Share

3 - Pekerjaan Suami

DIHINA MISKIN KARENA MOTOR JADUL SAAT PULANG KAMPUNG, PADAHAL PUNYA SHOWROOM MOBIL DI JAKARTA

#3

"Mbak, kok mereka bilangnya begitu?" tanyaku pada Mbak Sinta yang sibuk membersihkan kamar ibu.

"Bilang begitu maksudmu apa sih, Rum?"

"Itu tadi, Mbak. Budhe Narni bilang Mbak Sinta sama Mila sering pinjam duit buat perawatan ibu. Kan tiap bulan aku kasih empat juta buat biaya ibu sehari-hari. Memangnya masih kurang?"

Kulihat mimik wajah Mbak Sinta sedikit berubah. Dia pun agak gugup, tapi berusaha menetralkan perasaannya.

"Omongan tetangga kok kamu dengerin, Rum. Bikin tensi naik kalau kamu selalu dengerin ocehan mereka. Kalau di kampung begini kamu harus tebal mata sama telinga. Stress kalau selalu mikirin cibiran mereka. Kamu lupa, sejak kita kecil kan mereka memang rajin menghina," balas Mbak Sinta lagi.

Aku pun mengiyakan saja. Meski begitu, aku tetap akan cari tahu apa yang sebenarnya terjadi selama aku dalam perantauan. Benarkah uang itu untuk biaya perawatan ibu, atau justru digunakan Mbak Sinta dan Mila untuk biaya lainnya.

Selama ini, mereka sering pinjam duit padaku, tapi aku jarang sekali menagih  Justru kubilang buat mereka saja, karena aku masih ada tabungan. Mbak Sinta tahunya aku jualan online saja, tak tahu kalau sudah lima tahun terakhir ini Mas Huda memiliki showroom mobil. Mas Huda memang memintaku untuk diam-diam saja, buat apa koar-koar. Yang penting saat ibu butuh uang, kami bisa mentransfernya.

Tak lama kemudian, Mila menelpon. Katanya ibu sudah diperbolehkan pulang. Cukup tiga hari dua malam di rumah sakit, kontrol bulanan tetap harus dilakukan karena ibu terkena hipertensi, lambung bermasalah dan gejala stroke juga.

"Mil, kamu sama ibu naik taksi aja, ya? Nanti Mbak bayar kalau sudah sampai rumah. Mbak Sinta baru aja jemput Mbak dari bandara soalnya, mungkin dia masih capek. Gimana?"

"Iya, Mbak. Ibu juga sudah pengin ketemu Mbak ini," pungkasnya seraya mengucap salam

Baru mau menyelonjorkan kaki di tikar ruang keluarga, beberapa tetangga kembali datang. Aku pun mulai was-was lagi dengan obrolan mereka.

Awalnya memang sekadar tanya kabar, tapi aku yakin ujung-ujungnya tak mengenakkan. Pasti membanding-bandingkan lagi soal penghasilan dan kesuksesan.

"Kamu tahu Si Amin, kan, Rum? Itu loh yang dulu suka sama kamu. Sekarang sukses di kampung sebelah. Punya pabrik tahu, rumah gedong sama mobil mewah. Kamu sih dulu nggak mau sama dia hanya karena dia doyan minum sama playboy. Sekarang dia juga punya bini dua. Nggak masalah kan, yang penting semua bininya kecukupan," ucap Minah. Dia teman sekolahku dulu.

"Namanya jodoh sudah ada yang atur, Minah. Suamiku sekarang Alhamdulillah juga mapan kok. Nggak mabok dan judi pula. Ngerokok pun nggak," balasku.

"Tetap bedalah, Rum. Si Amin itu udah sukses sekarang, karyawannya aja banyak. Coba kamu dulu nikah sama dia, tinggal ongkang-ongkang kaki juga pastinya," timpal Mbak Ambar. Dia yang dulu sering mencari asisten rumah tangga di kampungku, kini juga sudah pensiun. Buka warung sembako di rumah.

