Sejak cerita ibu kemarin, jujur saja aku kesal dengan Mbak Sinta dan Mila. Tega sekali mereka memanfaatkanku dan ibu. Menggunakan uang ibu untuk keperluannya sendiri. "Mas, uang yang kutransfer tiap bulan buat ibu ternyata nggak sampai ke ibu.""Maksudnya gimana itu?" tanya Mas Huda sembari menyeruput madu hangat yang baru kusajikan. Sebelum tidur, Mas Huda memang terbiasa minum madu."Mereka bilang ke ibu cuma kutransfer lima ratus ribu, Mas. Entah sisanya buat apa. Pantes baju-baju ibu juga nggak ada yang baru. Tetangga juga sering menyindirku. Berarti selama ini Mbak Sinta sama Mila memang sengaja menjelek-jelekkanku di depan ibu dan para tetangga. Ngeselin banget mereka." "Memangnya kamu sudah tabayyun? Jangan asal nuduh, Sayang. Nanti jatuhnya fitnah," balas Mas Huda lagi. Dia memang selalu begitu, nggak seru tiap kali kuajak ghibah. Bukan ghibah ini mah memang kenyataan. Ibu sendiri yang cerita. Masa' ibu dusta? Lebih nggak mungkin, kan?"Ibu yang cerita soal ini kok, Mas. Ma
Pagi-pagi aku semangat membuatkan Mas Huda dan anak-anak sarapan. Ibu pun sudah kubuatkan bubur merah sesuai permintaannya kemarin. Rasanya nggak sabar, kejutan apa yang akan diberikan Mas Huda buatku nanti.Anak-anak sudah sarapan dan berangkat sekolah diantar papanya. Ibu pun sudah bersih-bersih halaman. Sekarang mulai bakar-bakar sampah. Sementara aku dari tadi cuma duduk dengan gusar, bolak-balik lihat jarum jam, seolah nggak berputar. Dari tadi masih jam delapan aja, menyebalkan."Kenapa sih, Dek?" tanya Mas Huda akhirnya. Mungkin merasa aneh lihat istri yang nggak tenang duduknya. Gelisah nggak jelas."Buruan berangkat, Mas. Mau pergi katanya, kan?" Aku mencoba mengingatkan. Mas Huda pun tersenyum tipis lalu meletakkan cangkir kopinya kembali setelah meminumnya beberapa teguk."Oh, gusar begitu karena penasaran sama kejutan?" Mas Huda seolah meledek. Benar-benar menyebalkan. Nggak tahu apa kalau aku sangat penasaran apa yang sebenarnya akan dia berikan sebagai kejutan itu."Jang
Hari ini aku sengaja jalan-jalan dengan motor baru bersama anak-anak. Gala dan Gina sangat bahagia bisa keliling desa bahkan sampai desa sebelah. Gala dan Gina pun memintaku berhenti di pinggir jalan saat ada penjual es campur yang mangkal.Kuberikan selembar uang untuk mereka, sekalian beli lima bungkus. Yang dua bungkus untuk papa dan neneknya. Saat masih asyik membaca postingan di medsos, tiba-tiba sebuah mobil terhenti di sebelahku. Kaca mobilnya pun terbuka lebar.Seorang laki-laki duduk di belakang stir, menatapku beberapa saat sembari tersenyum tipis. Aku cukup familiar dengan wajahnya. Dia yang sejak sekolah dulu sering banget main ke rumah dengan membawa banyak camilan untuk ibu. Sengaja mencari muka karena dia memang menyukaiku.Aku tahu itu. Bahkan Mbak Sinta sempat menjodoh-jodohkanku dengannya dengan alasan anak orang kaya dan hidupku tak akan susah jika menjadi istrinya.Lebih dari itu, laki-laki itu memang cukup royal dengan keluargaku. Mbak Sinta bilang dia bisa dimanf
Pertemuan keluarga yang tempo hari gagal karena tensi ibu naik, akhirnya malam ini terlaksana juga. Keluarga Mbak Sinta, keluarga Mas Angga dan keluarga Mila sudah lengkap di ruang tengah. Cukup sesak karena memang rumah ibu tak begitu luas.Rumah kayu dengan lantai semen biasa belum berkeramik seperti rumah lainnya. Berulang kali kuizin pada ibu untuk merenovasi full, tapi ibu selalu menolak. Nanti tak ada lagi rasa bapak di rumah ini kalau dirombak full, katanya sembari tersenyum tipis."Ada acara apa sih, Rum? Sampai kamu undang kita semua di sini?" tanya Mbak Sinta dengan tatapan penasaran bercampur curiga."Ibu kok yang mau bicara, bukan aku. Katanya ada hal penting yang harus diluruskan, Mbak," ucapku kemudian dengan senyum tipis.Mas Huda menepuk-nepuk punggung tanganku. Seperti biasanya berharap aku lebih tenang menghadapi masalah dalam keluarga. Tak perlu gegabah apalagi mau menang sendiri. Selalu itu yang dia nasehatkan padaku."Mau ngomong apa sih, Bu? Sepertinya penting ba
