DIHINA MISKIN KARENA MOTOR JADUL SAAT PULANG KAMPUNG, PADAHAL PUNYA SHOWROOM MOBIL DI JAKARTA
#5
Aku tak peduli cibiran tetangga. Mereka yang tadinya datang berkerumun, lalu membubarkan diri begitu saja. Datang tak dijemput, pulang tak diantar. Macam jaelangkung.
"Jangan dengerin tetangga, Rum. Kaya' nggak tahu mereka aja. Raknya biar dibantu angkut ke dalam Mas Rudy sama Angga. Sebentar lagi Angga juga datang," ucap ibu tiba-tiba berusaha menenangkanku.
Tak ingin membuat ibu tambah pikiran, aku pun mengiyakan saja. Dibantu Mbak Sinta dan Mila, aku membawa kardus dan beberapa karung berisi gamis itu ke kamar belakang yang sudah kusiapkan.
Tak selang lama, Andi-- suami Mila-- datang dengan Mika. Ibu pun memintanya untuk membantu Mas Rudy untuk membawa rak dari halaman ke kamar.
"Mas Angga belum datang, ya?" tanyaku saat semua sudah berkumpul.
Mila sekeluarga dan Mbak Sinta sekeluarga. Rencananya aku memang mau mengadakan syukuran kecil-kecilan. Sudah pesan nasi box juga dan siap diantar bakda ashar. Camilan-camilan juga sudah siap.
Aku hanya berharap supaya kami sekeluarga terutama Gala dan Gina bisa betah tinggal di sini. Tadinya mau syukuran saat Mas Huda datang, tapi dia bilang sekarang aja nggak apa-apa, sekalian syukuran pernikahanku dengannya yang ke-14 tahun.
"Daganganmu banyak juga, Rum. Modalnya gedhe dong ini," ucap Mbak Sinta saat membantuku membawakan beberapa kardus ke kamar.
"Alhamdulillah, Mbak. Makanya bisa kirimin ibu uang tiap bulan," balasku kemudian. Mbak Sinta sedikit tersentak, entah karena apa. Dia mendadak menoleh ke kanan-kiri. Seolah takut ada yang mendengar percakapan kami.
"Kenapa, Mbak?"
"Ah, nggak apa-apa. Ohya, omsetmu tiap bulan gedhe dong, Rum. Bisa kirimin ibu segitu banyak. Udah kaya' PNS aja kirimanmu itu."
"Banyak atau nggak itu memang relatif sih, Mbak, tapi Alhamdulillah cukup buat ibu dan jajan anak-anak. Uang segitu buat keperluan ibu di sini nggak kurang kan, Mbak?"
"Ehh ... nggaklah, Rum. Cukup kok. Kamu tahu sendiri kan kadang ibu minta ini itu, pengin makan ini itu juga, jadi ya nggak pernah nyisa," balas Mbak Sinta gugup. Aku semakin curiga, apa yang sebenarnya disembunyikannya.
"Sekarang kamu sudah pulang, jadi ibu nggak nanya-nanya kamu terus. Dari dulu kan ibu pengin banget dirawat kamu, Rum."
Aku mengangguk pelan sembari tersenyum tipis. Rasanya memang dilema, tapi aku yakin jika pilihan ini tepat adanya. Tak ada salahnya merawat orang tua yang sudah lansia, apalagi itu ibu kandung sendiri.
Aku pun yakin, rezeki akan terus mengalir untuk kami. Boleh jadi akan semakin lancar dan berkah karena doa-doa ibu yang tak pernah terlupa untuk anak-anaknya. Apalagi kami sudah rela melepaskan kehidupan di sana demi menjaga ibu di desa.
"Rum ... Rum! Kata Ambar sama Sri, kamu jualan gamis, ya? Boleh ngutang dong, Rum!" teriak seseorang dari arah pintu.
Mbak Intan dan Mbak Ambar sudah muncul di belakangku. Mereka menghampiriku ke kamar belakang, melewati ruang keluarga yang notabene banyak keluargaku lainnya di sana.
"Ngutang, Mbak?"
"Iya, coba lihat gamisnya," ucap Mbak Intan santai.
Dia dan Mbak Ambar pun langsung mengambil satu bungkus gamis berwarna abu tua. Duh! Jangan sampai mereka pikir seperti gamis di pasar yang seratus ribuan, karena ini gamis branded dengan harga paling murah dua ratus ribuan.
"Cantik banget ini, Rum. Modelnya elegan, warnanya juga menarik, bahannya adem, lembut lagi. Mau dong, Rum. Berapa harganya? Diskonnya jangan lupa," ucap Mbak Ambar begitu antusias. Aku pun menghela napas.
