Share

6 - Permintaan Ningrum

DIHINA MISKIN KARENA MOTOR JADUL SAAT PULANG KAMPUNG, PADAHAL PUNYA SHOWROOM MOBIL DI JAKARTA

#6

"Mbak, kamu sama Mila memangnya nggak bilang ibu kalau tiap bulan aku transfer empat juta buat kebutuhannya? Kok yang beredar di luaran sana bilang aku anak durhaka yang nggak mau merawat orang tua, nggak ngirimin uang juga. Gimana sih? Buat apa uang yang selama ini kutransfer?" tanyaku kesal saat Mbak Sinta dan Mila membantuku memasukkan snack ke box.

Dua saudara kandungku itu pun mendongak seketika. Mereka saling pandang lalu menghentikan aktivitasnya.

"Maksudmu gimana sih, Rum? Uang itu jelas buat ibulah, memangnya kamu pikir buat siapa? Selama ini aku sama Mila gantian rawat ibu, kan? Ibu juga terawat dengan baik kok. Kamu kok mendadak curiga begitu?" Mbak Sinta menjawab dengan sedikit gugup.

"Bener kata Mbak Sinta, kami merawat ibu dengan baik. Lagipula kalau misal kita pakai sedikit, wajar dong, Mbak. Kami yang rawat ibu sejak dulu, sementara kamu cuma modal uang, kan? Nanti kamu juga bakal ngerasain sendiri gimana ribetnya ngurus orang tua, apalagi kalau dia sedang sakit. Seperti kata pepatah, orang tua itu kadang berubah seperti balita di saat tertentu," timpal Mila cepat. 

Aku yakin mereka memang menyembunyikan sesuatu dariku. Uang itu nggak semuanya mereka gunakan untuk kebutuhan ibu. Entah buat apa.

"Sudah deh, Rum. Kan Mbak udah bilang, kalau hidup di kampung memang begini. Nggak individualis seperti di kota. Ada saja yang mereka gosipkan. Makanya jangan terlalu didengarkan ocehan mereka. Bisa stress kalau kamu selalu menanggapinya."

Mila pun menganggukkan kepala, membenarkan ucapan kakak sulungnya.

"Lagian Mas Rudy sama Mas Andi kerja, Mbak. Mbak Sinta sama aku juga ada pekerjaan sampingan. Maksudnya ada penghasilan sendiri meski nggak banyak, jadi ngapain pakai duit dari kamu. Jangan nuduh kami nggak amanah dong," pungkas Mila dengan nada kesal juga.

"Aku sih nggak apa-apa misalkan kalian ambil uang itu sekian ratus buat kebutuhan pribadi, tapi setidaknya ngomong aku dulu gitu. Biar nggak ada kesalahpahaman begini. Aku juga sadar diri, kalau mengurus orang tua itu nggak mudah, tapi--

"Tapi apalagi? Kamu masih mencurigai kami menghabiskan uang transferanmu?" Mbak Sinta makin meradang.

"Bukan gitu, Mbak. Cuma aku kemarin nata almari pakaian ibu, nggak ada daster atau baju-baju baru. Bajunya masih yang lama semua. Ada beberapa yang baru, itu pun baju yang kubelikan saat aku pulang empat bulan sekali. Wajar dong aku makin heran uang itu kemana larinya?"

"Itu karena daster ibu sudah banyak. Kamu tahu sendiri kan dari dulu ibu nggak suka beli baju. Lebih suka beli emas, biar bisa dijual kalau lagi butuh? Tapi terserah kamu percaya atau nggak deh, Rum. Sama saudara sendiri aja nggak percaya, lebih percaya mulut tetangga," pungkas Mbak Sinta sembari beranjak pergi begitu saja.

Tiba-tiba ibu muncul dari pintu dapur. Kami memang duduk di teras belakang.

"Kenapa kakakmu itu ngomel-ngomel sendiri?" tanya ibu padaku dan Mila. Mila hanya memandang ibu sekilas lalu melirik ke arahku.

"Kalian berantem?" Aku hanya tersenyum lalu menggelengkan kepala.

"Syukurlah kalau begitu. Kalian itu tiga bersaudara, jangan sampai bercerai berai karena hal yang hanya bersifat duniawi. Harus akur, saling mengasihi satu sama lain. Jadi, masa tua ibu akan jauh lebih tenang jika melihat anak-anaknya akur dan saling membantu satu dengan lainnya. Kalian mengerti, kan?" Mila kembali menoleh ke arahku, lalu membuang muka ke samping saat aku menatapnya.

