DIHINA MISKIN KARENA MOTOR JADUL SAAT PULANG KAMPUNG, PADAHAL PUNYA SHOWROOM MOBIL DI JAKARTA.
#2
Dua tetanggaku makin ngoceh saat aku diam saja tak menjawab pertanyaan mereka. Mbak Sinta pun sepertinya tak ada niat untuk membelaku. Entahlah. Mendadak aku punya pikiran buruk padanya kalau begini.
"Kasihan ibumu, Rum. Harus pindah-pindah tiap bulan. Kakak sama adikmu juga sibuk kerja, tapi mereka masih berusaha merawat ibumu dengan baik. Meski harus gantian tiap bulan. Sementara kamu? Bukannya ikut andil merawat ibumu malah nggak pulang-pulang. Ingat, Rum. Surga anak itu terletak pada kaki ibunya. Lah kamu, nggak pernah mau mendekati ibumu gimana mau masuk surga?" ucap Budhe Nur sembari melipat tangannya ke dada, menatapku dengan sinisnya.
Kuhirup napas panjang lalu menghembuskannya. Baru duduk di kursi kayu di ruang tamu untuk melepas lelah, kembali mendapatkan ceramah mereka. Budhe Narni, Budhe Nur sama Mbak Sri.
"Lagian kalau di sana nggak ada kerjaan lebih bagus di sini jaga ibumu, Rum. Buat apa merantau kalau di sana juga nganggur. Anak-anakmu sekolah aja di kampung, biaya juga lebih murah. Suamimu biar aja di Jakarta sendiri. Tetangga juga banyak tuh yang suaminya merantau, tapi anak istri tinggal di kampung. Bisa nabung banyak. Pada beli sawah sama ternak. Daripada sekeluarga ikut semua tapi nggak punya apa-apa buat apa?" Budhe Narni ikut menimpali.
"Aku memang nggak kerja di sana, Budhe tap-
"Nah, kan. Kalau istri cuma pengangguran, anak-anak sekolah semua sementara yang kerja cuma laki doang ya pantes kalau nggak punya tabungan. Biaya hidup di sana juga mahal. Memangnya suamimu kerja apa sih, Rum? Sampai kamu nekat ikut merantau di sana? Apa kamu nggak mikir masa depan?" Mbak Sri yang usianya tak terpaut jauh dariku itu pun ikut menimpali.
Sejak dulu dia memang selalu iri denganku. Di sekolah, tiap kali aku mendapatkan peringkat lima besar, dia selalu menyindir nggak jelas. Tiap kali aku nggak bisa ngumpul bersama teman-teman, dia juga memfitnahku macam-macam. Padahal jelas aku di rumah sibuk membantu ibu membuat keripik yang akan dititipkan ke warung-warung.
Apalagi saat aku menikah dulu, Mbak Sri juga paling nyinyir. Dia bilang, "Buat apa cari jodoh jauh-jauh kalau kerjanya juga cuma serabutan. Lebih baik tetangga sendiri yang sudah kenal sejak awal. Lihat jelas bibit, bebet dan bobotnya."
"Sudah ya Mbak dan Budhe-budhe, aku mau istirahat. Malas berdebat. Yang pasti suamiku itu punya pekerjaan halal dan selalu semangat cari nafkah buat keluarga. Dia juga penyayang dan setia. Itu sudah cukup buatku, soal harta yang lain itu kuanggap sebagai bonusnya," ucapku lagi demi mengakhiri perdebatan nggak jelas ini.
"Halah, Rum. Kamu dulu waktu sekolah 'kan paling pintar diantara aku sama Betty, tapi lihat sekarang hidup kamu paling biasa aja. Sementara aku meski tinggal di kampung, kami sudah punya rumah, sawah, ternak, dan kendaraan. Betty juga sama, dia malah udah kredit mobil segala. Kami mikirin masa depan soalnya, bukan kebahagiaan sesaat saja."
Aku hanya tersenyum. Malas menanggapi mereka yang dari dulu memang sibuk menghina keluargaku. Aku masih ingat betul, dulu saat ibu bersikeras menyekolahkan anak-anaknya sampai SMA, para tetangga dengan entengnya menghina ibu sedemikian rupa.
"Buat apa sekolah, lebih baik langsung kerja. Sekolah SMA 3 tahun itu menghabiskan banyak biaya. Coba kalau langsung kerja, malah dapat duit bisa bantu orang tua."