"Iya, Mbak. Itu lumayan premium. Harganya di atas delapan ratus ribu, sesuai dengan bahan, model dan warna cantiknya, kan?"
"Apa, Rum? Delapan ratus ribu? Nggak salah dengar kita, kan?" Mbak Ambar dan Mbak Intan saling toleh dengan mulut membentuk huruf O.
Apa kubilang, pasti shock mereka mendengar harganya. Harusnya mereka juga tahu, gamis begitu cantik dan elegannya nggak mungkin murah. Bukannya ada kualitas ada harga?
Namun beginilah hidup di kampung, selalu saja warna-warni tanggapannya. Di sini yang penting murah dan modelnya pun cantik, soal bahan nggak terlalu dilihat.
"Kamu ngambil untung banyak banget sih, Rum? Gitu juga nggak kaya-kaya. Heran. Kalau aku ambil untung sebanyak kamu, pasti cepet naik haji sama beli motor mabur," sahut Mbak Ambar dengan kesalnya.
Aneh. Harusnya aku yang kesal, kenapa justru mereka yang sewot sih?
"Mana ada untung banyak banget, Mbak. Saya ini distributor gamis merek ini dengan keuntungan 20%, kalau agen 15% kalau reseller 10%. Jadi nggak ada untung banyak banget seperti yang Mbak pikirkan. Harga sudah disesuaikan, nggak ada yang sengaja naikan harga biar makin untung. Ada targetnya juga."
"Biasalah, Mbar. Namanya penjual ya gitu. Mana ada penjual ngaku dan blak-blakan. Iya, kan?"
Lagi-lagi Mbak Ambar dan Mbak Intan saling pandang dan menganggukkan kepala.
"Kalau nggak mau ya nggak apa-apa, Mbak. Ini memang aku jual online, jarang ada yang offline. Apalagi di desa gini, aku juga tahu kalau cari uang agak susah jadi di sini bukan target pasar untuk gamis-gamisku ini."
"Helleh, suombong. Baru jualan gamis delapan ratus ribu aja udah merasa paling gampang cari duit terus ngejek orang-orang kampung macam kita ini nggak ada duit."
"Bukan gitu, Mbak. Mbak Ambar ini salah paham loh."
"Salah paham apanya, Rum? Lah iya bener kan kamu bilang kalau di sini susah cari duit. Asal kamu tahu ya, Rum. Susah-susah gini, kita di sini punya sawah dan banyak ternak. Kalau dijual semua dapat berapa ratus juta tuh. Lah kamu. Katanya di kota cari duit gampang, memangnya sebulan dapat berapa? Punya tabungan berapa?" Cibir Mbak Intan.
Kulihat Mbak Sinta sudah pergi sedari tadi. Sepertinya dia memang nggak mau ikut nimbrung obrolan kami.
"Alhamdulillah cukup, Mbak. Cukup buat kebutuhan ibu dan jajan anak-anak tiap bulan," balasku singkat. Kembali menata gamis dan hijab-hijannya ke rak.
"Dapet berapa? Wong tiap bulan itu Mbak sama Adikmu selalu cari pinjaman ke bank plecit kok. Berarti kirimanmu sedikit, nggak cukup buat ibumu. Iya to, Mbar?"
Aku pun menoleh tepat saat Mbak Ambar menganggukkan kepala, membenarkan ucapan Mbak Intan, sementara aku semakin kaget karena sudah dua orang yang mengatakan soal kiriman dan hutang Mbak Sinta juga Mila.
"Aku selalu transfer ibu empat juta tiap bulan, Mbak. Memangnya kurang duit segitu buat hidup di desa ini?"
"Hah?! Empat juta, Rum?!"