"Iya, Bu. Kami mengerti," jawabku lagi. Kuhela napas panjang, lalu kembali menata snack.

Snack-snack ini akan kubagikan di masjid. Setiap jum'at aku berusaha berbagi makanan untuk jamaah salat jum'at.

Meski Mbak Sinta dan Mila selalu mengelak, aku tetap akan menyelidiki masalah ini. Setidaknya, aku tahu kemana uang itu pergi. Misal dipakai mereka untuk kebutuhan pribadi, aku juga tak akan menagihnya kembali.

Hanya saja aku ingin mereka sadar, bahwa amanah atau nggaknya seseorang itu sangat penting karena bagian dari harga diri.

💕💕💕

"Mas, kamu pulang ke sini besok, kan?"

"Iya, InsyaAllah besok dari sini. Nanti beli tiketnya dulu. Kalau nggak bisa jemput di bandara, nggak usah, Sayang. Nanti Mas cari taksi aja," balas Mas Huda santai.

"Mas, jangan naik pesawat deh. Kamu ke sini naik mobil kita aja," pintaku memohon.

"Lah, kenapa? Di kampung bukannya jauh ke mana-mana? Ke jalan utama aja satu jam-an. Jalan juga masih banyak bebatuan dan hutan. Paling di sana juga jarang jalan-jalan. Sudah, kita pakai motor aja nanti. Mas beliin motor matic, ya? Bawa mobil juga percuma, nanti kamu bawel lagi kalau servis kemahalan."

Aku memang sering ngomel kalau servis mahal-mahal. Bukannya apa, kadang Mas Huda suka modif-modif mobil yang kupikir mubadzir saja. Cuma buat bagus, toh fungsinya sama aja. Mending buat nambahin kontrakan kan lumayan ada tambahan tiap bulan.

"Iya, tapi bawa mobil aja, Mas."

"Kenapa tiba-tiba berubah? Kemarin-kemarin bilangnya naik motor aja di sana. Toh tiga atau empat bulan sekali kita juga pulang, bisa jalan-jalan sepuasnya di sini."

"Ah, pokoknya bawa alphird kita ke kampung ya, Mas. Ibu pasti bahagia banget kalau tahu kita punya mobil keren, apalagi kalau ibu tahu kita sukses di Jakarta," ucapku penuh semangat.

"Nanti tiap tiga atau empat bulan sekali kita kan ajak ibu ke sini, ibu juga bakal tahu kalau kita sukses di sini. Ngapain pamer ke kampung segala. Bukannya kamu dulu bilang kalau tetanggamu panasan semua?"

"Maka dari itu, Mas. Aku mau buktiin ke mereka kalau kita di Jakarta itu sukses. Aku sudah tunjukkan foto rumah kita, showroom kita, tapi mereka nggak ada yang percaya. Malah bilang aku halu. Mereka bilang aku kerja sebagai pembantu di rumah itu dan kamu sebagai karyawan di showroom kita."

Bukannya kesal, Mas Huda justru tertawa. Bahagia sekali sepertinya. Heran.

"Lagian sejak kapan istriku pamer-pamer begitu? Jangan-jangan kamu sudah ketularan tetangga yang panasan itu, ya?"

"Nggak gitu juga, Mas. Kesal kan tiap hari dituduh begini begitu."

"Dituduh ini itu justru mengurangi dosa kita, Sayang."

"Tapi, Maaasssssss ...."

"Oke, oke. Besok Mas pulang bawa mobil," ucapnya kemudian membuat hatiku berbunga.

Alhamdulillah akhirnya rencanaku berhasil juga. Padahal aku nggak pernah menunjukkan foto-foto itu ke para tetangga. Lagipula dari dulu aku memang nggak suka pamer-pamer ke mereka, tapi kalau terus-terusan dihina lama-lama aku bakal tunjukkan juga kalau aku dan Mas Huda sukses di Jakarta.   

Entah apa jadinya kalau mereka tahu kami memiliki mobil yang cukup mewah itu, bahkan di kampungku belum ada yang memiliki mobil sekeren itu.

💕💕💕

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Yuli Safitasari
lanjuttttt
goodnovel comment avatar
Rusdiono
cukup mrnatil
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status