Share

Kamar Baru Hazel

Pada akhirnya mereka sepakat untuk menunjukkan kamar Hazel bersama-sama.

Meskipun mansion tersebut sangat luas, namun kamar yang disiapkan untuk Hazel merupakan kamar yang paling dekat dengan ruang kerja William.

Jadi mereka tidak banyak menghabiskan waktu.

Mereka sampai pada sebuah ruangan dengan pintu ganda berwarna putih. Ada ukiran rumit di sisi pintu dan bahkan gagang pintunya berwarna emas.

Namun bukan itu yang dipentingkan Hazel sekarang.

Ada kata "Hazel Anderson" di pintu tersebut, diukir dengan warna emas dan memiliki ukuran yang cukup besar, seolah dengan bangga menyatakan pemilik kamar tersebut.

Meski Hazel tidak begitu pandai membaca, namun dia tau bahwa ada namanya disana.

"Nah, ayo kita masuk!" Janette berseru riang, mendorong pintu ganda tersebut.

Seketika wangi cologne bayi tercium. Hazel melotot melihat kamarnya. Dia tidak menyangka kamarnya akan memiliki dekorasi yang berkali-kali lipat lebih mewah dibanding dekorasi kamar Lilian.

Seluruh permukaan lantai kamar tertutup dengan karpet berbulu berwarna putih tulang. Dindingnya memiliki warna yang sama dengan karpet dan lampu-lampu kamar telah didekorasi sedemikian rupa sehingga memberikan bayangan dedaunan di dinding kamar.

Ada sebuah pintu yang berjarak dua setengah meter dari pintu masuk dan satu pintu lagi di sisi lainnya. Terdapat meja rias dan cermin di dinding yang dibuat menjorok.

Sebuah kasur dengan kelambu-kelambu berwarna teal blue di sisinya. Ada chandelier di atasnya yang menyala redup, memberikan ilusi seolah sedang berada di rumah pohon yang nyaman dan remang-remang.

Ada televisi besar yang mengarah langsung pada kasur.Di sisi lain kamar, ada rak-rak tinggi dan sofa dengan bantal-bantal empuk. Ada pintu kaca yang menjulang dari lantai hingga langit-langit, menghubungkan antara kamar dengan balkon.

Semua dekorasi kamar tersebut memberikan ilusi seolah sedang berada di hutan yang remang dan tenang tanpa meninggalkan kesan hommy.

Untuk mendukung semua itu, ada beberapa lentera yang diletakkan di sudut-sudut kamar atau di atas meja, yang nantinya akan menyala otomatis ketika lampu dimatikan.

"Bagus, kan?" Janette bertanya, menoleh pada Hazel yang digendong William. "Mama yang mendekorasi kamar ini." Dia mengusap hidungnya dengan bangga.

Setelah sekian lama dia hanya bisa berkomentar mengenai kamar dua anaknya yang tidak sesuai seleranya, dia bisa mendekorasi kamar seseorang dengan sesuka hatinya.

"Bagus." Hazel mengangguk kepalanya, yang mengakibatkan seluruh tubuhnya ikut bergoyang. "Hazel suka!" Gadis itu baru bisa memahami beberapa kata sederhana, sehingga kalimatnya terlalu simpel.

"Lucunya! Bagaimana kamu bisa selucu ini?" Janette harus menahan dirinya untuk tidak meremas-remas Hazel.

"Jadi, Hazel," William segera mengalihkan topik pembicaraan, "itu kamar kakak pertamamu, Gavin, yaitu kamar kakak keduamu, Athan, dan yang itu kamar Papa Mama." Dia menunjuk kamar serta pemilik kamar secara bergantian supaya tidak membingungkan Hazel.

Lelaki dengan mata hitam memiliki usia sekitar sembilan tahun. Rambutnya berwarna hitam dan wajahnya lebih banyak memiliki kemiripan dengan William dibanding Janette. Dia memiliki aura yang tenang dan elegan. Dia adalah Gavin, putra pertama Anderson.