💕💕💕
DIHINA MISKIN KARENA MOTOR JADUL SAAT PULANG KAMPUNG, PADAHAL PUNYA SHOWROOM MOBIL DI JAKARTA #6 "Mbak, kamu sama Mila memangnya nggak bilang ibu kalau tiap bulan aku transfer empat juta buat kebutuhannya? Kok yang beredar di luaran sana bilang aku anak durhaka yang nggak mau merawat orang tua, nggak ngirimin uang juga. Gimana sih? Buat apa uang yang selama ini kutransfer?" tanyaku kesal saat Mbak Sinta dan Mila membantuku memasukkan snack ke box. Dua saudara kandungku itu pun mendongak seketika. Mereka saling pandang lalu menghentikan aktivitasnya. "Maksudmu gimana sih, Rum? Uang itu jelas buat ibulah, memangnya kamu pikir buat siapa? Selama ini aku sama Mila gantian rawat ibu, kan? Ibu juga terawat dengan baik kok. Kamu kok mendadak curiga begitu?" Mbak Sinta menjawab dengan sedikit gugup. "Bener kata Mbak Sinta, kami merawat ibu dengan baik. Lagipula kalau misal kita pakai sedikit, wajar dong, Mbak. Kami yang rawat ibu sejak dulu, sementara kamu cuma modal uang, kan? Nanti kamu
Suara Gala dan Gina terdengar begitu nyaring. Mereka teriak memanggilku. Aku dan ibu yang masih sibuk di dapur pun setengah berlari menuju halaman. "Ma ... Mama. Papa datang!" Teriak Gina dengan riangnya. Aku pun tersenyum senang. Pasti Mas Huda bawa mobil kesayangan kami itu. Betapa kagetnya aku saat sampai di teras. Beberapa tetangga yang tengah arisan di rumah Mbak Sri pun melihat ke arah mami. Mas Huda yang kupikir pulang membawa alphird justru pulang membawa si putih. Mobil bak terbuka yang biasa disewakan untuk pindahan kontrakan. Astaghfirullah. Benar-benar menyebalkan! "Sayang, aku pulang bawa mobil kita," ucap Mas Huda dengan meringis kecil sambil menatapku. Kucium punggung tangannya dengan kesal. "Kenapa sih cemberut gitu?" "Kenapa bawa dia sih, Mas? Harusnya kan-- "Mobil sendiri apa nyewa, Da?" Teriak Mbak Ambar dari rumah Mbak Sri. Dasar kepo! Mas Huda sedikit kebingungan. Di pun menoleh ke arahku. "Mas yakin kalau kamu nggak pamer-pamer ke mereka soal rumah sama us
Bakda ashar, Mas Huda bersihin halaman belakang. Dia bilang mau bikin kolam lele daripada nggak ada kesibukan. Gina dan Gala pun begitu antusias membantu papanya, membakar sampah dedaunan kering dan bekas sayuran dari dapur. Sambil memperhatikan mereka, aku mulai tanya-tanya keseharian ibu di rumah Mbak Santi dan Mila. Selama aku tinggal di sini bersamanya, ibu memang belum pernah cerita apa-apa. Justru seolah menutupi semuanya. "Bu, saat di rumah Mila dan Mbak Sinta sore-sore begini ibu ngapain?" tanyaku mulai mencari informasi tentang kehidupan ibu di rumah dua saudaraku itu. Ibu hanya menghela napas lalu kembali menyeruput teh hangatnya. "Ibu nggak disiksa Mila sama Mbak Sinta, kan?" tanyaku asal. Sengaja agak ekstrim biar ibu mau bercerita. "Huusstt. Kamu ini, masa' ada anak nyiksa ibu kandungnya. Kamu ada-ada saja," jawab ibu cepat. Aku pun hanya nyengir saja. "Lagian ibu nggak mau cerita. Aku juga pengin tahu keseharian ibu bersama mereka, kan?" Lagi-lagi ibu menghela napa
Sejak cerita ibu kemarin, jujur saja aku kesal dengan Mbak Sinta dan Mila. Tega sekali mereka memanfaatkanku dan ibu. Menggunakan uang ibu untuk keperluannya sendiri. "Mas, uang yang kutransfer tiap bulan buat ibu ternyata nggak sampai ke ibu.""Maksudnya gimana itu?" tanya Mas Huda sembari menyeruput madu hangat yang baru kusajikan. Sebelum tidur, Mas Huda memang terbiasa minum madu."Mereka bilang ke ibu cuma kutransfer lima ratus ribu, Mas. Entah sisanya buat apa. Pantes baju-baju ibu juga nggak ada yang baru. Tetangga juga sering menyindirku. Berarti selama ini Mbak Sinta sama Mila memang sengaja menjelek-jelekkanku di depan ibu dan para tetangga. Ngeselin banget mereka." "Memangnya kamu sudah tabayyun? Jangan asal nuduh, Sayang. Nanti jatuhnya fitnah," balas Mas Huda lagi. Dia memang selalu begitu, nggak seru tiap kali kuajak ghibah. Bukan ghibah ini mah memang kenyataan. Ibu sendiri yang cerita. Masa' ibu dusta? Lebih nggak mungkin, kan?"Ibu yang cerita soal ini kok, Mas. Ma
