DIHINA MISKIN KARENA MOTOR JADUL SAAT PULANG KAMPUNG, PADAHAL PUNYA SHOWROOM MOBIL DI JAKARTA
#4
"Mas, kapan kamu nyusul kami ke kampung? Kamu beneran 'kan mau tinggal di sini bareng kami?" tanyaku via telpon saat Mas Huda belum juga menyusulku ke kampung halaman.
Padahal urusan pindah sekolah anak-anak sudah beres semua. Mulai hari ini, mereka juga sudah resmi sekolah di kampung sini. Meski mereka masih cukup kaget saat kuminta jalan kaki seperti teman lainnya, tapi Gala dan Gina cukup mengerti. Mereka pun patuh dan menjalankan perintah mamanya dengan senang hati.
"Semingguan lagi ya, Sayang. Mas harus mikirkan semuanya sebelum benar-benar pulang. Soal showroom, kontrakan sama usaha online kamu itu. Besok, Mas sewa truk besar buat kirim vespa sama gamis-gamis kamu ya, Sayang. Katanya mau tetap jualan di sana daripada pengangguran?"
"Iya, Mas. Jadi besok barang-barangnya sudah datang? Aku mau beresin kamar belakang buat tata gamis-gamisnya. Ohya, raknya kamu bawakan sekalian kan, Mas?" tanyaku cukup senang. Sebulan pindah ke kampung, rasanya memang cukup aneh.
Tak punya pekerjaan membuat para tetangga makin nyinyir saja. Bahkan memintaku untuk menjadi buruh di pabrik tahu milik Mas Amin. Seolah sengaja ingin mempermalukanku di depan laki-laki itu. Dia yang dulu pernah kutolak cintanya.
"Iya. Sudah semuanya kok. Baju-bajumu sama anak-anak juga sebagian sudah Mas bawakan. Memang masih banyak di sini, kan nanti tiga atau empat bulan sekali kita pulang. Seperti rencana awal, kan?" Aku mengiyakan.
Rencananya memang tiga atau empat bulan sekali aku akan mengajak ibu ke Jakarta. Kalau cuma seminggu dua minggu, ibu sih mau saja asal nggak tinggal di sana berbulan-bulan. Lagipula semenjak aku dan Mas Huda tinggal di rumah almarhum Mama enam bulan lalu, ibu belum pernah ke sana.
Ibu dan saudaraku yang lain nggak tahu kalau Mas Huda pewaris tunggal harta peninggalan orang tuanya, karena sejak dulu dia agak tertutup soal keluarga. Orang tuanya memang tak merestui pernikahan kami.
Bahkan Mas Huda diusir dari rumah karena lebih memilihku menjadi istrinya. Sejak itulah dia mengontrak. Jatuh bangun membangun usaha, hingga cukup sukses seperti sekarang.
Banyak perbedaan antara aku dan Mas Huda. Jadi, wajar saja jika papa dan mama tak merestui hubunganku dengan anaknya. Aku yang hanya berasal dari keluarga biasa saja, sementara Mas Huda terlahir dari keluarga berada.
Meski begitu, keluargaku tak pernah tahu bagaimana kehidupan Mas Huda sebelumnya. Mereka hanya tahu jika Mas Huda adalah anak kedua. Bahkan mereka juga tak tahu jika kakak kandung Mas Huda sudah pergi sejak dua tahun yang lalu karena kecelakaan.
Namun aku cukup bersyukur karena sejak kelahiran anak keduaku-- Gina-- sikap mama padaku mulai melunak. Dia mulai menerimaku dan cucu-cucunya. Alasannya mungkin cukup banyak. Salah satunya, karena kepergian papa enam bulan sebelum kelahiran Gina dan mama yang juga sering sakit-sakitan karena menua.
Mungkin karena banyak faktor itulah, akhirnya mama mulai menghubungiku dam Mas Huda. Meminta kami untuk sering-sering menjenguknya. Karena sejak papa pergi, mama memang hidup sendiri. Hanya ditemani dua asisten rumah tangga dan seorang satpam di rumahnya.
Sikap tertutup Mas Huda soal keluarganya itulah yang sering kali menjadi senjata para tetangga untuk menyudutkanku. Mereka sering kali menyindir soal bebet bibit dan bobot dalam memilih calon suami. Agar tak salah kaprah sepertiku, katanya.
"Sayang ...." Aku sedikit terlonjak saat mendengar panggilan Mas Huda.
