"Aku antar pulang, Al," ucap Afnan.Alana menggeleng, "Tidak perlu, Kak. Aku bisa naik taxi," sahut Alana. Dia tidak mau merepotkan Afnan lagi. Alana sudah sangat berterima kasih karena Afnan mau membantunya."Ayolah, Al. Naiklah, aku akan mengantarmu sampai rumah."Alana terdiam sejenak, mempertimbangkan tawaran Afnan lagi. Sebenarnya dia bisa menghemat uang jika pulang bersama dengan Afnan. Tapi, Alana tidak enak hati terus merepotkan lelaki itu. Afnan sudah terlalu banyak membantunya selama ini."Apa lagi yang kamu pikirkan, Al? Naiklah. Mau sampai kapan kita berdiri di samping mobil terus menerus?" ucap Afnan lagi. Dia gemas sendiri melihat Alana masih terlihat bimbang dengan tawarannya."Baiklah, Kak," sahut Alana akhirnya menerima tawaran Afnan.Alana pun beranjak dari posisinya hendak masuk ke dalam mobil, tapi sebelum dia masuk sebuah tangan mencengkram lengannya hingga Alana menghentikan gerakannya memasuki mobil. Alana menoleh, melihat siapa yang menahan dirinya. Sedetik kem
"Bagaimana perkembangan rencana kita, Man?" tanya Shaka."Kamu tenang saja, sebentar lagi kita bisa benar-benar mendepak tua bangka itu," sahut Lukman pada sahabatnya itu.Shaka tersenyum, "Bagus, tidak sia-sia aku bersabar untuk menghancurkan lelaki itu. Sebentar lagi dia akan merasakan bagaimana pedihnya pembalasanku. Aku ingin Reno benar-benar hancur.""Kita akan segera melihatnya, Ka. Kamu pasti akan puas dengan hasil kerjaku. Kamu harus memberikan imbalan yang besar untukku," ujar Lukman membanggakan dirinya. Dia memang mendapat tugas dari Shaka untuk mengalihkan dokumen kepemilikan perusahaan Reno.Lukman bekerja sebagai sekretaris Shaka di perusahaan Reno demi memudahkan tugasnya. Tidak ada yang tahu jika sebenarnya Lukman adalah orang kepercayaan Shaka sekaligus sahabatnya."Tentu ... kamu pasti akan mendapatkan bagianmu," tutur Shaka sembari menepuk pundak sang sahabat. Lalu Shaka mengambil cangkir di atas meja. Dia pun menyesap cairan pekat tersebut secara perlahan.Senyum t
"Kamu belum bersiap, Al?" Alana seketika menoleh mendengar suara Andra, sang kakak. Alana menatap Andra dengan pandangan kosong. Kemudian Alana mengalihkan pandangannya menatap hamparan bunga yang ditanam oleh sang Ibu. Dia sedang duduk di gazebo taman ketika Andra mendatanginya. Bola mata Alana memancarkan ketidaksenangan dengan topik yang dibicarakan oleh sang kakak. Raut wajahnya pun bertambah murung.Alana Restu Rajendra, gadis yang berusia dua puluh enam tahun. Dia putri dari pasangan keluarga ternama di kotanya. Kehidupannya yang tenang, tiba-tiba terusik karena sang ayah memutuskan untuk menikahkan Alana dengan orang kepercayaannya di kantor yang bernama Arshaka Wijaya. Lelaki yatim piatu yang telah lama mengabdi di kantornya. Shaka adalah orang yang sangat Reno percayai dibanding dengan karyawan lainnya.Namun, Alana masih belum ingin menikah, dia masih ingin meneruskan pendidikannya di luar negeri setelah lulus. Dia ingin menjadi dokter spesialis anak yang hebat. Tapi harapa
"Baiklah, malam ini adalah malam yang sangat membahagiakan untukku, karena putri tercintaku akan bertunangan dengan lelaki yang sangat hebat. Sejak melihatnya, aku sudah kagum dengan kegigihannya dalam bekerja. Dia mengingatkanku pada masa mudaku dulu. Arshaka Wijaya, lelaki yang bisa membuatku mampu mempercayakan putriku satu-satunya kepadanya. Dia akan menjadi pendamping yang sangat sempurna untuk putriku," ucap Reno sembari menepuk pundak Arshaka dengan bangga.Riuh suara tepuk tangan dari para tamu mulai memenuhi seisi ruangan. Hanya Alana dan juga Andra yang tidak bertepuk tangan menanggapi ucapan Reno."Dia akan menjadi bagian dari keluarga Rajendra sebentar lagi. Dan setelah acara pertunangan malam ini, aku akan menikahkan mereka satu bulan lagi." Reno melanjutkan lagi ucapannya dan membuat seisi ruangan kembali bertepuk tangan.Sementara Alana merasa hatinya bagai tertusuk duri mendengar ucapan dari sang ayah. Bagaimana ayahnya bisa memutuskan hari pernikahan Alana tanpa berta