Pagi-pagi aku semangat membuatkan Mas Huda dan anak-anak sarapan. Ibu pun sudah kubuatkan bubur merah sesuai permintaannya kemarin. Rasanya nggak sabar, kejutan apa yang akan diberikan Mas Huda buatku nanti.Anak-anak sudah sarapan dan berangkat sekolah diantar papanya. Ibu pun sudah bersih-bersih halaman. Sekarang mulai bakar-bakar sampah. Sementara aku dari tadi cuma duduk dengan gusar, bolak-balik lihat jarum jam, seolah nggak berputar. Dari tadi masih jam delapan aja, menyebalkan."Kenapa sih, Dek?" tanya Mas Huda akhirnya. Mungkin merasa aneh lihat istri yang nggak tenang duduknya. Gelisah nggak jelas."Buruan berangkat, Mas. Mau pergi katanya, kan?" Aku mencoba mengingatkan. Mas Huda pun tersenyum tipis lalu meletakkan cangkir kopinya kembali setelah meminumnya beberapa teguk."Oh, gusar begitu karena penasaran sama kejutan?" Mas Huda seolah meledek. Benar-benar menyebalkan. Nggak tahu apa kalau aku sangat penasaran apa yang sebenarnya akan dia berikan sebagai kejutan itu."Jang
Hari ini aku sengaja jalan-jalan dengan motor baru bersama anak-anak. Gala dan Gina sangat bahagia bisa keliling desa bahkan sampai desa sebelah. Gala dan Gina pun memintaku berhenti di pinggir jalan saat ada penjual es campur yang mangkal.Kuberikan selembar uang untuk mereka, sekalian beli lima bungkus. Yang dua bungkus untuk papa dan neneknya. Saat masih asyik membaca postingan di medsos, tiba-tiba sebuah mobil terhenti di sebelahku. Kaca mobilnya pun terbuka lebar.Seorang laki-laki duduk di belakang stir, menatapku beberapa saat sembari tersenyum tipis. Aku cukup familiar dengan wajahnya. Dia yang sejak sekolah dulu sering banget main ke rumah dengan membawa banyak camilan untuk ibu. Sengaja mencari muka karena dia memang menyukaiku.Aku tahu itu. Bahkan Mbak Sinta sempat menjodoh-jodohkanku dengannya dengan alasan anak orang kaya dan hidupku tak akan susah jika menjadi istrinya.Lebih dari itu, laki-laki itu memang cukup royal dengan keluargaku. Mbak Sinta bilang dia bisa dimanf
Pertemuan keluarga yang tempo hari gagal karena tensi ibu naik, akhirnya malam ini terlaksana juga. Keluarga Mbak Sinta, keluarga Mas Angga dan keluarga Mila sudah lengkap di ruang tengah. Cukup sesak karena memang rumah ibu tak begitu luas.Rumah kayu dengan lantai semen biasa belum berkeramik seperti rumah lainnya. Berulang kali kuizin pada ibu untuk merenovasi full, tapi ibu selalu menolak. Nanti tak ada lagi rasa bapak di rumah ini kalau dirombak full, katanya sembari tersenyum tipis."Ada acara apa sih, Rum? Sampai kamu undang kita semua di sini?" tanya Mbak Sinta dengan tatapan penasaran bercampur curiga."Ibu kok yang mau bicara, bukan aku. Katanya ada hal penting yang harus diluruskan, Mbak," ucapku kemudian dengan senyum tipis.Mas Huda menepuk-nepuk punggung tanganku. Seperti biasanya berharap aku lebih tenang menghadapi masalah dalam keluarga. Tak perlu gegabah apalagi mau menang sendiri. Selalu itu yang dia nasehatkan padaku."Mau ngomong apa sih, Bu? Sepertinya penting ba
"Mas, kenapa sih kamu selalu diam saja saat dihina Mbak Sinta di depan Amin? Aku nggak suka kamu diremehkan begitu, Mas. Harusnya kamu tunjukkan siapa kamu di depan Si Amin itu. Kamu tahu 'kan kalau dia dulu suka sama aku?" protesku pada Mas Huda saat baru saja sampai dari pasar.Sepanjang jalan aku mengomel tak karuan. Kesal sekali rasanya melihat suamiku sendiri diremehkan depan mata. Aku sudah berusaha membantunya, bahkan berniat ingin menelpon karyawan showroom untuk memberitahu Mbak Sinta, Mas Rudy dan Amin itu siapa suamiku sebenarnya. Namun selalu dilarang.Tatapan matanya yang begitu tajam membuat nyaliku menciut. Dia hanya senyum-senyum saja saat kakakku dan laki-laki itu menghinanya di depan umum. Bahkan menyebut suamiku seperti babu yang kerjanya hanya sekadar membantu suaminya belanja di pasar.Mungkin Mbak Sinta sakit hati karena pertemuan keluarga beberapa hari lalu. Bukannya minta maaf, dia seolah semakin membenciku. Bahkan dia pun memusuhi Mila adiknya sendiri hanya ka