Share

Keluarga Anderson

"..apa maksudmu?" William bertanya.

"Lilian, hargaku 10 milyar." Hazel menjawab, mengangkat kedua tangannya lagi. "Apa lebih banyak, dari ini?" Dia mengulang pertanyaannya dengan kalimat yang patah-patah.

William mengangguk dengan bingung. Dia bertanya-tanya sistem perhitungan di kepala kecilnya.

"..kau tidak sedih?" William bertanya heran.

Hazel menatap William dengan mata besarnya. Ketika dia akan menangis lagi, gadis itu bertanya sesuatu yang tidak bisa dibayangkan olehnya.

"Kenapa aku harus sedih?" Hazel bertanya balik. "Ayah akan menjemputku, kan?"

William menghela nafas. Gadis kecil itu jelas gagal memahami situasi yang sedang terjadi.

"Ayahmu menjualmu padaku." William menjelaskan. "Dia tidak akan pernah menemuimu lagi."

"Menjual?" Hazel mengulangi kalimat William. "Apa itu?"

William terdiam seketika. Dia merasa bahwa bernegosiasi mengenai kesepakatan kerja sama akan lebih mudah dibanding dengan ini.

"Menjual itu berarti suatu barang ditukar dengan harga yang senilai."

William menjelaskan. Begitu dia melihat gadis itu masih menatapnya, dia tahu bahwa Hazel belum memahami kalimatnya. "Itu berarti ayahmu memberikanmu kepadaku dan aku memberinya uang." William bahkan menggunakan tangannya untuk menunjuk, supaya Hazel lebih mudah memahami kalimatnya.

Albert diam-diam merasa lucu. Semua orang akan bilang bahwa William adalah seseorang yang begitu berpengalaman dalam bidang bisnis, mafia yang ditakuti oleh seluruh dunia hitam, juga seseorang yang bisa meruntuhkan suatu perusahaan dalam sekejap.

Namun saat ini, William justru sedang berjongkok untuk menenangkan seorang gadis kecil, mencoba menjawab seluruh pertanyaannya.

"Ayah, menjualku, kepadamu." Hazel menunjuk dirinya, lantas menunjuk William. Gadis itu menutup mulutnya seketika, menyadari suatu fakta yang mengejutkan dirinya. "Ja, jadi aku, dimakan?" Pupil matanya bergetar ketakutan. "Jangan makan aku, aku tidak enak, wuwuwu..." Dia memegangi kepalanya dan tubuhnya mulai bergetar.

William merasa dia seperti melihat pangsit putih.

"Hazel, dengarkan aku." William mendekati Hazel. "Aku tau ini mungkin terlalu tiba-tiba untukmu. Tapi sejak ayahmu menawarkanmu padaku, aku tidak pernah terpikir untuk menjadikanmu selain sebagai anakku. Aku dan Janette sudah lama menginginkan seorang putri, Gavin dan Athan juga setuju. Jadi Janette memutuskan untuk segera mendekorasi kamar untukmu."

"Saat itu aku tak banyak berkomentar,menyerahkan semua keputusan kepada Janette. Bagaimanapun dia lebih berpengalaman. Namun dihari ketika aku pertama melihatmu melalui rekaman cctv, aku berpikir bahwa aku bahkan dapat memberikan semua hal di dunia ini untukmu."

"Kamu telah mengalami terlalu banyak hal yang tak perlu kamu tanggung, Hazel. Kamu sudah berusaha. Jadi mulai dari sini kamu akan menjadi anggota keluargaku dan aku akan mengurus semua hal untukmu."

Ketika Hazel telah duduk dengan tenang dan menatapnya dengan mata bulat nan besar, William tersenyum. "Jadi apakah sekarang aku bisa menggendong anakku?"

Meski Hazel tidak begitu mengerti kalimat William, namun dia masih memahami beberapa kata sederhana. Terutama ketika melihat mata William.

Mata itu sedikit memancarkan aura dingin, namun bagi Hazel itu adalah mata paling hangat untuknya.

Jadi dia merentangkan tangannya, menerima gendongan dari William.

Ketika William menggendongnya, dia merasa tubuh Hazel terlalu ringan.

Kulit putih porselennya begitu lembut dan akan memerah karena hal-hal kecil. Dia begitu kecil dan rapuh hingga takut dia akan menghancurkannya jika mengerahkan terlalu banyak kekuatan.

"Jadi ayahku, kamu?" Hazel bertanya.

Dia masih berusia empat tahun dan belum tahu mengenai kata sopan.

"Bagaimana kalau kamu memanggilku papa?" William bertanya.

"Papa? Apa itu?" Hazel bertanya balik.

"Papa itu.." William berpikir, "papa itu orang yang paling kamu sayangi."

"Pfftt..!" Albert berusaha mati-matian untuk menahan tawanya. Dia menemukan sisi baru dari tuannya hari ini.

