"Mas, kamu dengar sendiri cerita Gala sama Gina, kan?" Mas Huda mengangguk pelan. Kedua matanya masih tak lepas dari layar ponselnya."Terus gimana? Aku tahu Mbak Sinta nggak akan pernah menyerah sebelum keinginannya terwujud.""Maksudmu?""Iya begitu. Dia mempermasalahkan soal rumah ini, kan? Kalau kita terus diam, justru dia yang akan bergerak. Menggunakan berbagai cara agar kita tak hanya diam saja menerima semua fitnahannya.""Terus kita harus gimana? Rumah ini hak ibu, bukan hak dia juga bukan hak kamu, kecuali ibu sudah memberikan wasiat khusus. Kamu bilang aja sama ibu, kalau kita nggak akan mengusik rumah ini, Sayang.""Udah, Mas. Tadi pagi aku juga udah bilang begitu, tapi Mbak Sinta nggak akan percaya omongan kita.""Habis maghrib nanti, kita ke rumah Mbak Sinta dulu, gimana? Besok sore kita kan ke Jakarta. Setidaknya kita sudah berusaha membicarakan masalah ini sama Mbak Sinta, supaya dia nggak koar-koar di luar sana.""Iya, Mas. Nanti aku ngomong sama ibu dulu. Emm ... men
"Ibu marah karena Ningrum dan Mas Huda nggak pernah cerita soal usaha kami di Jakarta?" tanyaku pada ibu yang masih terdiam di kamarnya. Ibu menggeleng pelan lalu mengusap lenganku."Mana mungkin ibu marah, Rum. Justru ibu bangga sama kalian, karena ternyata kamu dan Huda sukses di Jakarta. Perjuangan dan pengorbanan kamu selama ini sudah diijabahNya. Doa-doa yang selalu ibu panjatkan di sepertiga malam sudah dikabulkannya juga. Alhamdulillah. Ibu benar-benar nggak menyangka jika selama ini kalian hidup makmur di sana. Ibu sering mengkhawatirkan kalian, takut jika kamu dan Huda seperti yang digunjingkan orang-orang jika kalian menderita dan kekurangan makanya tak bisa sering pulang."Aku dan ibu saling peluk, menguatkan. Ada haru dan bahagia yang menggelora dalam dada. Tak apalah gagal memberikan ibu kejutan spesial, yang penting sekarang kulihat sendiri senyum tulus dan bahagia itu dari wajah ibu yang menua."Sejak dulu ibu memang yakin, jika kelak kamu akan sukses, Rum. Firasat ibu
Waktu terus berlalu. Hampir enam bulan aku berada di kampung. Meski aku belum pernah balik ke Jakarta, tapi Mas Huda sudah dua kali ke sana. Mengurus kontrakan dan showroomnya.Dia pulang sendiri, karena memang aku tak bisa menemaninya. Anak-anak tak mau ditinggal, lagipula aku juga tak tega. Buat apa ke Jakarta jika anak-anak tak ikut serta. Semoga liburan semester nanti aku dan mereka juga ibu benar-benar bisa berlibur ke sana.Sejak kabar kesuksesanku itu, para tetangga memang mulai bungkam. Mereka diam dengan sendirinya. Tak ada lagi terdengar ejekan soal motor jadul atau menawarkan pekerjaan kasar untuk Mas Huda.Sebenarnya aku tak masalah, jika memang ada tawaran pekerjaan asalkan tak dibubuhi dengan hinaan. Apalagi membanggakan diri sendiri karena bisa membuka lapangan kerja buat orang banyak, bisa sukses dan memiliki banyak usaha. Buat apa dipamerkan segala? Tak ada gunanya, karena pada akhirnya mati pun tak membawa secuil harta benda. Hal itu yang selalu kutekankan pada anak
Para ibu itu hanya ada empat orang, duduk berjejeran. Saat kulirik ke belakang, mereka masih tetap asyik ngobrol soal tuyul sembari menikmati camilan yang terhidang.Beberapa hari terakhir, aku memang mendengar gosip pertuyulan itu. Sungguh tak menyangka jika yang dituduh piara tuyul adalah aku. Entah siapa pencetus gosip itu pertama kalinya. Heran. Tega sekali memfitnah keluargaku sedemikian rupa.Padahal di sini, aku tak pernah bermewah-mewahan. Mobil itu pun dibawa lagi ke Jakarta oleh Pak Joko. Di rumah ibu hanya si putih pick up dan motor pcx dan vespa Mas Huda saja. Soal emas yang dulu pernah menjadi hadiah spesialnya, tak pernah kupakai. Tersimpan rapi di kotak kayu dan kumasukkan ke dalam lemari. Beberapa hari terakhir, aku memang mendengar gosip pertuyulan itu. Sungguh tak menyangka jika yang dituduh piara tuyul adalah aku. Entah siapa pencetus gosip itu pertama kalinya. Heran. Tega sekali memfitnah keluargaku sedemikian rupa.Padahal di sini, aku tak pernah bermewah-mewaha