"Sekolah juga buat apa kalau ujung-ujungnya di dapur? Lebih baik kerja, kalau sudah cukup umur ya nikah saja. Biar nggak terus-terusan menjadi beban orang tua."
"Kasihan ibumu, Rum. Demi kamu dan kakak adikmu sekolah, dia harus pontang-panting cari duit. Nggak kenal panas, nggak kenal hujan. Putus sekolah aja sih mumpung masih kelas dua, kerja sana. Itu Mbak Ambar cari orang buat diajak kerja jadi asisten rumah tangga di Bandung. Ikut aja."
Kata-kata itu kembali terngiang di benak. Sejak dulu, mereka memang selalu meremehkanku dan keluargaku. Membuatku down saat sekolah dulu. Namun aku sangat beruntung karena memiliki ibu yang berpendirian kuat.
"Ibu nggak punya modal harta buat kalian semua, Nak. Ibu cuma punya tenaga, jadi selama ibu masih kuat kerja ibu akan terus bekerja. Ibu beri kalian modal pendidikan sampai SMA, setelah itu ... cari uang sendiri untuk modal kalian nikah nanti. Sekarang jangan pikirkan ibu, fokuslah sekolah. Buktikan pada mereka kalau kalian akan sukses suatu saat nanti. Setidaknya, bisa hidup mandiri dan jauh lebih baik dari kehidupan kita saat ini."
Kuseka air mata yang menetes di pipi. Betapa aku merindukan hadirnya ibu di sini. Sekarang, aku akan merawat ibu dan suami juga anak-anak di rumah ini kembali. Rumah yang penuh kenangan bersama ibu dan almarhum bapak dulu.
"Kalau nggak bisa pulang, harusnya kamu juga kirim uang, Rum. Bukannya malah enak-enakan dan lepas tangan. Kaishan tuh kakak dan adikmu kadang cari pinjaman buat belikan ibumu ini itu. Merawat orang tua itu nggak mudah, Rum. Mereka beralih seperti anak kecil lagi," ucap Budhe Narni dengan ketus sebelum meninggalkan rumah ibu.
Mendadak aku menoleh ke arah Mbak Sinta. Apa dia ngomong yang nggak-nggak tentangku selama ini? Kenapa dia dan Mila harus cari pinjaman segala? Padahal jelas aku selalu mencukupi kebutuhan ibu tiap bulan, bahkan aku juga sering mentransfer lebih untuk anak-anaknya dan juga anak Mila. Apa uang empat juta untuk ibu di kampung masih kurang?
💕💕💕
DIHINA MISKIN KARENA MOTOR JADUL SAAT PULANG KAMPUNG, PADAHAL PUNYA SHOWROOM MOBIL DI JAKARTA #3 "Mbak, kok mereka bilangnya begitu?" tanyaku pada Mbak Sinta yang sibuk membersihkan kamar ibu. "Bilang begitu maksudmu apa sih, Rum?" "Itu tadi, Mbak. Budhe Narni bilang Mbak Sinta sama Mila sering pinjam duit buat perawatan ibu. Kan tiap bulan aku kasih empat juta buat biaya ibu sehari-hari. Memangnya masih kurang?" Kulihat mimik wajah Mbak Sinta sedikit berubah. Dia pun agak gugup, tapi berusaha menetralkan perasaannya. "Omongan tetangga kok kamu dengerin, Rum. Bikin tensi naik kalau kamu selalu dengerin ocehan mereka. Kalau di kampung begini kamu harus tebal mata sama telinga. Stress kalau selalu mikirin cibiran mereka. Kamu lupa, sejak kita kecil kan mereka memang rajin menghina," balas Mbak Sinta lagi. Aku pun mengiyakan saja. Meski begitu, aku tetap akan cari tahu apa yang sebenarnya terjadi selama aku dalam perantauan. Benarkah uang itu untuk biaya perawatan ibu, atau justru