Sedangkan lelaki dengan mata biru laut memiliki usia sekitar tujuh tahun. Dia memiliki rambut berwarna kecokelatan dan lebih banyak bicara seperti Janette. Penampilannya yang energik dan aktif membuatnya terlihat layaknya seorang kakak yang jahil. Dia adalah Athan, putra kedua Anderson.

Lalu Janette, Nyonya Anderson. Dia memiliki penampilan yang tinggi dan ramping dengan kulit yang putih. Rambut kecokelatannya sedikit keriting dan mata biru lautnya berbentuk seperti almond.

Meskipun dia sedikit berisik, namun dia memiliki kesan yang tenang ketika sedang diam.

Ketika berjalan sendirian, tidak akan ada yang menyangka bahwa dia telah memiliki dua anak yang usianya telah memasuki sekolah dasar.

Bagi Hazzel, Janette adalah wanita paling cantik yang ia temui. Terlebih kepribadiannya menyenangkan dan terlihat lucu ketika banyak bicara.

"Apa itu mama?" Hazel bertanya.

Dia tidak pernah mengenal kosakata itu.

"Mama itu orang yang paling mencintaimu." Janette tersenyum lebar, dia merampas Hazel dari gendongan William. "Jadi apakah Hazel mengizinkan memilikiku sebagai mamamu?" Dia bertanya.

"Mama, Mama!" Hazel berseru dengan kepalanya yang bergoyang-goyang.

"Astaga, Hazel-ku lucu sekali!" Janette mengusapkan pipinya pada pipi Hazel.

"Mama! Hazel juga adikku!" Athan berseru tak terima.

Setelah perdebatan yang panjang dan perkenalan singkat tentang kamarnya, Hazel ditinggalkan untuk tidur siang.

Lampu kamarnya dimatikan sehingga lentera dan chandelier di kamarnya menyala remang-remang. Itu adalah suasana yang tepat untuk tidur.

Namun Hazel tidak bisa tidur dengan nyaman. Punggung, perut, dan lengannya penuh dengan luka. Itu terasa sakit tiap kali dia berbaring dengan posisi apapun.Jadi dia bersandar pada headboard ketika merasa sangat mengantuk.

Waktu berlalu dengan cepat. Janette membuka kamar Hazel untuk mengajaknya makan malam. Wanita itu segera menemukan Hazel tidur dalam posisi duduk.

"Astaga, bagaimana kamu bisa tidur dengan posisi seperti ini? Bagaimana jika lehermu sakit?" Janette bergumam khawatir.

"Hazel, ayo bangun." Dia berbicara dengan lembut dan tidak berani mengguncang tubuhnya karena takut mengejutkannya. "Mama sudah menyiapkan makan malam untukmu. Ada pasta dan susu. Mama juga menyiapkan late night snack."

Mendengar rentetan makanan yang disebutkan Janette, Hazel mau tidak mau membuka matanya.

Dia tak mendapatkan jatah makanan secara pasti dan termasuk beruntung jika dia bisa makan sekali dalam sehari. Sehingga ketika Janette menyebutkan beberapa makanan, instingnya untuk bertahan hidup bekerja.

"Apa ada puding juga?" Hazel mengusap matanya, bertanya dengan nada sayu.

"Tentu! Ada banyak sekali puding, Mama akan memberi Hazel semuanya!"

Janette berseru riang. "Tapi setelah makan malam, oke?" Dia bertanya.

"Oke!" Hazel setuju dengan cepat.

Janette awalnya tidak menyiapkan puding sama sekali. Namun mendengar Hazel menginginkan puding, dia akan membuat puding sebagai late night snack.

"Kalau begitu, bagaimana kalau kita mandi dulu?" Janette bertanya.

"Mandi?" Hazel menggeleng dengan cepat. "Hazel mandi sendiri."

"Hazel bisa mandi sendiri? Wah, Hazel hebat sekali!" Janette berseru mengapresiasi. "Kalau begitu Mama akan menyiapkan segala keperluanmu dan menunggu diluar."