Suasana kampung makin heboh. Desas-desus piara tuyul itu pun sudah melebar kemana-mana, bahkan orang-orang seolah percaya bahwa aku dan Mas Huda memang piara tuyul hanya karena tak terlihat kerja tapi bisa beli ini itu. Sudah berulang kali kujelaskan, aku memang piara satu tuyul yang doyan makan kebab sama steak. Tuyul sholeh bernama Gala, tapi mereka justru makin menuduhku ini dan itu. Menganggap guyonanku tak lucu. Memang iya sih, aku sebenarnya kan cuma ingin mencairkan suasana yang kaku.Demi kenyamanan kembali, akhirnya Pak RT mengumpulkan warga di rumahnya. Termasuk Mbak Sinta dan Mila karena mereka memang masih satu kampung denganku meski beda RT. Ibu mulai terlihat cemas. Berulang kali mengusap dada seraya mengucap istighfar. Mas Huda pun berusaha menenangkannya. Dia terus meyakinkan ibu kalau semua akan baik-baik saja. Tak perlu ada yang ditakutkan, karena kami memang tak bersalah dalam hal ini.Kami sangat yakin akan kuasa Allah. Meski beberapa minggu terakhir kembali bany
"Jadi Mbak Sinta yang pertama kali lapor kehilangan uang itu?" tanyaku seketika."Apakah Mbak Sinta juga yang pertama kali menuduh kami piara tuyul?" Mas Huda pun ikut bertanya.Mendengar pertanyaan kami, spontan Ibu dan Mila melotot lebar ke arahku. Mereka saling pandang satu sama lain. Seolah tak percaya dan tak menyangka jika kemungkinan besar Mbak Sintalah yang lapor soal tuyul itu untuk pertama kalinya. Namun Mbak Sinta mengelak pertanyaan kami."Iya, aku memang kehilangan uang lima ratus ribu. Uang yang akan kupakai membayar kredit motor malah hilang entah ke mana. Akhirnya aku lapor Pak RT. Ternyata beberapa hari kemudian, banyak warga mengalami hal yang sama. Mereka juga kehilangan uang, makanya semua dicatat Pak RT sesuai tanggal dan nominal kehilangannya supaya tak dituduh sebar fitnah," pungkas Mbak Sinta lagi.Dia tak menatap manik mataku, entah mengapa sengaja menatap ke arah depan, padahal aku berada di samping kirinya."Kenapa Mbak Sinta nggak cerita soal itu padaku ata
"Rumah ibu memang nggak ada kamar khusus, tapi rumah kalian di Jakarta. Mana kami tahu."Sebuah pernyataan yang membuatku menoleh seketika. Mbak Sinta. Ternyata dia justru masih menaruh curiga pada adik dan iparnya sendiri. Astaghfirullah."Mbak Sinta masih nggak percaya juga? Siapa lagi yang nggak percaya coba saya pengin lihat. Tunjuk tangan aja deh," ucap Mas Huda sudah mulai memanas. Dia yang tadi cukup santai, mulai keluar keringat dingin. Aku memberinya tissu untuk mengelapnya."Cuma sembilan orang? Bukannya yang kehilangan uang ada 20 orang? Yang 11 orang sudah percaya penjelasan saya tadi atau masih ragu?" tanya Mas Huda lagi. Dia menatap satu persatu sembilan orang yang berjejer di belakang Mbak Sinta."Saya percaya, Mas. Saya yang harusnya minta maaf sudah ikut melapor segala. Gara-gara di sini ramai, suami saya jadi ngaku kalau uang yang saya simpan di bawah bantal dia yang ambil. Bukan tuyul," ucap seorang ibu dengan wajah memerah karena malu. Dia pun kembali minta maaf la
"Rum ... antar ini ke rumah kakakmu. Kalau tanya dari siapa. Bilang aja dari ibu karena dapat rezeki lebih, jadi masak banyak sekalian buat dibagi-bagi ke tetangga. Jangan bilang dari kamu, nanti dia nggak mau terima," perintah ibu dengan rantang susun tiganya. Rantang jadul bermotif bunga yang paling ibu suka. Termasuk rantang favoritnya. "Baik, Bu. Ngomong-ngomong isinya apa aja sih, Bu? Berat banget kayanya ini," tanyaku kemudian. Ibu pun tersenyum tipis lalu menepuk lenganku pelan saat aku menerima rantang itu darinya."Kesukaan kakakmu. Rendang jengkol paling bawah, atasnya opor ayam buat anak-anaknya sama tempe tahu bacem yang paling atas," jawab ibu dengan senyum tulusnya.Begitulah seorang ibu. Sebanyak apapun kesalahan anak-anaknya, selalu berusaha melupakan dan menaafkan. Tetap mencurahkan kasih sayang seperti biasanya, meski dalam hati masih ada luka. Pantas jika ada pepatah kasih sayang ibu sepanjang jalan dan sepanjang masa. Ibu memanglah orang pertama dan satu-satunya