"Kok malah bengong? Truknya sudah berangkat sejak semalam. Jadi kemungkinan besar pagi ini sampai rumah, Sayang. Jaga si Vespa kesayangan, ya? Jangan sampai lecet-lecet," pesan Mas Huda sembari tertawa kecil.
Dia memang begitu menyayangi vespanya. Meski memiliki banyak mobil, Mas Huda masih senang bervespa. Baginya, vespa itu adalah salah satu saksi dan teman yang tahu perjalanan hidupnya sejak susah dulu hingga detik ini. Tak akan dijual, meski dulu pernah ditawar mahal oleh teman kuliahnya.
Aku pun mengiyakan kembali. Obrolan tertutup. Gegas kubersihkan kamar belakang untuk tempat rak-rak gamis dan jilbab nanti. Kemungkinan besar sebentar lagi truk itu datang.
Saat masih sibuk ngepel, tiba-tiba ibu memanggilku dari teras rumah. Terdengar keributan di luar. Sepertinya memang truk yang membawa barang daganganku dan vespa kesayangan Mas Huda sudah datang. Setengah berlari aku menuju halaman.
Beberapa tetangga banyak yang datang karena penasaran. Mereka bahkan saling menebak barang yang ada di dalam truk besar itu.
"Rumahnya Mbak Ningrum, kan?" tanya supir truk dengan ramah. Aku pun mengangguk pelan.
"Alhamdulillah ketemu. Tadi sempat kesasar, Mbak. Kami ke desa sebelah, karena di sana ada Ningrum juga," ucap Pak Supir dengan tawa kecilnya.
"Iya, Pak. Nama Ningrum memang pasaran di sini," balasku. Pak Supir pun kembali tersenyum.
"Ini kiriman dari suami Mbak Ningrum. Rak-rak gamis sama motor kesayangan. Bahkan Pak Huda sampai berulang kali pesan agar hati-hati dengan motornya. Sepertinya beliau memang sangat menyayangi motor itu ya, Mbak."
"Iya, Pak. Itu motor legend, kesanyangan suami," jawabku kemudian.
Beberapa warga pun saling bisik dan penasaran dengan isi di bawah terpal biru itu. Perlahan Pak Supir membuka terpal dan pintu belakang truknya. Tampaklah dua rak dan tiga karung besar daganganku beserta vespa tua itu.
"Owalahhhhh, motor jadul. Cuma motor tua begitu aja kok kesannya premium banget sampai nggak boleh lecet-lecet segala," sindir Mbak Sri kemudian.
"Lah iya motor jadul begitu. Kupikir motor gede N M*x atau PCX gitu loh. Ternyata cuma vespa tua," sahut yang lain entah siapa.
"Hampir dua puluh tahun di Jakarta cuma bawa motor jadul, Rum?" Mas Rudi-- kakak iparku pun ikut berkomentar. Dia suami Mbak Sinta yang baru saja tiba bersama dua anaknya.
Suasana mendadak riuh. Saling sindir dan saling memamerkan kendaraan masing-masing. Kesal sekali rasanya mendengar suamiku diremehkan begini. Kalau nanti dia pulang kampung, kuminta membawa alphardnya sekalian. Biar mereka tak lagi meremehkan.
💕💕💕
DIHINA MISKIN KARENA MOTOR JADUL SAAT PULANG KAMPUNG, PADAHAL PUNYA SHOWROOM MOBIL DI JAKARTA #5 Aku tak peduli cibiran tetangga. Mereka yang tadinya datang berkerumun, lalu membubarkan diri begitu saja. Datang tak dijemput, pulang tak diantar. Macam jaelangkung. "Jangan dengerin tetangga, Rum. Kaya' nggak tahu mereka aja. Raknya biar dibantu angkut ke dalam Mas Rudy sama Angga. Sebentar lagi Angga juga datang," ucap ibu tiba-tiba berusaha menenangkanku. Tak ingin membuat ibu tambah pikiran, aku pun mengiyakan saja. Dibantu Mbak Sinta dan Mila, aku membawa kardus dan beberapa karung berisi gamis itu ke kamar belakang yang sudah kusiapkan. Tak selang lama, Andi-- suami Mila-- datang dengan Mika. Ibu pun memintanya untuk membantu Mas Rudy untuk membawa rak dari halaman ke kamar. "Mas Angga belum datang, ya?" tanyaku saat semua sudah berkumpul. Mila sekeluarga dan Mbak Sinta sekeluarga. Rencananya aku memang mau mengadakan syukuran kecil-kecilan. Sudah pesan nasi box juga dan siap