William yang mendengar suara Albert ingin memarahinya habis-habisan, namun dia segera mendengar suara jernih yang kekanakan.

"Papa!" Hazel berseru memanggilnya, tersenyum cerah, dan kedua matanya menyipit.

Entah kenapa hal itu membuat William merasa dirinya dapat memberikan semuanya hanya untuk Hazel memanggilnya seperti itu.

"Ya, Hazel?" William tersenyum.

Reaksi William yang terlihat menyukai panggilannya membuat hati Hazel menghangat.

Dia tak banyak memanggil ayah kandungnya. Mungkin dia memanggilnya ketika sedang disiksa. Namun Edward mengangguk justru melihatnya seolah dia lebih hina dibanding kotoran.

Namun William justru memintanya memanggil "papa" di pertemuan pertama mereka.

Brak!

"Papa! Aku sama Mama mau ke mall-- oh, siapa dia?" Lelaki bermata biru yang membanting pintu dan berseru penuh semangat segera menyadari kehadiran Hazel.

Lelaki tersebut melangkah mendekati Hazel, mengamati gadis itu dengan mata birunya.

"Dia siapa, Pa?" Dia bertanya lagi, menatap Hazel yang balas menatapnya dengan mata bulatnya.

"Dia.." William berusaha merangkai kata-katanya, "..dia akan segera menjadi adikmu, Than."

"Adik?" Lelaki yang dipanggil Athan itu bergumam, lantas segera berseru ketika menyadari sesuatu. "Hah?! Pa, Papa selingkuh?!" Lelaki itu menatap William tak percaya.

"Bukan, maksud Papa--" William berusaha menjelaskan.

"Mama! Kakak! Papa selingkuh!" Dia berseru. "Sekarang Papa bawa anak selingkuhannya ke rumah!"

"Papa selingkuh?" Tidak lama setelah seruan tersebut, seorang lelaki dengan mata hitam masuk.

"Iya! Coba lihat anak Papa!" Athan menunjuk Hazel yang berada di pelukan William.

Lelaki dengan mata hitam tadi menatap Hazel, mengamatinya sejenak.

"Dia harusnya umur empat tahun, kan, Pa? Papa selingkuh mulai kapan?" Dia mengajukan pertanyaan.

"Papa ngga--"

"William selingkuh?!" Seorang wanita berseru tak percaya. Dia mendekati sang anak dengan langkah terburu.

Pada saat itu, Hazel merasa bahwa semuanya sudah selesai. Istri dan dua anak kandung William tidak menyukainya dan mungkin dia akan segera diusir dengan cara yang paling buruk.

Namun dia tidak pernah dapat membayangkan kalimat wanita tersebut selanjutnya.

"Kamu yakin papa kamu bisa selingkuh? Siapa yang mau sama dia coba ?"

"Ih, tapi Papa seriusan bawa anak." Dia menunjuk Hazel.

Wanita tersebut akhirnya melihat ke arah William. Seketika matanya berbinar. " Aduh, kamu lucu banget!" Dia tak bisa menahan diri untuk tidak langsung menggendong Hazel.

Wanita itu menggendong Hazel dengan antusias, berputar pelan di udara. " Mama awalnya kasihan sama anak ini kalau dia beneran anak William. Soalnya kan gen William jelek. Tapi karena dia lucu banget, dia nggak mungkin anak William." Janette mendekatkan Hazel ke wajahnya, "malah dia lebih mirip Mama, kan?" Dia menaik-turunkan alisnya.

"Bagaimana bisa dia mirip denganmu? Itu penghinaan untuk Hazel karena disamakan denganmu." William menghembuskan nafas.

"Kalau begitu, kau juga tidak bisa dibandingkan dengannya." Janette berseru kesal, memutar bola matanya.

"Papa, Mama, jangan berteriak di dekat adikku." Seorang anak lelaki dengan mata hitam segera mengulurkan tangan, mengambil Hazel dari gendongan Janette.

"Benar! Papa Mama lanjut berantem aja! Aku sama Kak Gav yang bakal tunjukin kamar Hazel."

"Jangan!" William langsung berseru, menghentikan perdebatannya dengan Janette. "Maksudku, Gavin, Athan, kalian masih terlalu muda. Akan berbahaya untuk kalian jika menggendong Hazel."

"Berikan pada Mama. Mama yang lebih berpengalaman." Janette hendak mengambil Hazel, namun Gavin menghindarinya.

"Nggak, aku belum puas menggendong adikku." Gavin bersikeras.

Sedangkan Albert yang menyaksikan pertengkaran mereka dari sudut ruangan menghela nafas.

Setelah bertahun-tahun aku melihat keluarga Anderson selalu menyerahkan sesuatu dengan sukarela, mungkin ke depannya mereka akan memiliki sesuatu untuk diperebutkan.

To be continue...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status