DIHINA MISKIN KARENA MOTOR JADUL SAAT PULANG KAMPUNG, PADAHAL PUNYA SHOWROOM MOBIL DI JAKARTA #4 "Mas, kapan kamu nyusul kami ke kampung? Kamu beneran 'kan mau tinggal di sini bareng kami?" tanyaku via telpon saat Mas Huda belum juga menyusulku ke kampung halaman. Padahal urusan pindah sekolah anak-anak sudah beres semua. Mulai hari ini, mereka juga sudah resmi sekolah di kampung sini. Meski mereka masih cukup kaget saat kuminta jalan kaki seperti teman lainnya, tapi Gala dan Gina cukup mengerti. Mereka pun patuh dan menjalankan perintah mamanya dengan senang hati. "Semingguan lagi ya, Sayang. Mas harus mikirkan semuanya sebelum benar-benar pulang. Soal showroom, kontrakan sama usaha online kamu itu. Besok, Mas sewa truk besar buat kirim vespa sama gamis-gamis kamu ya, Sayang. Katanya mau tetap jualan di sana daripada pengangguran?" "Iya, Mas. Jadi besok barang-barangnya sudah datang? Aku mau beresin kamar belakang buat tata gamis-gamisnya. Ohya, raknya kamu bawakan sekalian kan,
DIHINA MISKIN KARENA MOTOR JADUL SAAT PULANG KAMPUNG, PADAHAL PUNYA SHOWROOM MOBIL DI JAKARTA #5 Aku tak peduli cibiran tetangga. Mereka yang tadinya datang berkerumun, lalu membubarkan diri begitu saja. Datang tak dijemput, pulang tak diantar. Macam jaelangkung. "Jangan dengerin tetangga, Rum. Kaya' nggak tahu mereka aja. Raknya biar dibantu angkut ke dalam Mas Rudy sama Angga. Sebentar lagi Angga juga datang," ucap ibu tiba-tiba berusaha menenangkanku. Tak ingin membuat ibu tambah pikiran, aku pun mengiyakan saja. Dibantu Mbak Sinta dan Mila, aku membawa kardus dan beberapa karung berisi gamis itu ke kamar belakang yang sudah kusiapkan. Tak selang lama, Andi-- suami Mila-- datang dengan Mika. Ibu pun memintanya untuk membantu Mas Rudy untuk membawa rak dari halaman ke kamar. "Mas Angga belum datang, ya?" tanyaku saat semua sudah berkumpul. Mila sekeluarga dan Mbak Sinta sekeluarga. Rencananya aku memang mau mengadakan syukuran kecil-kecilan. Sudah pesan nasi box juga dan siap
DIHINA MISKIN KARENA MOTOR JADUL SAAT PULANG KAMPUNG, PADAHAL PUNYA SHOWROOM MOBIL DI JAKARTA #6 "Mbak, kamu sama Mila memangnya nggak bilang ibu kalau tiap bulan aku transfer empat juta buat kebutuhannya? Kok yang beredar di luaran sana bilang aku anak durhaka yang nggak mau merawat orang tua, nggak ngirimin uang juga. Gimana sih? Buat apa uang yang selama ini kutransfer?" tanyaku kesal saat Mbak Sinta dan Mila membantuku memasukkan snack ke box. Dua saudara kandungku itu pun mendongak seketika. Mereka saling pandang lalu menghentikan aktivitasnya. "Maksudmu gimana sih, Rum? Uang itu jelas buat ibulah, memangnya kamu pikir buat siapa? Selama ini aku sama Mila gantian rawat ibu, kan? Ibu juga terawat dengan baik kok. Kamu kok mendadak curiga begitu?" Mbak Sinta menjawab dengan sedikit gugup. "Bener kata Mbak Sinta, kami merawat ibu dengan baik. Lagipula kalau misal kita pakai sedikit, wajar dong, Mbak. Kami yang rawat ibu sejak dulu, sementara kamu cuma modal uang, kan? Nanti kamu
Suara Gala dan Gina terdengar begitu nyaring. Mereka teriak memanggilku. Aku dan ibu yang masih sibuk di dapur pun setengah berlari menuju halaman. "Ma ... Mama. Papa datang!" Teriak Gina dengan riangnya. Aku pun tersenyum senang. Pasti Mas Huda bawa mobil kesayangan kami itu. Betapa kagetnya aku saat sampai di teras. Beberapa tetangga yang tengah arisan di rumah Mbak Sri pun melihat ke arah mami. Mas Huda yang kupikir pulang membawa alphird justru pulang membawa si putih. Mobil bak terbuka yang biasa disewakan untuk pindahan kontrakan. Astaghfirullah. Benar-benar menyebalkan! "Sayang, aku pulang bawa mobil kita," ucap Mas Huda dengan meringis kecil sambil menatapku. Kucium punggung tangannya dengan kesal. "Kenapa sih cemberut gitu?" "Kenapa bawa dia sih, Mas? Harusnya kan-- "Mobil sendiri apa nyewa, Da?" Teriak Mbak Ambar dari rumah Mbak Sri. Dasar kepo! Mas Huda sedikit kebingungan. Di pun menoleh ke arahku. "Mas yakin kalau kamu nggak pamer-pamer ke mereka soal rumah sama us