DIHINA MISKIN KARENA MOTOR JADUL SAAT PULANG KAMPUNG, PADAHAL PUNYA SHOWROOM MOBIL DI JAKARTA #6 "Mbak, kamu sama Mila memangnya nggak bilang ibu kalau tiap bulan aku transfer empat juta buat kebutuhannya? Kok yang beredar di luaran sana bilang aku anak durhaka yang nggak mau merawat orang tua, nggak ngirimin uang juga. Gimana sih? Buat apa uang yang selama ini kutransfer?" tanyaku kesal saat Mbak Sinta dan Mila membantuku memasukkan snack ke box. Dua saudara kandungku itu pun mendongak seketika. Mereka saling pandang lalu menghentikan aktivitasnya. "Maksudmu gimana sih, Rum? Uang itu jelas buat ibulah, memangnya kamu pikir buat siapa? Selama ini aku sama Mila gantian rawat ibu, kan? Ibu juga terawat dengan baik kok. Kamu kok mendadak curiga begitu?" Mbak Sinta menjawab dengan sedikit gugup. "Bener kata Mbak Sinta, kami merawat ibu dengan baik. Lagipula kalau misal kita pakai sedikit, wajar dong, Mbak. Kami yang rawat ibu sejak dulu, sementara kamu cuma modal uang, kan? Nanti kamu
Suara Gala dan Gina terdengar begitu nyaring. Mereka teriak memanggilku. Aku dan ibu yang masih sibuk di dapur pun setengah berlari menuju halaman. "Ma ... Mama. Papa datang!" Teriak Gina dengan riangnya. Aku pun tersenyum senang. Pasti Mas Huda bawa mobil kesayangan kami itu. Betapa kagetnya aku saat sampai di teras. Beberapa tetangga yang tengah arisan di rumah Mbak Sri pun melihat ke arah mami. Mas Huda yang kupikir pulang membawa alphird justru pulang membawa si putih. Mobil bak terbuka yang biasa disewakan untuk pindahan kontrakan. Astaghfirullah. Benar-benar menyebalkan! "Sayang, aku pulang bawa mobil kita," ucap Mas Huda dengan meringis kecil sambil menatapku. Kucium punggung tangannya dengan kesal. "Kenapa sih cemberut gitu?" "Kenapa bawa dia sih, Mas? Harusnya kan-- "Mobil sendiri apa nyewa, Da?" Teriak Mbak Ambar dari rumah Mbak Sri. Dasar kepo! Mas Huda sedikit kebingungan. Di pun menoleh ke arahku. "Mas yakin kalau kamu nggak pamer-pamer ke mereka soal rumah sama us
Bakda ashar, Mas Huda bersihin halaman belakang. Dia bilang mau bikin kolam lele daripada nggak ada kesibukan. Gina dan Gala pun begitu antusias membantu papanya, membakar sampah dedaunan kering dan bekas sayuran dari dapur. Sambil memperhatikan mereka, aku mulai tanya-tanya keseharian ibu di rumah Mbak Santi dan Mila. Selama aku tinggal di sini bersamanya, ibu memang belum pernah cerita apa-apa. Justru seolah menutupi semuanya. "Bu, saat di rumah Mila dan Mbak Sinta sore-sore begini ibu ngapain?" tanyaku mulai mencari informasi tentang kehidupan ibu di rumah dua saudaraku itu. Ibu hanya menghela napas lalu kembali menyeruput teh hangatnya. "Ibu nggak disiksa Mila sama Mbak Sinta, kan?" tanyaku asal. Sengaja agak ekstrim biar ibu mau bercerita. "Huusstt. Kamu ini, masa' ada anak nyiksa ibu kandungnya. Kamu ada-ada saja," jawab ibu cepat. Aku pun hanya nyengir saja. "Lagian ibu nggak mau cerita. Aku juga pengin tahu keseharian ibu bersama mereka, kan?" Lagi-lagi ibu menghela napa