Mereka memasuki kamar mandi. Janette menyiapkan bathtub, memastikan airnya bersuhu pas, dan melakukan hal yang sama ketika showernya supaya tidak terlalu dingin.

Dia memeriksa sebentar scented diffuser, memastikan aroma yang dikeluarkan tidak mengganggu. Lalu dia menggantung jubah mandi.

"Oh iya, Hazel, kamu mau wangi apa?" Janette mengambil bath bomb dari laci dan menunjukkan enam warna yang berbeda. "Ini lavender, ini permen karet, yang ini vanilla, cokelat, lalu ada lemon, dan sakura." Dia menunjuk bath bomb secara bergantian.

"Cokelat, cokelat!" Hazel berseru antusias.

Dia tidak terlalu paham tentang wawangian untuk mandi. Dia tidak pernah memakai hal seperti itu.

Namun mendengar aroma yang mirip seperti makanan kesukaannya, Hazel tidak menolak.

"Oke, kita pilih cokelat." Janette menyimpan lima lainnya dan memasukkan bath bomb aroma cokelat ke bathtub.

Hazel bisa mencium aroma dessert yang manis dan memutuskan untuk menggunakan bathtub.

"Baiklah, Mama akan keluar. Kalau butuh bantuan, panggil Mama, oke?" Janette mengusap puncak kepala Hazel.

"Eung!" Dia mengangguk penuh semangat.

Luka Hazel belum kering sepenuhnya sehingga dia hanya bisa menghabiskan lebih banyak waktu untuk wandi. Alasan dia menolak Janette memandikannya adalah untuk menghindari Janette melihat lukanya.

Sedangkan Janette yang berada di luar menunggu dengan cemas. Dia khawatir jika Hazel kesulitan mengabil sesuatu atau terpleset.

Meski dia telah mendekorasi kamar mandinya sehingga ada tangga keramik yang membantunya melakukan sesuatu, dia takut itu menjadi licin dan Hazel jatuh secara tak sengaja.

Ketika Janette ingin mengetuk pintu baik-baik saja, seorang gadis kecil dengan tubuh terbalut jubah mandi keluar.

Wajahnya yang sedikit kusam menjadi lebih cerah dan lembut. Kulit putihnya sedikit memucat akibat terlalu lama di kamar mandi. Dan jubah mandi yang dikenakannya cukup besar hingga menyeret di lantai.

Janette merasa mendapatkan serangan keimutan yang berkali-kali lebih kuat dibanding kedua putranya dulu.

"Apakah Hazel sudah selesai mandi?" Janette mendekatinya.Hazel mengangguk. Tangannya mencengkram jubah mandi dengan erat.

"Ayo, ayo! Mama sudah menyiapkan pakaian untukmu!" Dia melangkah ke meja kaca dengan penuh semangat.

Awalnya Hazel ingin menolak dan memilih berganti pakaian sendiri, namun melihat binar di kedua mata Janette, dia merasa terlalu jahat jika menolaknya.

"Bagaimana dengan ini? Kau baik-baik saja dengan ini?" Janette mengangkat gaun pilihannya.

Gaun tanpa lengan itu berwarna krem dengan empat kancing. Ada pita dengan warna yang sama di bagian pinggang. Meski tanpa penglihatan apapun, gaun berukuran kecil itu memiliki harga selangit dengan kain khusus.

Janette memastikan semua kain pakaian Hazel lembut dan tidak akan menyebabkan risiko sekecil apapun pada kulitnya.Melihat gaun yang telah Janette pilih dengan hati-hati, Hazel tak bisa menolak.

"Kemari, Hazel." Janette menyuruh

Hazel lebih dekat dengannya. "Buka jubahmu dulu, ya?" Dia meminta.

Hazel menatap Janette lamat-lamat. Dia ragu-ragu membuka jubah mandinya, mengamati reaksi Janette dengan hati-hati.

"Astaga!"

To be continue..

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status