bisa Rion lakukan. Setelah melepas papan yang dipanahkan ke dada mayat, dia menutupinya menggunakan dedaunan dan rerumputan sebagai tanda penghormatan.

Dia dan singa jantan bersuara perempuan itu terus berjalan mengikuti aspal yang berlubang-lubang menuju puncak bukit kapur pertama. Tapak kaki singa menggilas kerikil dan bebatuan yang mulai digenangi air. Mantel hitam yang dikaitkan ke bahu Rion cukup melindungi sebagian tubuhnya dari basah.

“Aku tahu kau lelah, tapi bisakah kita berjalan sedikit lebih jauh? Aku ingin memastikan bahwa memang tidak ada apa pun di sini,” pinta Rion.

Dari arah puncak bukit terdengar gemuruh tapak kaki kuda berkecipak dengan air yang mendekat ke arahnya. Rion itu menyelipkan tangan kanan ke balik punggung dan bersiap mencabut celuritnya lagi.

Lima penunggang kuda bertopeng iblis merah berdiri berjajar mengadang Rion dan singanya.

“Siapa kau? Berani sekali masuk ke wilayah ini!” pekik seorang pria yang di punggungnya terdapat busur dan panah.

“Singa? Tunggangan yang cukup aneh!” gumam yang lain.

Kuda-kuda mereka mulai gelisah saat melihat singa yang ditunggangi Rion.

“Sepertinya mayat di pohon itu membutuhkan seorang pasangan!” cibir yang lain dengan suara serak dan berat.

Rion memperhatikan satu persatu sosok kelima pengadangnya yang bertopeng iblis merah di bawah guyuran hujan. Pada lengan tangan kanan mereka yang telanjang, tertoreh rajah lingkaran berwarna merah dengan kobaran api di sekitarnya—matahari yang membara. Salah satu dari mereka tampaknya membawa tawanan. Seorang gadis yang pingsang dan diikat di bagian punggung seekor kuda.

Salah seorang gerombolan bertopeng itu menarik anak panah dari punggung dan membidikkannya tepat pada leher Rion.

Plash! Panah terbang dan tembus ke batang lehernya.

Rion roboh dan jatuh dari kudanya.

“Dasar bodoh!” gerutu sang singa. “Kenapa kau tidak mengelak?” Singa itu hanya melirik pada Rion yang tumbang dengan anak panah menancap di lehernya.

Kelima bandit bertopeng iblis merah itu tertawa puas. Rion yang kaget tiba-tiba merangkak dan mulai mencabut anak panah dari lehernya dengan suara keretak yang menyakitkan.

Kelima bandit itu menganga dan mulai memucat. Rion berhasil mencabut lepas anak panah yang menembusi lehernya. Luka pada leher itu perlahan kembali menutup dan darah yang merembes tersiram air hujan hingga luruh ke permukaan tanah, hilang tak berbekas. Semua terjadi begitu cepat dan Rion kembali pulih seperti sedia kala seakan tak pernah terjadi apa-apa.

“Pe-penyihir!” pekik salah seorang dari kelima bandit bertopeng itu dengan tubuh gemetar.

Mereka mulai panik dan mengacungkan senjata masing-masing. Anak panah kedua kembali melesat. Kali ini dihalaunya anak panah itu menggunakan celurit yang ditarik dengan cepat dari balik punggung. Dua penunggang kuda melarikan diri menyisakan tiga bandit paling depan. Dia juga meninggalkan sang tawanan yang masih terikat di atas punggung kuda.

“Sial! Kita tidak bisa kembali dengan membawa corengan di muka!” desis sang bandit yang bertubuh kekar.

Mereka bertiga turun dari kudanya dan mulai mengepung Rion dengan pedang, parang, dan tombak bermata dua. Rion berdiri di antara mereka bertiga di bawah guyuran hujan yang semakin lebat. Di langit, kilat dan petir mulai menyambar. Kedua tangan Rion menggenggam erat celurit Madura yang terkenal akan ketajaman bilahnya.

Ketiga bandit itu menyerang bersama-sama dari arah yang berbeda. Dengan kecepatan yang luar biasa, Rion berlari menerjang para bandit itu seakan-akan tubuhnya bisa menghilang di antara guyuran hujan.

‘Apa-apan ini? Bagaimana aku bisa melakukan semua ini bahkan tanpa berpikir?’ Rion kaget dengan kemampuan dirinya sendiri.

Dua bandit yang berdiri berdekatan dengan awas, tiba-tiba perutnya koyak. Saat mereka sadar, Rion sudah berdiri di belakangnya dengan dua bilah celurit berdarah-darah. Kedua pria itu tumbang.

Bandit ketiga mulai mengamuk dan mengayun-ayunkan tombaknya, tapi Rion sudah hilang lagi dari pandangan. Bandit bertombak itu merasakan embusan angin cepat di telinga kirinya dan Rion sudah berdiri di samping sambil mengalungkan bilah tajam celurit ke lehernya. Tatapan matanya begitu tajam dan mengerikan.

“Kalian tak layak hidup sebagai manusia!” ditariknya celurit itu hingga mengoyak kerongkongan sang bandit.

Rion berdiri di tengah-tengah tubuh para bandit yang terkapar dengan napas terengah. Kedua tangannya yang menggenggam celurit berdarah terkulai di samping tubuh. Darah menetes-netes dari ujung bilah celurit yang tersiram hujan. Kepalanya mendongak dengan mulut sedikit menganga berusaha meraup air hujan pertama sebanyak-banyaknya.

Topi lebar Rion terlepas dari kepala dan menampakkan rambut perak kebiruan sepunggung. Matanya terbuka, memperlihatkan sepasang warna merah darah yang berangsur-angsur memudar menjadi ungu pekat lalu biru muda.

Cetaarr!

Petir menyambar membuat kuda-kuda yang terlepas dari tuannya berlarian. Rion melihat kuda yang membawa tawanan itu juga kabur ketakutan. Sang tawanan yang terikat di atas punggung kuda terlempar dan jatuh ke tebung.

“TOLONG!”

Seorang gadis menjerit dan memekik. Rion gelagapan dibuatnya. Sosok yang berteriak itu ternyata seorang gadis yang kini bergelantungan di tebing. Dia hampir jatuh ke jurang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status