"Mas, kenapa sih kamu selalu diam saja saat dihina Mbak Sinta di depan Amin? Aku nggak suka kamu diremehkan begitu, Mas. Harusnya kamu tunjukkan siapa kamu di depan Si Amin itu. Kamu tahu 'kan kalau dia dulu suka sama aku?" protesku pada Mas Huda saat baru saja sampai dari pasar.Sepanjang jalan aku mengomel tak karuan. Kesal sekali rasanya melihat suamiku sendiri diremehkan depan mata. Aku sudah berusaha membantunya, bahkan berniat ingin menelpon karyawan showroom untuk memberitahu Mbak Sinta, Mas Rudy dan Amin itu siapa suamiku sebenarnya. Namun selalu dilarang.Tatapan matanya yang begitu tajam membuat nyaliku menciut. Dia hanya senyum-senyum saja saat kakakku dan laki-laki itu menghinanya di depan umum. Bahkan menyebut suamiku seperti babu yang kerjanya hanya sekadar membantu suaminya belanja di pasar.Mungkin Mbak Sinta sakit hati karena pertemuan keluarga beberapa hari lalu. Bukannya minta maaf, dia seolah semakin membenciku. Bahkan dia pun memusuhi Mila adiknya sendiri hanya ka
DIHINA MISKIN KARENA MOTOR JADUL PADAHAL PUNYA SHOWROOM MOBILHari-hariku di kampung memang tak seindah yang kubayangkan. Namun lama-lama aku juga sudah kebal dengan aneka sindiran dan cibiran. Anggap saja semua adalah camilan yang akan mengidealkan badan. Aku heran, padahal mereka juga melihat usahaku laris dan banyak paket yang terkirim setiap harinya, tapi tetap meremehkan. Bahkan menganggap usahaku itu untungnya tak seberapa. Jadi, habis untuk kehidupan sehari-hari karena Mas Huda pengangguran.Aku memang tak mengizinkan siapa pun kredit gamis yang kujual. Kapok rasanya pernah kreditin barang dulu bukannya untung justru zonk. Aku pun malas menagih, yang ada justru seperti pengemis. Lebih galak mereka dibandingkan penjualnya.Otomatis mereka makin kesal. Sering menyindir bahkan menuduhku macam-macam, sesuai prasangka mereka sendiri. Ah, entahlah.Ribet ternyata hidup di kampung. Meski kekeluargaannya cukup erat tak seperti di kota yang cenderung individualis, tapi di sini salah se
DIHINA MISKIN KARENA MOTOR JADUL PADAHAL PUNYA SHOWROOM MOBIL"Assalamu'alaikum, Bu Bos. Adem ayem di kampung ya, Bu? Enak semilir begini, pantesan betah," ucap Pak Joko dengan senyum lebarnya saat aku sampai di halaman rumah ibu. Benar saja, Pak Joko datang bersama si putih alphird. Beliau duduk di teras dengan menyandarkan punggung lalu memejamkan kedua mata sesaat. Pak Joko ini adalah supir sekaligus tangan kanan almarhum papa mertua. Sudah hampir 25 tahun ikut dengan papa. Setelah papa meninggal, Mas Huda menawarkan pekerjaan yang sama untuknya, akhirnya beliau pun ikut dengan kami hingga saat ini. "W*'alaikumsalam, Pak. Gimana kabarnya? Sehat?" tanyaku sembari menganggukkan kepala untuk menghormatinya."Alhamdulillah sehat, Bu. Pak Bos dari tadi saya telponin nggak diangkat, Bu. Kemana, ya kira-kira?""Katanya mau servis si putih pick up itu, Pak. Cuma kalau mampir-mampir lagi nggak tahu, ya. Ohya, Mas Huda yang minta Pak Joko untuk datang ke sini?" tanyaku lagi, lalu ikut dud
Bakda ashar, Mas Huda datang dengan vespa kesayangannya. Aku sudah menunggu di teras rumah dengan sederet kalimat omelan yang siap meluncur dari bibir.Mas Huda datang dengan senyum lebar tanpa beban sembari mengucapkan salam. Disodorkan punggung tangannya ke arahku. Meski kesal, tetap saja aku mencium punggung tangannya seperti biasa. "Pak Joko sudah datang rupanya. Kemana beliau sekarang, Sayang?" tanyanya singkat, seolah tak terjadi apa-apa. Dia pun duduk di sebelahku begitu saja. "Istirahat di kamar. Kamu kemana aja sih, Mas? Dari pagi pergi katanya mau servis, tapi jam segini baru pulang. Bukannya ngabari lagi, malah enak-enakan. Seneng banget sih kalau istrinya-- Cup. Dia mengecup keningku begitu saja saat aku masih mengoceh ria. Entah mengapa mulutku pun terhenti seketika. Mendadak oleng dan bingung sendiri dengan rencanaku semula untuk mengomelinya bahkan lupa mau melanjutkan kalimat apa. "Nah, kan. Diem sekarang," ucap laki-laki di sebelahku dengan senyum lebarnya. Dia pu