"Ningrum itu malu sama kita-kita. Dia merantau hampir dua puluh tahun lamanya, tapi pulang nggak bawa apa-apa. Sementara kita nggak perlu merantau jauh-jauh dan bisa merawat orang tua, tapi hidup jauh lebih mapan."

"Sudah. Sudah. Ibuku datang, aku nggak mau bahas soal begini lagi. Tolong, hargai kehidupan dan pilihan masing-masing orang. Nanti, kalau kujelaskan sedetail-detailnya tentang hidupku di sana dibilang riya' pula," balasku kemudian. Gegas menyambut ibu dan Mila yang sudah sampai di halaman.

Halaman tanpa pagar dan menghubungkan dengan kebun tetangga. Di kampungku memang jarang sekali rumah berpagar. Alasannya biar menambah keeratan dan tak terkesan individual.

Kucium punggung tangan ibu yang mulai mengeriput, lalu memeluknya hangat. Akhirnya kurasakan kembali peluk hangat dan cinta ibu yang begitu tulus itu.

"Berapa taksinya, Mil?" tanyaku kemudian.

"Seratus--

"Lima puluh ribu, Mbak," ucap supir taksi saat menyerahkan koper ibu. Mila mendadak pias.

"Oh, ini seratus ribu, Mil. Sisanya buat jajan ponakan," balasku.

Mila pun agak gugup menerima selembar uang itu dariku. Jarak dari rumah ibu ke rumah sakit nggak terlalu jauh, nggak mungkin juga seratus ribuan.

"Alhamdulillah, Budhe Wahyuni sudah pulang. Baru kita rundingan mau jenguk, malah sudah pulang duluan," ucap Mbak Ambar kemudian saat melihatku dan ibu masuk ke ruang keluarga.

Ibu pun tersenyum ramah. Dari dulu, ibu memang sangat sabar dan tak pendendam dengan siapa pun. Meski dulu selalu mendapatkan caci maki dari mereka bahkan sempat dikucilkan warga karena terlilit hutang demi menyekolahkan kami berempat.

Jarak usia kami memang cukup rapat, jadi sekolah pun berderet hanya beda satu atau dua tingkatan saja antara aku dengan saudaraku yang lainnya.

"Iya, Mbar. Alhamdulillah sudah sehat. Sejak dengar Ningrum pulang dan mau merawat budhe di rumah, mendadak lekas sehat dan pengin cepat ketemu dia," ujar ibu lagi dengan senyum tulusnya. Aku pun mengusap lengan ibu. Begitu terharu.

"Alhamdulillah akhirnya Ningrum mengalah ya, Yun. Lagian kalau di sana nggak ngapa-ngapin mending di kampung to, merawat kamu sambil bertani daripada kamu gadein terus sawahnya. Suaminya Ningrum sekalian suruh pulang, kerja di tempat Pak Anin itu saja si juragan tahu. Daripada di kota juga cuma kerja jadi karyawan dealer, kan?" ucap Mbak Sri lagi.

Aku menoleh ke arahnya. Darimana dia tahu soal pekerjaan Mas Huda. Apa dia dengar dari tetangga juga? Atau sengaja cari tahu tentang kehidupanku di Jakarta?

"Kenapa, Rum? Kamu malu kalau semua tetangga tahu pekerjaan suamimu?"

"Nggak juga. Kenapa harus malu? Mau kerja serabutan, kuli bangunan, jualan gerobakan, karyawan dealer atau lainnya yang penting kan halal tidaknya. Iya, kan?"

"Bilang aja malu. Percuma merantau ke kota bertahun-tahun kalau cuma jadi kuli juga. Di kampung juga banyak lowongan begitu," pungkasnya. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah tetanggaku.

Cukup lama meninggalkan kampung. Pulang empat bulan sekali paling hanya tiga sampai lima hari di kampung, tak membuatku tahu bagaimana karakter mereka sekarang. Ternyata, dari dulu sampai kini sama saja. Suka membanding-bandingkan kehidupan seseorang.

Aku khawatir mereka akan jantungan kalau tahu bahwa suamikulah pemilik showroom itu. Dia pemiliknya, bukan bekerja sebagai karyawan di sana.

💕💕💕 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status