Bakda ashar, Mas Huda bersihin halaman belakang. Dia bilang mau bikin kolam lele daripada nggak ada kesibukan. Gina dan Gala pun begitu antusias membantu papanya, membakar sampah dedaunan kering dan bekas sayuran dari dapur. Sambil memperhatikan mereka, aku mulai tanya-tanya keseharian ibu di rumah Mbak Santi dan Mila. Selama aku tinggal di sini bersamanya, ibu memang belum pernah cerita apa-apa. Justru seolah menutupi semuanya. "Bu, saat di rumah Mila dan Mbak Sinta sore-sore begini ibu ngapain?" tanyaku mulai mencari informasi tentang kehidupan ibu di rumah dua saudaraku itu. Ibu hanya menghela napas lalu kembali menyeruput teh hangatnya. "Ibu nggak disiksa Mila sama Mbak Sinta, kan?" tanyaku asal. Sengaja agak ekstrim biar ibu mau bercerita. "Huusstt. Kamu ini, masa' ada anak nyiksa ibu kandungnya. Kamu ada-ada saja," jawab ibu cepat. Aku pun hanya nyengir saja. "Lagian ibu nggak mau cerita. Aku juga pengin tahu keseharian ibu bersama mereka, kan?" Lagi-lagi ibu menghela napa
Sejak cerita ibu kemarin, jujur saja aku kesal dengan Mbak Sinta dan Mila. Tega sekali mereka memanfaatkanku dan ibu. Menggunakan uang ibu untuk keperluannya sendiri. "Mas, uang yang kutransfer tiap bulan buat ibu ternyata nggak sampai ke ibu.""Maksudnya gimana itu?" tanya Mas Huda sembari menyeruput madu hangat yang baru kusajikan. Sebelum tidur, Mas Huda memang terbiasa minum madu."Mereka bilang ke ibu cuma kutransfer lima ratus ribu, Mas. Entah sisanya buat apa. Pantes baju-baju ibu juga nggak ada yang baru. Tetangga juga sering menyindirku. Berarti selama ini Mbak Sinta sama Mila memang sengaja menjelek-jelekkanku di depan ibu dan para tetangga. Ngeselin banget mereka." "Memangnya kamu sudah tabayyun? Jangan asal nuduh, Sayang. Nanti jatuhnya fitnah," balas Mas Huda lagi. Dia memang selalu begitu, nggak seru tiap kali kuajak ghibah. Bukan ghibah ini mah memang kenyataan. Ibu sendiri yang cerita. Masa' ibu dusta? Lebih nggak mungkin, kan?"Ibu yang cerita soal ini kok, Mas. Ma
Pagi-pagi aku semangat membuatkan Mas Huda dan anak-anak sarapan. Ibu pun sudah kubuatkan bubur merah sesuai permintaannya kemarin. Rasanya nggak sabar, kejutan apa yang akan diberikan Mas Huda buatku nanti.Anak-anak sudah sarapan dan berangkat sekolah diantar papanya. Ibu pun sudah bersih-bersih halaman. Sekarang mulai bakar-bakar sampah. Sementara aku dari tadi cuma duduk dengan gusar, bolak-balik lihat jarum jam, seolah nggak berputar. Dari tadi masih jam delapan aja, menyebalkan."Kenapa sih, Dek?" tanya Mas Huda akhirnya. Mungkin merasa aneh lihat istri yang nggak tenang duduknya. Gelisah nggak jelas."Buruan berangkat, Mas. Mau pergi katanya, kan?" Aku mencoba mengingatkan. Mas Huda pun tersenyum tipis lalu meletakkan cangkir kopinya kembali setelah meminumnya beberapa teguk."Oh, gusar begitu karena penasaran sama kejutan?" Mas Huda seolah meledek. Benar-benar menyebalkan. Nggak tahu apa kalau aku sangat penasaran apa yang sebenarnya akan dia berikan sebagai kejutan itu."Jang