Sejak cerita ibu kemarin, jujur saja aku kesal dengan Mbak Sinta dan Mila. Tega sekali mereka memanfaatkanku dan ibu. Menggunakan uang ibu untuk keperluannya sendiri. "Mas, uang yang kutransfer tiap bulan buat ibu ternyata nggak sampai ke ibu.""Maksudnya gimana itu?" tanya Mas Huda sembari menyeruput madu hangat yang baru kusajikan. Sebelum tidur, Mas Huda memang terbiasa minum madu."Mereka bilang ke ibu cuma kutransfer lima ratus ribu, Mas. Entah sisanya buat apa. Pantes baju-baju ibu juga nggak ada yang baru. Tetangga juga sering menyindirku. Berarti selama ini Mbak Sinta sama Mila memang sengaja menjelek-jelekkanku di depan ibu dan para tetangga. Ngeselin banget mereka." "Memangnya kamu sudah tabayyun? Jangan asal nuduh, Sayang. Nanti jatuhnya fitnah," balas Mas Huda lagi. Dia memang selalu begitu, nggak seru tiap kali kuajak ghibah. Bukan ghibah ini mah memang kenyataan. Ibu sendiri yang cerita. Masa' ibu dusta? Lebih nggak mungkin, kan?"Ibu yang cerita soal ini kok, Mas. Ma
Pagi-pagi aku semangat membuatkan Mas Huda dan anak-anak sarapan. Ibu pun sudah kubuatkan bubur merah sesuai permintaannya kemarin. Rasanya nggak sabar, kejutan apa yang akan diberikan Mas Huda buatku nanti.Anak-anak sudah sarapan dan berangkat sekolah diantar papanya. Ibu pun sudah bersih-bersih halaman. Sekarang mulai bakar-bakar sampah. Sementara aku dari tadi cuma duduk dengan gusar, bolak-balik lihat jarum jam, seolah nggak berputar. Dari tadi masih jam delapan aja, menyebalkan."Kenapa sih, Dek?" tanya Mas Huda akhirnya. Mungkin merasa aneh lihat istri yang nggak tenang duduknya. Gelisah nggak jelas."Buruan berangkat, Mas. Mau pergi katanya, kan?" Aku mencoba mengingatkan. Mas Huda pun tersenyum tipis lalu meletakkan cangkir kopinya kembali setelah meminumnya beberapa teguk."Oh, gusar begitu karena penasaran sama kejutan?" Mas Huda seolah meledek. Benar-benar menyebalkan. Nggak tahu apa kalau aku sangat penasaran apa yang sebenarnya akan dia berikan sebagai kejutan itu."Jang
Hari ini aku sengaja jalan-jalan dengan motor baru bersama anak-anak. Gala dan Gina sangat bahagia bisa keliling desa bahkan sampai desa sebelah. Gala dan Gina pun memintaku berhenti di pinggir jalan saat ada penjual es campur yang mangkal.Kuberikan selembar uang untuk mereka, sekalian beli lima bungkus. Yang dua bungkus untuk papa dan neneknya. Saat masih asyik membaca postingan di medsos, tiba-tiba sebuah mobil terhenti di sebelahku. Kaca mobilnya pun terbuka lebar.Seorang laki-laki duduk di belakang stir, menatapku beberapa saat sembari tersenyum tipis. Aku cukup familiar dengan wajahnya. Dia yang sejak sekolah dulu sering banget main ke rumah dengan membawa banyak camilan untuk ibu. Sengaja mencari muka karena dia memang menyukaiku.Aku tahu itu. Bahkan Mbak Sinta sempat menjodoh-jodohkanku dengannya dengan alasan anak orang kaya dan hidupku tak akan susah jika menjadi istrinya.Lebih dari itu, laki-laki itu memang cukup royal dengan keluargaku. Mbak Sinta bilang dia bisa dimanf
Pertemuan keluarga yang tempo hari gagal karena tensi ibu naik, akhirnya malam ini terlaksana juga. Keluarga Mbak Sinta, keluarga Mas Angga dan keluarga Mila sudah lengkap di ruang tengah. Cukup sesak karena memang rumah ibu tak begitu luas.Rumah kayu dengan lantai semen biasa belum berkeramik seperti rumah lainnya. Berulang kali kuizin pada ibu untuk merenovasi full, tapi ibu selalu menolak. Nanti tak ada lagi rasa bapak di rumah ini kalau dirombak full, katanya sembari tersenyum tipis."Ada acara apa sih, Rum? Sampai kamu undang kita semua di sini?" tanya Mbak Sinta dengan tatapan penasaran bercampur curiga."Ibu kok yang mau bicara, bukan aku. Katanya ada hal penting yang harus diluruskan, Mbak," ucapku kemudian dengan senyum tipis.Mas Huda menepuk-nepuk punggung tanganku. Seperti biasanya berharap aku lebih tenang menghadapi masalah dalam keluarga. Tak perlu gegabah apalagi mau menang sendiri. Selalu itu yang dia nasehatkan padaku."Mau ngomong apa sih, Bu? Sepertinya penting ba