"Kamu mau kemana, Al?" tanya Reno sembari menyesap kopinya.Reno sedang menikmati kopi paginya, saat Alana berjalan melintas. Dia melihat sang putri sudah berdandan rapi di pagi ini. Tidak seperti biasanya, yang hanya memakai baju rumahan saat hari libur seperti hari ini."Aku sedang ada urusan sebentar, Yah. Ada apa?" sahut Alana berhenti sejenak untuk menjawab pertanyaan sang ayah.Sudah satu minggu berlalu semenjak acara pertunangan Alana digelar. Hari ini dia sudah bersiap untuk pergi."Ayah hanya ingin mengingatkanmu, sebentar lagi kamu akan menikah. Jadi batasi pergaulanmu, jangan sampai membuat Shaka kecewa padamu," ucap Reno dengan entengnya, sembari meletakkan cangkir kopi di atas meja.Alana merasa hatinya tertusuk mendengar ucapan sang ayah. Padahal Alana hanya ingin pergi sebentar untuk melihat pameran lukisan sang kakak. Dia juga tidak akan melakukan hal yang ditakutkan oleh sang ayah. Tapi kenapa Reno begitu tidak percaya pada putrinya sendiri? Alana hanya bisa terdiam m
"Om, kenapa buru-buru pergi? Devan 'kan belum berterima kasih dengan kakak cantik tadi," papar Devan. Bocah kecil itu merasa heran dengan sang om. Padahal Devan selalu diajarkan untuk bersikap baik pada orang yang telah menolongnya. Tapi, tadi Shaka malah langsung mengajaknya pergi tanpa mengucap terima kasih.Shaka menatap keponakannya itu sejenak, lalu dia kembali fokus pada jalanan. Shaka langsung membawa sang keponakan pergi dari taman yang mempertemukannya dengan Alana secara tidak disengaja. Shaka tidak mau terus di sana, apalagi harus bertegur sapa dengan gadis itu.Hati Shaka sedang kacau karena bertemu dengan Alana. Tangannya mencengkeram kemudi dengan kuat, hingga buku jarinya memutih. Sorot mata Shaka pun menjadi tajam. Rahang Shaka mengetat. Amarah seolah telah menguasai hatinya."Om, kok diam saja? Om marah sama Devan?" tanya Devan ketika melihat Shaka hanya diam tanpa menanggapi pertanyaannya.Cengkraman tangan Shaka pada kemudi mengendur, dia menoleh ke arah sang kepona
"Mama ...." Devan berlari ke arah sang mama setelah masuk ke dalam rumah.Setelah menepati janjinya pada Devan untuk membeli ice cream, Shaka langsung mengemudikan mobilnya menuju rumah. Dan kini mereka telah tiba di tempat tinggal mereka itu.Shaka hanya menggelengkan kepala melihat keponakannya itu berlari ketika sudah masuk ke dalam rumah. Sedang dia hanya mengikuti bocah kecil itu dari belakang."Ada apa, Sayang? Kenapa lari-lari?" Maya yang melihat putra kecilnya berlari ke arahnya pun segera berjongkok untuk menyambutnya.Maya sedang sibuk menyiapkan makan siang untuk keluarganya. Dan tepat saat dia selesai menyiapkannya, dia mendengar suara sang putra memanggilnya. Maya pun segera melepas celemek yang dipakainya. Lalu, langsung keluar dari dapur untuk menyambut sang putra."Devan punya ice cream, Ma. Mama mau?" tawar lelaki kecil itu pada sang mama setelah tiba di tempat mamanya.Maya menerbitkan senyumnya melihat tingkah gemas putranya itu. "Wah, banyak sekali ice creamnya, Sa
"Kita mau kemana, Kak? Kenapa menutup mataku segala?" tanya Alana ketika Andra membawanya ke tempat yang tidak dia ketahui."Kamu akan tahu, Al. Bukankah aku sudah memberitahumu kalau aku akan mengajakmu ke tempat yang akan kamu sukai," sahut Andra sembari menggandeng tangan Alana."Tapi, Kak—.""Sudah, kamu ikut saja, Al," potong Andra. Adik perempuannya itu terlalu banyak bertanya, hingga Andra gemas sendiri dan ingin mencubit pipi Alana.Setelah berjalan melewati lorong, Andra menghentikan langkahnya di depan sebuah pintu. Lalu, tangannya merogoh kunci di saku celananya dan segera membuka pintu setelah dia berhasil mengambil kunci tersebut.Andra membawa Alana masuk setelah pintu terbuka. "Kita sudah sampai. Kamu sudah bersiap, Al?" tanya Andra.Alana menganggukkan kepalanya menanggapi pertanyaan dari sang kakak. Hatinya berdebar-debar menanti kejutan yang diberikan oleh kakak lelakinya itu. Entah apa lagi yang akan kakaknya itu berikan padanya, Alana sangat penasaran dibuatnya.Pe